ALFA CANIS MAYORIS

2397 Words
"Kak Helia Izora?" tanya seorang cowok dari atas scooter berwarna hitam. "Iya." "Saya yang gantiin Daim untuk antar jemput Kakak." "Oh, kamu?" "Bintang." "Oke." "Mau berangkat sekarang, Kak?" "Ya." Aku menggunakan helmku, menyerahkan eco bag yang kubawa untuk disangkutkan di bawah tungkai kendali, lalu naik ke atas scooter-nya. Sekitar setengah jam kemudian, kami sampai di halaman muka cafe yang menyajikan aneka teh sebagai menu beverage andalannya. Baru saja aku masuk ke dalam cafe milikku, hujan turun tanpa aba-aba. Orang-orang yang lalu lalang di depan cafe berlari cepat mencari tempat berlindung, tak berbeda dengan pemuda yang mengantarku tadi - ia pun turun dari scooternya, mengambil tas kerjanya, lalu berteduh di bawah canopy cafeku. Aku kembali melangkah, membuka pintu cafe. Cafeku ini terletak di salah satu pusat perkantoran di Jakarta Selatan, tepatnya di SCBD. "Mas?" Ia tak menoleh. Mungkin tak mendengar teguranku karena helm yang masih terpasang di kepalanya. "Mas Bintang?" panggilku sekali lagi. Kali ini ia menoleh. Ia membuka helmnya, menyisipkan jemari di sela-sela surainya seraya mengangguk padaku. "Masuk aja. Nunggu reda di dalam." ujarku. "Oh, boleh deh Kak." Ia mengikuti langkahku, lalu duduk di salah satu kursi tinggi berhadapan dengan bar table. "Mau minum apa?" tanyaku lagi. Bintang membuka masker yang sedari tadi menutup sebagian wajahnya. Aku cukup terpesona dengan wajah tampannya, walaupun bisa kutebak, ia bukan tipe pria yang mengumbar senyum pada sembarang orang. "Surprise me." ujarnya seraya tersenyum simpul. Aku mengangguk, lalu mengenakan apronku. "Sudah ngopi pagi ini?" "Belum." "Pasti ngopi?" Bintang mengangguk. "Di kantor, nanti." Aku mengangguk lagi. Kuputuskan untuk menyeduhkan Teh Oolong untuk pria di hadapanku. Teh dengan kadar cafein yang rendah. "Teh Oolong." ujarku seraya menyodorkan secangkir racikan hangat buatanku sendiri. "Thanks." Senyum Bintang terbit, ada sedikit getar yang kurasa kala kedua netranya melirikku seraya menyesap cairan berwarna kecoklatan itu. "Enak." pujinya. "Makasih." Hujan di luar sana kian deras. Bintang berkali-kali menatap kucuran air mata langit itu, menunggu reda. "Kerja di mana?" aku memulai percakapan, lagi. Bukannya apa-apa, waktu masih menunjukkan pukul 07:15 WIB, sementara beberapa orang karyawanku biasanya baru bermunculan sekitar satu jam lagi. Masa iya kami hanya menikmati rintikan hujan tanpa saling bicara? "One Pacific Place." "Oh. Kerja apa? Atau usaha sendiri?" "Saya Fragrance Chemist, ada outlet di PP, kantor saya di OPP." "Wow! Peracik parfum?" tanyaku, memastikan. Bintang mengangguk. "Usaha sendiri?" "Iya." "Keren!" "Kamu?" "Mmm... An enterpeneur woman?" Ia tertawa renyah. "Then, I should've answered your question earlier... A businessman?" Kini aku yang terkekeh. "Aku flavorist." "Wow! Peracik rasa! Keren! Pasti makanan di sini rasanya unik-unik." "Ada yang unik. Tapi ga semua." "Hmm, ga semua orang suka dengan makanan yang rasanya beda dari yang lain. Iya kan?" "Yep." "Rekomendasi kamu?" "Hmm... You should try our cheesy meatballs with strawberry spicy sauce." "Sekarang?" "Kami baru buka jam 10 nanti." Bintang terkekeh, sementara lagi-lagi, aku terhipnotis senyumannya. "By the way, kok kamu kenal Daim?" "Oh, orang tua Daim sudah lama ikut keluarga saya. Kemarin pas pulang ke Bandung, Daim kecelakaan, sepertinya butuh waktu untuk penyembuhannya. Karena aturan sekarang driver ojek online tidak boleh absen tujuh hari berturut-turut, jadi saya gantiin sampai dia sembuh. Ya sesempatnya saja sih, yang penting akunnya ga sampai di freeze. Tapi waktu saya mau balik ke sini, Daim bilang dia punya klien langganan. Makanya saya bilang ke Daim supaya hubungin kamu kalau sementara saya yang gantikan." "Oh gitu." "Iya." "Keadaan Daim sekarang gimana?" "Kakinya terkilir dan ada retak juga." "I see." "Perkiraan sih sekitar sebulan inshaaAllah bisa aktifitas seperti biasa lagi." "Hmm." Bintang memalingkan kedua netranya dari memandangku, menatap ke luar cafe kembali. "Hujannya sudah berhenti, saya pamit ya." "Oke." "Sampai nanti malam." "Ya. Hati-hati di jalan Bintang." Bintang tersenyum padaku lagi. Kali ini, ia menatapku sedikit lebih lama, lalu mengangguk. *** Sudah dua minggu Bintang menggantikan Daim - ojeg langgananku. Daim adalah seorang mahasiswa tingkat satu di sebuah Universitas Negeri di Jakarta ini. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya ia berprofesi sebagai driver ojeg online di sela-sela waktu kuliahnya. Anak itu sempat bercerita jika majikan orang tuanya yang membayar biaya kuliahnya, sementara di Jakarta ini ia tinggal di asrama mahasiswa. Katanya lagi, sebenarnya anak majikannya sudah mengajaknya untuk tinggal bersama di unit apartemennya, tetapi karena tak enak hati dengan kebaikan keluarga itu, Daim memutuskan untuk tinggal di asrama saja. Majikan orang tuanya bahkan memberinya biaya hidup bulanan. Masalahnya, Daim tak berani menggunakan uang itu untuk berfoya-foya. Itulah alasannya ia lebih memilih menjalani pekerjaan sambilan daripada harus menggantungkan hidupnya dari kebaikan keluarga itu. Harus tau diri, itu yang Daim bilang. Sementara Bintang, adalah anak kedua dari majikan orang tua Daim. Bintang Sirius Wisesa, rangkaian kata yang membentuk namanya. Lantas bagaimana rasanya mengenal seorang Bintang? Satu, Bintang selalu wangi. Dua, Bintang nyaris tak pernah tersenyum pada orang lain dan hanya beberapa kali mencengir singkat padaku, walaupun seminggu terakhir ini senyum simpul selalu terpahat di wajahnya kala kami saling bicara. Tiga, Bintang selalu memintaku mengejutkannya dengan menu makan malam yang berbeda setiap malam, dan Bintang bilang ia menyukai semua masakanku. Empat, Bintang bilang sejak menjadi ojeg langgananku, mobil kesayangannya hanya teronggok tak terpakai di parkiran apartemennya. Lima, cengiran singkat yang tadi kusinggung kudapatkan pertama kali kala Bintang menanyakan umurku yang ternyata dua bulan lebih muda darinya. Dan enam, apakah mungkin aku jatuh cinta pada cowok pelit senyum itu? Jantungku selalu bertingkah saat kehadirannya. Aku yang sedang merapihkan laporan pendapatan cafe, seketika kehilangan konsentrasi saat notifikasi dari aplikasi pesan singkat yang aku singkronkan di laptopku memunculkan nama Bintang. [Bintang] Siang Ibu Flavorist. Saya sedang meracik parfum baru. Mau berbaik hati meminjamkan hidung Ibu untuk menilai sebaik apa karya saya kali ini? Ah, ketujuh, Bintang masih mengadopsi sebutan 'saya' untuk dirinya sendiri kala bicara denganku. [Me] Siang juga Bapak Perfumer, tentu saja saya bersedia. [Bintang] Siap... Go! [Me] Hahaha... Sprint dong? [Bintang] Hehehe. Saya jemput? [Me] Sekarang? [Bintang] Jika kamu senggang. [Me] Saya naik taksi saja ke tempat kamu. [Bintang] Saya bisa jemput kok. [Me] Ga usah, nanti saja sekalian antar aku pulang. Gimana? [Bintang] Oke. [Me] Sampai ketemu satu jam lagi. [Bintang] Hati-hati Izora. Dan begitu aku sampai di gedung tempat kantornya berada, Bintang sudah menungguku di lobby. Tak menunggu apapun, kami langsung menaiki lift, menuju tempatnya bekerja. Bintang membawaku ke sebuah ruang meeting. Di ruangan itu sudah tersusun beberapa sample racikan parfum yang ia buat. Bintang memintaku menilai satu persatu racikan dari 17 botol yang berjejer di sana. Penilaiannya sendiri sudah ia siapkan dalam bentuk questioner form. Begitu memulai menciumi racikan parfum itu, di situlah aku sadar, betapa pekerjaan ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Baru satu racikan, aku sudah harus berputar-putar menghindari wangi-wangian itu, mengembalikan kondisi penciumanku agar netral seperti sebelum mencium satu racikanpun. Sementara Bintang, sejak aku berada di ruangan itu, rasanya belum sekalipun ia memalingkan tatapannya yang lekat padaku. "Tiga lagi, Bintang." ujarku seraya memberengut. Bintang terkekeh. Tampan sekali. "Pusing ga?" "Ngga sih. Tapi ya hidungnya bolak balik mati rasa." Lagi, Bintang terkekeh. "Kalau sudah capek, ga apa, sudahi saja." "Jangan, tanggung, tiga lagi." "Besok kami baru mulai panel test." "Oh ya?" "Iya, kamu panelist pertama." "Wow! An honor for me." "Habis ini, saya traktir parfum.Saya racik langsung." "Serius?" "Ya." "Ah, ga usah Bintang." "I insist." Kini aku yang terkekeh. "Nanti sebelum pulang, kita bikin di ruangan saya ya?" "Oke. Terima kasih." "Sama-sama Izora." Aku kembali fokus dengan tiga racikan di hadapanku. Menghindu wewangian itu satu per satu dalam pengawasan Bintang. Aku bahkan heran, apakah ia tak ada pekerjaan lain selain menjadikanku object tatapannya sepanjang sore ini? Untuk ke ruangan Bintang. kami harus memasuki sebuah ruangan yang bisa dikatakan sebuah laboratorium mini. Di sana hanya ada tiga orang Nose atau Peracik Parfum yang sedang bersiap-siap pulang karena memang hari sudah beranjak senja. Bintang memilih beberapa botol bibit parfum, lalu membawa lima botol yang sudah dipilihnya ke atas sebuah meja kerja kosong. "Kamu shalat?" "Lagi ngga." "Saya shalat dulu ya? Habis shalat saya buatkan parfumnya." "Iya." Bintang beranjak, masuk ke ruangan pribadinya untuk melaksanakan ibadah senjanya. Sekitar sepuluh menit kemudian, ia kembali, mendekatiku tanpa suara. Untung saja ia selalu wangi, jadi tanpa suarapun aku tau ia mendekat. "Mau langsung dimulai?" tanyaku. Bintang mengangguk. Aku lekat memperhatikannya, bermain dengan bibit parfum, gelas-gelas ukur mungil, pipet, dan kertas penguji. Nyaris satu jam kemudian, Bintang menyodorkanku kertas penguji yang sudah dicelupkannya ke racikan pamungkas, memintaku mencobanya. "Suka wanginya?" Aku mengangguk. Tersenyum. "Banget Bintang." "Jadi, notesnya apa?" kali ini aku yang bertanya. "Top notesnya Bergamot, middle notesnya orange and white blossoms, lalu basenya woody notes. Dengan formula made by me. Secret!" Aku terkekeh. "Kita bungkus?" "Oke." Bintang beranjak, mengambil botol parfum berukuran 50 ml dengan brand wewangiannya terukir di sana - Alfa Canis Mayoris. "Alfa Canis Mayoris?" tanyaku. "Iya. Pernah dengar?" Mau kubagi sebuah rahasia? Jika pertanyaan ini Bintang kemukakan di hari pertama kami bertemu, yakinlah bahwa aku tak tau apa itu Alfa Canis Mayoris. Tetapi karena ia baru menanyakannya sekarang, tentu saja aku sedikit tau, karena sudah melakukan penelitian lebih dahulu begitu menemukan ukiran namanya di sebuah kotak kayu yang biasa ia gunakan untuk menyimpan kacamatanya. "Sirius. Kamu." Jawabku yakin. Bintang tersenyum padaku. "Kamu suka astronomi?" Aku menggeleng. "Lalu?" "Karena penasaran dengan Sirius." lirihku pelan. Aku bisa melihat, Bintang sempat membeku sesaat. "Dan? Apa yang kamu dapat dari pencarian kamu?" "Sirius... Bintang yang paling terang di konstelasi Canis Mayor. Sang Alfa. Nama Sirius diambil dari Bahasa Yunani dari kata Seirios yang artinya berkilau." Bintang menutup botol kaca berwarna gelap itu, lalu menyerahkan padaku seraya tersenyum. "Ya, betul." Aku mencengir. "Yuk pulang? Kita makan dulu?" Aku mengangguk. "Aku lagi kepingin caesar salad dan fish and chips." ujarku. Jujur, aku lapar luar biasa. "Oke." ujar Bintang menyetujui. *** Aku makan banyak sekali malam ini. Bahkan rasanya aku tak perduli jika Bintang berkali-kali terkekeh karena suapan-suapan besarku. "Aku kelihatan rakus ya?" tanyaku pelan. Bintang terkekeh lagi. Hari ini aku benar-benar dibanjiri suara tawa dan senyumannya. Jauh sekali dengan Bintang yang terkenal dingin dan pelit senyum. "Ga apa Izora. Aku suka." "Aku?" tanyaku heran. Seperti yang aku bilang, Bintang dan 'saya' rasanya sudah melekat. "Ga boleh?" "Boleh. Artinya kita makin akrab." "Ya. Artinya juga mulai saat ini ga usah jaga image di depanku. Aku suka kamu apa adanya. Termasuk cara kamu makan." Aku terdiam. Tiba-tiba merasa canggung dengan kalimat ambigu yang dituturkan Bintang. "Sudah kenyang atau mau tambah dessert?" Aku menggeleng. "Cukup. Yuk pulang." ujarku. Bintang mengangguk, lalu beranjak dari tempatnya duduk. Begitupun aku. Akhirnya kami memutuskan untuk naik mobilnya saja ke unitku. Baru saja kami keluar dari area restoran tempat kami makan tadi, seorang pria yang pernah sangat kukenali menyerukan namaku. "Helia!" Langkahku dan Bintang terhenti. Kami sama-sama menoleh ke arah sumber suara. Aku beringsut, menempelkan diriku dengan Bintang, yang membuat Bintang menatapku penuh tanda tanya. "Gavin?" Ia sedang bersama seorang perempuan. Perempuan yang dulu pernah berstatus sebagai sahabatku. Perempuan yang membuatku tak lagi bisa percaya dengan bentuk persahabatan seperti apapun. Perempuan yang dengan teganya menusukku dari belakang, merebut pria yang sangat kucintai. "Hai Helia." perempuan itu turut menyapaku. Aku, diam saja, seolah tak mendengar. Ia - Zetta - tersenyum sinis. "Dari mana?" tanya Gavin, berbasa-basi. Aku masih diam, tak menanggapi. Kini senyuman sinis turut hadir di wajahnya. Gavin mengalihkan pandangannya dariku, melayangkan tatapan menilai pada Bintang, dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lalu, lagi, tersenyum sinis. Tak kuduga, Bintang mengulurkan tangannya. Dan Gavin menyambutnya. "Bintang." "Gavin." "Lo?" tanya Gavin lagi. "Cowoknya Izora." Aku nyaris tersedak udara yang kuhirup. Yang benar saja, Bintang mengaku sebagai kekasihku? Tatapan Gavin berubah, kini terlihat begitu membenci Bintang. Sementara Bintang tetap menatap dingin seperti normalnya ia. Begitu jabat tangan keduanya terlepas, Gavin kembali bertutur padaku. "Move on juga kamu?" Aku masih memilih diam. Malas meladeni pengkhianat sepertinya. "Kita pulang sayang? Sudah malam banget." ujar Bintang padaku. Aku mengangguk. "Yuk." Bintang menautkan jemarinya di antara jemariku, menggenggam tanganku erat. "Kami permisi." hanya dua kalimat itu yang akhirnya kuucapkan pada pasangan pengkhianat di hadapan kami. Lalu melangkah, menjauhi mereka tanpa sekalipun menengok kembali. Aku diam saja sepanjang perjalanan ke unitku, begitupun Bintang. Begitu kami memasuki kompleks apartemen tempatku tinggal, Bintang memarkir mobilnya lalu menatapku lekat. "Izora..." lirihnya. "Cuma kamu yang panggil aku Izora." balasku. "Kamu ga apa-apa?" Aku menggeleng. "Dia mengkhianati kamu?" "Iya. Tapi bukan karena dia aku kenapa-napa." "Lantas?" "Kenapa kamu bilang kamu pacar aku?" Bintang terdiam. Tak menjawab pertanyaanku. "Bintang?" Masih diam. "Esok hari, kalau kamu atau aku bertemu lagi dengan mereka, bisa aja ada saat dimana mereka tau kamu berbohong. Dan beranggapan kalau aku yang memintamu mengada-ada." Kini, Bintang mendengus. "Bintang..." "Kalau begitu, ga perlu berbohong Izora." "Itu maksudku. Kenapa kamu bohong?" "Ya jangan jadikan itu kebohongan." Aku mengerutkan keningku, menatapnya dengan tanda tanya besar. "Jadi pacarku?" tanya Bintang. "Siapa? Aku?" "Apa ada orang lain di sini?" "Kamu bercanda Bintang?" "Ngga." "Tapi kita baru kenal dua minggu." "Ya, kita baru kenal dua minggu. Atau 14 hari. Atau sekitar 336 jam. Atau 20160 menit. Tapi kita sudah sebelas kali minum teh pagi dan makan malam bersama. Juga dua puluh satu kali naik motor berdua. Menurut ilmu sosiologi, jarak saat kita boncengan berdua, itu disebut jarak intim. Belum termasuk berbagai pembicaraan kita yang seringkali merambat kemana-mana. Apa itu ga cukup sebagai alasan untuk menerimaku sebagai pacar kamu?" Kata-katanya membungkamku. Telak. "Izora... Mau kuberitahu satu rahasia?" "Apa?" "Jantungku bertingkah setiap kali ada kamu." Aku tertawa. Lucu mendengar kata-kata gombalnya. "Dan aku berubah menjadi sedikit gila sejak pertemuan pertama kita." "Kegilaan seperti apa?" tanyaku. "Senyum-senyum sendiri." Aku tertawa geli. Membayangkan Bintang yang kaku menjadi seringkali tersenyum rasanya seperti keajaiban semesta. "Izora..." "Oke." lirihku. "Oke apa?" "Jadi pacar kamu." "Kita pacaran?" tanyanya antusias. Lagi, aku terkekeh. Lalu mengangguk. Bintang masih tersenyum. Menatap lekat kedua netraku. Entah siapa yang lebih dulu mengikis jarak, perlahan deru napasnya menyapa wajahku, juga wangi parfumnya yang begitu membuatku merindu ikut menyapa penciumanku. Wangi Bintang membuatku seolah berada di tepi danau dengan rimbun pepohonan di sekitar - pada pagi hari - saat tetesan embun masih menyapa setiap kelopak bunga. Bintang mengecupku pelan, mengecap perlahan, membawaku terlena akan perlakuan lembutnya. Tak tergesa. "Bintang...:" lirihku kala ia mengusaikan kecupannya. Aku terlalu terbuai. Bagaimana bisa ada kecupan sehangat dan selembut itu? "Ayo, aku antar. Waktunya kamu istirahat." "Iya." Bintang mematikan mesin mobilnya, lalu meraih handle pintu. Saat ia akan menariknya, pertanyaan retoris meluncur dari bibirku. "Apa kamu akan mencintaiku?" Bintang menoleh, menatapku lekat. Tersenyum kembali. "Semua pria di keluargaku, memberi kecupan pertamanya hanya pada perempuan yang membuat kami jatuh cinta." "Jadi?" "Tentu, Helia Izora! Matahari fajarku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD