MELATI

2334 Words
‘bugh!’ “Anying!” lirih gue saat bola basket berkecepatan cahaya nubruk muka gue. “Maneh kira-kira dong!” omel gue begitu pelaku pelemparan yang ga lain ga bukan adalah salah satu sahabat baik gue mendekat dan berusaha menyingkirkan kedua tangan gue yang nutupin muka. “Maneh nu aya-aya wae! Main basket malah bengong! Gebloh sia!” omel si Edo. ‘Hahaha!’ si Kenzo malah ngakak sambil dekatin gue. “Terus seuri!” sinis gue. (Ketawa terus!) “Maneh naha sih? Dari tadi teu fokus!” yang comment kali ini si Ical. “Guys, coba lo liat itu.” ujar gue seraya menunjuk salah satu sisi di tepi lapangan sekolah gue. Ketiga sobat gue itu mengikuti arah pandang gue. “Si Melati?” tanya Edo. “He euh.” “Naon?” tanya Edo lagi. (Kenapa?) “Yang di sampingnya?” “Kabogohna.” ujar Ical. (Pacarnya.) Gue langsung noleh, mandang Ical dengan penuh tanda tanya. “Makanya kalau suka tuh di omong!” kali ini Kenzo yang ngoceh. “Eta, bukanna...” “Ketua basket SMA sebelah.” ujar Ical lagi menyambung omongan gue. Gue menunduk, bahu gue jatuh terkulai. Lalu gue balik badan, melangkah lesu keluar dari lapangan basket. Patah hati ngeliat cewek yang gue taksir selama ini ternyata udah ada yang punya. “WOY! SAN! LATIHAN DULU!” pekik Kenzo. Gue ga nyaut, cuma geleng-geleng. Langsung ilang selera gue main. “SAN! MANEH KUMAHA SIH, MASA KETUANA MALAH KABUR?” pekik Ical lagi. Ga gue sahutin juga. Terserah dah, males. Hari ini adalah jadwal rutin latihannya anak basket. Apalagi mengingat dua bulan lagi bakalan ada kompetisi basket antar pelajar sekota Bandung. Yang biasanya jadwal latihan hanya seminggu dua kali, sekarang diperbanyak jadi seminggu tiga kali. Jadi emang harusnya gue stand by di tengah-tengah lapangan, bukannya malah ngejogrok di pinggir lapangan kayak begini sambil natap nanar pasangan yang ada di seberang sana. Namanya Melati. Bukan nama yang disamarkan seperti si Mawar. Bukan cewek paling cantik di sekolah ini karena predikat itu sudah diambil Geya. Melati itu pendek, eh salah, petite lebih cocok kayaknya. Mungil. Kalau dibandingin gue, melati tingginya cuma seketek gue. Imut banget kan? Mukanya mulus, cantik banget menurut gue, dan kulitnya yang kekuningan khas gadis pasundan. Apa gue suka dia? Banget. Dan gue naksir berat sejak jaman kelas satu SMA. Waktu itu dia main ke kelas gue. Nyamperin salah satu teman sekelas gue. Awalnya gue ga nyadar ada dia, tapi entah bercandaan apa yang mereka lakukan, bandonya Melati melayang dan jatuh di atas kepala gue. Selanjutnya, ya ketebaklah. Gue balikin bandonya, kita tatap-tatapan, dan gue jatuh cinta. Sesimple itu. Walaupun sampai di pertengahan kelas dua ini status gue dan dia ga kunjung berubah, malah ternyata dia udah jadian sama cowok sekolah lain. ‘hah!’ Entah sudah keberapa kali gue mendengus. Gue pengen balik, tapi ga bisa juga ninggalin anak-anak yang lagi latihan. “San!” “Sanalah, ngapain sih maneh ke sini!” gerutu gue pada Edo yang bukannya latihan malah ndlosor di samping gue. “Elah! Sensi amat lo!” “Anyinglah! Inceran urang diambil orang!” Edo mendengus. “Lo kan dekat sama dia, kenapa lo ga ngomong kalau lo suka sama dia?” “Kayak maneh ngomong aja suka sama si Geya!” Edo malah mencengir. “Kita lagi bahas lo brother, bukan bahas gue!” ujar Edo lagi. “Teuinglah!” “Emang lo ga tau kalau Melati udah jadian sama si Dhika?” Gue menggeleng lemah. “Si Dhika kan sering ke sini.” “Ya kan urang liatnya dia di gerbang sekolah. Teu terang ngantosan saha.” (Ga tau nungguin siapa?) Si Edo lagi-lagi mendengus. “Ya udah, mau gimana lagi? Kalau jodoh juga ga akan kemana!” “Siapa yang mikirin jodoh di umur 17 tahun? Ngawur maneh!” Edo malah ngekek. “Udahlah! Hayuk atuh main! Teu seru ga ada lo di lapangan! Malulah sama jabatan!” Edo berdiri, mengulurkan tangannya di depan wajah gue. “Gini ya rasanya patah hati?” lirih gue tapi masih bisa didengar telinga Edo. “Makanya main, biar lupa sama patah hati lo!” Gue mengangguk, menyambut uluran tangannya, berlari kembali ke tengah-tengah lapangan basket, menggabungkan diri dengan team inti di sana. *** Minggu pagi, hal biasa yang gue lakukan adalah jogging. Berhubung gue lagi bosan lari di sekitar komplek perumahan gue, kali ini gue memutuskan untuk lari ke rumahnya Edo yang jaraknya sekitar 6 km dari rumah gue. Sarapan masakan Bundanya Edo yang ga ada lawan. Sementara pulangnya dipikirin nanti. Gue baru lari sekitar setengah jam saat gue melihat keramaian di salah satu sisi jalan. ‘Ada kecelakaan apa ya?’ Netra gue menyapu sekitar, ga ada motor atau mobil yang tampak seperti habis kecelakaan. Gue semakin mendekat, mendongak dari balik kerumunan, mencari tau gerangan apa yang terjadi di bawah sana. “Melati?” “Kenal A’?” tanya seorang Ibu yang berdiri di depan gue. Gue mengangguk, lalu memiringkan badan gue, meminta jalan. Tepat di depan dia yang terduduk dengan wajah pias, gue berlutut. “Mel?” “Hasan?” “Aya naon?” “Sakit.” ujarnya seraya menangis. “Ya Allah. Perutnya sakit?” Dia mengangguk. “Kamu sendiri?” Dia mengangguk lagi. “Kuat berdiri?” Kali ini Melati menggeleng. Gue merubah posisi, membungkuk di sampingnya, merengkuh pinggangnya erat. “Yuk, Hasan bantu.” Asli, nyaris ga ada tenaganya, kesakitan banget ini pasti dia. Orang-orang yang tadi berkerumun mengurai, memberi kami jalan. Baru saja kami melewati kerumunan, kaki Melati tak lagi melangkah, tak sadarkan diri di rengkuhan gue. “Mel? Mel?” panggil gue seraya menepuk-nepuk wajahnya pelan. “Mel?” ulang gue lagi. Melati masih ga bangun juga. Mau ga mau, cewek idaman gue ini gue angkat juga ala bridal style, sambil minta tolong ke salah seorang pejalan kaki untuk berhentiin taksi. Sekitar lima belas menit kemudian kami sampai di depan IGD sebuah Rumah Sakit. Sayang banget ini hari minggu, kalau hari biasa kan bisa nelpon Mama yang juga tugas di sini. Gue bopong Melati yang belum juga sadarkan diri masuk ke IGD. Perawat-perawat dan Dokter jaga yang kebetulan kenal gue langsung memberi instruksi untuk merebahkan Melati di salah satu bed. “A’ Hasan, kenapa pacarna?” tanya Dokter Ridla yang muncul di bilik pemeriksaan. ‘Pacar?’ Gue menggeleng. “Sakit perut ceunah, Dok.” “Diperiksa dulu nyak? Aa’ isi data pasien dulu aja.” Gue mengangguk, keluar dari bilik pemeriksaan menuju meja administrasi. Begitu gue kembali, selang infus sudah terpasang di punggung tangan kiri Melati, sementara kedua netranya masih tertutup rapat. “A’...” tegur Dokter Ridla yang kembali muncul di depan bed Melati. “Iya, Dok? Melati teh naon?” “Asam lambungnya tinggi. Biasa pingsan begini?” Gue menggeleng. Emang gue ga pernah sih lihat dia sakit sampai pingsan begini. “Terus kumaha Dok?” “Ga apa-apa. Infusnya dihabiskan dulu, nanti kalau enakan bisa langsung pulang.” “Teu perlu dirawat?” “Kalau nanti setelah infus habis masih sakit banget, ya harus dirawat.” “Tapi iyeu teu sadar-sadar?” “Tadi sempat sadar pas Aa’ di admin. Terus tidur lagi.” “Oh. Oke. Nuhun nyak Dok.” “Sami-sami. Kalau butuh apa-apa bilang ya?” “Iya, Dok.” Udah setengah jam Melati ga juga bangun dari tidurnya. Sementara gue malah ikutan ngantuk. Gue ngerebahin kepala gue tepat di samping kepalanya, memilih ikut memejamkan mata seraya menunggunya bangun. “Hasan...” Gue ngebuka kedua netra gue begitu suara Melati kembali menyapa. “Mel?” “Hey...” “Masih sakit?” “Sedikit aja.” “Ga kayak tadi?” “Ngga.” “Kamu punya maag?” Melati mengangguk. “Kok bisa separah ini?” Melati hanya tersenyum kaku. Setau gue, pemicu utama asam lambung bukan karena telat makan atau salah makan, tapi karena pikiran. “Lapar ga?” Dia mengangguk lagi. “Tunggu ya, Hasan beliin bubur. Bubur di depan Rumah Sakit ada yang enak banget.” “Ga usah, San.” “Udah diam aja di sini, infusnya masih segitu, bisa sejam lagi baru habis. Tunggu ya?” “Oke.” Gue beranjak, berjalan cepat mencari sarapan untuk Melati. Pagi ini hati gue rasanya nano-nano. Sedih liat Melati sakit, tapi senang karena punya waktu berdua sama dia. “Enak Mel?” “Iya, enak.” “Syukur deh.” “Hasan tadi lagi jogging?” “Iya. Mau ke tempat Edo sekalian olah raga.” “Oh, emang ga jauh?” “Cuma 6 kilo kok.” Melati mengangguk. “Kamu juga lagi jogging tadi?” Melati tersenyum kaku. “Ga jadi.” “Ga jadi?” “Iya.” Gue masih menatapnya bingung. “Keburu sakit perut.” ujarnya lagi. “Oh.” Usai menandaskan seporsi bubur, gue meminta Dokter untuk kembali mengecek Melati. Dokter Ridla bilang Melati oke untuk pulang. Infus dilepas sementara gue terus aja lekat natap dia. “Eleuh, khawatir amat pacarna sakit!” canda perawat yang baru saja melepas selang infus. Kedua netra Melati membola, sementara gue kebingungan sendiri. “Udah bisa urus pulang kan Sus?” tanya gue, mengalihkan perhatian. “Iya.” “Ya udah, Hasan urus dulu ya Mel?” “Eh San!” sergah Melati, sementara sang suster melewati gue meninggalkan bilik pemeriksaan. “Naon?” “Duitnya?” “Pakai duit Hasan dulu aja.” “Duh Melati jadi ngerepotin.” “Ga apa-apa, Mel. Santai. Tunggu ya.” “San...” “Apa?” Melati terlihat ragu. Gue memilih diam, takut jika dia menanyakan perihal status pacar yang disinggung sang perawat tadi. “Ga jadi.” “Oh, ya udah.” ujar gue seraya melangkah meninggalkannya yang terpaku menatap punggung gue. Begitu selesai dengan urusan administrasi, gue segera melangkah kembali menuju IGD. Sayangnya, begitu gue menyibak tirai, cowoknya Melati sudah ada di sana. Duduk berhadapan dengan Melati. “Eh, San.” tegurnya. Gue ga bersuara. d**a gue tiba-tiba aja terasa panas. “Nih, Mel.” ujar gue seraya menyodorkan obat yang tadi sekalian gue tebus di farmasi. “Nuhun ya San. Besok Mel ganti uangnya di sekolah.” “Oke.” “Thanks, San.” sambung Dhika. Gue menatap dia sinis. Gue tau dia ga enak dipandang dengan tatapan kayak begini, sebelah alisnya terangkat seolah bertanya ‘lo ada masalah sama gue?’ “Kemana aja lo?” cecar gue. “Ketiduran gue tadi.” jawabnya santai, seolah ga masalah apapun. “Kalau ga bisa bangun pagi ga usah kebanyakan gaya lo ngajak anak orang jogging pagi!” sulut gue lagi. “Kok lo nyolot?” balas Dhika. “Ya lo liat dong keadaan cewek lo! Dia nunggu lo dalam keadaan perut kosong! Sementara dia punya penyakit!” “Dia cewek gue, gue lebih tau keadaan dia!” “Kalau lo tau, ga akan lo biarin cewek lo nunggu selama itu!” geram gue lagi. Gue ga menunggu jawaban atau balasan apapun. Menjauh, lalu meninggalkan mereka berdua begitu saja. Ga perlu dijelasin panjang lebar apa yang terjadi. Gue cukup paham. Sejak gue mendapati Melati dan Dhika di lapangan basket sekolah gue kala itu, gue jadi suka memperhatikan mereka. Dan belakangan, wajah Melati seringkali sendu saat bersama Dhika. Jadi ketika Melati tadi bilang ‘ga jadi’ saat gue tanya dia mau jogging atau bukan, artinya dia ga jadi jogging karena Dhika ga datang. Dan itu cowok tadi bilang ketiduran? Anyinglah! Ga beres banget! Begitu sampai di depan Rumah Sakit, gue langsung memberhentikan angkot yang melintas, meneruskan perjalanan gue menuju rumah Edo. Dalam keadaan marah begini, kalau gue balik ke rumah yang ada gue cuma bakalan bikin Mama merepet ga kelar-kelar. *** “Hasan...” tegur Melati yang menyambangi gue di jam istirahat pertama. “Hey Mel...” balas gue seraya tersenyum. “Duduk Mel!” ujar Edo, memberikan tempat duduknya. Sementara ketiga sobat gue yang tadi lagi ngobrol-ngobrol sama gue memilih menyingkir, memberi waktu untuk gue berdua Melati. “Ini, San.” ujarnya seraya menyodorkan amplop putih ke hadapan gue. “Apa nih?” “Uang yang kemarin.” “Oh. Thanks ya, Mel.” “Ga dihitung dulu?” “Nunggu kembalian?” Melati malah ngekek. “Ngga. Takutnya kurang.” “Oh. Percayalah. Santai.” “San...” “Ya?” “Soal Dhika...” lirihnya. Gue mendengus, memalingkan wajah gue. Mood gue langsung terjun begitu mendengar dia menyebut nama Dhika. “Melati ga suka Hasan ngomong gitu ke Dhika...” lirihnya lagi. “Oke!” ketus gue. “Ya udah... Mel cuma mau bilang itu.” ujarnya lesu. Tersenyum kaku. Begitu Melati hendak berdiri dari tempatnya duduk, gue kembali bersuara. “Lo sadar ga sih seberapa brengseknya cowok lo itu?” Melati tak jadi melangkah, menoleh kembali menatap gue. Ia mengerutkan keningnya. Gue bisa ngeliat jelas tatapan ga sukanya dia karena cowoknya gue caci. “Gue...” “Gue tau lo ga suka gue ngatain cowok lo. Tapi lo perlu tau Mel, lo ga akan bisa jogging pagi sama dia! Karena apa? Karena tiap weekend kerjaan dia mabok sampe pagi!” “JAGA MULUT LO!” “Gue mungkin bisa bohong! Tapi gue yakin lo juga nyium bau alkohol dari badan dia pagi itu. Apa perlu gue memperpanjang informasi tentang kelakuan cowok lo itu di luar sana?” “HASAN!” pekik Ical. Gue tau, bukan kapasitas gue ngebeberin kelakuannya Dhika di luar sana. Dan ya, gue dan Ical adalah anak muda tukang nongkrong setengah malam. Artinya kadang-kadang kita suka main di club sampe pagi. Kadang-kadang, bukan rutinitas. Beda dengan Kenzo yang lebih milih molor di rumah Edo daripada ngabisin waktu dengan nenggak alkohol. Kedua netra Melati udah ngembeng, sebentar lagi pasti air matanya netes. “Lo yang b******k!” geramnya. Lalu berlalu meninggalkan gue. Sejak saat itu, Melati ga pernah mau mandang gue. Kalau pas-pasan dia memalingkan wajah. Kalau satu ruangan sama gue, dia memilih pergi. Sampai gue meninggalkan sekolah masa putih abu-abu ini, ga pernah lagi gue mendengar suaranya menyapa gue. Pun berkali-kali gue mencoba bicara sama dia, dia selalu menghindar. Dan bodohnya, gue masih aja... Mencintai dia. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD