3

2195 Words
"Dr. Gibran." Seorang perawat senior memanggil Gibran yang baru saja selesai melakukan visit para pasiennya. "Ya?" Dr. Gibran berbalik. "Dr. Gilang meminta Anda untuk ke ruangannya." Ucap perawat senior yang usianya sekitaran empat puluh tahun itu. Gibran berbalik dari arah yang awalnya ia tuju. Di depan pintu ruangan direktur rumah sakit itu, Gibran terdiam sejenak. Tampaknya ada orang lain di dalam sana selain direkturnya. Perlahan Gibran mengetuk. Setelah mendengar instruksi dari dalam barulah Gibran memberanikan diri untuk masuk. Seorang wanita muda dan cantik ikut menatap ke arahnya. Senyumnya yang lembut tampak mempercantik penampilannya yang tertutup hijab panjang. Wanita seperti itulah yang Gibran harap bisa dimilikinya suatu saat nanti. Cantik, lembut dan ayu. "Anda memanggil saya, Dok?" Tanya Gibran sopan. "Iya, Dokter Gibran. Sebelumnya perkenalkan istri saya. Syaquilla." "Sore Bu." Sapa Gibran dengan sebuah anggukan. "Silahkan duduk." Dr. Gilang mempersilahkan Gibran duduk di sofa panjang yang ada di ruangan itu. Beliau yang tadinya duduk di kursi belakang meja pun bangkit dan berjalan menuju sofa single yang ada di ruangan itu. "Begini Dr. Gibran. Istri saya baru saja meminta tolong kepada saya. Kiranya Dr. Gibran bersedia membantu kami untuk melakukan pelayanan di panti asuhan yang dikelola istri saya. Biasanya saya dan keponakan saya yang masih koas yang melakukannya. Namun karena saya ada seminar dan keponakan saya sedang ada tugas riset, jadi kami meminta bantuan dokter untuk melakukannya. Itupun kalau dokter bersedia." Tutur Dr. Gilang. Gibran memandang atasannya dengan dahi berkerut. "Kapan Dok?" "Sabtu dan Minggu ini. Itupun kalau dokter tidak keberatan." Gibran mengingat janji yang dimilikinya akhir pekan ini. Kalau tidak salah ibunya sudah membuat rencana untuk mengajaknya bertemu dengan putri salah satu temannya. Gibran tiba-tiba tersenyum. Tentu saja ia dengan senang hati menolak permintaan ibunya. Dan sekarang ia punya alasan kuat yang bisa ia berikan pada ibunya. Thanks to Dr. Gilang. Karena beliau berhasil mengeluarkannya dari sarang macan. "Tentu saja, Dokter. Dengan senang hati saya bersedia melakukannya." Ucapnya dengan atusias. Lalu setelah sedikit berbasa basi mengenai waktu dan apa saja yang harus ia kerjakan nanti. Gibran pamit undur diri. Perasaan Gibran berubah jadi bahagia begitu saja sekeluarnya dari ruangan Dr. Gilang. Inilah yang namanya jodoh gak kemana. Akhirnya ia tidak perlu repot-repot membuat alasan kepada sang ibunda karena alasan yang jelas tiba-tiba terbuat untuknya. Gibran kembali ke ruangannya dan mulai kembali dengan rutinitasnya. Sabtu datang. Gibran sudah bersiap dengan semua peralatan yang sekiranya akan di perlukannya. Ini memang bukan pertama kalinya Gibran melakukan kegiatan amal. Tapi ini untuk pertama kalinya dia berhubungan langsung dengan keluarga direktur rumah sakit tempatnya bekerja. Dari yang Gibran tahu, panti asuhan yang akan ia datangi adalah panti asuhan milik pribadi yang dikelola keluarga Levent. Bukan panti asuhan yang dikelola dibawah naungan pemerintah. Gibran sendiri tahu sepak terjang keluarga Levent. Mereka bergerak di berbagai macam bidang usaha. Konstruksi, Entertainment dan bahkan kuliner. Tidak menyangka saja bahwa keluarga imigran Turki itu memiliki sebuah yayasan yang menaungi anak-anak yatim piatu. Karena hal itu tidak pernah ada dalam berita manapun yang ia baca atau dengar. Gibran sendiri sebenarnya penasaran dengan sikap keluarga tersebut. Karena sampai sejauh ini, sangat sulit sekali untuk mengetahui siapa-siapa saja yang mengontrol maupun yang akan jadi penerus singgasana Levent tersebut. Keluarga itu benar-benar low profile. Dan jauh dari sorotan media. Gibran sudah sampai di depan gerbang panti asuhan "Rumah Bahagia". Panti asuhan yang memiliki luas tiga hektar itu memiliki fasilitas bermain yang cukup lengkap. Ada masjid, lapangan basket yang sekaligus dijadikan tempat futsal dan tempat permainan anak-anak. Tampaknya keluarga Levent memang membangunnya demi membahagiakan anak-anak kurang beruntung yang mereka tampung. Gibran memarkirkan mobilnya mengikuti tanda yang dibuat dan berakhir pada bagian depan ruangan yang mungkin bisa dikatakan ruang tamu pengunjung panti. Seorang wanita berhijab yang beberapa waktu lalu diperkenalkan sebagai istri dokter Gilang menyambutnya. "Alhamdulillah, dokter sudah sampai. Gak sampai salah jalan kan Dok?" Sapa wanita itu dengan ramah. Gibran mengangguk. Sampai saat ini Gibran sendiri masih penasaran dengan usia wanita di hadapannya ini. Karena ia yakin usia wanita itu tidak terlalu jauh dengan usianya. "Alhamdulillah enggak bu." "Ayo silahkan masuk. Saya perkenalkan dengan pengurus panti." Ibu Syaquilla mengajaknya masuk. Memperkenalkan seorang wanita berusia sekitar lima puluhan kepadanya. "Bu Teti. Ini Dokter Gibran. Beliau yang hari ini akan menggantikan Mas Gilang sama Bang Kara." Wanita itu mengulurkan tangan dan menjabat tangan Gibran dengan hangat. "Mohon bantuannya ya pak Dokter. Kalau semisal anak-anak ada nakal, saya mohon maklumi." Ucap wanita itu dengan takut-takut. Gibran sudah biasa menghadapinya. Mengingat setiap orang yang tidak mengenalnya selalu mengatakan kalau dia punya mata elang dan raut wajah yang sinis. "Saya juga mohon bantuannya bu." Jawab Gibran sopan. "Bu Teti tidak usah khawatir. Mas Gilang tidak mungkin memberikan tugas ini kalau dirasanya Dr. Gibran ini bukan ahlinya. Dr. Gibran ini dokter favorit loh di rumah sakit. Anak-anak suka sama beliau." Pujian itu mau tak mau membuat Gibran malu. "Ayo Dokter, biar saya tunjukkan tempat periksanya." Syaquilla dan Bu Teti mengajaknya menuju ruang periksa. Di dalam perjalanan kedua wanita itu mengatakan apa saja kegiatan panti asuhan. Fasilitas yang ada di dalamnya. Dan bahkan dukungan-dukungan yang mereka berikan pada anak berprestasi. "Umma.." Seorang anak kecil berlari dan tiba-tiba merangkul Syaquilla. "Iya, Sayang. Ada apa? Umma bilang kan jangan lari-lari." "Uncle jahatin Afham. Katanya hari ini Afham bakalan disuntik diem sama dokter." Ucapnya dengan rengekan khas anak-anak. "Uncle? Memangnya uncle kesini?" Syaquilla balik bertanya. "Sama siapa?" "Sama Onty Pali." Jawab Afham jujur. "Onty Pali pergi, trus Afham ikut, trus Uncle bilang 'kalo kamu ngekorin Onty Pali mulu, kamu nanti disuntik diem sama dokter'. Gitu Umma. Umma bilangin sama dokternya kalo Afham gak mau disuntik diem. Afham gak nakal kok." Ucapnya seraya mulai menangis terisak. Syaquilla berjongkok dan memandang putranya. "Afham gak nakal. Dan dokter juga gak akan suntik diem. Nanti Umma bilang sama Abi biar Abi balik suntik Uncle." Ucap ibunya menenangkan dan mulai menuntun anak yang usianya sekitar lima tahun itu. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan menuju ruang kesehatan yang ada di salah satu ruangan yang berdekatan tak jauh dengan perpustakaan. Ruang perpustakaannya begitu besar. Hampir seperti ruang perpustakaan standar sekolah SMA, dan kalau dilihat dari luar, tampaknya bukunya juga banyak. Dan untuk ruang kesehatan, ruangan ukuran empat kali tujuh meter itu juga sudah memiliki fasilitas menunjang. Berisi dua buah brankar, lemari stainles yang khusus digunakan sebagai tempat penyimpanan alat medis. "Disini ruang kesehatannya. Nanti anak-anak akan dipanggil sesuai kamar mereka, Dok." Tutur Syaquilla lagi. Gibran kembali mengangguk. "Bagaimana, dokter sudah siap? Nanti akan ada adik saya yang akan membantu dokter. Dia masih mahasiswa dan bukan di jurusan kedokteran juga, namun dia biasa membantu suami saya." Lagi-lagi Gibran mengangguk. Gibran meletakkan tas kerjanya di atas meja lalu mulai merapikan peralatan yang dia butuhkan. Karena ini hari biasa, dia tidak mengenakan jas dokternya. Cukup mengenakan kemeja berkerah bulat dengan panjang lengan tiga perempat dan celana panjang berwarna abu muda. Tampilannya lebih seperti seorang model daripada seorang dokter. Seorang pria muda masuk setelah dua kali mengetuk pintu. "Saya Ilker, Dok." Ucap pria itu dengan nada datar. Pria berkacamata itu terlihat masih berusia dua puluhan. Tubuhnya tinggi, badannya berisi dan juga tampan. "Saya Gibran. Anda yang akan bantu saya disini?" "Iya dok. Asisten pembantu sementara." Ucapnya dengan nada konyol. "Jadi, kita mulai?" Ilker mengangguk. Total anak yang berada di bawah naungan yayasan ini semuanya sekitar seratus lima puluh orang. Seratus orang diantaranya berada dalam rentang usia sekolah dasar ke bawah. Dan sisanya berusia diatas tiga belas tahun. Dan bahkan ada yang sudah kuliah dan masih tinggal disana guna membantu ibu panti. Sesekali Gibran mengobrol dengan mereka dan ternyata berbagi kisah dengan anak-anak yang dikiranya tidak beruntung itu memiliki kesan tersendiri. Baru 30 orang anak yang berhasil Gibran periksa saat waktunya makan siang tiba. Ibu Syaquilla memanggilnya dan Ilker untuk pergi ke tempat di mana makan siang akan berlangsung. "Maaf ya Dok makanan seadanya aja, gak ada jamuan istimewa." Ujar Bu Syaquilla dengan nada lemah lembut nya. Syaquilla menggiring Gibran menuju arah aula. "Prenses, yakin nggak akan keracunan? Aku malah gak yakin ya, takutnya habis makan malah muntah-muntah" Ucap Ilker bergidik takut. "Kamu itu kalau ngomong dijaga. Kasihan dia udah capek-capek masak masih juga kamu hina." Syaquilla memandang Ilker dengan pelototan tajam. "Kamu juga jangan jahatin Afham terus. Kasihan." "Habis lucu sendiri. Kalau lihat dia tuh kayak lihat si Akara waktu masih kecil." Jawabnya dengan senyum tengil. Mereka sudah sampai di aula. Anak-anak kecil yang sudah bisa makan sendiri  duduk dengan rapi di kursi mereka masing-masing. Sementara yang masih harus makan dengan disuapi berada di tempat yang terpisah. Syaquilla mengajaknya ke salah satu bangku panjang. Di sana sudah ada Ibu Teti dan beberapa orang dewasa yang Gibran fikir merupakan salah satu beberapa anak didik yayasan tengah menyiapkan makanan. Semuanya tampak tertib. tidak ada kericuhan ataupun teriakan-teriakan yang biasanya anak kecil lakukan. Panti asuhan ini tampaknya memiliki metode pengajaran etika yang baik. Gibran duduk bersampingan dengan Ilker.  Bu Teti duduk bersampingan dengan Syaquilla. Dan anak-anak yang lain yang cukup dewasa pun ikut duduk. Hanya ada satu bangku kosong yang tersisa. Seorang wanita muda bertubuh mungil mengenakan kaos putih dan celana jeans tampak menggendong seorang balita di pinggangnya. Ia berjalan dengan langkah yang cukup lambat seraya bermain dengan balita yang ada di gendongannya. Balita itu tampak habis menangis. Namun karena si wanita terus aja menggodanya balita itu kembali tertawa. "Kayaknya loe udah pantas jadi emak-emak." Gibran menoleh dan mendengar Ilker berbicara. wanita yang diajaknya bicara itu duduk di hadapan Gibran, masih dengan memangku si balita. "Ya iyalah, secara gue ini kan emakable. Jangankan jadi emak-emak, jadi emak nya emak emak emak emak emak emak aja gue udah cocok." Jawab si wanita dengan santainya. Lalu saat pandangan wanita itu beralih kepada Gibran, mata wanita itu tampak terbelalak lebar dan bahkan mulutnya terbuka. "I-ini dokter yang hari ini ke bagian periksa anak-anak?" Tanya wanita itu dengan nada yang bisa dikatakan terkejut dan senang di waktu yang bersamaan. Gibran mengangguk, senyum wanita itu semakin lebar. "Ekhem," wanita itu berdehem. tangannya ia bisa pusat ke bagian atas celana jeans lalu kemudian mengulurkan tangan. "Kenalin dok, Falisha Permata. Dokter boleh panggil saya Fali, Isha, atau panggil 'sayang' juga boleh. Saya masih available kok dok." Ucapnya tanpa ada malu-malu sedikitpun. "Loe tuh bukan available, tapi jomblo menahun." Ilker melemparinya dengan gulungan tisu makan. "Iler! Loe buang sampah sembarangan, Loe yang tanggung jawab nyapu!" Pekik Falisha dengan lantang. "Yey.. Gue dikontrak jadi asisten dokter keles." Ilker memeletkan lidahnya pada Falisha. "Sudah!" Suara Syaquilla meninggi daripada biasanya. "Ayo anak-anak semuanya mulai berdoa." Perintahnya. anak-anak yang sejak tadi menonton keributan yang dibuat Falisha akhirnya kembali kepada makanan mereka masing-masing. Wanita dihadapannya pun makan sambil sesekali mengusap punggung si balita yang kini sudah tertidur di pangkuannya. "Gimana makanannya dok? Pas dilidah dokter?" Tanya Bu Teti. Makanan yang ada di hadapan Gibran memang sederhana. Tumis sawi putih dimasak santan beserta tahu kuning. Ayam goreng. Sambal tomat yang ditemani dengan kerupuk udang. Rasanya sungguh luar biasa dan benar-benar pas di lidahnya. "Enak, Bu." Jawabnya jujur. Falisha tersenyum mesem-mesem. "Kenapa loe? Cengengesan kayak orang gila?" Ilker bertanya di antara suapannya. "Apa sih loe ribet banget sama urusan gue. Mau gue mesem-mesem kayak orang gila kek, mau kue cekikikan kayak kuntilanak kek, mau gue ketawa kayak orang yang dikasih lawak nggak jelas itu urusan gue. Mulut-mulut gue." "Ya aneh aja, orang lagi makan senyum-senyum sendiri." "Ya biarin aja orang yang gue senyumin juga gak ngerasa gue aneh. Iya kan, dok?" Falisha menggoda Gibran secara terang-terangan. Kalau saja mulut Gibran masih dipenuhi makanan mungkin dia akan menyemburkan kembali makanannya.  Untungnya mulutnya sudah kosong. "Itu semua makanan saya yang buat loh Dok. Gimana saya ini istriable kan dok?" Falisha mengedip-ngedipkan matanya ke arah Gibran. Gibran berjengit. sepertinya ada yang salah di otak wanita dihadapannya ini. Ilker tertawa. "Istriable kata loe? Untung si Akara gak ada disini, kalau dia ada bisa-bisa habis tuh kepala kena toyor." Mendengar nama Akara, Gibran jadi mengerutkan dahi. Pasalnya nama Akara itu bisa dibilang langka. Tapi ia merasa pernah mendengarnya di suatu tempat. Falisha kembali mendelik. "Emangnya ada yang salah sama ucapan gue? Gue tuh udah cantik, sexy, bohay, bisa ngurus anak, bisa masak pula. Kurang istriable apalagi gue? Otak gue juga gak bodo-bodo amat." Falisha memuji dirinya sendiri, mau tak mau Gibran tersenyum mendengar setiap katanya. "Loe tuh kurang waras. Mana ada laki yang mau sama cewek kurang waras kayak loe." Jawab Ilker lagi. Falisha memukul kepala pria itu dengan sendok yang dipegangnya. "Sakit, Pali!" Ilker mengusap kepalanya yang dipukul Falisha. "Apa? Loe mau mukul gue Iler? Emangnya loe pikir gara-gara siapa gue jomblo sampai saat ini? Semuanya karena loe sama si Santan. Kalau bukan karena kalian berdua, mungkin saat ini gue udah punya 5-10 pacar." Ilker berdecih. "Kepedean banget sih loe." "Biarin, lebih baik pede daripada malu-maluin." Falisha kembali memandang ke arah Gibran. "Gimana dok? Saya masih available, saya masih single, saya juga istriable. Dokter mau nembak saya atau mau langsung lamar saya?" Tanyanya kembali dengan kedua mata yang dikedip-kedip. "Fali.." tegur Syaquilla saat melihat Gibran tak nyaman. "Iya iya Kak Qilla. Kali ini Fali ngalah deh." jawabnya jam kemudian kembali memasukkan makanan ke mulutnya. "Tapi dok selama saya available tawaran saya masih berlaku loh." Dan kalimat itu benar-benar membuat Gibran tersedak. Dalam hati ia tidak percaya akan kelakuan wanita yang ada di hadapannya. Ternyata wanita aneh itu memang ada.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD