2

2460 Words
"Gue juga mau pacaran!" Falisha menggebrak meja. Teman-temannya menatap ke arahnya. "Kenapa cuma si Santan aja yang bisa sementara gue enggak?!" Meylan menepuk lengan sahabatnya perlahan. "Ya sabar kali Fal. Nanti juga ada waktunya." Ucap sahabatnya itu menenangkan. "Nanti tuh kapan? Gue tuh dah 22 ya, bentar lagi wisuda. Masa muda gue tuh ancur. Seancur-ancurnya gara-gara si Santan. Masa iya selama 22 tahun gue idup gak pernah ngalamin pacaran. And you know what? Semua itu karena si Santan sama si Iler." "Ilker, Fal. Masa sepupu sendiri lo panggil Iler sih." Intan kali ini bersuara. "Bodo. Dia aja manggil gue Pali. Emangnya gue nama jalan tol." Kedua sahabatnya tersenyum melihat kejengkelan Falisha. Sahabat mereka itu memang cantik, tapi terkadang omongannya gak bisa di kontrol. "Gue juga kan pengen kayak kalian. Malam mingguan. Jalan gandengan. Cipokan. Aaarrrggghhh frustasi gue!" Fali mengacak rambutnya. Tapi meskipun tampak seperti orang gila, dia tetap tak kehilangan pesonanya. "Lagian gue heran juga sebenernya sama kedua sepupu lo. Apa mereka itu terkena sindrom 'Sister Complex'? Kok sampe gitu amat sama lo?" "Meneketehe. Sister complex kek,, sister triplex kek. Kerjaan mereka cuma ngerecokin hidup gue. Bikin masa muda gue sengsara. Sejak SMP sampe sekarang mereka gak bolehin gue deket sama anak cowok. Tapi herannya, kalo gue berantem sama anak cewek, mereka sama sekali gak peduli. Katanya mau ngelindungin, tapi kok seteng-seteng sih?" "Lo berantem kapan? Sama siapa?" "Dulu lah. Ada cewek yang suka sama si Santan. Gue gak suka sama tuh cewek. Dikira tuh cewek gue nih ceweknya si Kara. Emang tampak kita gak mirip-mirip amat. Tapi emang gue kelihatan suka gitu sama dia?" Falisha bergidik jijik. "Kalopun gue lahir lagi trus dia gak ditakdirin jadi adek gue, gue tetep gak mau punya cowok kayak si Santan. Cukup di kehidupan ini aja kita bersaudara. Gue banyak rugi daripada untungnya." "Trus gimana kalian berantemnya?" Intan dan Meylan penasaran. "Dia dong dorong-dorong gue sama geng nya. Gue kan dulu sekolahnya di sekolah khusus cewek. Tahu kenapa? Karena permintaan Si Santan. Padahal gue tahu tuh orang sebenernya nyuruh gue sekolah di sekolah khusus karena dia mau TPTP." "Apaan tuh TPTP?" "Tebar pesona kali dua." Jawab Fali sekenanya. Lagi-lagi Meylan dan Intan tersenyum. "Trus gue dilabrak sama the gang nya. Gue dituduh ngerebut si Santan dari dia. Yey,, orang dari orok kita udah barengan. Ngerebut gimana coba. Gue gak terima dong. Songong aja gue bilang kalo si Santan udah klepek-klepek sama gue sejak orok. Dia gak bisa ngalihin pandangan dari gue. Gue dijambak dong." "Trus-trus?" Intan memajukan tubuhnya penasaran. "Ya gue lawan lah. Gue bales jambak aja tuh orang. Kesel gue. Temennya bantuin dia, gue tendang aja. Emangnya dia pikir mentang-mentang tubuh gue imut dan lucu gue kagak bisa lawan?" Jawabnya berapi-api. "Trus-trus?" Meylan menatapnya, memintanya melanjutkan. "Lo terus-terus mulu. Gue haus kali, khotbah mulu." Intan menyodorkan jus lemonnya. Falisha tersenyum dan menyeruputnya. "Trus gue dibawa ke BP. Diceramahin sama guru pembimbing, ditanya ini itu sama guru. Gue kalah telak donk. Secara satu lawan empat. Mereka otomatis nuduh gue. Dipanggillah nyokap ke kantor." "Tapi gue penasaran. Emang mereka bener-bener gak tahu lo kembarannya Akara? Kan nama belakang kalian sama." Falisha mengangkat bahu. "Gue sama dia setuju pake nametag tanpa nama Levent. Jadi nametag gue cukup Falisha Permata. Dan dia Akara Reynard. Bonyok juga setuju. Mereka bilang biar kita hidup normal tanpa diskriminasi. Dan kalian tahu? Karena masalah itu, semua orang jadi tahu siapa gue." Falisha berdecak sebal. "Nyokap datang ke sekolah. Iya kali wajah nyokap lebih mirip si Santan. Meskipun bentuk tubuhnya nurun sama gue. Nyokap gue bukan sosialita, jadi pada gak ngeuh dia bini siapa. Trus dipanggillah kita ke BP sama nyokap-nyokap para cewek kegatelan itu. Wah, kalo nyokap gue gak nahan gue, dah gue tabokin tuh mulut emak-emak pake penggaris kayu punyanya guru matematika. Gue gak tahu tuh nyokap punya stok sabar darimana. Gue dikatain kurang didikan lah. Gak punya etika lah. Gue malah dituntut bakal dilaporin ke polisi gara-gara bikin anak mereka lecet. Hellow, satu lawan empat, yang ada juga gue yang balik lapor. Nyokap cuma minta maaf, gue balik kesel dong. Gue telepon bokap." Falisha tertawa jahat. "Trus-trus?" Kata keduanya bersamaan. Keculasan tampak di wajah Falisha. "Gue minta dia dateng sama si Santan. Bokap nanya kenapa. Gue taroh aja telepon gue biar bokap tahu apa yang nyokap terima. Wahh,, drama berlangsung dong. Gak sampe lima belas menit bokap datang bawa si Santan. Tuh emak-emak mulutnya pada nganga semua. Kalo waktu itu gue bawa kapur, udah gue lemparin ke mulut mereka satu-satu." Ucap Falisha dengan senyum jahilnya. "Bokap gue itu paling gak suka lihat bininya ada yang nyakitin. Digigit semut aja semua rumah di semprot, apalagi digigit sama omongannya emak-emak." "Mereka gak nyangka kalo ternyata lakinya emak gue cakepnya pake kebangetan. Ngeuh lah sudah darimana wajah gue berasal. Pas lihat si Santan. Tuh anak-anak emak-emak GJ sok-sok caper gitu. Gue mau ludahin tuh muka." "Drama banget tuh kayaknya?" Tanya Intan lagi. "Yoyoy Sis. Drama pake kebangetan. Anggap aja drama Turki. Bokap nanya dong sama guru gue. Apa masalahnya. Si guru mengap-mengap donk. Salting bin melting lihat bokap. Dia kagak tahu kalo gue punya bokap setampan Sir Lucas Reynard Levent yang wajahnya kayak Burak Özçivit . Dia jelasin kalo gue nyerang empat anak. Bokap gak percaya. Nanya apa alasannya. Trus si guru bilang kalo alasannya gara-gara si Santan. Si Santan melongo kayak orang bego. Lah dia tiba-tiba disangkut pautin. Gue timpuk dia. Emak-emak yang lain pada melongo lihat gue. Cewek-cewek centil ngambek gara-gara gue nyakitin cowok idaman mereka." Flashback Falisha memandang adiknya dengan tatapan tajam. Kedua tangannya terkepal. Kalau saja adiknya itu tidak suka tebar pesona, dia tidak akan ada dalam masalah seperti ini. "Lo tuh cari gara-gara." Falisha memukul kepala Akara dengan telapak tangannya. Adiknya balas melotot ke arahnya sementara pekikan kaget terdengar dari mulut empat orang gadis remaja dan lima orang wanita dewasa. Ya, kedua orangtuanya sudah tidak aneh dengan adegan seperti itu karena keseharian mereka di rumah. "Kara, kamu gak apa-apa?" Tanya Cita, gadis yang mulai perkara kepadanya. Akara menepis tangan gadis itu. "Apaan sih loe, SKSD banget. Gue kenal sama loe?" Akara memandangnya sinis. "Loe gak kenapa-napa?" Akara balik memandang ke arah Falisha. Membuat Cita mendesis. "Loe pikir gue gak kenapa-napa?" Falisha menendang tulang kering Akara. Pemuda itu memegangi betisnya sambil mengaduh. "Sakit Pali." "Loe pikir gue gak sakit. Gue dikeroyok mereka, Kara. Semuanya gara-gara loe." Bentaknya. Lucas memandang keduanya dan melerai. "Sudah, sini sama Papa." Lucas merentangkan tangannya dan Falisha masuk ke pelukan ayahnya. Sementara Akara meraih tempat duduk yang kosong yang tadi digunakan adiknya. Ibunya mengusap kepalanya pelan. "Jadi bisa tolong dijelaskan kenapa putri saya dipanggil kemari dan kenapa istri saya juga ada disini?" Lucas kembali memandang ibu BP. Seperti yang dikatakan guru itu sebelumnya bahwa Falisha menyerang keempat anak perempuan yang duduk di sana. Para ibu-ibu mengangguk setuju. Salah satu anak mengatakan kronologis kejadiannya. Tentu saja dengan memutar balikkan fakta. Lucas hanya bisa tersenyum mendengarnya. "Apa ibu-ibu disini punya akal sehat?" Jawaban Lucas malah membuat mereka menganga. "Lihat anak saya, udah mungil, cantik, imut, dan lucu. Masa iya anak saya nyerang anak-anak ibu yang tampangnya garang kayak emaknya?" Jawab Lucas seenaknya. "Papa!" Tegur Gisna. Lucas memandang istrinya dan mengedipkan sebelah mata. "Lagipula apa yang harus dipertengkarkan anak saya? Dia?" Tunjuk Lucas pada Akara. "Dia itu  adik kandungnya. Tepatnya adik kembar. Meskipun wajah mereka gak sama." Semuanya tampak melotot lagi. Mereka pikir keberadaan Akara disana untuk mengkonfirmasi hubungan antara Akara, Falisha dan Cita. Maksudnya konfirmasi hubungan percintaan bukan hubungan persaudaraan. Tiba-tiba kepala sekolah datang tergopoh ke ruang BP. "Saya mendengar ada tuan Levent disini. Saya.." ucapan kepala sekolah itu tertahan ketika melihat Lucas yang berdiri menjulang menghalangi pintu ruang BP. "S-Sir?" Tanyanya tergagap. Pria tua bertubuh gempal dan berkacamata itu melihat ke seluruh ruangan dan tatapannya tertuju pada Nyonya Lucas. "Nyo-Nyonya.." ucapnya masih dengan panik. Gisna mengangguk dan tersenyum ramah. "Ada apa ini Ibu Winny?" Tanya kepala sekolah dengan tatapan tajam "A-anu pak itu. Falisha memukuli keempat anak ini." "Apa?!" Pekik kepala sekolahnya terkejut. "Ibu Winny gak sedang bercanda kan? Mana mungkin Falisha itu memukuli temannya?" Tanya kepala sekolah tak percaya. "Ta-tapi pak. Itu, anak-anak.." "Apa ibu sudah mengkonfirmasi cerita mereka? Ibu sudah melihat rekaman CCTV?" Tanya kepala sekolah lagi. Ibu guru BP yang baru masuk di awal semester itu menggelengkan kepala. "Demi Tuhan, Bu Winny .." Geram kepala sekolah. "Sir Lucas. Silahkan duduk. Atau kita pindah ke ruangan saya saja? Biar lebih luas." Lucas mengangguk. Kepala sekolah menggiring semua orang ke ruangannya. Di perjalanan menuju ruang kepala sekolah, pria itu menghubungi staff keamanan sekolah dan meminta rekaman CCTV yang terjadi kemarin. Mereka sudah berkumpul di ruang kepala sekolah yang luas. Menunggu staff keamanan untuk datang. Sementara menunggu, keempat anak gadis yang menuduh Falisha tampak gemetar hebat. Lupa akan fakta bahwa sekolah mereka memiliki CCTV di setiap sudutnya. "Jadi, apa sanksi yang akan diberikan sekolah pada mereka yang terbukti bersalah?" Tanya Lucas memecah keheningan. Kepala sekolah tampak mengusap dahinya pelan. "Akan ada SP. Atau kita bisa merundingkan hukuman sesuai dengan tindakan mereka." "Apa itu akan berakhir dengan D.O?" Tanya Lucas? Matanya mengerling ke arah para remaja yang menuduh Falisha. Keempatnya menggeleng serempak. "Bisa saja. Atau mungkin jika Sir Lucas berbaik hati, hukumannya bisa dikurangi." Ucap kepala sekolah lagi. Karena dalam hati kepala sekolah sendiri yakin kalau Falisha tidak akan melakukan hal seperti yang didugakan kepadanya. Karena selain Falisha anak yang cerdas, dia juga dikenal anak yang ramah dan tidak pernah membuat masalah. Staff keamanan datang dengan membawa Flashdisk yang berisikan video rekaman CCTV. Kepala sekolah menyalakan Infocus, menyambungkannya dengan laptop dan menyalakan video. Dalam video itu terlihat Falisha yang berjalan sendirian dicegat oleh empat orang siswi. Dua orang berdiri di belakang dan dua orang berdiri di depan. Mereka tampak berbincang samai akhirnya siswi yang ada di depan menjambak rambut Falisha. Falisha membalas dan kemudian teman-temannya yang lain ikut mengeroyok Falisha. "See. Saya bangga sama putri saya. Satu lawan empat? Sungguh memalukan." Lucas mencebik. Gisna menepuk paha suaminya pelan. "Apa Nyonya? Faktanya memang demikian. Ini sih bukan lempar batu sembunyi tangan lagi. Tapi lempar kotoran trus lupa cuci tangan." Jawab Lucas. Keempat siswi itu tertunduk malu. "Ma-maafkan saya, Om. Semuanya karena Cita. Dia bilang kalau Falisha merebut Akara darinya. Kami hanya membantunya." Jawab salah satu dari keempat siswi itu. Wajahnya sudah memerah. Antara malu, marah dan sedih Begitu juga dengan orangtuanya. "Om? Memangnya istri saya tante kamu?" Jawab Lucas ketus. "Mana mau saya punya keponakan culas kayak kalian." Lanjutnya memandang para siswi satu-persatu. "Jadi, Pak Kepala Sekolah. Ibu BP, putri saya tidak bersalah. Dia tidak menyerang siswi lain seperti yang Anda tuduhkan." Tatapan tajam Lucas mengarah pada si guru BP. Dan lalu memandang orangtua dari para siswi. "Ibu-ibu tadi bilang apa? D.O saja? Jadi sekarang bagaimana? Kalau saya sih iya-iya saja. Atau ibu-ibu mau saya laporkan ini ke Komnas Perlindungan Anak? Ini sudah termasuk dalam tindakan pembullyan loh. Dan kalian juga sudah menebar fitnah. Dan ibu-ibu sekalian sudah melakukan perbuatan tidak menyenangkan pada istri dan putri saya. Hukumannya bisa berlipat." Serentak para ibu itu tercekat. Mereka semua menggeleng. "Jangan Pak. Saya mohon. Saya akan mendidik putri saya lebih baik lagi." "Lalu bagaimana dengan istri saya? Siapa tadi yang menghina istri saya tidak bisa mendidik anak? Saya mau kasih beliau cermin soalnya." Jawab Lucas masih dengan kesal. Gisna kembali menyentuh lengan suaminya. "Aa.." "Gak apa-apa Nyonya. Aa kan gak berniat jahat. Siapa tahu mereka memang kekurangan cermin di rumah. Lumayan kan Aa masih punya sisa-sisa cermin di proyekan." Jawab Lucas seenaknya. "Bagaimana, Nyonya Lucas? Anda mau menyelesaikan urusan ini seperti apa? Mengingat Anda banyak di rugikan disini." Gisna memandang keempat remaja di hadapannya. Dia pernah merasakan bullying sewaktu sekolah dulu. Dan lebih parahnya itu dilakukan oleh sepupu angkatnya sendiri. Dan sekarang hal ini dialami sang putri dan penyebabnya adalah saudara kembarnya sendiri. Gisna hanya bisa geleng-geleng kepala. "Hukum saja menurut kebijakan sekolah, Pak. Saya percaya kepada Anda." "Nyonya...?" Tanya suaminya tak percaya. "Aa, ini terjadi di lingkungan sekolah. Dan kepemimpinan ada di Pak Kepala Sekolah. Kita percayakan saja pada beliau." Gisna berusaha menenangkan. "Saya hanya berharap semua ini tidak terjadi lagi. Mungkin Falisha beruntung karena ada kami yang mendukungnya. Bagaimana jika hal ini terjadi pada anak yang kurang beruntung? Saya harap, dalam bentuk apapun, dalam masalah apapun, tidak ada hal seperti ini lagi. Tolong perhatian lebih pada staff keamanan." Ucap Gisna lagi. Kepala sekolah mengangguk setuju. "Ibu-ibu sudah dengar kan. Dan kalian anak-anak. Minta maaf pada Falisha." Ketiganya bangkit berdiri dan mengulurkan tangan. "Untuk hukuman kalian, nanti akan bapak diskusikan. Semuanya sudah selesai saya rasa?" Lucas bangkit berdiri. Menarik istrinya, putra dan putrinya. "Saya permisi pak. Saya bawa anak saya pulang." Ucap Lucas. Kepala sekolah mengangguk. Menyalami serta mengucapkan permohonan maaf berkali-kali. Falisha mendengar pukulan-pukulan dan pekikan-pekikan di ruang kepala sekolah. Sepertinya para ibu-ibu tengah menghukum anak-anak mereka. Namun Falisha tak peduli. Dia bangga memiliki orang tua seperti kedua orangtuanya. Mereka tidak akan segan memihak jika mereka benar. Namun tidak segan juga menghukum saat mereka salah. "Ternyata gue nih Casanova ya, banyak fans nya." Falisha menoyor kepala saudara kembarnya. "Elo makanya jangan suka tebar pesona. PHP ke semua cewek. Lah gue yang dijambakin. Situ pikir enak? Ngurus rambut super indah kayak gini tuh susah tau!" Pekiknya dan membalas menjambak rambut adiknya. "Noh rasain. Kayak gitu rasanya dijambakin sama mak lampir." "Pali ih, rambut gue udah pake pomade tau!" "Bilang pake pomade. Modal jelantah bekas masak Oma aja bangga loe!" Flashback off "Trus nasib mereka gimana?" Intan kembali merasa penasaran. "Kepsek nyuruh mereka bersihin sekolah setiap pagi selama sebulan penuh. Trus guru BP juga dapet SP. Karena ternyata si guru BP itu tantenya si Cita. Pantes aja langsung maen todong." Jawab Falisha dengan jujur. Kedua sahabatnya itu mengangguk. "Gue suka sama bonyok lo, Fal. Mereka tuh so sweet banget kayaknya. Bokap lo bela-belain datang ke sekolah gara-gara gak rela nyokap lo dihina." "Lah, gue juga bilang apa. Sekali nyokap gue kena gigit nyamuk pun, bokap langsung sewa orang buat fogging sekomplek." "Sumpeh lo?" Meylan memandangnya tak percaya. "Sumpeh. Ngapain gue bohong. Nyokap bilang dosa. Bokap gue emang gak ada kerjaan. Kalo bisa, setiap hari dia bakalan ngintilin nyokap kemana-mana. Alasannya simple, gak mau nyokap kenapa-napa. Kadang gue geli sendiri." Falisha bergidik. Sahabatnya tertawa. "Udah, cowok lo dateng tuh. Mau jemput." Ucap Intan mengedikkan kepala ke arah orang yang berjalan di belakang Falisha. Falisha menoleh dan melihat Uncle Adskhan versi muda datang mendekat. "Udah kelar kuliah lo? Balik yuk, laper nih!" Ilker menarik kaos Falisha dari belakang. Mau tak mau Falisha berdiri daripada tercekik kerah bajunya sendiri. "Balik duluan ya." Falisha melambaikan tangan pada kedua sahabatnya yang dibalas lambaian tangan. "Lo bisa lebih halus dikit gak sih. Baju gue kendor tau!" Falisha menepis tangan sepupunya yang masih saja menarik bajunya. "Alah, baju beli di emper aja lo sayang-sayang. Nanti gue mintain baju sama Aunty Nadira." "Yey, gue kirain mau beliin. Kalo minta sih gue juga bisa kali!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD