Pernikahan Bohongan

1161 Words
Keduanya kini duduk berhadapan. Rai menatap Amanda dengan meneliti, sedang yang ditatap malah ketakutan. Wanita itu hanya bisa menundukkan wajah, tak berani menatap pria di hadapannya. Jantungnya berdebar tak menentu. Ini memang keputusan gila. Tak seharusnya, ia memilih untuk bersama pria yang telah membelinya, namun kembali ke rumah orang tuanya sama saja dengan bunuh diri. Hidupnya tak ‘kan lebih baik dari saat bersama seorang asing yang telah memporak-porandakan dunianya dalam semalam. Ibunya adalah wanita bodoh yang tak bisa diandalkan untuk melindunginya. Wanita itu terlalu lemah pada lelaki yang begitu dicintainya, hingga rela banting tulang mencari uang hanya untuk dihabiskan begitu saja oleh pria yang disebutnya suami. Tak jarang pula, wanita itu menerima kekerasan dari pria paruh baya yang telah menjualnya. Potret keluarga aneh itu membuat Amanda tak mempercayai cinta dan ia tumbuh menjadi wanita kuat yang bekerja keras demi apa yang ia inginkan. Mimpinya sederhana, ia hanya ingin keluar dari rumah itu. “Apa kamu nggak mempunyai tujuan?” suara lelaki itu memecahkan keheningan di antara mereka, Amanda mengadahkan wajah, lalu menggeleng lemah. Amanda memang tak menyukai pria itu. Datang bagai pangeran kuda putih yang hendak menyelamatinya, namun berakhir dengan merenggut satu-satunya hal berharga dari dirinya. Menyebabkan Amanda tak lagi memiliki hal yang bisa ia jaga. Amanda pasrah akan rencana takdir bagi hidupnya, asalkan tak kembali ke rumah orang tuanya. “Kamu sudah membeliku, jadi aku akan mengabdi padamu.” Amanda terdengar begitu putus asa, namun memang itulah yang tengah ia rasakan. Terpuruk oleh pahitnya kehidupan. Kisah putri yang diselamatkan oleh pangeran, lalu hidup bahagia hanya terjadi di dunia dongeng. Nyatanya, kehidupan tak seindah cerita bohong itu. Cerita yang menipu anak-anak kecil agar memiliki mimpi untuk bertemu dengan pangeran impian mereka, menikah, dan hidup bahagia untuk selamanya. Pria itu tersenyum miring. “Yang ditawarkan pria itu hanya keperawananmu.” Hati Amanda seakan teriris. Mengapa tak ada satupun manusia di dunia ini yang mampu memanusiakan orang lain. Menyebutkan hal keperawanan seakan hal itu adalah hal yang tak begitu penting. Hal yang wajar diperjual belikan, ditukar oleh sejumlah uang, dan tak perlu dibesar-besarkan. Apa yang terjadi pada Amanda malam itu membuatnya sadar, tak ada satupun manusia baik di dunia ini karena malaikat diturunkan Tuhan hanya untuk mengawasi kita, bukan ikut turut membantu orang-orang sepertinya. Amanda sadar akan hal itu. Sudah lama ia tak lagi mengandalkan seorangpun untuk tetap hidup. Ia hanya bergantung pada dirinya sendiri, namun kali ini berbeda. Ia butuh tempat bersembunyi, berlari dari orang-orang yang akan memanfaatkan dan semakin menghancurkannya. Ia tak akan bergantung pada pria asing itu. Ia juga sadar jika tak ada yang gratis di dunia ini. Setiap orang melakukan kebaikan untuk mendapatkan imbalan. “Aku menawarkan hidupku untuk ditukarkan dengan tempat tinggal dan juga hidup yang berkecukupan. Aku sudah lelah dimanfaatkan. Aku nggak akan sok baik karena aku ingin memanfaatkanmu untuk mendapatkan hidup yang lebih baik.” Rai terperanjat, lalu tersenyum kecil. “Kamu menarik, tapi kamu tahu kalau nggak ada hal yang gratis di dunia ini, kan?” Lelaki itu menatap Amanda lekat-lekat. Amanda mengangguk. Selalu ada harga yang harus dibayarkan untuk semua yang kita inginkan. Amanda lelah memainkan peran baik. Hidup dan manusia di sekitarnya telah menunjukkan banyak kejahatan padanya dan mungkin saja dirinya sudah tercemari virus-virus jahat yang membuat hatinya mulai merasa lelah. “Tentu saja aku tahu. Aku akan memberikan apa pun yang kamu inginkan. Toh, sudah nggak ada lagi hal yang berharga dalam hidupku. Aku kehilangan arah dan tujuan, jadi nggak ada apa pun yang penting yang bisa orang-orang renggut lagi dariku,” senyum tipis menghiasi wajah cantik wanita itu. Tatapan matanya kosong, seperti apa yang wanita itu sampaikan. Tak ada keinginan ataupun hasrat apa pun di dalam sepasang netra wanita itu. “Aku menawarkan pernikahan bohongan padamu. Hanya sekadar sandiwara untuk menyenangkan nenekku. Kamu bisa tinggal bersamaku dan juga mendapatkan uang bulanan.” Pernikahan? Tampaknya ikatan itu telah kehilangan kesuciaannya karena banyaknya orang-orang seperti mereka yang menganggap hubungan suci itu sebagai mainan atau sandiwara semata. Amanda tak mengerti konsep pernikahan yang benar karena pernikahan kedua orang tuanya pun terasa begitu pelik. Hubungan toxic yang menghancurkan orang-orang yang tadinya baik dan penuh kasih, menjadi boneka yang bisa dimainkan sesukanya. “Lalu, apa kerugiannya bagiku?” Amanda tahu, tak mungkin hanya semudah itu. Hanya pernikahan bohongan dan mendapatkan uang. Bukankah hal itu terlalu indah untuk menjadi nyata. Seperti kisah-kisah novel bertema pernikahan kontrak yang kerap dibacanya. Namun sayang, hidupnya tak seindah kisah fiksi. Sejak kecil, ia tak pernah merasakan indahnya hidup. Rai tertawa, membuat Amanda terpaku sesaat. Baru kali ini, ia mendapati tawa pria yang sejak bertemu dengannya tak banyak bicara, hanya tersenyum tipis dan kerap menatapnya dingin. Melihat ke dalam manik mata Rai seakan tengah berkaca. Ia menemukan kehampaan yang sama dalam kedua netra Rai. Mereka bagai dua orang yang sama-sama membawa luka, menyimpannya dengan baik di sudut hati dan menjalani hidup bak robot tak bernyawa. “Kamu akan melakukan peranmu seperti istri sungguhan. Kamu harus melayaniku dengan baik, termasuk di tempat tidur. Aku nggak mau rugi mengeluarkan uang untukmu kalau hanya untuk main rumah-rumahan. Aku juga butuh dihangatkan.” Amanda tersenyum miris. Apa yang ia harapkan? Bukankah memang semua lelaki begitu? Bisa melakukan hubungan apa pun tanpa rasa di hati. Tak perlu main hati, asal hasrat terpendam mereka terpenuhi. Amanda terlalu bodoh karena sempat berpikir pria itu akan seperti tokoh novel yang kerap dibacanya. Di mana si pria tidak akan menyentuh Si wanita tanpa keinginan wanita itu. Si pria akan menanti dengan sabar. Namun sayang, kehidupannya tak pernah seindah kisah fiksi. Ia kerap mencari penghiburan dalam kisah karangan manusia. Mirisnya, hidupnya tak seperti seindah kisah karangan itu. “Jadi, secara tidak langsung aku terdengar seperti perempuan bayaran yang bisa dipakai secara sah?” tanya Amanda tersenyum miris. Merasa geli dengan ucapannya barusan. Mungkin menjadi perepmuan bayaran untuk satu pria asing itu tak terlalu buruk daripada harus dijajakan bagai barang dagangan oleh pria yang dipanggilnya ayah. Inilah hidupnya yang kelam. Rai mengendikkan kedua bahu. “Aku nggak pernah berpikir seperti itu, tapi aku nggak mungkin bisa mengubah pikiranmu dan memaksamu sependapat denganku. Ini adalah win win solution bagi kita berdua. Kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan, begitupun aku.” Amanda menatap pria itu lekat-lekat. Ya, mereka akan saling menguntungkan. Toh, tak ada apa pun lagi yang harus Amanda jaga. Ia bagai tengah berdiri di ujung jurang, harus menyetujui keputusan aneh itu demi kelangsungan hidupnya. Ia harus sadar, jika tak ada seorangpun yang bisa membantunya, selain dirinya sendiri. Ya, ini hidupnya, jika ingin menghancurkan hidupnya yang malang, maka lebih baik jika dirinya yang menghancurkannya sendiri. Toh, hidupnya sudah hancur lebur. Apa lagi yang ia takutkan? “Baiklah, aku terima tawaranmu.” Amanda mengulurkan tangan pada Rai yang disambut langsung oleh pria itu seraya menatap Amanda meneliti. “Ternyata, kamu memang cukup putus asa untuk melemparkan dirinya pada seorang pria asing. Kita akan membahas semuanya nanti malam. Sekarang aku harus pergi bekerja.” Amanda tersenyum tipis, lalu mengangguk. Pria itu meninggalkannya, sedang Amanda hanya bisa menatap nanar punggung yang kian menjauh darinya. Amanda tak tahu keputusan gila apa yang diambilnya. Sanggupkah ia menjalani pernikahan bohongan ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD