AMANDA

3314 Words
Nama gue Jupiter Alexander. Umur gue 17 tahun, dan sekarang gue duduk di kelas XI. Gue beken dengan nama panggilan Alex. Tapi selayaknya ujian yang pasti datang saat kita lagi seneng-senengnya, di sekolah ini, ada juga satu orang yang seneng banget manggil gue dengan nama yang ga enak banget didengar. Lo tau kan permen yang kenyal-kenyal jajanan kita waktu masih kecil? Nah, itu cewek selalu manggil gue dengan nama produk itu. Yupi! Kadang ditambahin embel-embel 'baby' yang pronunciationnya b-a-b-i. Haduh, langsung migrain gue kalau inget tuh cewek. Udah mau jam 6.30 nih, sebentar lagi itu cewek pasti muncul di kelas gue! "BABY... YUPI BABY!" Nah bener kan. Baru juga kepikiran udah nongol. Sekali lagi gue bilangin, bukan baby yang artinya sayang, tapi b-a-b-i! Kalau bukan cewek, udah gue gebok ini orang! Dia jalan ke meja gue yang posisinya tepat di depan meja guru. Gue, kalem. "Yupi... Bantuin ngerjain pe er." ujarnya sambil duduk di samping gue setelah mengusir Gama teman sebangku gue. "Pe er dikerjain di rumah! Bukan di sekolah!" ketus gue. "Yupiii... Kan gue ga ngerti." "Males ah!" "Ih Yupi mah... Gue ga ngerti." "Amanda Zhafira Dewantara! Ogah! Gue males!" Apa yang lo harapkan? Dia nurut dan balik ke kelas dia? Kagak! Dia cuek aja buka buku matematikanya, lalu nyodorin buku yang masih mulus tanpa cacat itu di depan gue. "Nih, yang ini." Gue masih pura-pura cuek. "Ya udah, nanti kalau gue dapet kiriman coklat dan permen dari London lo ga gue bagi! Ogah! Gue males!" omel Amanda seraya menutup kembali buku cetak matematikanya. Gue otomatis megang tangan dia, mencegah dia ngambek lalu pergi ninggalin gue. "Jangan gitu dong. Sini-sini gue bantuin." Gue buka lagi bukunya dia, meraih pensil mekanik yang berada di tengah lekukan buku tulisnya. "Jangan dicoret-coret buku cetaknya." "Ini buku masih mulus banget lho Nda. Lo ga pernah belajar ya?" "Nanti kalau mau disumbangin kasian bukunya lusuh." "Apaan?" "Ya nanti kalau udah lulus, bukunya mau gue sumbangin, makanya jangan dicoret-coret, jangan dibikin lusuh. Udah sih buruan! Lama banget lo baby!" Keluar lagi kan tuh b-a-b-i! "Turunan pertama fungsi f(x)= (4x^2−12x)(x+2) adalah... coba lo kerjain dulu." Amanda mengambil pensil yang tadinya ada di tangan gue, lalu menulis ulang soal matematika itu di buku tulisnya. f(x)= (4x^2−12x)(x+2) -> f'(x)= (8x−12)(1)= 8x-12 "Tuh, ga ada jawabannya baby!" Gue mendengus. Urut d**a. Jedotin kepala gue ke meja. 'Ampooon Tuhan!' "Yupi!" omel Amanda lagi. Gue narik nafas, nenangin diri biar ga stroke. "Amanda, ini dikaliin dulu semuanya." ujar gue lembut. Kata Mama ga boleh kasar sama cewek. Walaupun gue ga paham cewek di sebelah gue ini jenis apaan. Gue pun ikut menulis di lembaran buku dia. f(x)= (4x^2−12x)(x+2) "4x2-nya dikaliin sama x, terus kaliin sama 2. Lakukan hal yang sama dengan si 12x. Jadinya..." f(x)= 4x^3+8x^2-12x^2-24x= 4x^3-4x^2-24x "Sampe sini ngerti ga?" "Ngerti." jawab Amanda sambil mengangguk. "Baru di turunin, Nda. Coba lo yang turunin!" Gue nyodorin lagi pensilnya dia, dia ambil sambil mikir, lalu kembali menggores ujung granit itu dengan permukaan kertas. "Berarti jadinya... f'(x)= 12x^2-8x-24... Gini?" "Pinter!" "Berarti jawabannya E." "Iya." "Okeee! Ya udah, gue balik dulu, nanti kalau ga ngerti gue tanya lo lagi." "Di kelas lo emang ga ada yang bisa ditanya?" "Banyak! Tapi gue maunya sama lo!" "Serah lo deh!" "Bye, Yupi... Yupi, baby!" "Hmm!" Jam istirahat pertama, Amanda ga datang ke kelas gue. Aneh banget lho ini. Tapi ya gue syukurin aja, jarang-jarang itu anak ga gangguin gue. Gue ngeluarin roti keju dan tumbler yang berisi es mocca, bekal yang Mama bikin buat gue. Baru aja gue mau ngegigit ini roti, pikiran gue tiba-tiba berasa ga tenang. Duh, ada apa ya? Gue masukin lagi roti yang akhirnya ga jadi gue makan. Pikiran pertama gue adalah Amanda. Tanpa pikir panjang, gue beranjak dari tempat gue duduk, melangkah cepat ke kelas Amanda. "Ris, Amanda mana?" tanya gue pada Risa, teman sebangkunya. "Ga tau. Tadi katanya ke toilet." Gue berbalik, berjalan cepat menuju toilet. Sampai di depan toilet cewek, gue diam di sana, menunggu siapapun keluar untuk menanyakan Amanda. Yang pertama keluar adalah gengnya Aurel. Aurel ini cewek yang manis banget, kesannya lembut dan elegan, jauh deh sama Amanda yang terkesan cuek, tomboy dan ga bisa diam. Tapi lo tau? Feeling gue selalu horor tiap berhadapan sama ini cewek. "Ngapain lo?" tanya Lea, teamnya si Aurel. "Ada Amanda ga di dalam?" "Dih, mana gue tau!" ketus Lea. Di sampingnya Aurel tersenyum begitu manis, sementara Ilse - team Aurel lainnya tersenyum sinis pada gue. "Ya biasa aja kali, ga usah ngegas gitu! Gue nanya bukan ngajak ribut! Sopan dikit kalau jawab orang!" balas gue pada Lea. Apa-apaan tuh cewek. Dipikir gue ga bisa nyolot apa? "Lo..." "Lea, udah!" potong Aurel. Gue pun diam, hanya memandang Lea tajam. Feeling gue ga enak banget. "Ga ada, Alex. Amanda ga ada di dalam. Coba aja lo cek biar makin yakin." ujar Aurel lagi. Gue mengangguk, lalu pergi meninggalkan mereka bertiga. Mengitari halaman sekolah gue, mencari kemungkinan keberadaan Amanda. Nihil. Gue ga nemuin Amanda di manapun. Biasanya kalau jam istirahat begini dia ke musholla dulu, dhuha. Rajin dia mah dhuhanya. Abis itu dia balik ke kelas, bawa kotak bekalnya, nyamperin gue. Udah gitu, kita bakalan bagi dua bekal kita, Amanda nyomot setengah punya gue, gue pun gitu. Makanya gue heran kok tadi dia ga datang. Bel tanda istirahat pertama berarkhir pun berbunyi. Gue lari di selasar, lanjut naik tangga, lalu terus ke arah kelas gue. Kalau mau ke kelas gue, pasti gue lewat kelasnya Amanda. Nah, pas banget gue nengok, Amanda udah ada di kursinya. Ngerebahin kepalanya di atas meja, menghadap ke dinding. Dia emang duduk tepat di samping dinding. Deretan ke tiga dari baris di depan meja guru. Duh, perasaan gue ga enak banget. Pas jam istirahat siang, gue buru-buru keluar kelas, mau nyamperin Amanda lagi. Baru aja gue sampai di depan kelasnya, Risa udah geleng-geleng ke gue. "Amanda mana, Ris?" "Tadi dijemput Papinya. Pulang." "Ada apa? Kok Amanda ga bilang apa-apa ke gue?" "Ga tau, Lex. Tadi abis istirahat dia minta ke klinik." "Sakit?" "Ga tau. Diam aja gue tanya." "Ya udah, thanks ya." Risa mengangguk. Gue keluar dari kelasnya, mengambil ponsel gue lantas men-dial nomor Amanda. Ponselnya mati. Ga bisa dihubungi sama sekali. Akhirnya gue pikir better gue message dia aja dulu. Nanti pasti dia baca kan? [Jupiter Alexander]: Amanda... [Jupiter Alexander]: Lo kenapa? [Jupiter Alexander]: Kata Risa lo sakit? [Jupiter Alexander]: Kok ga bilang gue, Nda? [Jupiter Alexander]: Pulang sekolah gue mampir ya? [Jupiter Alexander]: Jangan sakit, Nda... Ga asik ga ada lo. [Jupiter Alexander]: Istirahat ya biar cepat sehat. Gue menutup aplikasi pesan singkat itu, menatap foto gue dan Amanda yang jadi wallpaper ponsel gue. Ini wallpaper bukan gue yang masang, tapi Amanda. Segigih apapun gue ganti, tetap aja lagi-lagi diubah jadi foto kami berdua sama dia. Sampai akhirnya gue malas dan ngebiarin ini wallpaper apa adanya semau Amanda. 'Ya Allah, Amanda kenapa?' Sepulang sekolah, gue langsung minta Pak Hamid driver gue untuk mampir ke rumah Amanda. Sampai di sana, Tante Meta - Maminya Amanda yang nyambut gue. "Maaf, Tante. Tadi kata Risa, Amanda sakit? Alex boleh ketemu, Tan? Soalnya tadi pagi masih ngerjain tugas sama Alex dan baik-baik aja." ujar gue. Gue yakin, Tante Meta tau kalau gue khawatir banget. Ya gimana ga khawatir, ini Amanda lho... Amanda yang walaupun sakit masih aja cengengesan, dan tau-tau dia pulang gitu aja, ga bilang gue. Gue lho, gue! "Amanda ikut Papinya ke Jogja." Gue mengerutkan kening, bingung dengan jawaban Maminya Amanda. "Bukannya lagi sakit, Tan?" "Iya, tapi tadi minta ikut Papinya." Sumpah gue makin bingung. "Emang ga apa-apa malah pergi gitu, Tan?" "Ga apa-apa inshaa Allah. Ada sahabat Papinya yang mau buka cabang di Jogja, jadi lagi ngurus-ngurus ijin perusahaan." "Oh." Gue ga ngerti harus bilang apa lagi. Sedih, sedih banget rasanya. Entah kenapa, gue yakin banget ada yang ga beres. "Tante, ada apa sama Amanda?" "Ga ada apa-apa, nak." "Amanda ga pernah begini, Tante." "Nanti, Alex tanya sendiri ke Amanda ya?" "Berarti benar ada yang terjadi sama Amanda ya, Tan?" "Tante ga bisa bilang apa-apa. Amanda yang minta. Jadi, nanti kalau Amanda sudah siap cerita, Alex bisa tanya langsung ya?" Gue kelu. Jantung gue seperti ada yang meremas. Sakit banget rasanya. "Ya udah, Alex pulang ya Tante. Tolong bilang sama Amanda kalau Alex ke sini." "Iya, nak." "Assalammu'alaikum, Tante." "Wa'alaikumsalam." *** Hari ini udah hari Jumat lagi, yang artinya sudah masuk hari ke empat hidup gue tanpa Amanda. Amanda benar-benar kayak hilang ditelan bumi. Ga ada kabar. Ponselnya pun ga nyala sama sekali. "Ris, Amanda belum masuk?" tanya gue pas jam istirahat pertama hampir berakhir. "Lex, lo belum tau?" Risa malah balik bertanya. "Tau apa?" tanya gue lagi, bingung. "Amanda mau pindah sekolah." "Hah?" "Papinya lagi di ruang Kepala Sekolah sekarang." Gue langsung lari, secepat mungkin, menuju ruang Kepala Sekolah di lantai dasar gedung ini. Sesampainya di sana, gue mundar-mandir, nunggu Om Ian keluar. Bel sekolah yang berbunyi ga gue perduliin. Gue panik. Gue ga mau kehilangan Amanda. "Om." tegur gue begitu Om Ian keluar dari ruang Pak Syarif - Kepala Sekolah gue. "Ngapain kamu Alex, bukannya masuk kelas?" tanya Pak Syarif. Gue mengangguk sopan. "Ada perlu dengan Papinya Amanda sebentar, Pak." "Tak apa, Pak." ujar Om Ian pada Pak Syarif. Pak Syarif mengangguk, memberi ijin. "Ada apa Alex?" "Amanda kenapa, Om?" Om Ian mendengus, lalu tersenyum. "Nanti saya hubungi kamu kalau Amanda sudah mau dikunjungi." Gue terdiam. Kelu. 'Ya Allah, Amanda kenapa?' "Om..." "She's ok. Hanya butuh waktu untuk istirahat." Sepanjang sekolah hari ini, perasaan gue benar-benar buruk. Pikiran gue terus tertuju pada Amanda. Berkali-kali gue coba hubungi dia masih juga ga bisa. Dan berkali-kali juga gue ditegur guru karena ga fokus hari ini. Kacau, hati dan pikiran gue benar-benar kacau. Begitu bel tanda usai sekolah berbunyi, gue langsung lari ke parkiran sekolah, nyuruh Pak Hamid biar pulang duluan, lalu berlari lagi ke pinggir jalan utama, naik ojeg untuk ke rumah Amanda. Kalau sama Pak Hamid bakalan lama, jalan sekolah gue macet parah kalau jam masuk dan pulang sekolah. Gue berkali-kali menekan bel begitu sampai di rumah Amanda. Om Ian akhirnya keluar, membukakan pagar di hadapan gue. "Assalammu'alaikum, Om. Saya mau ketemu Amanda." "Wa'alaikumsalam. Amanda belum mau ditemui, Lex." "Sebentar saja, Om. Saya mohon." Om Ian menarik nafas panjang. Lalu mengangguk, menyuruh gue duduk di halaman muka rumah itu, sementara beliau memanggilkan Amanda. Sekitar sepuluh menit kemudian, beliau kembali. Menggelengkan kepalanya. Kedua netra gue terasa panas. Gue ga ngerti kenapa Amanda begini. "Pulanglah. Nanti Om bujuk lagi, begitu Amanda mau bertemu, Om sendiri yang akan hubungi kamu." "Amanda kenapa, Om?" Lagi, Om Ian hanya menggeleng. Gue melangkah lesu. Begitu gue dengar pagar kembali dikunci, gue berbalik, menatap punggung Om Ian yang menjauh, lalu hilang di balik pintu utama rumahnya. Langkah gue ga gue lanjutkan. Membeku di depan kediaman Amanda. Hingga hari semakin sore, langit yang tadinya cerah berubah kelabu, guntur mulai bersahutan. Dan gue masih terdiam, enggan meninggalkan Amanda. Gimana mungkin gue meninggalkan cewek yang begitu gue sayang? Air mata gue menetes bersamaan dengan rintik hujan yang turun dengan derasnya. Rindu, gue rindu Amanda yang ga pernah cape gangguin gue. Gue rindu Amanda yang selalu ceria. Gue rindu Amanda yang manggil gue Yupi b-a-b-i. Gue rindu lirihan Amanda yang bilang "Amanda sayang Yupi" beberapa kali, dan gue selalu pura-pura tertidur dan ga mendengar ucapan dia. Gue rindu... Gue rindu Amanda. Entah sudah berapa lama hujan terus mengguyur gue dan gue hanya bisa membatu. Dan entah sampai kapan gue akan menyerah, meninggalkan tempat ini. Gue takut, gue takut kalau gue pergi, gue ga akan punya kesempatan untuk ketemu lagi dengan Amanda. "Amanda..." lirih gue. Entah Tuhan mendengar isi hati gue, entah salah seorang penghuni rumah ini ada yang ga sengaja melihat gue masih terdiam di sini, pintu utama rumah kembali terbuka. Amanda. Amanda yang keluar, membuka payung, lalu melangkah mendekati gue. "Yupi! Yupi ngapain?" isaknya. Gue pun ga berhenti nangis sedari tadi. "Nda..." lirih gue. Gue meluk Amanda, ga memperdulikan keadaan gue yang basah kuyup. Amanda membalas pelukan gue dengan sebelah tangannya yang bebas, menepuk-nepuk lembut punggung gue. "Yupi, lo bisa sakit hujan-hujanan gini." lirihnya, masih dengan isak tangis. Gue mengurai pelukan kami, menatap kedua netranya seraya menangkup wajah mungilnya. "Gue kangen, Nda..." "Maaf..." lirih Amanda lagi. "Amanda, Alex, masuk! Jangan hujan-hujanan begitu!" pekik Om Ian dari depan pintu rumahnya. Gue mengangguk, begitupun Amanda. Usai membersihkan diri dan mengganti baju gue dengan bajunya Bian - adiknya Amanda yang badannya gedean dia dari gue - gue melangkah mendekati cewek imut itu yang lagi duduk termenung di depan dinding kaca yang berbatasan langsung dengan balkon lantai dua rumah itu. Gue duduk di sampingnya, tersenyum saat dia memalingkan wajahnya, menatap gue lekat. "Bukannya enak, ga ada yang gangguin Yupi?" "Ga enak, Nda..." "Kenapa pindah, Nda?" tanya gue lagi. Amanda kembali terdiam. Dia nyandarin kepalanya ke bahu gue. Ya Tuhan, gue tau banget ada yang ga beres. Tapi apa? "Amanda..." lirih gue saat mendengar kembali isak dia. Gue merubah posisi gue, duduk tegak lurus dengan tubuhnya, melingkarkan satu kaki gue di belakang tubuh dia seraya merangkulnya lembut. "Bilang sama gue, lo kenapa Nda?" Amanda memandang gue, air matanya masih aja netes sedari tadi. Gue mengikis jarak, terdiam sesaat di depan bibir dia, lalu melanjutkan, mengecup singkat. "Nda... Bilang Yupi..." ucap gue lagi. Gue sadar kok, Yupi itu panggilang sayang dia buat gue. Amanda justru hendak membuka kancing piyamanya. Gue tersentak, tangan gue yang bebas segera menahannya. "Nda... Ngapain?" tanya gue panik. "Yupi mau tau kan?" "Iya, tapi Nda ngapain?" "Lihat. Lihat aja." isaknya pelan. Gue melepaskan cengkraman gue di tangannya, membiarkan dia membuka tiga kancing teratas kemejanya. Baru saja dia mau menyibak, gue memejamkan kedua netra gue. "Lihat, Pi..." Kembali kedua netra ini gue buka, dan gue menganga, menatap bekas lebam di ujung tulang selangka bagian kanannya. Kedua netra gue kembali memanas. Siapa yang melakukan ini? "Nda..." lirih gue. Parau. "Aku sampai ga bisa nafas, Pi..." isaknya sendu. Gue kembali memeluknya, membawanya ke pelukan gue. "Siapa, Nda? Siapa yang bikin kamu begini?" "Aku takut, Pi... Papi aja ga pernah mukul aku. Bian ga pernah kasar sama aku. Mami dan Kak Sofi sayang sama aku. Aku takut, Pi..." Gue mengeratkan pelukan gue, membiarkan Amanda menangis sepuasnya. Demi Tuhan, orang yang melakukan ini akan menerima ganjarannya! "Nda... Bilang Yupi... Siapa yang bikin Nda begini?" "Ga usah, Pi... Biar aku aja yang pindah." "Oke. Kamu pindah. Tapi kalau dibiarkan, dia bisa melakukan hal yang sama terhadap orang lain, Nda..." Amanda hanya diam. Sementara gue sibuk memutar setiap kejadian di hari terakhir gue bertemu Amanda. Dan seketika, ketika celah kilas balik itu terhenti, kedua netra gue membola. "Aurel." Amanda mendongak, menatap gue lekat saat gue mengucapkan nama Aurel. Dan saat itu gue tau, Aurel yang melakukannya. "Benar kan, Nda?" "Yupi... Jangan..." "Ngga, Nda. Ini udah kriminal. Kalau dibiarkan bisa ada korban lain. Aku ga akan tinggal diam!" Amanda hanya diam. "Dengar, kamu boleh pindah. Kita bisa ketemu setiap weekend, aku yang ke sini, datangin kamu. Tapi masalah ini ga bisa dibiarin, Nda." "Yupi ga nanya masalahnya apa?" "Ga penting, Nda. Satu-satunya yang penting dia bikin cewek aku begini. Dan aku ga akan biarin dia lepas begitu aja." "Emang kita jadian?" ujarnya manja, memberengut. Gue tersenyum. Amarah gue laksana ter-skip begitu saja. "Kan tadi kita kissing. Berarti udah jadian." ucap gue lembut. "Emang Yupi suka sama Nda?" "Banget! Sayang, Nda." "Beneran?" Gue mengangguk seraya tersenyum. "Nda juga." lirihnya pelan. "Iya, Yupi tau. Kan Nda udah lima kali bilang pas Yupi pura-pura tidur." "Hah?" Gue terkekeh, lucu melihat wajah sendunya yang terkejut. "Ih, Yupi..." "Ga apa-apa. Ga usah malu. Oke?" "Oke." "Ya udah, aku bilang Papi ya? Ini harus diselesaikan, Nda." Amanda mengangguk. Gue berdiri, pun membantu Amanda beranjak dari tempatnya duduk. Kami berdua berjalan beriringan, menyampaikan permasalahan ini pada orang tua Amanda yang belum mengetahui siapa yang melakukan tindakan kejam itu pada puteri mereka. *** 'BRAK!' Gue membuka lebar lemari loker milik Lea begitu dia hendak menutupnya. Lalu mendorong bahunya dengan bahu gue, membuatnya mundur beberapa langkah, sementara gue sudah diam di depan lokernya. "APA-APAAN LO?" pekiknya. "Diam lo!" tegas gue sambil mengenakan sarung tangan di kedua tangan gue. Ga perlu teriak sama cewek bar-bar model begini. Ngabisin tenaga! Gue ngambil tongkat estafet yang terbuat dari kayu di dalam lokernya, lalu memasukkan benda itu ke dalam plastik bening. "ALEX!" teriak Lea lagi, kali ini sambil berusaha merebut tongkat itu dari tangan gue. Gue mengangkat tangan gue tinggi hingga Lea ga bisa meraihnya. Teman-teman gue udah pada berkumpul di sekeliling kami, penasaran dengan pekikan Lea yang tak berjeda sedari tadi. "LEA! DIAM!" kali ini Pak Syarif yang datang mendekat. Di belakangnya, Om Ian, Tante Meta, dan seorang pria yang sebaya Om Ian berjalan berdampingan. Lea membeku. Gue melangkah, mendekati Ilse, mengulurkan tangan kanan gue. "Apa?" lirihnya ketakutan. "Ponsel lo!" "Buat apa?" "Lo tau buat apa!" Ilse menggeleng cepat. "LO GA BISA ASAL NUDUH BEGITU, LEX!" pekik Aurel. Gue tertawa sinis. "Nuduh apa? Gue ga bilang apa-apa dari tadi!" sindir gue. Aurel pias. "Siniin!" perintah gue lagi pada Ilse. Ilse melirik ke Aurel, lalu dengan tangan bergetar menyerahkan ponselnya ke tangan gue. "Ini, Om." ujar gue, menyerahkan dua barang bukti pada Om Ian. Om Ian mengangguk. Ia lalu menyodorkan ponsel itu ke pria yang tadi gue sebut. "Kemungkinan udah dihapus, Om." ujar gue pada pria itu. "Tenang aja! Ini urusan saya." balasnya. "Tolong ya, Dit." pinta Om Ian padanya. Pria itu mengangguk. "Pasti, Yan!" tandasnya tegas. Sudah dua jam orang tua Amanda, ketiga biang kerok dan orang tua mereka ada di dalam ruang Kepala Sekolah. Beberapa kali gue dengar suara memekik, yang bisa gue pastikan bukan suara Om Ian ataupun Tante Meta. Gue ada di sini karena enggan masuk kelas. Meminta ijin pada guru-guru gue untuk menyimak pembahasan di ruangan yang tepat di belakang punggung gue. Hingga nyaris tiga jam, satu persatu mereka keluar dari ruangan itu. Wajah ketiga biang onar itu pias. Menunduk lesu. Gue hanya berharap mereka jera. Jumat malam kemarin, Om Ian bilang jika anak di bawah umur masih dalam perlindungan hukum, jadi satu-satunya yang bisa dilakukan adalah memberitahukan orang tua mereka dan meminta mereka menandatangani surat penjanjian bahwa mereka tidak akan melakukannya lagi atau proses hukum akan diteruskan. Gue ikut mengantar ketiganya hingga ke parkiran sekolah, Om Ian, Tante Meta, dan Om Ditya yang akhirnya gue tau namanya dan bahwa beliau adalah sahabat Om Ian yang memiliki salah satu perusahaan IT terbaik di negeri ini. Begitu sampai di depan mobil Om Ian, gue menangkap bayangan Amanda di dalam kendaraan itu. "Mau bicara sama Amanda?" tanya Om Ian. "Boleh, Om?" "Boleh." Gue mengangguk, lalu melangkah menuju pintu di samping Amanda. "Alex!" tegur Om Ian tepat sebelum gue membuka pintu itu. "Ya, Om?" "Ga pake kissing!" 'Mati gue!' Gue mencengir, lalu mengangguk sungkan sebelum masuk ke mobil dan duduk di samping Amanda. "Nda..." "Yupi..." "Ga pake b-a-b-i lagi kan?" Amanda tertawa geli. Lalu menggeleng. "Baby aja." "Nah gitu dong." ujar gue, senang. "Udah beres ya, Nda..." ujar gue lagi. "Mereka gimana?" "Ga tau, Nda. Yang jelas berkas pengunduran diri kamu belum di approve pihak sekolah. Jadi kalau kamu mau, kamu masih bisa sekolah di sini. Dan artinya juga, kalau kamu mau, mereka harus keluar dari sekolah ini." "Mereka yang pindah?" Gue mengangguk. "Aku rasa, biarpun kamu ga batalin pengunduran diri kamu, mereka pasti pindah, Nda... Seantero sekolah udah pada tau kalau mereka berbuat jahat sama kamu." "Kamu cerita?" "Ngga. Tapi mereka paham sendiri." "Oh." "Pikirin lagi ya, Nda..." Amanda menatap gue lekat. Lalu mengangguk seraya tersenyum. "Ya udah, Yupi balik ke kelas ya. Nanti pulang Yupi ke rumah Nda. Sama Mama dan Papa." "Hah?" "Hari ini Mama dan Papa mau jemput aku, mau jenguk kamu katanya. Boleh kan?" Lagi, senyumnya kembali terbit. "Iya. Boleh." "Ya udah, hati-hati di jalan ya sayangnya Yupi." "Iya. Sayangnya Nda semangat belajarnya." "Pasti. Kan harus ngajarin Nda nanti." Kami sama-sama terkekeh. "Iya." "Yupi sayang Nda." lirih gue. "Nda juga sayang Yupi." balasnya pelan. Gue mengecup hangat kedua tangannya, melirihkan kata cinta kembali sebelum beranjak meninggalkan Amanda bersama kedua orang tuanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD