Bangsa Kuntilanak

1331 Words
Terdengar suara isak tangis perlahan, lalu berganti dengan suara yang melengking tinggi menggantikan suara yang pertama itu. Pocong terkejut sekali, jika saja dia mempunyai jantung pasti sudah copot. Dia yakin sekali jika ada manusia yang mendengar suara tertawa itu semua bulu yang ada di badannya akan berdiri, mulai bulu kuduk, bulu kaki dan tangan juga bulu ketek. Hantu bungkus itu mendekat, dalam lima lompatan dia akan berada tepat di samping sosok berambut panjang itu. Dia sengaja tidak menggunakan kemampuan teleportasinya untuk tepat berada di samping sosok itu, tetapi dia sengaja menyisakan jarak supaya kehadirannya tidak terlalu mengagetkan. Pocong mencium harum bunga kamboja lewat indera penciumannya yang masih bekerja dengan baik. Walau dia sudah tidak bernapas, hidungnya masih bisa mencium bau atau wangi-wangian dari kaum makhluk astral ataupun bukan. Hampir saja dia menutup hidungnya saat wangi bunga kuburan itu berubah menjadi bau bangkai yang menyengak hidungnya. Dia hendak menarik tangannya yang terikat di kain kafan untuk menutup hidungnya, tapi dia tidak berhasil melakukannya. Ternyata memang benar apa yang telah dikatakan kedua makhluk botak yang menemuinya tadi, pertama akan wangi bunga kamboja lalu berubah menjadi bau bangkai. Walaupun Pocong sudah lama menjadi hantu penasaran, belum pernah dia bertemu dengan makhluk ini. Hantu dari bangsa berambut panjang dan berpakaian serba putih panjang, gaunnya itu sampai menutupi kaki-kaki jarinya. Makhluk sejenis ini namanya dalam versi Indonesia adalah Kuntilanak. Akhirnya Pocong tepat berada di samping makhluk berambut baru itu, dia berdehem sebelum memulai menyapa. “Halo, Mbak ... Teteh ... Uni? Panggilan apa kira-kira yang cocok untuk memanggilnya ‘ni?” tidak ada reaksi dari sosok di depannya selain tertawa cekikikan tidak jelasnya. “Halo, Mutia ... Neneng ... Siti ... Indah?” Pocong ingin menghela napas sebenarnya karena tak ada reaksi dari sosok di depannya, tapi dia teringat sudah lama dia tidak bisa melakukannya bernapas lagi, sejak kerusuhan di Jakarta tepatnya yaitu zaman revolusi tahun 1998. Apa yang terjadi pada tahun itu telah merenggut nyawanya, membuat jiwanya berkelana selama ini tanpa tahu kapan dirinya akan pergi ke alam baka. Sampai sekarang dia belum tahu mengapa dia masih terdampar di alam antara kehidupan dan kematian ini. Hantu Bungkus itu berdiri tepat di samping makhluk yang wajahnya ditutupi rambut menjuntai. Dia masih mencari cara bagaimana mencari tahu identitas tamu yang tak diundang ini lebih jauh. Dia merasa harus melakukannya karena ini adalah lingkungannya, tidak ada yang tinggal di sini tanpa izin darinya. Jika penghuni baru ini membahayakan bagi eksistensi dirinya teman-temannya maka akan diusir paksa, jika diperlukan panggil satpol PP. “Mpok ... Madame ... mungkin ini cocok. Yang satu panggilan versi Betawi, satunya lagi panggilan untuk perempuan asing,” ujar Hantu Bungkus berwarna pink masih berusaha. Masih tidak ada jawaban darinya, tapi Pocong adalah sosok yang tidak pernah mudah menyerah. Dia masih berusaha bertahan dengan harum kamboja dan bau bangkai yang bergantian datang menyapa hidungnya yang hanya tersisa tulang saja. Di samping itu dia juga harus membiasakan mendengar tangisan sedih yang kadang juga berganti dengan tertawa yang melengking. “Maman ... Mimin ... Mumun ... Memen ... Momon ... siapa kira-kira namanya?” Pocong berusaha lagi menyebutkan nama-nama, barangkali salah satunya adalah nama perempuan yang di depannya. Mungkin dengan mengenal namanya dia akan berhasil mengajaknya berdialog. “Namaku Senja, Bang,” ujar makhluk itu. Hantu Bungkus berwarna pink itu merasa gembira, akhirnya dia berhasil memancing sosok misteri di depannya untuk berdialog. “Senja, nama yang puitis sekali. Itu nama asli, Kak?” Pocong berusaha berdialog lebih jauh. “Panggil Senja saja, jangan panggil Kak, Bang.” Makhluk berambut panjang itu mengangkat wajahnya. “Okey, aku panggil Senja aja.” Hantu Bungkus itu berusaha menghadirkan sebuah senyum di wajahnya, walau mungkin tidak akan terlihat manis. “Iya, seperti itu lebih terdengar nyaman, Bang. Nah, Abang namanya siapa?” “Namaku Ocong, kependekan dari kata Pocong.” “Pocong itu bukan nama, Bang, tapi nama bangsa. Maksudku nama Abang waktu masih menjadi manusia. Abang itu terlihat aneh tau enggak? Masa pocong kain kafannya bukan warna putih, malah warna pink polkadot kayak begitu?” “Waktu masih hidup namaku adalah Jeffry, tapi sudah lama sekali nama itu kubenamkan, berusaha kulupakan. Mengingat nama itu ada yang tiba-tiba terasa sakit dan membuat sesak. Dan tentang kain kafanku yang seperti ini mungkin lain waktu bisa kuceritakan.” “Nampaknya nama itu sedikit memberikan trauma ya, Bang? Janji lain waktu ceritakan sejarah Abang sampai menggunakan kain kafan seperti itu ya.” “Semacam itulah. Ada trauma saat ingat itu. Nanti aku ceritakan sejarah tentang kain kafan ini.” Ocong mengangguk setelah menyelesaikan kalimatnya yang terakhir. “Lalu Abang mau dipanggil dengan nama apa enaknya?” “Ocong aja, aku suka nama itu. Nama yang sederhana tapi cukup mencerminkan identitasku sebagai Hantu Bungkus berkualitas,” ujar Pocong dengan nada bangga. “Sebenarnya aku agak risih memanggil makhluk lain itu langsung dengan namanya, bagaimana jika kupanggil dengan panggilan Abang saja?” “Boleh, memang menyenangkan sih panggilan itu. Ngomong-ngomong Senja itu nama asli atau gimana? Nama semacam itu baru muncul akhir-akhir ini, itupun hanya nama-nama di novel. Memangnya kamu belum lama meninggal?” “Jadi ... Sebenarnya aku lupa namaku sendiri, Bang. Nama itu kuambil dari sebuah novel yang kutemukan di salah satu bangku di ruang kelas yang dulu pernah kutinggali. Aku suka sekali dengan nama tokoh di dalammya, Pelangi Senja namanya atau biasa dipanggil dengan nama Senja di novel itu.” “Oh, pantas. Kamu keren lho walaupun hantu tapi hobi baca. Hebat, jadi kamu nggak ingat nama sendiri. Lupa ingatan yah? Apa itu istilahnya? Lansia ya?” ujar Ocong. Apa yang dikatakan Hantu Bungkus Pink Polkadot sontak memicu Senja tertawa melengking. “Bang, Lansia itu kepanjangannya adalah lanjut usia. Mungkin maksud Abang itu amnesia, bukan lansia.” “Eh, iyakah? Iya kayaknya itu, amnesia bukan lansia.” “Abang pasti malas baca ‘ni waktu masih jadi manusia?” “Emang harus banget ya baca?” “Harus dong, Bang. Ada istilahnya membaca itu jendela dunia. Artinya dengan membaca kita bisa mengetahui dunia lebih jauh.” “Kamu sosok menarik sekali, Senja. Jarang-jarang ada hantu berpendidikan seperti kamu.” “Nggak, aku nggak berpendidikan, Bang. Hanya saja aku suka baca, jadi terdengar seperti orang yang berpendidikan. Dalam ingatanku yang tersisa, aku dulu cuma seorang pembantu rumah tangga di daerah Depok.” “Wah, tahun berapa itu?” “Maksudnya, Bang?” “Tahun berapa kamu menjadi pembantu rumah tangga? Eh, maksudnya kamu meninggal tahun berapa waktu menjadi itu?” “Nggak ingat tahun pastinya, tapi sepertinya waktu itu belum lama Indonesia merdeka. Terdengar banyak teriakan kata merdeka di banyak tempat, seperti di pasar dan tempat-tempat umum lainnya. Depok waktu itu mungkin salah satu tempat yang sedikit terjamah oleh kemerdekaan Indonesia.” Ocong berdiri mematung berusaha membayangkan Depok versi baru saja merdeka, seperti apakah? Memang dasar otaknya yang belum pernah dipakai berpikir keras jadi di benaknya tidak tergambar sama sekali apa yang ingin dibayangkannya. “Sebentar, kamu bilang kamu meninggal sekitar sehabis kemerdekaan Indonesia?” “Iya benar, Bang. Mengapa?” “Berarti udah lumayan umur kamu? Lebih senior dariku.” “Lho? Emangnya Abang meninggal tahun berapa bilang aku senior?” “Waktu ada kerusuhan Jakarta.” “Kerusuhan yang mana, Bang? Jakarta kayaknya udah sering banget ada kerusuhan.” “Itu yang akhirnya Presiden Soeharto terus turun tahta.” “Oh, waktu beliau lengser itu waktu kerusuhan tahun 98 ya? Aku melihat banyak sekali yang jadi korban waktu itu. Toko-toko yang katanya bukan milik pribumi di jarah, bahkan ada perempuan keturunan Tionghoa yang diperlakukan tidak senonoh. Aku melihat kejadian-kejadian miris, sedangkan aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong.” Ocong terdiam, apa yang dikatakan oleh Senja tiba-tiba mengingatkannya kepada seseorang, kekasihnya yang sangat dicintainya. Dia adalah seorang putri dari pengusaha keturunan Tionghoa, menjadi korban perampasan kesucian saat itu. Dia dengan cepat mengusir kenangan itu, tidak baik untuk kesehatan psikologisnya jika masih mengingat momen itu. Senja yang melihat perubahan wajah Ocong yang tiba-tiba terlihat murung bertanya-tanya dalam hatinya. Sebenarnya apa yang pernah dialami oleh makhluk yang terbungkus kafan kain yang baru dikenalnya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD