WE'RE LOVER

3370 Words
Gue baru aja mau menyapa seorang teman SMA – yang lagi duduk sendirian di tengah taman kampus kami – saat tak jauh di depan sana seorang cowok yang gue kenal sebagai cowoknya teman gue itu berlari ke arahnya. Gue berbalik, memilih duduk membelakangi teman gue tak jauh dari posisinya. "Tiga jam lho, Ervin!" ketus Reina – teman gue, pada cowoknya. "Sorry..." 'Anj*ng, tiga jam sorry doang? Tinggal aja, Rei!' "Sorry kata kamu? Bawa alasan apa lagi sekarang?" "Kemarin aku diajak orasi ke DPR, selesainya udah nyaris magrib, yang. Karena capek kami baru balik tadi pagi." "ORASI?" "Iya." "Kemarin kamu yang minta aku supaya ga pulang weekend ini. Mau ngerayain dua tahunnya kita. Terus sekarang kamu telat tiga jam dan kamu bilang kamu orasi?" "Maaf, yang." "KAMU GILA?" "REINA!" "INI BUKAN KALI PERTAMA ATAU KEDUA LO BIKIN GUE BEGINI, VIN!" "Rei, please! Ga usah teriak-teriak juga dong!" "Kalau lo ga bisa ngebagi waktu lo antara organisasi dan gue, ga usah lo ngajak-ngajak gue nge-date! Lo pikir urusan gue cuma nunggu lo doang?" "Kok kamu jadi kasar gitu sih Rei?" "Apa lo bilang? Kasar? Kasar mana sama lo yang pergi orasi seenaknya padahal punya janji sama gue. Bahkan lo ga bilang kalau lo demo. Kalau lo bilang dari kemarin, gue sekarang lagi makan siang sama nyokap gue! Paham lo?" "Kalau aku bilang kamu pasti begini!" "Oh! Terus aja Vin... Terus aja lo ngebela diri. Lo emang ga pernah salah!" "Rei... Kamu harus ngerti dong. Kamu kan tau gimana sukanya aku berorganisasi." Reina tertawa sinis. "Waah waah waah! Jadi gue ya yang ga pengertian?" "Oke, sekarang aku harus gimana biar kamu maafin aku?" "Maafin kata lo? Terus besok lo kayak gini lagi? Coba lo itung waktu gue yang udah kebuang begitu aja karena lo ga nepatin janji lo! Ya rapat, ya orasi, ya acara ini, ya kegiatan itu! Gue ga ngelarang lo berorganisasi, itu hak lo! Tapi kalau karena organisasi lo bikin gue kayak orang b**o begini, gue ga terima!" "Terus mau kamu apa? Kamu mau putus?" 'Putusin Rei!' "Oke! Kita putus! Selamat berorganisasi Bung Ervin! Silahkan pergi!" "Rei..." ujar Ervin, memelas. Gue bukan orang buta, gue tau banget ini cowok cinta sama Reina. Masalahnya, dia salah memperlakukan orang yang dia cintai. "Pergi!" "Rei, please..." "Lo bahkan ga pernah menyesali kesalahan lo! Buat apa lo minta maaf? Buat apa gue maafin lo? Buat apa kita pacaran? Enough, Vin! Just go, please!" Gue lekat menatap pantulan bayangan keduanya dari layar ponsel gue yang gue matikan. Ervin masih terdiam di tempatnya. "Lo atau gue yang pergi?" ketus Reina lagi. "Oke, gue pergi." Dan cowok itu pun melangkah lesu menjauh dari mantannya yang penuh dengan amarah. Gue beranjak dari tempat gue duduk, menuju sebuah cafetaria di taman itu, membeli dua kaleng soda dingin berwarna merah dan jingga, lalu kembali mendekati Reina. Salah satu kaleng yang berwarna jingga, gue sodorkan tepat di hadapannya. "Buat gue?" tanya Reina. "Emang ada orang lain di sini?" Reina tersenyum. "Thanks, Zan." "Hmm!" 'cessh!' gue ngebuka kaleng gue, mengeluarkan bunyi desis yang sangat gue sukai. Setelahnya, gue nenggak isinya tanpa jeda sedikitpun! 'glek!' 'glek!' 'glek!' Sampai tandas. 'eeeeerrrggg!' "Aaaargh!" lirih gue seraya mengernyit saat residu udara dari soda yang gue minum menghantam hidung dan tenggorokan gue. Dahsyat ma bro! 'Hahahaha!' Tawa Reina menggema di samping gue. "Lo ngapain sih?" kekehnya. "Njing! Sakit, Rei!" Reina terus saja tertawa. Sementara gue masih senam muka dan gosokin hidung gue. "Nih!" ujarnya seraya menyodorkan selembar tissue ke gue. "Ada cola di dagu lo." "Bersihin dong." pinta gue. Usil. Reina nurut aja lagi. Dengan lembutnya dia ngelap dagu gue, dan bikin ribuan kupu-kupu di perut gue bangun dari tidurnya. "Udah." "Thanks, Rei." "Hmm..." "Lo ngapain di sini sendirian?" tanya gue, kembali ke mode serius. "Ga ada. Lo ngapain?" "Abis dari lab komputer. Mau balik." Ya, kalau dari jurusan gue, untuk ke parkiran fakultas emang pasti ngelewatin taman ini. "Oh. Ya udah gih. Udah mendung tuh." ujar Reina lagi, lalu menyesap sodanya. "Lo ga balik?" "Udah jam segini, Zan... Mau hujan juga. Ribetlah ujan-ujanan di terminal. Naik turun angkot. Belum ngambil barang di kosan." "Gue antar. Yuk?" "Antar?" "Iya, gue antar sampai rumah lo." "Rumah gue udah ga di kali malang lagi. Udah pindah." "Ke cibubur kan?" "Iya." "Ya ga apa-apa." "Tapi nanti lo malah jadi jauh baliknya." "Ngga Rei. Santai. Yuk?" "Beneran ga apa-apa?" "Iya." "Ya udah, ke kosan gue dulu ya?" "Oke." Nyaris dua puluh menit gue menunggu Reina dari balik kemudi, akhirnya cewek itu kembali duduk di samping gue. "Sorry, Zan. Lama ya? Tadi gue mindahin jemuran dulu soalnya." "Ga apa-apa. Udah bisa berangkat nih?" "Iya, udah." "Oke." Hujan pun mulai turun begitu roda mobil gue berguling pelan meninggalkan tempat Reina tinggal di kota ini. Dan sekarang, sudah nyaris satu jam, tak ada suara lain selain senandung koleksi lagu dari ponsel yang gue koneksikan ke audio mobil. "Rei..." Gue nyoba ngajak Reina bicara lebih dulu. "Ya?" "Lo kenapa?" Reina hanya diam, menatap lekat jalanan yang cukup padat di hadapan kami. "Sorry, gue harusnya ga nanya ya?" ujar gue lagi. "Gue baru putus sama Ervin." "Iya, gue tau." "Lo tau?" "Hmm." Lagi, Reina kembali diam. "Lo mau melakukan sesuatu biar ga sedih?" tanya gue lagi. Reina menggeleng lemah. "Atau mau cerita ke gue?" Kali ini, Reina terkekeh pelan. "Kok malah ketawa?" "Lo pendengar yang baik?" tanyanya balik. "Sepuluh menit pertama." Kini cewek manis itu tertawa renyah. "Tapi gue jamin, rahasia lo aman sama gue!" "Karena lo cuma bisa fokus di sepuluh menit pertama, dan hanya sekian persen yang mungkin akan lo ingat?" Gue terkekeh, lalu mengangguk. 'Plak!' tamparan kecil mendarat di lengan gue. "Farzan ih!" "Gitu dong Rei... Senyum, ketawa. He doesn't deserve you!" "Then who is worthy?" "Me?" ujar gue seraya mencengir. Reina ga tau aja jantung gue kebat kebit. "Bercanda aja lo!" "Ya makanya, udahlah, sedih jangan lama-lama. Malah bikin dia tinggi hati nanti." "Iya." "Apa yang lo sesali?" Reina termenung, memberi jeda. "Hari dimana gue mengiyakan ajakan jadian." Gue memilih diam, membiarkan Reina mengeluarkan isi hatinya. "Karena dari situ, dia berkali-kali mengcopy tugas gue, dan beberapa kali gue ditegur asdos karena isi tugas gue dan dia sama persis." Dada gue mulai memanas. "Karena dari situ, gue ngebiarin dia ngebentak gue di warung nasi gorengnya Bang Adli, lalu ninggalin gue begitu aja. Dan dengan bodohnya gue ngejar dia yang bahkan langkahnya ga bisa gue susul. Lo tau kan dia ngekos di rumah biru. Dan lo pasti tau itu kosan di bawah banget, jalannya sempit, turun, gelap. Gue ngerendahin diri dengan ngejar dia tanpa sedikitpun dia noleh ke belakang mastiin keadaan gue. Sampai di kosan dia, dia ngunci pintu, ga mau keluar sama sekali." Genggaman kedua tangan gue di roda setir menguat, bahkan buku-buku tangan gue sampai memutih, urat-urat tangan gue pun bertonjolan. "Karena itu, gue jadi jarang pulang. Dijanjiin dating berkali-kali, tapi akhirnya dia rapatlah, orasilah, inilah, itulah, dan waktu gue terbuang gitu aja." "Stop it, Rei!" tegas gue. "Farzan?" lirih Reina. Mungkin dia bingung kenapa tiba-tiba gue bersikap begini. "He doesn't deserve you, Rei! So please, jangan nyalahin diri lo atas semua perbuatan dia." "Tapi dia begitu karena gue biarin kan Zan?" "Emang lo ga pernah nyoba ngomong sama dia sebelumnya?" "Pernah." "That's it! Dia yang ga mau berubah. Jadi kenapa lo justru nyalahin diri lo sendiri?" "Lantas gue harus gimana? Emang selalu begitu kan?" Gue mengerutkan kening gue, mencoba mencerna tanya yang baru saja tertuturkan. "Selalu?" "Sama Rendy juga gitu kan Zan? Gue nyoba untuk ngomong baik-baik, nyatanya apa? Dia semakin menjauhi gue, dan akhirnya mutusin gue karena dia udah jadian sama cewek lain di kampusnya. Lo ga ingat itu? Bahkan lo nutupin kelakukannya Rendy! Lo ngebiarin dia khianatin gue!" Reina menangis. Suara tangisannya begitu menyayat hati gue. Rendy adalah mantannya Reina. Dan Rendy adalah sahabat gue. Walaupun sekarang hubungan kami semakin merenggang, mungkin karena kami kuliah di kampus yang berbeda. Gue pernah bilang sama Reina, kalau Rendy nyuruh gue jagain dia. Dan mungkin karena itu, ngejagain Reina jadi kebiasaan tersendiri buat gue, meskipun status hubungan mereka tak lagi sepasang kekasih. Tapi soal Rendy yang selingkuh, gue ga tau sama sekali. Gue justru tau dari Reina saat dia nuduh gue nutupin kelakuannya Rendy. Itu dua tahun yang lalu, waktu kami masih baru memulai masa-masa kuliah. Masih di pertengahan semester satu. Bahkan gara-gara itu, gue nyaris baku hantam sama Rendy sangkin ngerasa ga terimanya gue dituduh nyembunyiin kelakuan b***t sahabat gue itu. "Rei, sekali lagi, gue ga tau Rendy udah punya cewek lain. Demi Allah Reina... Gue ga tau!" Reina justru semakin menangis. "Kita berhenti dulu. Gue ga bisa nyetir sementara lo nangis kayak begitu." Gue membelokkan kemudi, masuk ke sebuah gas station, mengisi bahan bakar, lalu menepikan kendaraan gue di pelataran parkir tepat di samping sebuah mini market. "Tunggu ya, gue beli minuman sebentar." ujar gue seraya mengusap lembut surai Reina. Reina yang masih saja meneteskan air matanya hanya mengangguk lemah. Begitu dua cup minuman hangat sudah ada di genggaman gue, gue pun kembali masuk ke balik kemudi. "Lo prefers hot chocolate or hot butterscotch latte?" "Hot chocolate." lirihnya, parau. Gue menyodorkan cangkir hangat itu. Membiarkannya menyesap cairan manis itu perlahan. "Better?" Reina mengangguk. "Thanks, Zan..." "You're very welcome." "Maaf selama ini gue nuduh lo soal Rendy." "It's ok. Lo butuh orang untuk lo salahin." "Kok lo ngomong gitu?" "Gue ga keberatan kok, Rei... Asalkan lo baik-baik aja. Lo moves on. Lo ceria lagi. Itu cukup buat gue." 'tes!' air matanya kembali menetes. "Everything will be ok. Mau peluk?" Ga gue sangka, Reina mengangguk. Dengan gerakan kaku, gue membiarkannya menyandarkan kepalanya di bawah dagu gue, sementara kedua tangan gue melingkar di pinggang dia. Gue mengambil cup dari tangan dia, meletakkannya di atas drink holder. Membiarkannya mengusaikan kesedihannya hari itu sebelum melajukan kembali mobil kesayangan gue ini menuju kediamannya. *** Sudah hampir empat minggu aku menghindari Ervin. Berkali-kali ia mencoba mendekatiku kembali, berkali-kali itu pula aku terang-terangan menjauh. Bahkan teman-teman sekosannya yang begitu mendukung hubungan kami ikut berorasi, memaparkan betapa hancurnya Ervin pasca putus denganku. Cukup! Aku tak mau lagi mengulang hari-hariku dengannya. Berstatus sebagai kekasih seseorang tetapi rasanya seperti tak punya siapapun. "Rei... Jam tiga ini kita tanding lho sama anak Ilkom. Lo nonton ga?" tanya Nina, seorang teman yang cukup dekat denganku. Kami baru saja selesai kuliah terakhir kami hari ini. "Oh, hari ini ya?" "Iya." "Boleh deh." "Cieee... Lo mau nyemangatin siapa nih?" Nina justru meledekku, usil. "Siapa?" "Ervin?" "Udahlah Nin. Kalau lo ikut-ikutan juga, gue mendingan jalan sendiri nanti ke lapangan basket fakultas." ketusku. "Yah, sorry deh... Ga lagi deh gue ngecengin lo." "Gue udah ga ada hubungan apa-apa sama dia, Nin. Please, at least lo ngerti dong." "Iya, Reina. Iya." "Gue mau ambil fotokopian, terus beli minum, baru ke lapangan." "Oke. Gue take kursi buat lo ya?" "Oke." Begitu aku memasuki gymnasium fakultas, kedua team sudah berada di tengah lapangan. Papan bertuliskan Ilmu Komputer VS Teknik Lingkungan terpasang gagah di salah satu sisi lapangan. Di depan sana, Farzan sedang melakukan jumping jack seraya mencengir kepadaku. Aku usil mengikuti gerakannya dari pinggir lapangan, yang malah membuatnya tertawa dan menghentikan pemanasannya. Lalu, mendekatiku. Farzan mengambil botol air mineral dingin dari tanganku, menenggak air itu hingga nyaris setengahnya. Setelahnya, ia mengembalikannya padaku. "Lo dukung gue kan?" tanyanya seraya menaik turunkan alis matanya. "Dih, ngapain amat!" "Yah, Reina maah!" ujarnya seraya memberengut, lalu misuh-misuh dengan bibir yang maju beberapa senti. Aku terkekeh geli, ia pun balas tertawa renyah. "Semangat Farzan!" ujarku seraya mengepalkan tangan kanan. Farzan membalas dengan mengepalkan kedua tangannya. "Inget ya, gue dukung lo doang. Lo doang." "Oke, cantik!" kekehnya. Aku lalu melangkah, menuju kursi penonton yang berada di sisi kiri. Sekilas kedua netraku dan Ervin bersirobok. Entah apa penyebabnya, ada amarah yang terpancar di sana. Babak pertama pun dimulai. Awalnya, aku tak begitu fokus dengan permainan di hadapanku, justru asik melihat-lihat koleksi di salah satu aplikasi e-commerce, hingga bunyi peluit disertai teriakan "FOUL!" menggema – membuatku mengangkat kepalaku. Di sana, Farzan dan Ervin beradu pandang, saling menatap garang. Selanjutnya yang kulihat adalah para pemain dari team Ilkom berbaris di bawah ring, lalu Farzan berbalik, berdiri di titik tengah lingkaran, menerima bola yang dipantulkan wasit padanya. Saat itu aku tahu, Ervin mengincarnya. Dua kali tembakan dua point sebagai kompensasi pelanggaran yang dilakukan Ervin pada Farzan, diselesaikan Farzan dengan baik. Setelah itu, kedua netraku tak lepas memandangi permainan mereka. Jelas terlihat, Ervin yang terus saja mengganggu Farzan, mencari celah untuk menjatuhkan Farzan kembali. "FOUL!" pekik wasit lagi. Kali kedua. Dua kali tembakan dua point pun kembali didapatkan oleh team Ilkom. Lagi, Farzan yang melakukan shot-nya. "Rei..." lirih Nina yang duduk di sampingku. Aku tau, Ervin memang sangat keterlaluan di tengah lapangan sana. Mendekati babak pertama berakhir, Farzan berdiri di hadapan Ervin yang sedang membawa bola. Tepat di two-point area, entah apa yang ada di pikiran Ervin, ia menggenggam bola, berputar seraya mengangkat kedua sikunya tinggi, seolah ingin melewati Farzan – siku itu mendarat keras di tulang pipi Farzan. 'BUGH!' 'BRUGH!' Farzan terhempas, terjerembab tepat di bawah kaki Yudis, salah satu sahabat Farzan. "ANJ*NG!" pekik Yudis seraya merangsek maju ingin menghajar Ervin. "DARI TADI LO ANJ*NG MAIN GA BERES! NYARI MASALAH LO?" Semua pemain berusaha melerai keduanya. Ervin yang tak mau kalah, Yudis yang tak terima. Sementara Farzan masih terbaring ditemani salah satu wasit. Aku berlari ke tengah lapangan, entah dari mana kekuatan dan keberanianku itu. Aku bersimpuh di samping Farzan, membantunya duduk. Dan seketika, keributan di belakangku menjadi senyap. "Udah mainnya ya, kita ke klinik." ujarku lembut. "Gue ga apa-apa, Rei." balas Farzan seraya mencengir. "APAAN YANG GA APA-APA?" pekikku. Cukup, aku yang tak terima jika Farzan menjadi sasaran kemarahan Ervin. Farzan terdiam, menatapku lekat. Aku berdiri, mengulurkan kedua tanganku. Farzan menyambutnya, membiarkanku membantunya berdiri. "Masukin si Benny, Dis." ujar Farzan pada Yudis. Yudis mengangguk, lalu melangkah ke pinggir lapangan, mengambilkan tas milik Farzan. "Rei..." lirih Ervin begitu kami berbalik dan hendak melangkah meninggalkan lapangan. Aku tak memperdulikannya, terus melangkah bersama Farzan dengan menyisipkan kedua tanganku di salah satu sikunya. "Rei, gue ga apa-apa!" ujar Farzan begitu kami keluar dari pintu gymnasium. "Berisik lo!" "Astaga..." keluhnya lagi. "Lo bikin kehebohan tau ga Rei?" "Kehebohan apa?" "Lo ga liat mereka sampe berhenti pengen adu jotos begitu lo lari ke tengah lapangan? Dekatin gue." "Masalah buat lo?" sulutku. "Hah?" "Kenapa? Lo tinggal bilang cewek mana yang lagi lo incar biar gue yang jelasin kalau gue cuma ga mau lo makin bonyok dibikin Ervin!" "Astaga Tuhan!" "Udah ayo buruan ke klinik sebelum muka lo jadi ga bisa dikenalin!" Farzan tak menyahut, mengikuti langkah kakiku yang menghentak-hentak karena amarah. "Lho, kenapa ini?" tanya Dokter yang memeriksa Farzan. Farzan justru mencengir lebar. "Bukannya adu basket malah adu sikut, Dok!" ujar gue, ketus. Dokter itu justru terkekeh. "Ada pusing? Muntah? Pandangan berkunang?" "Ngga, Dok." jawab Farzan. "Ga apa-apa. Paling lebam aja nanti. Istirahat aja dulu sambil di kompres ya?" "Iya, Dok." Dan di sinilah aku berada. Duduk di atas ranjang pasien. Berhadapan dengan Farzan. Menyangga kantung kompres dalam genggamanku. Entah kemana harus kutujukan pandanganku ini, karena sedari tadi Farzan begitu lekat menatapku. Aku menyerah. Jantungku berdetak menggila ditatap seperti itu. Satu tanganku yang bebas terulur, menutup kedua netra Farzan. Farzan justru tertawa renyah. Ia lalu menggenggam tanganku, membawanya turun dari kedua netranya. "Rei..." "Apa?" "Gue atau Ervin?" "Maksud lo?" "Lo lari ke tengah lapangan karena gue atau Ervin? Karena lo khawatir sama gue atau Ervin?" "Maksud lo, lo pikir gue begitu karena takut imagenya Ervin jelek?" "Mungkin." "Astaga!" Kesal sekali rasanya. "Lo masih sayang ga Rei sama Ervin?" "Ngga!" ketusku cepat. "Beneran?" "Iya!" "Rei..." "Udah sih Farzan! Gue ga punya perasaan apa-apa sama Ervin! Ilfil!" "Rei..." "Apa?" "Sama gue sayang ga?" "Sayang!" jawabku spontan. Aku langsung terdiam. Membeku seketika. Perlahan, aku menggerakkan manik mataku, menatap miliknya. Farzan, tersenyum. "Ngapain lo senyam-senyum?" ketusku, salah tingkah. Ia justru terkekeh geli. "Iiih! Jangan ketawa!" "Iya, Rei... Sorry!" kekehnya lagi. "Farzan!" "Iya, maaf..." masih mengekek geli. "FARZAN!" *** Hari ini, Reina ulang tahun. Dan hari ini, dia selesai kuliah jam tiga sore. So, lima menit lagi kuliahnya berakhir, dan gue udah siap dengan sebuket bunga di tangan gue. Gue pengen ngajak dia makan di tempat yang lumayan special. Bukan tempat yang romantis, tapi tempat makan dengan porsi jumbo karena gue dan Reina kalau makan ga pake jaga image. "Rei! Tunggu dong Rei!" Gue menoleh, menatap Reina yang langkahnya dihalangi Ervin. "Rei, udah tiga bulan lho kamu kayak nganggap aku ga ada." lirih itu cowok. "Elo yang bikin gue begini! Sikap lo tuh ngga banget tau ga Vin! Kita tuh udah putus!" "Rei! Aku tau aku salah. Aku minta maaf. Lagipula masa kepengurusanku udah mau berakhir. Ga akan ada lagi kegiatan yang ganggu waktu kita Rei. Please... I love you, and you know that." "Sayangnya gue ga lagi mencintai lo." "Karena Farzan?" 'Wah, gue dibawa-bawa!' "Ada apa sama gue?" tanya gue dari balik punggung Ervin. Ervin berbalik, menatap gue geram. Sementara teman-teman Reina berjalan mendekat dari balik punggung Reina. Gue, ga bakalan ciut cuma karena dipelototin! Dia sikut aja gue maju terus, apalagi dipelototin doang! Hah! "Happy birthday, cantik!" ujar gue tulus seraya menyodorkan buket yang gue bawa. 'prak!' Ervin menepis buket itu, membuat rangkaian bunga yang gue bawa terjatuh ke lantai. 'PLAK!' Gue membeku, menatap iba pada Ervin yang mendapatkan tamparan dari tangan Reina. Ervin pun tak mampu bergerak, bahkan menahan napasnya. Begitupun teman-teman Reina, tak ada yang melanjutkan langkah karena melihat adegan menyahat hati di hadapan mereka. "Sekali lagi gue tegasin. We're done!" ujar Reina. Ia lalu menunduk, mengambil buket bunga yang terjatuh tadi. "Dan tamparan gue ga ada seberapanya dibandingin siku lo yang bikin Farzan lebam nyaris dua minggu!" "Rei..." kali ini gue bersuara. "Ayo, Zan." "Oke." Reina menyelipkan tangannya yang bebas di siku gue, melangkah beriringan meninggalkan Ervin yang masih saja membatu. Sepanjang jalan, gue ga mengungkit apa yang terjadi sebelumnya, memilih membicarakan hal-hal ringan atau bernyanyi bersama. Gue ga mau moment gue berdua Reina hari ini kacau gara-gara satu nama, Ervin. Kami tiba di kawasan puncak saat hari sudah senja. Karena menjelang akhir pekan, lalu lintas ke daerah ini memang luar biasa padat. Gue dan Reina memutuskan untuk menegakkan tiga rakaat kami terlebih dahulu sebelum lanjut ke tempat tujuan. "Sate?" tanya Reina tepat saat gue mematikan lampu mobil usai memakirkan kendaraan yang kami tumpangi. "Iya." jawab gue seraya mencengir. Gue emang ngajak dia ke sebuah rumah makan yang menjual olahan daging kambing teranyar seantero Puncak. Bahkan orang-orang rela antri sampai tengah malam demi makan di tempat ini. "Jauh banget lo bawa gue makan sate?" kekeh Reina. "Lo pasti suka, Rei! Gue jamin! Sop-nya apa lagi, beuh ga ada lawan!" "Mmm, kambing kan?" "Lo ga suka kambing?" "Kalau bau gue ga suka." "Ga ada baunya sama sekali. Asli enak banget, Rei! "Oke... Then, let's try!" Gue tersenyum, menatap dia lekat. "Ga apa-apa kan aku bawa ke sini?" Reina tertegun, mungkin karena kata ganti gue menjadi aku yang tersisip di kalimat tanya gue tadi. "Hmm..." "Aku pengen kamu nikmatin apa yang kamu makan. Ga perlu jaim seperti kalau aku milih candle light dinner untuk ngerayain ultah kamu." "Farzan..." "Ya?" "Bulu kuduk Reina berdiri..." Gue malah tertawa geli, Asli dah, susah banget mau romantis sama ini cewek. "Cepetan sih, kita kapan turunnya? Pintu ini ga bisa dibuka lho, mentok Zan." "Jawab dulu pertanyaan aku." "Pertanyaan yang mana?" "Yang ini... Rei, kamu mau ya pacaran sama aku?" Kedua netra Reina membola, menatap tak percaya pada gue. "Aku serius, Rei..." "Oh..." "Mau?" "Farzan..." lirihnya, bingung hendak menyuarakan pikirannya. "I love you." Reina kembali terdiam. Kedua manik kelamnya masih menatap gue. Gue menelisik wajahnya, hari ini ia mencerahkan wajahnya. Untuk gue. Untuk menghabiskan waktu sama gue. Tangan kanan gue terulur, menyentuh lembut garis lehernya, lalu menopang kokoh tengkuknya. Jarak pun gue papas, hingga tak lagi menjadi penghalang. Gue menutup kedua netra saat bibir gue bersinggungan dengan bibirnya. Mengecup perlahan beberapa kali, lalu membuka bibir gue, menyisipkan bibir manisnya di sela keduanya. Sekali... Dua kali... Berkali-kali... Hingga bibirnya pun terbuka, membalas kecupan-kecupan yang sejak tadi gue berikan. Tangan kiri gue pun menyisip dari sisi kanan tubuhnya yang menyamping menghadap gue, kini melingkar dan menopang punggungnya. Memperdalam ciuman pertama kami. "Rei..." desah gue di bibirnya. "Hmm..." "Kamu buru-buru?" "Ngga..." Kami bicara dengan kedua bibir kami yang masih saling bersinggungan. "Warung satenya buka sampai tengah malam." "Terus?" "I still want to kiss you." "Hmm..." "We're lover, right?" "Hmm..." "Say it baby..." "I love you too, Zan!" 

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD