Jangan Buang Aku

1670 Words
Dunia ini hanyalah panggung sandiwara, di mana semua orang di dalamnya memegang peran yang berbeda-beda, dan berusaha memainkan peran mereka dengan baik. Terlalu banyak kepura-puraan membuat kita tak mampu lagi menemukan ketulusan di dunia fana ini. Amanda memandang sekeliling. Bangunan dua lantai ini adalah tempat baru yang akan menjebaknya selama yang pria itu inginkan. Akan ada waktu di mana rasa jenuh hadir di hati pria itu dan pada saat itulah Amanda harus membawa kakinya pergi dari sana. Amanda tak boleh terbuai meski pria itu mengatakan kata selamanya padanya. Semua ini akan berakhir dan ia tak boleh diam saja sembari menanti saat di mana dirinya akan dibuang begitu tak lagi dibutuhkan. Amanda tak ingin banyak berpikir, ia segera membersihkan rumah. Ia harus melakukan dua tugas sekaligus; pemuas di ranjang dan asisten rumah tangga. Ia akan menganggap kewajibannya di sana sebagai pekerjaan. Toh, ia akan menerima upah setiap bulannya. Dengan tak memakai perasaan sedih, malang, dan sebagainya, Amanda bisa melalui hidup dengan baik. Waktu pun berlalu, Amanda memandang sekeliling dan tersenyum puas. Ia telah berhasil membersihkan rumah pria itu. Ia segera beranjak ke dapur dan melihat isi kulkas. Dirinya harus memasak, lalu segera membersihkan diri agar bisa mempersembahkan tubuhnya pada pria itu malam ini. Amanda tersenyum miris. Dirinya seakan tak memiliki harga diri lagi. Amanda menghela napas panjang saat tak menemukan satupun bahan masakan di dalam kulkas pria itu. Tidak ada sayuran, daging, maupun telur. Kulkas pria itu hanya diisi dengan beberapa botol air putih dan juga s**u. Amanda tersenyum miris. Apa yang ia harapkan ada di dalam lemari pendingin seorang pria lajang? Dari isi kulkas pria itu, Amanda dapat menebak jika pria itu bukanlah tipe orang yang suka menghabiskan diri di rumah. Seperti seorang kesepian yang lebih suka menghabiskan waktu di luar agar tak tenggelam dalam sepi yang mencengkam. “Bagaimana aku bisa memasak? Dia nggak meninggalkan uang dan aku nggak punya uang untuk berbelanja. Harusnya, kami membicarakan banyak hal yang harus didiskusikan untuk memudahkan kami hidup bersama,” Amanda mendesah gusar, “Ternyata memulai sebuah sandiwara tak semudah apa yang terlihat,” lanjutnya dengan nada putus asa. Banyak hal yang harus dipersiapkan untuk melakukan kepura-puraan. Namun Amanda seakan tak berdaya karena pria itu bukanlah tipe yang suka berdiskusi. Pria itu sudah mempertegas dengan mengatakan tak suka menerima pertanyaan. Amanda mengusap perut datarnya yang mulai perih. Semua kesedihan dan air mata yang ia tumpahkan seakan menguras habis seluruh tenaga serta isi perutnya. Mungkin, hari ini ia harus melakukan keahliannya lagi, berpuasa karena tak memiliki uang membeli makanan. Amanda memutuskan untuk kembali ke kamar membersihkan diri dan tidur agar bisa bertahan dari rasa lapar yang menyiksanya. Harusnya, ia tak membiarkan ayahnya menarik paksa dompetnya dan menguras semau gajinya agar ia masih sedikit uang untuk sekadar mengisi perut. Uang memang bukan segalanya, namun kau bisa mati tanpa uang. Kini, Amanda hanya mencoba realistis. Walau uang bukanlah segalanya, namun banyak hal yang bisa kita lakukan jika memiliki uang. Ia bertekad akan mengumpulkan gajinya agar bisa hidup mandiri tanpa bergantung pada siapapun lagi apabila dibuang begitu saja. Tak ada yang bisa menolongnya, selain dirinya sendiri. Kini, Amanda akan memanfaatkan Rai sebaik mungkin. Mentari telah berpulang, langit telah menggelap begitu Rai tiba di rumahnya. Pria itu menautkan kedua alis, merasa heran karena kondisi rumahnya sama saja seperti saat ia tinggal sendiri. Gelap gulita dan kedinginan yang mencengkam lah yang menyambutnya. Pria itu menarik napas panjang dan menghelanya perlahan. Apa yang ia harapkan dengan membeli seorang perempuan hanya untuk dimanfaatkan? Pria itu tak memanggil nama Si wanita. Yang ia lakukan adalah menyalakan lampu dan menyisir keberadaan wanita itu. Seketika dirinya tersentak begitu mengingat perkataan wanita itu tentang perhiasan dan juga kabur. “Apa dia beneran bawa lari semuanya?” Tanpa ingin berpikir lagi, pria itu segera berlari pelan menuju lantai dua rumahnya. Segala pemikiran buruk tentang wanita asing yang baru dikenalnya, membuatnya khawatir jika wanita itu melakukan hal nekad. Sesampainya di lantai dua, pria itu membuka pintu kamar yang ditempati oleh Amanda dengan cepat. Pria itu membeku di ambang pintu saat kegelapan menyambutnya. Ada kelegaan yang menjalar ke penjuru hati, begitu menemukan Amanda tengah meringkuk di bagian tengah tempat tidur berukuran besar. Pria itu tersenyum masam. Sesungguhnya, yang paling membuatnya takut bukan karena wanita itu akan menguras semua perhiasaan yang ditunjukkan pria itu padanya, namun kehilangan. Ia tak lagi ingin merasakan kepahitan karena ditinggalkan. Pria itu berjalan ke arah tempat tidur dan duduk di tepi ranjang, memperhatikan wajah wanita itu yang entah mengapa terlihat begitu kesakitan. Pria itu segera menyalakan lampu tidur di nakas dan ia dapat melihat keringat dingin membasahi kening wanita itu, tubuhnya pun bergetar hebat. Rai menyentuh kening Amanda dan terkejut merasakan panas yang menjalar ke penjuru punggung tangannya. Pria itu mengguncangkan lengan Amanda. “Da … Manda … bangun,” ucap pria itu dengan terus mengguncangkan lengan Si wanita. Walau berat Amanda mencoba membuka matanya, namun ia tak mampu membuka matanya dengan lebar, yang dilakukannya hanya membukanya sedikit. Ia tak lagi memiliki tenaga. Sudah dua hari ini ia tak mengisi perut dengan makanan. Meminum banyak air pun tak lagi mampu membantunya. Kini perutnya seakan diremas kencang, sakit bukan main. “Kamu kenapa, Da?” tanya pria itu meneliti wajah Amanda, wanita itu meremas perutnya dan meringis kesakitan. Ia kembali memejamkan mata. Rai tahu ada yang tak benar dengan wanita itu. Tanpa bertanya lagi, Rai segera membawa Amanda ke dalam gendongannya dan dengan berhati-hati menuruni anak tangga menuju pintu keluar rumah. Dengan cekatan, Rai mendudukkan Amanda pada kursi penumpang dan memasangkan sabuk pengaman untuk wanita itu. Sementara Amanda tak mengeluarkan sepatah katapun, ia masih sibuk mencoba meredakan rasa nyeri pada perutnya. Menahan rasa sakit yang membuat keringat dingin terus membasahi sekujur tubuhnya. “Tahan sebentar ya. Aku akan segera membawamu ke dokter,” Rai segera menyalakan mobil dan tak lagi mau menunggu saat melihat wajah Amanda yang seakan dihisap seluruh darah di tubuhnya, puat pasi. Amanda mencoba tersenyum tipis dan mengangguk pelan. “Kenapa kamu nggak menghubungiku kalau sedang sakit?” Rai menatap Amanda sekilas dan menghela napas gusar, “Tentu saja kamu nggak akan menghubungiku karena nggak punya nomer ponselku. Lain kali, kamu harus menghubungiku dan aku akan membelikanmu ponsel.” Amanda tak mampu mencerna semua kata yang pria itu ucapkan. Amanda pikir, dirinya bisa menahan selama beberapa menit lagi hingga pria itu kembali ke rumah. Namun sayang, dirinya tak lagi bisa menahan rasa sakit yang menjalar ke penjuru tubuhnya. “Maafkan aku,” ucap Amanda lirih. Seharusnya Amanda bersikap tahu diri dan tak menyusahkan pria yang telah membelinya. Ia tak menjadi beban karena mereka telah sepakat untuk saling menguntungkan. Ia tak ingin bila hal ini membuatnya dibuang ke jalanan. “Aku mohon … jangan buang aku,” ucap Amanda lagi. Perkataan wanita itu membuat Rai menoleh sekilas pada wanita itu. Ia tersenyum tipis melihat ketakutan mulai terlihat pada diri Amanda yang tak berani melihat ke arahnya. Dari gesture tubuh wanita itu, Rai dapat mengerti bila wanita itu sama sepertinya, menyimpan terlalu banyak luka yang membuat diri takut ditinggalkan. Mereka sama-sama kosong dan tak lagi memiliki gairah hidup. “Aku nggak akan membuangmu,” ucap Rai sembari tersenyum tipis, “Bersabarlah sebentar lagi,” lanjutnya. Rai kembali fokus dengan jalanan di depannya. Ia tak tahu bagaimana bisa dua orang yang sama-sama menyimpan luka bisa hidup berdampingan. Beberapa menit kemudian, keduanya tiba di rumah sakit dan kini Amanda tengah ditangani oleh seorang dokter. Rai menemani wanita itu. Melihat keputusasaan Amanda dan betapa hampanya wanita itu, membuatnya seakan tengah bercermin. Dokter yang menangani Amanda menekan area perut yang berbeda untuk mengetahui area mana yang perih saat di tekan. Sang dokter pun menanyakan perihal makanan yang masuk ke perut wanita itu dan berbagai pertanyaan lainnya. Rai tak mampu menyembunyikan keterkejutannya begitu Amanda mengatakan ia tak memakan apa pun selama dua hari, selain meminum air putih. Pria itu meringis, tak menyangka bila kehidupan wanita itu memprihatinkan. Setelah pemeriksaan, dokter memberikan resep obat untuk ditebus dan menyarankan agar Amanda dirawat inap, namun wanita itu menolak. Ia tak ingin menambah beban Rai dan membuat pria itu tak menginginkannya. Ia tak tahu harus ke mana lagi bila dibuang. Rai tak ingin memaksa dan segera membawa wanita itu pulang ke rumah. Keadaan Amanda sudah membaik, walau masih merasa perih pada perutnya. “Kenapa kamu nggak makan?” tanya Rai begitu mereka berada di mobil. Amanda tersenyum kikuk. Ia tak mungkin mengatakan pada Rai, jika rumah pria itu sekosong tatapan mata Rai. Tak ada beras ataupun bahan masakan. Mie instant bahkan tak tersedia di rumah pria itu. Amanda tak memiliki cara lain, selain menahan lapar. “Kenapa nggak jawab?” Rai mulai gusar, “Aku memang nggak suka keadaan berisik, tapi aku nggak mau kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk padamu di rumahku.” Amanda tersenyum tipis. Ia tahu, tak mungkin pria itu merasa iba sedikitpun padanya. Pria itu sama saja seperti manusia lain yang memperlakukannya bak barang. Yang tak ingin direpotkan dengannya yang dalam keadaan rusak. Sungguh, Amanda mengerti semua ini, namun sebagai manusia, ia pun ingin merasakan bagaimana rasanya dimanusiakan oleh orang lain. “Nggak ada makanan di rumahmu dan aku nggak punya uang,” ucap Amanda pada akhirnya. Perkataan wanita itu membuat Rai menghela napas gusar. Pria itu tak lagi berkata-kata dan melanjukan mobilnya. Tak lama berkendara, pria itu memarkirkan mobil dan kembali dalam hitungan menit. Rai mengulurkan sebuah bungkusan pada Amanda. “Makanlah dan segera minum obat. Setelah itu kamu harus tidur.” “Aku akan memakannya di rumah.” Rai menggeleng. “Makan sekarang di mobil dan minum obat. Bercerminlah. Wajahmu terlihat sangat mengerikan. Seharusnya kamu dirawat saja di rumah sakit.” Amanda menggeleng. “Aku nggak mau dirawat,” wanita itu tersenyum tipis, “Aku akan memakannya sekarang,” Amanda segera membuka bungkusan yang berisi bubur dan menyantapnya dengan perlahan, sedang Rai mengamati wanita itu dalam diam. “Kalau kamu belum sembuh total, kita tunda saja kunjungan ke rumah nenek. Aku nggak mau dia melihatmu seperti orang yang disiksa olehku,” ucap Rai datar. Amanda tak lagi berani menatap pria itu. Yang dilakukannya hanya mengangguk dan menurut. Dirinya masih membutuhkan Rai untuk mendapatkan kehidupan yang mandiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD