Tak Ada Jalan Kembali

1185 Words
Hidup kerap dihadapkan dengan berbagai pilihan. Sadar atau tidak, kita kerap memilih pilihan yang salah dengan berbagai pertimbangan. Begitulah hidup, tak selalu berjalan sesuai dengan keinginan kita, sehingga kita harus mengambil pilihan yang salah itu untuk tetap hidup. Amanda berjalan di belakang Rai. Setelah membicarakan tentang solusi yang saling menguntungkan, Rai meminta wanita itu untuk berjalan bersamanya. Rai tak banyak bicara, begitupun dengan Amanda. Mereka tak hanya terlihat memiliki luka yang sama, namun kepribadian mereka pun tak jauh berbeda. Menyukai sunyi yang terasa menenangkan. Mungkin, hal ini juga yang membuat Amanda merasa nyaman bersama dengan Rai. “Mulai hari, kamu akan tidur di kamar ini,” ucap Rai seraya membuka pintu hitam di hadapan mereka, ia masuk ke sana dan diikuti oleh Amanda. Rai berjalan ke arah lemari, membukanya, lalu menunjukkan jejeran baju di sana pada Amanda. “Semua yang ada di lemari ini adalah milikmu sekarang. Kamu bisa memakai semua yang ada di sana, termasuk perhiasan yang ada di laci tengah,” Rai membuka laci lemari dan terlihat begitu banyak perhiasan wanita yang Amanda tebak terbuat dari berlian asli dan juga emas putih yang tampak begitu berkilau. Amanda menatap Rai heran. Mengapa pria itu berani menyuruhnya mengenakan perhiasan mahal? Apa pria itu tak takut ia membawa kabur semua harta itu dan meninggalkan Rai? Apa pria itu tak memiliki pikiran buruk tentangnya, sebagaimana Amanda yang memiliki banyak pikiran buruk tentang Rai, pria dingin yang membelinya bak barang. “Apa kamu nggak takut kalau aku membawa semua hartamu itu kabur?” Amanda tak mampu menyimpan rasa penasarannya lebih lama lagi. Tatapan mata mereka saling bertemu, wajah datar Rai membuat Amanda tak mampu menebak jalan pikiran pria di hadapannya itu. “Aku yakin kalau kamu nggak akan melakukannya,” pria itu menatap Amanda lekat, “Kalau memang kamu memiliki tujuan lain untuk pergi, kamu nggak akan nekad mau menerima tawaranku untuk menjadi istri bohonganku. Kamu nggak punya tujuan lagi.” Apa yang dikatakan Rai memang benar. Ia tak memiliki tujuan pergi ataupun tempat pulang. Hal yang membuatnya berbuat nekad hingga menerima tawaran Rai untuk pernikahan bohongan di antara mereka. Akan tetapi, mendengar semua itu langsung dari mulut seorang asing membuat Amanda merasa miris pada dirinya sendiri. Orang yang baru dikenalnya itu saja mampu melihat betapa suram kehidupannya, betapa putus asa dirinya, dan betapa pasrahnya ia pada takdir yang menyimpan banyak misteri. Amanda tersenyum tipis. “Tetap saja, kamu harusnya berpikir, meski aku nggak mempunyai tujuan, kau bisa saja menjual semuanya dan memulai hidup baruku sendiri tanpa harus terikat padamu. Aku bisa bebas.” Amanda mengamati wajah Rai dan mencari keterkejutan di sana, namun tak menemukannya. Pria itu tampak datar seperti biasa, tak terpengaruh apa pun. “Apa kamu mau melakukannya?” Rai menatap Amanda penuh tanya, “Uang yang kamu dapat dari menjualnya akan segera habis jika kamu nggak pintar mengelolanya dan kemungkinan kamu akan kembali nggak memiliki tujuan pergi ataupun tempat pulang. Kenyamanan itu hanya sementara dan sisanya, kamu akan kembali merasa putus asa seperti sekarang.” Amanda tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Pria itu tak seperti dirinya yang tak pernah berpikir panjang dan menjalani apa yang ada di hari ini. Pria itu seakan mengenalnya. Apa mungkin karena mereka sama-sama telah berputus asa pada hidup? Tak lagi memiliki gairah untuk mencapai sesuatu dan hidup mengikuti sistem, bak robot yang tak memiliki jiwa. Amanda mengangguk. “Kamu memang pintar menganalisa.” Pria itu menggeleng-geleng, tak merasa dipuji dengan perkataan Amanda. “Aku harap, kamu menyukai semua pakaian yang ada di sini agar kita nggak harus lagi membeli pakaian.” Amanda mengangguk. Akan sangat tidak sopan jika ia tak menerima apa yang diberikannya. Toh, ia tak mungkin boleh meminta dan harus tahu tempatnya sendiri sebagai seorang istri bohongan. Ia tak boleh menuntut, hanya perlu melakukan tugasnya dengan baik. “Di meja rias juga ada beberapa make up yang bisa kamu pakai. Semoga cocok dengan kulitmu. Untuk parfum, aku minta kamu nggak menggantinya karena aku menyukainya.” Amanda menoleh pada meja rias yang terdapat banyak alat rias di sana. Melihat kesiapan kamar itu membuat Amanda mulai merasa heran. Tak mungkin dalam semalam, pria itu menyiapkan semua ini untuknya. Semua yang ada di sana seakan memang sudah lama disiapkan. Kamar itu seperti tengah menunggu seseorang untuk mengisi kekosongannya. Apa mungkin, pria itu menyiapkan semua ini untuk seseorang? “Boleh aku bertanya?” Amanda menatap Rai ragu, ia takut pertanyaannya malah akan membuat pria itu merasa tak suka. Bukan hendak menjadi seorang yang ikut campur dalam kehidupan pribadi pria asing yang baru dikenalnya, namun dirinya penasaran. “Aku lebih suka kalau kamu nggak banyak bertanya.” Pria itu berjalan keluar kamar, “Apa ada yang nggak kamu mengerti dari semua yang telah kita sepakati?” Amanda mengikuti langkah pria itu dari belakang dan menggeleng. “Nggak ada, semuanya sudah sangat jelas. Kita sama-sama diuntungkan, tapi apa ada jangka waktu untuk mengakhiri pernikahan ini nantinya?” Pertanyaan Amanda membuat Rai menghentikan langkah secara mendadak, menyebabkan kening Amanda menabrak punggung pria itu. Rai membalikkan tubuh ke arah Amanda, sedang Amanda mengusap-usap keningnya yang sedikit sakit karena tabrakan itu. “Maksudmu seperti pernikahan kontrak?” Amanda mengangguk. “Bukankah seharusnya begitu? Apa kamu berniat untuk terjebak denganku untuk seumur hidupmu? Aku rasa, nggak mungkin kamu menginginkannya.” Amanda terlalu banyak berlari kepada cerita fiksi demi mencari penghiburan untuk hidupnya yang malang, hingga kerap membandingkan kehidupan kejam yang dijalaninya dengan kisah-kisah roman picisan yang pernah ia baca. Di mana tokoh utama mengajukan kontrak untuk hidup bersama, namun Amanda mengetahui akhir kisahnya yang pasti tak seindah kisah di dalam novel yang berakhir bahagia dengan hadirnya cinta. Pria itu tersenyum miring. “Membeli artinya memilikimu selamanya.” Jawaban singkat pria itu membuat Amanda terpaku di tempatnya berdiri. Memiliki selamanya? Apakah seperti mereka akan menua bersama dengan kebohongan yang mereka jalani? Apakah seperti barang yang dibeli dan digunakan selama barang itu masih berfungsi baik, lalu dibuang jika tak lagi berguna? Sungguh, hidupnya miris sekali. “Jadi secara tidak langsung kita akan terjebak bersama selama yang kamu inginkan?” Rai mengangguk. “Aku harus segera ke kantor. Mulai hari ini kamu sudah bisa melakukan tugasmu sebagai istriku sebelum kita benar-benar mengesahkan pernikahan.” Rai menatap Amanda meneliti, “Kamu tentunya tahu tugas seorang istri, bukan?” Amanda mengangguk. “Melayanimu?” tebaknya. Rai tersenyum tipis. “Menyiapkan semua kebutuhanku. Mulai dari sarapan hingga malam tiba. Kamu harus menjadi seperti seorang istri yang kuinginkan. Kamu akan berperan seperti istri impianku yang melayaniku dengan baik,” Rai mengusap lembut wajah Amanda, wanita itu bisa melihat luka yang begitu dalam pada sepasang netra Rai saat mengucapkan itu padanya. Amanda mengangguk. “Aku mengerti. Bisa memulainya besok karena aku yakin kalau kamu nggak akan sempat menyantap sarapanku.” Rai menarik tangannya dari wajah Amanda. “Tentu saja. Besok aku akan ambil cuti untuk memperkenalkanmu pada nenek dan mengurus pernikahan kita. Bersiaplah.” Amanda mengangguk. Kini, hidupnya bukan lagi milikinya. Ia telah menjual seluruh jiwa dan raganya untuk pria itu dan tak ada lagi jalan untuk kembali. Amanda mengantarkan Rai sampai ke depan pintu rumah. Menatap sendu punggung yang terus menjauh tanpa menoleh ke arahnya. Keputusan ini adalah pilihan salah yang Amanda sadar saat memilihnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD