BINTANG UTARA

2642 Words
"WOY!" panggil gue saat seorang cowok yang seragamnya bercorak sama melewati gue dengan motornya. "ELO YANG NAIK MOTOR!" pekik gue lagi. 'Ya Tuhan, kasih nengok dong itu cowok. Kalau dia balik gue jadiin pacar deh!' Gue menghentikan langkah gue. Menunduk 90 derajat dengan bertopang di kedua lutut. Capek. Sumpah rasanya capek banget. Jadi, sekolah gue ini pintu gerbangnya jauh banget di bawah. Sementara gedung sekolahnya di puncak bukit. Konyolnya lagi, ojeg ga boleh ngelewatin pintu gerbang. Ya ga cuma ojeg sih, antar jemput juga sama. Dan pagi ini, gue berangkat lebih lambat. Semalam perut gue nyeri karena datang bulan, yang akhirnya ngebuat gue kesulitan tidur sampai lewat dini hari. Ketebak kan, bangun kesiangan jadi kepastian. Gue udah berusaha supaya sampai tepat waktu dengan mandi bebek, ga sarapan dan ngejegat Mang Ujang yang baru mau berangkat ngojek online. Nyatanya, begitu gue sampai di depan pintu gerbang, bel tanda masuk waktu belajar berbunyi. Ngibritlah gue! Sayangnya, kemampuan gue berlari lintas alam kayak begini hanya bertahan setengah rute, masih ada setengah rute dengan medan full nanjak yang harus gue tempuh. Sumpah, gue gak kuat lagi. Ditengah lamunan gue, si pengendara motor ngelewatin gue lagi. Yup, dia berbalik, lalu berputar mendekati gue. Gue menegakkan tubuh tepat sebelum dia dan motornya ada di samping gue. "Apaan?" tanya cowok itu. "Ikut." jawab gue seraya terengah-engah. Dia hanya menggerakkan kepalanya ke belakang, yang gue pahami sebagai instruksi agar gue segera naik ke atas motornya. Begitu sampai di halaman depan gedung sekolah, cowok ini terus ngebonceng gue sampai ke depan pintu utama. "Turun." "Elo?" "Gue parkir dulu." "Tapi..." "Udah sana buruan. Sebelum bel kedua. Lo mau point lo dipotong?" Gue otomatis menggeleng. Oh iya, jadi bel pertama itu tanda masuk kelas, persiapan untuk mulai belajar. Bel kedua itu artinya sudah masuk waktu kegiatan belajar mengajar. Nah dari bel pertama ke bel kedua, artinya masih dalam toleransi keterlambatan. "Tapi, ga apa-apa deh, udah ayo cepetan parkir dulu!" gue masih keras kepala ga mau turun dari atas motor dia. Dia cuma mendengus. "Kan karena lo kita ga telat. Masa gue berkhianat dengan lari nyelametin diri sendiri?" ujar gue lagi. Dia ngelepas helm full face-nya, lalu mendekap helm itu di dadanya sebelum menatap gue dari kaca spion. 'Oh, God. Cakeeep...' "Ga sabaran banget ya lo? Kenal aja belum udah jadi kita?" ujarnya santai seraya mengedipkan sebelah matanya pada gue. 'Anjriiit!' Gue turun dari motornya, maksudnya mau ngomong face to face supaya jangan ngaco ngambil kesimpulan sendiri. Ya biarpun tadi gue bilang kalau dia balik nyamperin gue, bakal gue jadiin pacar, tapi kan ga begini juga. Sayangnya, baru aja gue benerin ransel dan hendak melangkah ke samping dia, itu cowok udah ngegas motornya lagi dong! Ninggalin gue! "BURUAN MASUK DULUAN SAYANG!" pekiknya. Astaga! Mimpi apa gue semalam! --- "Anak-anak, hari ini kalian kedatangan seorang teman baru. Ibu panggil ya?" ujar Bu Fitri wali kelas kami, memotong di tengah pelajaran Biologi yang baru berjalan satu jam pelajaran. Begitu Bu Fitri membuka pintu kelas kami, dia - cowok yang tadi membolehkan gue menumpang, melangkah masuk ke dalam kelas. "Silahkan perkenalkan dirimu, nak." ujar Bu Fitri lagi. Cowok itu mengangguk. Kedua netranya menyapukan pandangan seraya tersenyum, kaku. Gue pun mengamati penampilan dia yang ga tertutup jaket dan helmnya. Kulitnya putih bersih, wajahnya pun begitu - ada sih sedikit noda kemerahan yang gue pikir karena dia mau jerawatan, plus sekumpulan freckles yang bikin dia makin manis, rambutnya hitam legam dengan potongan messy french crop - kayaknya dia tipe cowok yang ga suka ribet, kemejanya dimasukkan asal ke dalam celana panjangnya - yang artinya baru dia masukin buru-buru begitu akan melaporkan kehadirannya hari ini ke guru piket, celananya berpotongan slim fit sepanjang mata kaki, sepatunya - sepatu kets biasa yang dipakai anak-anak sekolah kayak gue. Tapi yang menarik perhatian gue adalah, beberapa tindikan ke telinga kanan dia. Jujur boleh? Gue ga suka tipe cowok kayak dia. "Pagi semua, saya Bumi. Salam kenal." "Pindahan dari mana?" tanya Agisti, salah seorang teman gue yang duduk di barisan depan. "Home schooling." "Ooo..." sekelas kompak seriosa. "Pacar?" "Huuuuu!" seriosa lagi, dengan maksud yang berbeda. Kali ini tertuju pada Citra yang terkenal paling centil sejagad XII IPA. Bumi tak menjawab, hanya memasang wajah datar. "Ada pertanyaan lagi?" tanya Bu Fitri kembali pada kami. Kami kompak menjawab, tidak atau menggeleng. Setelahnya Bu Fitri mempersilahkan Bumi untuk duduk di pojok belakang sebelah kanan kelas ini. Mengikuti putaran yang sedari awal berlaku di kelas kami. "Bumi..." panggil Bu Fitri lagi. Bumi kembali berdiri dari tempatnya duduk. "Ya, Bu?" "Besok jangan terlambat lagi ya, nak? Mulai besok pemotongan point kedisiplinan juga berlaku untuk Bumi." "Baik, Bu." ujarnya santun. Sekilas, ia melirik padaku. Nyaris tak ada yang berbeda hari ini, kecuali sosok Bumi yang kini ada di tengah-tengah kami. Bumi tak banyak bicara, hanya menjawab kala salah satu dari kami bertanya, pun hanya tersenyum kala salah satu dari kami bercanda. Tak dingin, namun juga tak hangat. Hingga hari berakhir, gue dan Bumi hanya kembali saling menyapa lewat anggukan dan tatapan yang tak sengaja saling bertumbuk. "Hai." sapa gue saat gue melihat dia duduk di sebuah bangku kayu panjang di selasar bagian luar sekolah kami. Bumi mengangkat wajahnya, menatap gue, tersenyum. "Hai, sayang." balasnya. Dan gue tertawa renyah. Lalu duduk di samping dia. "Kok lo bisa kejebak hujan?" tanya gue. "Tadi gue ke ruang seni. Keasikan kayaknya. Sadar-sadar petir udah sahut-sahutan." "I see..." "Lo sendiri? Kenapa belum balik?" Gue ga menjawab. Hanya mendengus, lalu tersenyum kaku. "Gue mau tanya boleh?" tanya gue lagi. "Apa?" "Kok lo baru mutusin masuk sekolah umum di kelas XII?" "Pengen aja." "Serius?" Bumi mengangguk. "Sebelumnya, kenapa home schooling?" "Gue disleksia." "Oh?" "Tapi gue masuk sini tes kok. Dan lolos." "Dan IPA!" gue melengkapi pernyataan dia. "Karena kalau di IPS dan Bahasa mungkin nanti gue bisa ga lulus, Utara!" Gue terkekeh. "Kenapa nama lo Utara?" kali ini Bumi yang bertanya. "Soalnya bukan Selatan." Bumi terkekeh renyah. "Lo pengen jadi apa, Bumi?" tanya gue lagi. "Kenapa?" "Pengen tau aja." "Kalau elo?" "Ga tau. Masih bingung." "Kenapa?" tanya Bumi lagi. "Giliran gue ya! Lo dulu dong jawab pertanyaan gue. Kenapa juga lo malah nanya balik?" Bumi tertawa lagi. Gue, suka dengan suara tawanya. "Mau masuk ITB, Desain. Jadi desainer kayak Ayah dan Bunda." "Oh, Ayah dan Bunda lo desainer?" "Hmmm, Ayah ga sepenuhnya desainer sih, beliau Sarjana Kimia yang ga mau ambil S2, S3 dan seterusnya. Tapi, cintanya dengan melukis dan bermusik yang jadi penopang hidup kami selama ini." "I see... Jadi, lo mau ngikutin jejak Ayah lo? Masuk IPA, tapi nanti jadi anak Desain?" "Kurang lebih gitu." "Baru kali ini lo ikut sekolah umum?" "Ngga. Waktu SD sempat sekolah umum. Tapi ya gitu, kemampuan baca dan nulis gue lambat. Akhirnya diputusin untuk home schooling." "Baru di situ ketauan disleksia?" Bumi menggeleng. "Dari gue balita Ayah dan Bunda udah tau, SD gue pun waktu itu bukan yang ngejar akademis banget. Emang guenya yang sulit ngikutin." "Sekarang?" "Lumayan. Ga masalah sih. InshaaAllah." "Disleksia itu bukan genetik ya?" "Dalam kasus gue, bisa dibilang begitu. Om gue, Abangnya Bunda ada yang disleksia juga." "Oh ya?" "Iya. Tapi jadi arsitek tuh." "Serius lo?" "Iya. Kakek gue pun disleksia. Baru ketauan pas pendidikan dokternya. Beliau dari desa banget, jadi ya ga ketauan." "Kakek lo Dokter, Om lo Arsitek? Keduanya disleksia?" "Yup!" "Wah, Bumi... Gue penasaran sesukses apa lo kelak." "Lo mau doain gue sukses?" "Pasti! Asalkan lo juga doain gue hal yang sama." "Pasti, Utara!" Bumi tersenyum, hangat. Kenapa ya gue suka banget dengar suara tawa dia, juga suka banget lihat senyuman dia. "Bumi..." "Ya?" "Kok kuping lo ditindik?" Bumi malah terkekeh. "Biar kelihatan tough aja, Ra." "Cuma itu?" Bumi mengangguk tegas. "Cuma itu, Utara." "Ujannya udah berhenti. Masih gerimisan dikit sih, tapi gue ada jas hujan dua. Lo nunggu dijemput?" ujar Bumi lagi. "Ngga." "Mau gue antar?" "Lo ga nanya rumah gue dimana?" "Ga usah. Nanti juga tau. Kalau lo mau gue antar." "Kan bisa aja berlawanan sama arah rumah lo?" "Ga masalah, Utara." Gue terkekeh. Lalu mengangguk. "Oke. Anter gue ya Raya Bumi Wisesa." "Oke, Utara!" "Lo ga inget kan nama lengkap gue?" "Oh tenang aja. Ingatan gue kayak gajah, Starla Utara Nataprawira." Lagi-lagi gue terkekeh. Sepertinya, bercanda sama cowok di samping gue ini ga akan ada habisnya. Gue berdiri dari tempat kami duduk, melangkah lebih dulu setelah menyampirkan ransel gue di belakang punggung. "Utara!" "Ya?" Tiba-tiba aja, kedua tangan Bumi melingkari pinggang gue. Gue membeku. "Sorry, Ra..." lirihnya pelan. Gue menunduk, menatap kedua tangannya yang sedang membentuk simpul pengikat. Mengikatkan kedua lengan jaketnya agar kukuh melingkar di pinggangk gue. "Lo lagi haid ya?" bisiknya lagi. Ya Tuhan, gue udah ga ngerti gimana muka gue sekarang. "Bumi..." hanya itu yang bisa gue lirihkan. Bumi tersenyum, dekat banget dengan wajah gue. "Ga apa-apa. Santai aja sama gue. Lo mau ganti dulu?" "Pembalutnya udah habis." lirih gue lagi. "Ya udah, langsung pulang aja ya?" Gue mengangguk, menuruti ajakannya. "UTARA!" pekik seseorang yang suaranya sangat gue kenal. Harsa. Cowok yang beberapa saat lalu baru aja mutusin gue. Ya, mutusin gue! Gue menoleh, begitupun Bumi. "Gila! Langsung mepet anak baru aja lo!" ketus Harsa ke gue, lalu melirik benci pada Bumi. Bumi diam saja. "Lo masih ada perlu sama gue?" tanya gue datar. "Oh, iya. Nih!" ujarnya lagi. Sinis. Menyodorkan gantungan kunci yang pernah gue hadiahkan sebagai pemanis kunci mobil dia. Waktu itu, gue merajut sendiri gantungan kunci itu. Gue mengulurkan tangan, hendak menerima benda berwarna gradasi biru itu. Jahat, Harsa sengaja melepaskannya sebelum gue bisa meraih benda itu. Gantungan kunci itu terjatuh, basah dan kotor oleh genangan air hujan. Gue, terdiam sendu. Bumi merendah, mengambil benda yang masih membuat gue tertunduk lesu. Sementara telinga gue kembali mendengar tawa sinis Harsa. "Bucin banget lo!" sinis Harsa pada Bumi. "Lo masih ada urusan lagi sama Utara?" "Suka-suka gue! Kenapa? Lo ga suka gue dekat-dekat cewek lo?" "Utara lagi ga enak badan. Gue harus antar dia pulang." Harsa tertawa geli, lalu mengangguk. "Gih!" ujarnya lagi. "Jangan sedih lama-lama, Ra! Belum juga sehari udah sakit aja!" sindirnya tepat sebelum Bumi menyalakan mesin motor. Entah apa yang ingin dikatakan oleh Harsa lagi, di saat ia membuka mulutnya, Bumi sengaja membuat motornya meraung. Sekali, dua kali, tiga kali, berkali-kali setiap kali Harsa mulai menggerakkan bibir. "Minggir kalau lo ga mau kecipratan kubangan!" sinis Bumi. Harsa memberi jarak. Bumi pun tak menunggu, melajukan motornya meninggalkan sekolah kami dan Harsa yang memaki kami keji. --- Sejak hari itu, Bumi laksana pelindung gue. Rasanya ga pernah sehari pun gue lepas dari pengawasan dia. Bumi ga selalu menempel pada gue, tapi dia ga pernah juga ngebiarin gue sendiri. Bumi ga pernah berkomentar tentang segala cerita gue, kecuali saat gue memintanya, tapi dia selalu sabar mendengarkan gue mengoceh. Harsa pun lambat laun menjauh, ga lagi mendekati gue yang sekedar untuk membuat gue semakin terluka. Penyebabnya? Dia pernah babak belur karena Bumi, tanpa Bumi sentuh sama sekali. Aikido. Gue pun baru tau, Bumi piawai memainkan bela diri itu. Dan hari ini, hari terakhir gue menetap di kota Bandung. Mulai lusa, gue akan jadi pendatang di pinggir Jakarta. Mengenyam pendidikan tinggi pilihan gue sendiri. Support dari Bumilah yang membuat gue berani mengambil jurusan ini. Jurusan yang awalnya menjadi impian gue, lalu menjadi ketakutan terbesar gue saat Ayah pergi untuk selamanya karena direnggut paksa sebuah penyakit yang bernama kanker darah. Bumi berkali-kali menasehati gue, jika memang ini impian gue, mungkin suatu saat nanti akan banyak anak-anak yang ga bernasib seperti gue, yang Ayah mereka sembuh dari penyakit yang sama seperti yang Ayah gue derita. Ya, berkali-kali Bumi bicara seperti itu. Sampai akhirnya gue pun teguh, kembali menginginkan impian yang sempat meredup ini agar terwujud. "Utara..." panggil Mama seraya mengetuk pintu kamar gue. Gue membuka pintu itu, menjawabnya. "Ya, Ma..." "Itu, Bumi sudah datang." "Oke!" Gue keluar dari kamar. Membawa tas ransel dan satu tas lagi yang gue genggam. "Yakin Mama ga perlu antar?" "Ga usah, Ma... Mama istirahat aja. Kan udah capek bikin bekal macam-macam buat Utara." "Ya sudah." Gue dan Mama berjalan beriringan, menemui Bumi yang sedang asik menirukan mulut ikan arwana gue. "Kesiangan, Bumi!" "Apaan?" "Kesiangan buat gila!" ujar gue. Mama mencubit lengan kiri gue yang malah bikin gue mencengir lebar. "Udah? Itu doang bawaan lo?" "Iya, udah. Kan kita udah tiga kali bolak balik kosan gue." "Lo doang yang ga ngasih hadiah padahal udah tiga kali! Piring cantik kek lo kasih gue!" sinis Bumi, lagi-lagi gue cuma bisa ngikik. "Emang lo mau hadiah apa sih?" "Traktir!" "Apaan?" "Ntar aja deh liat di sana." "Oke. Tapi jangan mahal-mahal!" "Oke!" "Paling ujung-ujungnya Bumi juga yang bayar!" sindir Mama. Bumi terkekeh. Gue mesem-mesem. Tau aja emang si Mama. Gue mah ngomongnya doang nraktir, ujung-ujungnya Bumi juga yang bayar. Secara dia ga suka dibayarin cewek. Eh, ga suka dibayarin gue katanya. Gue kan cewek! Usai memasukkan bawaan gue ke dalam MPV Bumi dan pamit sama Mama, kami pun meninggalkan kediaman gue. Selama di mobil, hal yang sama selalu kami lakukan, bernyanyi dan tertawa bersama hingga terbatuk-batuk. Kami tiba di kosan gue tepat saat adzan magrib akan berkumandang. Selesai menurunkan semua bawaan, Bumi berlari kecil menuju masjid, mengejar shalat berjamaah, sementara gue bersegera ke kamar, sholat, lalu membereskan makanan-makanan yang dibekali Bunda supaya ga basi atau rusak. Gue mengambil ponsel gue saat deringnya memanggil-manggil. Nama Bumi tertera di sana. Tandanya, Bumi sudah menunggu gue di depan kosan. Kosan gue ini memang khusus cewek. Ga sembarangan cowok bisa masuk ke sini. Sebenernya kosan begini sekarang udah ga banyak, paling mahasiswa-mahasiswa sederhana kayak gue aja yang masih ngekos. Kebanyakan mahasiswa sekarang nyewa apartemen. Ada yang sendiri, ada yang berdua sampai berempat, tergantung kamar yang tersedia dan kebijakan pemilik. "Bumi..." panggil gue dari kaca jendela di sisi pengemudi. Bumi sudah ada di dalam mobilnya. Hanya ingin berpamitan sebelum dia kembali ke kota Bandung. "Ra... Masuk dulu." Gue mengangguk, lalu melangkah masuk ke kursi di sampingnya. "Apa?" "Gue balik ya?" "Iya. Thanks ya Bumi." "Sama-sama." "Masih ngarepin hadiah?" tanya gue. "Iya. Masih sih. Kan tadi makan gue yang bayar!" Gue lagi-lagi terkekeh. "Oke. Lo merem deh." "Kok merem?" "Kan hadiah." "Ya ga usah pake merem kali!" "Biar seru, Bumi." Bumi mendengus. Tapi nurutin keinginan gue. Dia, memejamkan matanya. Gue mendekatkan diri, mengikis jarak kedua wajah kami, mendaratkan kecupan kecil di pipi kanannya yang membuatnya terkejut seraya membuka kedua netra. "Ra..." "Thanks ya, Bumi... Buat semuanya. Ga cuma karena udah nganter gue bolak balik ke sini. Tapi terima kasih untuk semuanya..." "Utara..." "Gue sayang elo. Tapi gue ga mau jadian sama lo, Bumi. Gue takut banyakan mikirin lo daripada mikirin kuliah gue." Bumi tersenyum. Hangat. "Mau peluk?" tanyanya. Gue mengangguk. Bumi mengulurkan kedua tangannya, meminta gue masuk ke dalam rengkuhannya. Hangat. Sama seperti senyumnya, pelukannya bahkan lebih hangat. "Ra..." "Ya?" "Should we kiss?" "Bumi..." "Farewell kiss." Gue mengangkat tubuh gue, menatap kedua netra Bumi yang juga lekat menatap gue. "Gimana kalau habis kissing kita malah saling jatuh cinta?" tanya gue. "Then, I'll see you again." "For what?" "For asking you to be mine." "Bumi..." "Hari dimana, lo kembali menjadi bintang utara bagi gue. Bintang yang paling terang. Yang ga pernah terbenam. Yang selalu menjadi penunjuk arah." "Bumi..." "Capai cita-cita lo, Utara. Gue akan selalu jadi Bumi yang lo kenal. Sahabat lo yang diam-diam mencintai lo. Begitu cita-cita lo terwujud, gue akan datang secara khusus, meminta lo mengabulkan permintaan gue, menjadi bintang utara - sang polaris - hanya untuk gue." "Bumi, lo bikin gue berharap." "Lo selalu punya gue Utara. Gue ga akan kemana-mana. Gue tetap Bumi yang lo kenal." Gue mengangguk. Lalu mengulurkan kedua tangan gue, mencengkram T-shirt berwarna hitam yang Bumi kenakan. Menariknya perlahan mendekat. Bumi menempelkan bibir kami, saling mengecup beberapa saat. Hangat. "Baik-baik ya, Utara. Kabarin Bumi kalau ada yang diperluin. Atau kalau ga ada yang diperluin juga kabarin aja." Gue tertawa renyah, tapi juga mengiyakan permintaannya. "Bumi..." Gue meraih telapak tangannya. Menuliskan isi hati gue di sana. Bumi tersenyum, lalu mengelus lembut pipi kanan gue. "Me too." lirihnya merdu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD