HANYA CINTA BIASA

2526 Words
H+15 pernikahan. "Ben..." "Ya sayang?" "Besok kalau habis mandi, handuknya jangan ditaruh di atas kasur. Kasurnya basah tuh." ujar Anne lembut seraya memberengut. "Oh, maaf sayang. Aku lupa." "Iya. Besok jangan gitu lagi ya..." "Oke, sayang." Ben kembali sibuk mengunyah sarapan yang disuguhkan Anne untuknya. "Sayang, sini sarapan dulu. Masa aku makan sendiri?" "Kamarnya masih berantakan." "Apanya sih yang berantakan?" "Belum dirapihin." "Oh, kan kita main dua kali semalam, wajarlah berantakan." Wajah Anne seketika memerah, mengingat permainan yang mereka lakukan semalam. Nyaris setiap malam selama dua minggu terakhir mereka melakukannya tetapi tetap saja Anne belum terbiasa. Ben terkekeh melihat wajah isterinya yang terlihat malu. Ia mengulurkan tangannya, menarik Anne lembut ke atas pangkuannya. Mengelus lembut pipi kanan Anne. "Gemas! Udah dua minggu sayang, tapi muka kamu masih merah tiap aku ngajak b******a atau ngungkit-ngungkit keintiman kita." "Ben... Jangan dibahas..." lirih Anne, malu. "Jadi pengen lagi. Sekali. Yuk?" "Nanti kamu telat." "Iya sih. Kalau telat, aku bisa dicengin Ayah dan Papa Dirga seharian." Anne terkekeh geli membayangkan Ben yang menjadi bulan-bulanan Ayah mertua dan Papanya itu. "Tuh malah ketawa!" Ben mengecup Anne lembut, mencuri ciuman pagi yang entah sudah keberapa kali hari itu. "Hari ini ada rencana apa?" tanya Ben setelah mengusaikan ciuman mereka. "Di butik aja. Harusnya hari ini koleksi terbaru datang, paling photoshoot." jawab Anne. "Oke. Nanti siang kalau ga terlalu padat aku ke butik ya?" "Oke, sayang." --- H+18 Pernikahan. "Ya ampun..." lirih Anne saat melihat keadaan kamarnya malam itu. Baju kerja Ben yang entah diapakan suaminya itu hingga berbentuk seperti bola, teronggok tepat di samping keranjang laundry. Plus handuk bekas pakai, yang kembali tergeletak di atas kasur. Juga bungkus coklat yang berserakan di atas nakas, padahal di samping nakas trash bin berwarna hitam tegak berdiri. Belum termasuk pintu lemari yang masih terbuka lebar. "BEEEN!" pekik Anne. Ben bergegas masuk ke kamarnya, menatap Anne yang sudah bertolak pinggang. "Kenapa sayang?" "Coba lihat! Ada yang salah ga dengan kamar ini?" Ben menyapukan pandangannya, menelisik setiap sisi dan sudut dari kamar mereka. "Ngga." ujar Ben datar. Anne mendengus. Kilat amarah terpancar dari kedua netranya, sementara Ben yang ditatap mencengir ngeri. "UDAH DIBILANGIN HANDUK BASAH JANGAN TARUH DI KASUR! BAJU KOTOR MASUKIN KE KERANJANG, BUKAN DIJADIIN BOLA BASKET! SAMPAH DIBUANG DI TEMPATNYA! PINTU LEMARI TUTUP LAGI KALAU HABIS DIBUKA, BIAR GA MASUK SERANGGA! KAMU NGERTI BAHASA INDONESIA DAN BAHASA INGGRIS GA SIH? APA AKU HARUS PAKE BAHASA KOREA? ATAU BAHASA ALIEN SEKALIAN?" Mencengir kaku. Hanya itu satu-satunya yang bisa Ben lakukan. "Sayang, aku bikinin teh ya? Habis mandi tehnya udah siap. Oke? I love you sayang..." ujar Ben seraya melarikan diri dari kamar mereka. "BEEEEEN!!!" --- H+45 Pernikahan. Hari itu, Anne menghabiskan hari Sabtunya dengan merawat diri di sebuah salon kecantikan bersama Andien - Ibunya, Debby - Ibu mertuanya, Cantika - adiknya, dan Mieko - adik Ben yang berbeda sebelas tahun dengan suaminya itu. "Ibu..." "Ya?" "Ayah Borne orangnya berantakan ga?" Debby terkekeh. "Kenapa? Ben berantakan ya?" "Hehehe..." "Iya, Ayah berantakan, tapi ga jorok. Maksudnya dia mau bersih-bersih, tapi sesuai standar dia yang parameternya jauh banget dengan standar Ibu." "Maksudnya?" "Contohnya... kalau habis makan, piring dan gelas ditaruh aja di sink. Buat Ayah itu udah rapih. Buat Ibu, ya harus langsung dicuci, dikeringkan, dikembalikan ke tempat masing-masing." "Oh... Iya sih, Ben juga kayak Ayah gitu." "Ga beda jauh sama Ayahnya, nak... Like father like son." "Papa juga begitu, Ne..." ujar Andien. "Gitu gimana, Ma?" "Ya masa kamu ga ingat? Yang kaos kaki kalau pulang kerja dimana-mana, yang kalau habis ngemil bungkusnya didiemin aja di atas meja, yang perkara masak mie instan aja peralatan dapur bekas pakai langsung menumpuk." Anne terkekeh mengingat kelakukan Dirga - Papanya. "Emang cowok semuanya gitu kali ya Ma? Bu?" "Ga semuanya. Tapi yang ga begitu ya jarang." ujar Andien lagi, sementara Debby mengangguk-angguk. "Kayak Sam, Kak. Dia itu kalau ada orang yang makan di mobilnya, pasti diamuk sama dia. Ga boleh kotor dikit langsung masuk jasa cuci mobil." "Itu sih sama kayak Papa. Papa juga gitu." "Lebih parah, Kak. Kalau Papa kan paling ngomel kalau mobilnya kotor doang. Itupun marahnya sebentar. Kita boleh makan di dalam mobil, asal ga kotor. Kalau Sam, makan di mobil ga boleh sama sekali. Cuma boleh minum, itupun harus dari tumbler yang tipe tutupnya one touch atau straw type." "Serius lo, Ca?" "Serius banget!" "Dan ga cuma mobil, Kak. Pernah lagi jalan, baju dia ketetesan saus, dikit doang. Dia masuk departement store dong, beli baju ganti, atas dan bawahan, harus matching. Pernah juga lagi jalan, udah di tol, ada noda dikit banget di kaca depan sebelah kiri - pas di depan Ca. Ca aja ga ngeh itu kaca bernoda. Dia nepi dong, ngambil pembersih kaca dan kanebo, dia bersihin dulu. Ga bisa kotor dikit orangnya." "Ah masa?" "Iya. Ayah dan Bundanya sampai pernah curiga Sam OCD malah ." Andien yang menjawab. "Tapi ngga Ma?" "Ngga. Emang anaknya gitu, ga suka lihat kotor dan berantakan. Lemari aja lipatannya harus ala Marie Kondo, warnanya harus dikelompokin - ga boleh campur-campur, kalau ngepel kamarnya sampai tiga kali - pertama basah pakai pel kain, kedua pakai microfiber, ketiga pakai lap kering. Untung aja anaknya mau ngerjain sendiri." Anne terkekeh mendengar cerita Andien tentang pria yang sudah setahun terakhir menjadi kekasih adiknya. "Suruh si Ben beresin apa yang dia berantakin, Ne... Ibu juga gitu sama Ayah. Jangan kita terus yang beresin kekacauan yang mereka buat. Kecuali mereka lagi sakit atau cape banget ya bolehlah kita diam." tutur Debby. "Iya, Ibu. Masalahnya kadang udah Ben beresin tetap aja rasanya ga bersih. Jadi Anne kesal sendiri." "Itu yang bikin suami malas bersih-bersih. Diamkan saja, kalau dia sudah bersihkan ya sudah. Jangan langsung kita kerjakan ulang. Kasih jeda. Misalnya dia beberes pagi, ya nanti siang atau sore kita beberes lagi." "Oh gitu ya, Bu?" "Iya. Kalau langsung kita beresin ulang, ya mereka ngerasa buang-buang tenaga. Lain kali diminta beberes makin ngasal, makin banyak ngelesnya." Dan begitu Anne sampai di kediamannya sore itu, benar saja, aneka bungkus cemilan berserakan di atas meja ruang keluarga, perabotan memasak dan makan juga menumpuk di dalam sink, handuk basah berpindah tempat - tak lagi di kasur tetapi di lengan sofa kamar mereka, lemari tertutup - tetapi susunan baju menjadi acak-acakan, hanya baju kotor saja yang tepat berada di tempatnya. Anne menarik nafas panjang, menahannya sesaat, baru kemudian menghembuskan udara itu kembali. Beberapa kali, hingga kepalanya yang terasa panas kini mendingin lagi. "Ben... Bangun. Udah mau maghrib." Ben mengerjap-ngerjap. Menatap Anne dengan tatapan sayu khas bangun tidurnya. "Sayang..." lirih Ben, parau. "Ada yang sakit?" tanya Anne lembut. "Ngga. Cape aja." "Emang ngapain hari ini?" "Bongkar pipa yang ngalir ke keran belakang, ternyata pecah pipanya, makanya airnya ga ngalir. Ganti lampu yang di taman samping dan ruang makan. Ganti kaitan selang mesin cuci sekalian bersihin filternya. Bawa motor kamu ke bengkel, sevice, ganti oli, sekalian ganti ban." "Oh ya?" "Iya." "Tadi pulang diantar siapa?" Ben balik bertanya. "Cantika." "Masih di sini?" "Ngga, langsung pulang." "Senang?" "Kangen kamu." ujar Anne, tulus. Rasa kesal yang tadi Anne rasakan hilang seketika begitu tau apa yang dilakukan suaminya hari ini. "Sama, sayang..." lirih Ben seraya tersenyum. "Ayo bangun, udah mau magrib." "Iya." Ben bangkit dari tidurnya, duduk menghadap Anne, lalu membiarkan isterinya memberi ciuman hangat untuknya. "Makasih sayang." "Buat apa?" "Buat benerin pipa, ganti lampu, benerin mesin cuci, dan bawa motorku di service." "You're very welcome. Tapi, aku belum cuci piring, tadi pas nonton aku ngantuk jadi living room juga berantakan." "Iya, udah lihat kok." Ben kembali mencengir lebar. "Aku yang nyabunin piring, kamu yang bilas. Kamu yang buang bungkus-bungkus makanan, sekalian mindahin sampah ke tong di depan, sementara aku yang vakum ruang nonton. Oke?" "Oke, sayang! Siap!" --- Bulan ke lima pernikahan. "Kok banyak banget?" Ben diam saja, tak menjawab pertanyaan Anne. Anne lantas membuka paper bag yang bagian depannya bertuliskan nama toko roti favoritnya. "Beeen... Kan aku bilang yang tuna mayo. Kenapa malah beli yang tuna kare?" Ben meraih box berisi aneka roti di pangkuan Anne, menelisik setiap jenis roti yang tadi dibelinya. "Ini juga tuna, kare juga?" Anne meraih roti yang Ben sodorkan, memperhatikan makanan selembut awan itu. "Oh yang ini benar. Beli berapa yang ini?" "Tinggal dua tadi yang itu." "Terus ngapain beli yang kare?" "Kan judulnya tuna. Kupikir sama aja. Cuma beda tampilan doang." "Ih, Ben! Bau tau ga! Udah dibilang jangan beli yang baunya menyengat. Kamu mau aku muntah-muntah lagi?" omel Anne. Padahal memang karena hormon kehamilannyalah Anne merasa bau atau wangi yang selama ini biasa saja, kini menjadi memuakkan di penciumannya. Ben buru-buru menggelengkan kepalanya. Cukup sudah acara mengidam yang diderita isterinya. Serangan panik karena Anne yang bolak balik dirawat saat trimester pertama kehamilan benar-benar membuat Ben kelelahan lahir dan batin. "Sini, aku pisahin yang kare, biar aku kirim ke rumahnya Daddy Ditya." "Ya ampun, ini kan belinya di toko roti isterinya, masa mau dikirim lagi?" Ben mencengir. "Oh iya ya?" ujar Ben seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Kamu tuh! Makanya mulut tuh dipake buat nanya kalau bingung. Tanya, Ben! Tanya! Susah amat sih nanya! Kalau aku ga ikut pasti deh ada aja yang salah!" repet Anne lagi. "Kan tadi aku bilang kamu ikut." gerutu Ben pelan. "Heran! Apa-apa mesti ditemenin. Perkara beli gorengan aja aku harus ikut. Kamu tuh lebih-lebih kayak anak kecil tau ga!" "Iya." jawab Ben malas. "Tuh kan kalau dibilangin iya-iya aja!" "Iya." "Lain kali tanya! Tanya, Ben!" "Iya." --- Bulan ke sepuluh pernikahan, malam pertama tiba di kediaman mereka setelah H+5 kelahiran puteri pertama. "Jadi mau mandi lagi sayang?" "Iya. Aku bau s**u. Lupa bawa breastpad." "Oke, aku nyalain aromateraphy-nya. Biar kamu nyaman pas mandi." "Makasih sayang." "Hmm... Bisa ga mandi sendiri?" "Bisa dong." "Masih sakit?" "Masih, tapi kan ga boleh dimanja, harus dipaksa gerak." Begitu Anne memulai ritual membersihkan diri, Ben merebahkan diri tepat di samping Safa - puteri pertamanya, bernyanyi pelan nan syahdu untuk sang bayi yang mulai terlelap kembali. Tak lama, Ben pun ikut tertidur pulas. Sekitar dua jam kemudian, suara tangis Safa terdengar. Ben terbangun, memeriksa popok kain Safa. "Pipis ya?" lirih Anne yang baru terbangun dari tidurnya. "Iya. Tunggu ya, aku dekatin rak perlengkapannya Safa." Anne bangkit, mengganti popok kain dan baju Safa yang basah kuyup. "Ga pakai diaper aja sayang?" "Belum puput tali pusarnya. Nanti kalau sudah puput baru aku pakaikan pas tidur malam." "Oh." Selesai memasangkan baju bersih, Anne mengangkat Safa ke rengkuhannya, bersiap menyusui bayi kecilnya. Sementara Ben beranjak ke kamar mandi mereka, menyeka popok dan baju basah Safa lalu mengumpulkannya di dalam satu ember berwarna putih. Begitu kembali ke dalam kamar, Ben kembali naik ke atas ranjang, memposisikan dirinya di balik punggung Anne, membiarkan Anne bersandar padanya. Kedua tangan Ben terulur, ikut merengkuh Safa lembut. "Sayang tidur aja, besok kerja kan?" ujar Anne lembut. "Ga apa. Selesaiin aja dulu nyusuin Safa. Nanti aku bikinin s**u hangat buat kamu." "Kamu ga capek?" "Capek sayang. Tapi ga seberapa capeknya dibanding kamu." Anne hanya tersenyum, lalu kembali mengusap-usap lembut wajah dan kepala Safa yang sedang mengisi perut kecilnya, sementara Ben tak henti memberi kecupan-kecupan kecil di wajah, leher dan bahu Anne. Tak sampai dua jam setelah mereka bertiga kembali tidur, Safa lagi-lagi menangis. Hal yang sama pun terulang kembali. Ben ikut bangun dari tidurnya, membantu Anne membersihkan puteri mereka dan menemani isterinya menyusui. Hingga subuh menjelang, kejadian yang sama berulang hingga lima kali. Baik Anne maupun Ben merasa remuk redam, terlampau letih. "Sayang... Kerja ga? Ayo bangun." "Bentar lagi sayang." gumam Ben parau. Ben kembali tertidur pulas, hingga tepat pukul tujuh alarm ponselnya berbunyi, menandakan waktu paling lambat ia harus berangkat menuju tempat kerjanya. "Ya Allah! Sayang, aku telat!" ujar Ben panik. "Hari ini ada meeting sama client buat pembangunan ulang komplek di Bali." paniknya lagi. "Hah? Emang udah jam berapa?" Anne pun bergegas bangkit dari tidurnya. "Jam tujuh." "Yah, maaf sayang, aku juga ketiduran. Ngantuk banget." "Iya, ga apa. Aku mandi dulu ya." Tepat ketika Ben hendak masuk ke dalam kamar mandi, ponselnya berdering, menampilkan nama sang Ayah di sana. "Assalammu'alaikum, Yah." sapa Ben. "Wa'alaikumsalam. Dimana, nak?" "Baru bangun. Safa bolak balik ngompol dan nangis semalam. Ben tidur lagi habis subuh, bablas. Anne juga." Borne sang Ayah terkekeh di ujung telpon sana, bagaikan bernostalgia saat kelahiran Ben dan Mieko. "Ga usah ke kantor, nak. Istirahat saja dulu. Kalian berdua pasti letih. Masuk Senin depan saja." "Tapi hari ini kan ada meeting, Yah." "Ayah yang handle." "Papa Dirga ga apa-apa? Ben belum bilang." "Dia yang suruh, ini Ayah telpon habis dia nelpon." "Oh." "Nanti Ibu datang. Siangan anak buahnya Ayah Edo juga datang, cek tempat untuk dekor akikahan Minggu besok." "Oh, iya Ayah." "Ya sudah, Ayah mau berangkat. Nanti malam Ayah dan Ibu menginap, mau main sama Safa. Baik-baik dengan isterimu. Bantu, jangan tidur saja!" Ben terkekeh. "Iya. Hati-hati, Yah." "Oke. Assalammu'alaikum, boy." "Wa'alaikumsalam, Yah." Usai menutup layar ponselnya, Ben masuk ke kamar mandi. Membersihkan diri dan menyiapkan air hangat untuk mandi Safa. "Sayang, udah nyusuinnya?" "Iya, sudah." "Ayo, kamu mandi. Aku mandiin Safa." "Bisa emangnya?" "Harusnya bisa, kan pas di Rumah Sakit udah training. Anne menurut. Sementara ia membersihkan diri, Ben pun memandikan sang puteri dengan sangat berhati-hati, lalu membungkusnya dengan handuk kering sebelum Anne memakaikan pakaian. Usai berhias diri, Anne membawa Safa keluar dari kamar mereka. Semerbak wangi masakan menyapa indera penciumannya, membuat Anne mempercepat langkahnya menuju dapur. "Sayang masak apa?" "Butter and cheese omelet, manggang garlic bread, also broccoli cheese." "Wanginya enak banget." "Duduk sayang. Sebentar lagi matang." Begitu semua sajian siap, Ben menghidangkannya di atas piring berwarna biru tua, meletakkan sepiring sarapan itu di hadapan Anne lengkap dengan secangkir s**u mocca hangat. "Kamu ga makan?" "Makan." "Ben..." "Kenapa sayang?" "Makasih ya..." lirih Anne. Setetes air mata mengalir dari kedua netranya. "Hey... Kok nangis? Something wrong, baby?" "Ngga." jawab Anne parau. "Makasih udah jadi suami yang sering nyebelin sekaligus terbaik di dunia." Ben terkekeh mendengar kalimat yang dituturkan Anne. "No body's perfect, sayang." jawabnya seraya mencengir. "Waktu mau lahiran, banyak banget teman-temanku yang bilang bakalan cape banget. Kalau laki mah taunya tidur doang. Pegang anak juga paling sebentar. Tapi begitu Safa lahir, kita rooming in, setiap kali Safa nangis pasti kamu bangun duluan. Semua kamu dan perawat yang urus, aku hanya nyusuin dan recovery. Kupikir begitu di rumah bakalan beda, kamu pasti lelah banget, pasti balas dendam tidur. Ga taunya, bahkan kamu selalu nemenin aku saat nyusuin Safa di tengah malam. Nyiapin air mandi aku. Mandiin Safa. Nyuciin baju dan popoknya Safa. Bikinin sarapan. I don't think even thank you is enough." "No need, baby. I just do what I can do. Syukur kalau kamu merasa dimudahkan dengan apa yang aku lakukan. We're partner, remember?" Anne mengangguk. "Makan ya. Mumpung Safa tidur. Aku di taman, berjemur sama Safa." "Sayang ga makan?" "Nanti habis kamu makan." "Aku bawa aja sarapannya ke taman." pinta Anne. "Aku suapin aja ya sambil kamu dan Safa berjemur?" tanya Ben lagi. Anne kembali mengangguk. "Tapi kamu juga makan." pinta Anne lagi. "Iya sayang." Anne mengulurkan kedua tangannya, menangkup wajah Ben lembut, menariknya mendekat, menagih ciuman hangat yang tak pernah sekalipun Ben lewatkan di pagi hari. "I love you, Ben..." lirih Anne saat Ben masih mengecupnya lembut. "I love you too, Anne... I love you so much."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD