PILIHAN

3142 Words
"Zane, ga apa-apa lo?" tanya Remy pada sahabatnya yang sedari tadi mendengus frustasi berkali-kali. Zane mematikan layar ponselnya, meletakkan benda itu di sisi sebelah kanannya. "Masih lama?" Zane malah balik bertanya. "Belum juga jam lima. Kenapa sih lo?" "Ga tau deh. Pengen balik gue." "Fay lagi?" tembak Remy. "Makin ke sini ada aja yang bikin gue kesel." "Ya gitu bro kalau hubungan jarak jauh." "Taiklah!" ketus Zane. Remy terkekeh seraya menepuk-nepuk bahu Zane. "Hubungan lo udah ga sehat kalau saban hari kerjaannya cuma ribut, bro. Lo omonginlah baik-baik sama Fay. Dia masih suka video call kan?" "Coba lo bayangin Rem, dia nyuruh gue dateng ke keluarga dia untuk ngelamar dia. Sementara dia masih di LA. Waras ga tuh?" "Heh, cewe lo lho itu." "Ya makanya gue tanya. Waras ga menurut lo cewe gue?" "Dia takut kali lo selingkuh." Zane mendengus lagi. "Sebenernya kalau lo klik sama dia, tanpa dia suruh pun lo bakalan ngelamar sih, bro. Ga perduli dia di sini atau di sana." "Maksud lo?" "Sejak lo balik ke sini dan Fay di LA, lo masih suka ke rumah dia ga? Sekedar nyapa nyokapnya." Zane menggeleng. "Nah itu maksud gue. Lo sayang dia, tapi gue ragu dia yang lo mau." Telak. Zane terdiam mendengar tuduhan Remy. "Woy!" tegur seorang perempuan yang baru saja menghampiri meja mereka. Remy dan Zane refleks mendongak ke sumber suara. Remy otomatis mengangkat kedua sudut bibirnya. "Nura... Sayangkuuu!" ujar Remy seraya berdiri dan membentangkan kedua tangan. "Sayang-sayang! Pala lo peyang!" ketus Nura seraya menempeleng kening Remy. "Neng... Ulah kitu atuh sama Aa!" rajuk Remy. "Boleh duduk ga nih gue?" "Eh iya! Duduk dah." "Ini siapa?" tanya Remy pada seorang perempuan yang ikut menemani Nura sore itu. "Sahabat gue. Kania." Kania mengulurkan tangannya pada Remy. "Kania." "Remy." Lalu berlanjut mengulurkan tangan pada Zane. "Kania." "Zane." Dan akhirnya Zane mengulurkan tangan pada Nura. "Zane." "Nura." "Lo yang mau nikah?" tanya Nura pada Zane. "Eh bukan!" jawab Zane tanpa berfikir sama sekali. "Abang gue yang mau nikah." ujar Remy menengahi. "Oh." "Terus? Abang lo ga ikut?" "Ngga. Hari ini lagi mau nemenin calonnya survey baju pengantin katanya." "Oh. Kenapa lo milih gue?" "Lo yang ngurusin nikahannya Aryo kan?" "Oh. Iya." "Ah oh ah oh aja lo!" Nura mencengir. "Aryo yang rekomendasiin. Ya sama temen sendiri yakinlah dibela-belain maksimal. Ya kan Ra?" "Oke. Pasti itu! Tapi kayanya mending gue ketemu deh sama Abang lo dan tunangannya. Kalau sama lo gue presentasiin pasti ga nyambung. Yakin gue." "Maksud lo?" "Susah ngomongin nikahan sama jomblo ngenes!" "Asyem!" Zane dan Kania terkekeh geli, sementara Nura menjulurkan lidahnya meledek Remy. "Gimana? Bisa ga lo atur gue ketemu sama calon mempelai?" "Iya! Gampang itu." "Info ya. Secepatnya." titah Nura. "Sip. Kita makan dulu ya?" jawab dan tanya Remy. "Gue dan Kania mau nonton. Lagian masih sore sih buat makan malam." "Lo masih mau balik Zane?" tanya Remy pada Zane yang sedari tadi hanya menyimak percekcokan sahabatnya itu dengan Nura. "Kenapa emangnya?" "Ya daripada main solo lo malem minggu gini." "Eh b*****t lo! Mulut!" omel Zane. Remy mengangkat kedua tangannya menutupi mulutnya sendiri. "Sorry, bro. Bercanda!" ujar Remy seraya mencengir dan menaik turunkan alisnya. "Ya daripada lo bengong, nelangsa malem minggu sendirian. Mending kita ikutan mereka nonton. Gimana?" tanya Remy lagi. "Emang mereka ngijinin lo ikutan?" tanya Zane sinis. "Kalau gue doang pasti Nura nendang gue, bro. Kalau sama lo gue yakin Nura ga akan ngedepak gue." Nura terkekeh geli mendengar jawaban Remy. "Boleh, Ra?" tanya Zane pada Nura. "Boleh." "Cowo lo ga salah paham jalan berempatan gini?" "Gue ga punya cowo." jawab Nura. "Sama gue mau ga Ra?" tanya Remy polos. Ia bukannya main-main, hanya saja Remy berusaha bersikap sedatar mungkin, khawatir jika Nura tau ia menyukainya justru membuat teman SMAnya itu menjadi tak nyaman. "Kemana aja sih lo? Cape gue nungguin lo!" ketus Nura. Remy membeku. Jawaban Nura tak pernah disangkanya sama sekali. Ia pikir Nura akan marah atau kesal menanggapinya, tetapi yang ada justru wajah perempuan itu terlihat mendung. "Ra?" Kania dan Zane ikut bungkam melihat interaksi dingin yang tercipta antara Remy dan Nura. "Lo berdua udah kan cemal-cemilnya? Yuk pesan tiket dulu, biar dapet tempat duduk yang enak. Gue dan Kania pengen ke Timezone dulu sebelum magrib." "Ra?" "Yuk, Ka..." ajak Kania seraya berdiri dan menarik tangan Kania, menjauh dari dua pria yang melongo menatap punggung mereka. --- "Tiket pegang masing-masing ya!" ujar Remy dengan menunjukkan empat tiket yang sudah digenggamannya. Ia lalu memberikan masing-masing satu tiket pada Nura, Kania dan Zane. "Lho? Kok gue dan Kania pisah baris?" "Iya, kamu sama aku!" ujar Remy. "Hah?" Zane melirik nomor kursi di tiket Kania, lalu terkekeh menyadari maksud terselubung dari Remy. "Lo berduaan dulu ye! Gue kencan dulu sama Nura!" ujar Remy pada Zane dan Kania seraya mengulurkan tangannya pada Nura. "Ih, apaan sih lo!" omel Nura. "Iyain aja, Ra! Lo ga mau kan beruk satu ini bikin kita malu di mall ini?" ujar Zane, membantu misi Remy. Nura mendengus, sadar dirinya tak punya pilihan lain. Malu atau ikut kemana Remy pergi. "Ra?" tegur Remy. "Ya udah ayo. Gue bisa jalan sendiri! Lo pikir kita truk pake gandengan!" ketus Nura lagi seraya melangkah terlebih dahulu meninggalkan Remy, Zane dan Kania yang lagi-lagi terkekeh geli. "Jadi?" tanya Zane pada Kania, memecah atmosfer dingin yang menyelimuti keduanya setelah Remy dan Nura meninggalkan mereka. "Jadi apa?" "Jadi kita ngapain nih?" tanya Zane lagi. "Oh... Ngapain ya? Lo prefer buku atau es krim?" "Karena gue baru beli lima buku minggu kemarin, gue prefer es krim." Kania tertawa renyah. "Oke." "Lo sekedar nemenin Nura atau emang sama-sama ngerjain WO ini?" tanya Zane lagi memulai percakapan agar tak canggung pada Kania. "Oh, WO ini usaha kita berdua." "I see..." "Kalau Zane? Satu kerjaan sama Remy?" "Iya. Remy IT, gue finance." "Ah. Ya ya ya." "Eh, Ka... Lo ga apa-apa jalan berdua gini sama gue?" "Kenapa emangnya?" "Ya, kali lo mau ngubungin cowo lo dulu biar ga salah paham." Kania terkekeh. "Ga ada cowo yang perlu gue laporin gue lagi ngapain. Elo kali, udah lapor belum sama cewe lo?" Berbalik. Pertanyaan yang Zane lontarkan bak bumerang, kembali padanya. Zane diam saja, bertepatan dengan langkah mereka yang sampai di sebuah gerai es krim. "Praline 'n Cream. Single." pinta Kania pada pelayan di balik etalase es krim. "Lo mau rasa apa Zane?" "Apa ya?" "Biasanya rasa apa?" "Biasanya nyomotin punya adik gue." Kania terkekeh geli. "Lo sukanya apa?" "Kopi." "Oh, Jamoca Almond Fudge mau?" "Itu rasa kopi?" "Iya, ada kacang almondnya juga. Ada coklatnya juga. Enak kok." "Oke." "Single atau double?" "Single aja, Ka." "Jamoca Almond Fudge-nya single ya mba..." pinta Kania lagi pada sang pelayan. "Suka, Zane?" tanya Kania saat Zane mulai menikmati es krim di hadapannya. "Banget. Enak, Ka. Make me feel better." gumam Zane. Kania tersenyum, lalu mulai menikmati es krim miliknya. "Nih, cobain punya gue, Zane." ujar Kania seraya menyodorkan sesuap es krim di depan mulut Zane. Zane terdiam, membeku melihat perlakuan Kania. Tetapi jika diperhatikan, Kania terlihat biasa saja bersikap seperti itu padanya. "Ih malah bengong, keburu cair ini Zane." Zane membuka mulutnya, melahap suapan yang diberikan Kania. "Enak ga?" "Iya enak. Enak banget, Ka." "Enak mana sama punya lo?" "Enak punya gue." Kania memajukan bibirnya, memberengut, membuat Zane kembali tertawa renyah. "Boleh tau es krim ini bikin lo lebih baik karena apa?" Zane terdiam mendengar pertanyaan Kania. "Ya ga apa kok kalau lo ga mau cerita. Gue pikir, belum tentu juga kan kita bakal ketemu lagi setelah ini. Kadang-kadang cerita sama orang baru lumayan ngelegain lho Zane." "Lo pernah?" Kania mengangguk. "Sama Nura. Awal kita ketemu, pas nyokap gue belum lama meninggal." "Oh. Turut berduka ya Ka." "Iya. Makasih. Udah lama kok Zane." "Hmm..." "Ga nyaman ya? Atau lo mau ngelakuin sesuatu? Lumayan nih masih ada 45 menitan sebelum magrib. Main di Timezone?" "Satu setengah tahun lalu gue training ke LA. Enam bulan di sana, tiba-tiba gue dapet telpon kalau nyokap gue kritis di Rumah Sakit. Akhirnya gue nolak project yang ditawarin di sana untuk satu setengah tahun berikutnya." Kania memilih diam terlebih dahulu, menyimak setiap untaian kalimat yang Zane ucapkan. "Sejak saat itu, perasaan gue ke dia kaya nguap pelan-pelan." lirih Zane. "Dia? Cewe lo?" Zane mengangguk. "Dia masih di LA." ujar Zane lagi. "Saat itu, lo pengen dia balik ke sini bareng lo?" Zane mengangguk lagi. "Lo bilang sama dia?" "Bilang." "Bilang lo mau dia balik sama lo ke sini?" "Bukan. Bilang kalau nyokap kritis." "Tapi, harusnya dia paham kan Ka? Apa gue yang terlalu egois?" lanjut Zane lagi. "Mungkin dia juga punya alasan Zane." "Iya, gue tau. Dia punya alasan. Sedari gue jadian sama dia, gue tau gue bukan prioritas dia." "Maksud lo?" "Ya intinya prioritas dia adalah keluarga dia. Dan gue tau, itu ga salah sama sekali. Cuma entah kenapa, saat itu gue kecewa." "Terus, sekarang nyokap lo gimana keadaannya?" "Udah ga ada." "Ya Allah... Maaf Zane." "Ga apa-apa, Ka." Kania mengambil jeda. Membiarkan Zane menikmati beberapa suap es krimnya. Pun dirinya sendiri. "Waktu nyokap pergi, dia pulang?" tanya Kania lagi. Zane menggeleng. "Sayanglah Ka ongkosnya." Kania terdiam. Ya, ia tau, LA - Jakarta bukanlah sedekat Bekasi - Depok. "Dua tahun lalu, gue pacaran sama berondong sampai seminggu yang lalu. Beda empat tahun." Zane mengangkat wajahnya, menatap Kania lekat. "Satu setengah tahun pacaran, gue nanya ke dia, dia mau berapa lama pacaran sama gue. Umur gue udah 24 tahun waktu itu. Lo ngerti ga maksud pertanyaan gue ke dia, Zane?" Zane mengangguk. "Dan dia justru nunjukin berkas pendaftaran S1 dia. Ga ngejawab pertanyaan gue sama sekali." Zane masih menatap Kania lekat. "Sejak nyokap pergi, hidup gue berantakan. Gue ngerasa sendiri. Pikiran gue makin kacau kalau di rumah. Dan saat dia bersikap seolah ga perduli dengan kegelisahan gue, perasaan gue ke dia perlahan menguap." "Dia punya prioritas lain, Ka..." "Ya. Gue paham banget. Dan prioritas dia adalah keluarganya. Sama seperti prioritas cewe lo. Sama seperti prioritas lo dan gue. Bedanya, gue dan elo siap membagi prioritas itu, membaginya ke pasangan kita, menerima prioritas mereka sebagai prioritas kita juga. Gitu kan Zane?" Zane mengangguk lagi. "Dan sayangnya, kita merasa, kita dan prioritas kita ga masuk ke prioritas mereka." "Iya, Ka." "Jadi lo mutusin dia?" tanya Zane lagi. Kania mengangguk. "Pas dua tahunan, gue mutusin dia. Tanpa air mata sama sekali. Begitupun dia. Padahal enam bulan lalu waktu gue bilang gue kecewa dan minta putus, dia nangis sesenggukan, mohon-mohon biar gue ga ninggalin dia." Zane terkekeh. "Apa yang lo rasain sekarang Ka?" "Grateful!" "Why?" "Just like that." "Just like that?" Kania mengangguk. "Gue ga nyuruh lo untuk melakukan hal yang sama ya Zane. Karena situasinya belum tentu sama. Apa yang udah lo jalanin bareng dia belum tentu sama berartinya dengan apa yang gue jalanin dengan mantan gue dulu." "Hmm..." "Intinya, hubungan itu dijalanin dua orang. Kalau salah satunya atau keduanya udah mulai beda haluan, baiknya dipikirin lagi. Perbaiki atau akhiri. Itu menurut gue, Zane." *** Enam bulan kemudian. "Turun dulu kan yang?" "Fay..." lirih Zane. "Kenapa?" "Kita ngobrol sebentar ya?" Fay menatap wajah datar Zane, seperti tak ada emosi sama sekali di sana. Bahkan saat di bandara tadi Fay berlari ke arahnya, Zane juga memberikan wajah datar, pun tak membalas pelukannya. "Kamu marah ya sama aku?" lirih Fay. "Ngga." "Terus kenapa?" "Malam ini, terakhir aku nganter kamu pulang ya. Dan terakhir aku jadi pacar kamu." Fay membeku. Kedua netranya membola menantang manik mata Zane yang benar-benar terlihat tenang. Perih. Entah sejak kapan teduhnya tatapan Zane untuknya menghilang. 'tes!' Fay tak mampu menahan tetesan air matanya. "Maksud kamu apa?" "I want to end our relationship." Fay berusaha mengendalikan emosinya. Berkali-kali mengatur nafasnya. Tidak, ia tak boleh terlihat hancur di depan Zane. "Kamu suka sama perempuan lain? Atau bahkan kamu udah pacaran sama dia?" tuduh Fay. Zane terkekeh. Lalu mendengus. "Apa lagi sebabnya kalau bukan perempuan lain. Iya kan?" "Aku ga ngeduain kamu, Fay." ujar Zane. Lembut tetapi tegas. "Tapi ada cewe lain yang kamu suka?" Zane mendengus kembali. Lalu mengangguk. "Dasar b******n! Kalian semua memang sama! b******k!" Fay baru saja memegang handle pintu ketika suara Zane menyapa pendengarannya kembali. "Ternyata kamu masih sama. Selalu urung mendengarkanku." Fay kembali menyerongkan tubuhnya menatap Zane yang sudah duduk tegap menatap jalan di hadapannya. "Apa?" lirih Fay. "Kamu ga pernah mendengarkan aku, Fay." Fay terdiam. Entah kenapa ia tak bisa menyangkal pernyataan Zane. "Kamu ingat apa yang pertama kamu tunjukkan ke aku waktu kita baru jadian dua tahun lalu?" Fay masih diam. Kedua tangannya sudah mulai menautkan jari jemari. "Simulasi cicilan rumah. Untuk keluarga kamu. Lalu, begitu kita dapat surat dari perusahaan untuk training selama enam bulan di LA, kamu langsung bilang, akhirnya bisa dapat sumber uang untuk DP rumah itu." Fay mengerutkan keningnya. Air matanya sudah mengering. Kini pikirannya sibuk mengikuti kisah kasih mereka yang Zane tuturkan. "Dan waktu Ibuku kritis, kamu cuma bilang 'hati-hati' ke aku. Ditambah 'salam buat Ibu, Bapak dan Zena'. Padahal aku bilang, Ibu kritis Fay." lirih Zane. Fay menunduk saat Zane memalingkan wajahnya menatap wajahnya. "Setelahnya. Setelah aku kembali ke sini. Setiap kali kita kontak, yang kamu laporkan hanya sepi di sana ga ada aku dan jumlah DP rumah yang sudah terkumpul." "Zane..." "Fay... Aku bukan prioritasmu. Kamu tau pasti betapa aku mencintai kamu saat itu. Tapi aku bukan prioritasmu. Dan aku sangat-sangat bisa mengerti itu." 'tes!' air mata Fay kembali mengalir. "Aku paham betapa kamu mencintai Ibumu, Fay. Aku paham kamu ingin memberikannya yang terbaik yang ga pernah Ayahmu berikan. Kamu ingin memperlihatkan pada Ayahmu kalau kamu sanggup membahagiakan Ibumu. Aku sangat paham itu." "Zane..." isak Fay lagi. "Tapi Ibuku kritis saat itu Fay. Ibuku kritis." "Harusnya... Harusnya kamu... Kamu bilang... Zane..." ucap Fay dengan isakannya. "Bukan Fay. Harusnya kamu paham, aku ingin kamu disisiku melewati masa sulit itu. Seperti kamu paham bahwa aku tidak pernah merendahkan impianmu, bahkan aku sangat mendukungmu." "Maaf, Zane..." isak Fay lagi. "Sampaikan salamku untuk Ibumu dan Risha." "Zane... Aku minta maaf..." "Ga ada yang perlu dimaafkan, Fay. Kamu ga salah. Ini soal apa yang menjadi prioritas kita. Dan kamu ga salah. Jadi ga usah minta maaf sama aku." Kelu. Fay tak mampu membalas ucapan Zane. Ia tau ucapan Zane benar adanya. Sepanjang hubungan mereka, Fay memang memprioritaskan keluarganya, ingin memberikan kenyamanan bagi Ibu dan adiknya selepas pengkhianatan sang Ayah. Hanya saja Zane tak tahu, jika Fay melakukan itu karena ia berfikir jika mereka menikah nanti Fay tak mungkin memprioritaskan keluarganya. Selepas pernikahan, Zane adalah yang utama baginya. Masalahnya, semuanya pupus sebelum sampai di tujuan. "Zane... Aku seperti ini karena ---" "Karena kamu pikir jika kita menikah kamu tak akan bisa lagi menyokong penuh Ibu dan adikmu." potong Zane cepat. Fay kembali terdiam. "Satu lagi alasan untuk kita berpisah kan Fay? Kamu ga mempercayaiku." Fay benar-benar kelu. Semua ucapan Zane begitu menusuk relung hati dan egonya. Salah, ia memang salah mengambil sikap. "Hubungan kasih dijalankan oleh dua orang Fay. Apa pernah aku menutupi masalahku dari kamu? Apa pernah aku ga melibatkan kamu mengambil setiap keputusan yang mempengaruhi hubungan kita? Sayangnya, aku ga merasa kamu pun begitu ke aku." "Sanggahlah Fay jika aku salah paham." lanjut Zane lagi. Lagi-lagi, Fay tak mampu menjawab. Hening. Tak ada satupun di antara mereka yang bersuara. "Hati-hati, Zane." akhirnya hanya kalimat pendek itu yang mampu keluar dari mulut Fay. Kelu. Ia tahu tak mungkin lagi mempertahankan hubungan mereka. Zane begitu datar. Kasihnya untuk Fay lenyap entah kemana. "Thanks." jawab Zane dengan senyum tulusnya yang menorehkan luka nan dalam di hati Fay. --- Zane menepikan city car-nya tak jauh dari kediaman Fay. Mengeluarkan ponsel dari dalam laci dashboard-nya. Mencari satu nama yang dikenalnya sejak enam bulan lalu. [Zane]: Ka, udah tidur? [Kania]: Hai Zane... Belum. Lagi baca w*****d. [Zane]: Semalam bacanya innovel. [Kania]: Koinnya abis Zane. Hahaha [Zane]: Hahaha [Zane]: Ka, besok aku ke rumah kamu boleh? [Kania]: Besok? [Zane]: Iya. Kenapa? Mau pacaran ya? [Kania]: Pacaran sama tiang listrik depan rumah maksudnya? [Zane]: Hahaha [Zane]: Serius ih, boleh ga? [Kania]: Boleh. Bawain Meat Lovers ya. Yang dari restonya, bukan yang delivery. Extra cheese. [Zane]: Wkwkwkwkwk [Zane]: Oke. Ada lagi ga? [Kania]: Udah itu aja. [Kania]: Tapi kalau ngasih bonus kopi s**u literan boleh sih. Hahaha Zane terkekeh geli menatap layarnya. Perempuan di ujung sambungan sana selalu membuatnya riang enam bulan terakhir ini, walaupun mereka amat sangat jarang bertemu. Sekalinya bertemu tak pernah berdua, dan tak pernah disengaja. [Zane]: Hahaha. Siap! [Zane]: Share location dong Ka. [Kania]: -location map- [Zane]: Ok. See you, Ka. [Kania]: See you Zane. *** "Enak, Ka?" "Enak banget!" gumam Kania seraya mengunyah sepotong pizza di tangan kanannya. "Masih anget. Beli dimana?" "Ga jauh dari sini." jawab Zane. Zane lekat menatap Kania yang begitu menikmati makanannya. Noda saus di kedua ujung bibirnya seolah tak mengganggunya sama sekali. Bahkan Kania menerima kedatangan Zane dengan memakai homedress berwarna hitam polos, tanpa polesan make up dan hair do seenaknya yang hanya ia gelung ke atas menyisakan anak-anak rambut yang menjuntai di lehernya. Cantik, Kania tetap cantik dipandangan Zane. "Alhamdulillah. Makasih brunch-nya Zane." ujar Kania begitu menghabiskan tiga slice besar pizza yang Zane bawa. Zane terkekeh geli. Lucu melihat sikap natural Kania. "Makan Kania banyak ya?" kekeh Kania. "Ga sebanyak aku sih. Tuh sisanya kan aku yang ngabisin. Untung tadi beli dua, kalau ngga kasian Dara dan Ayah ga kebagian." Kania terkekeh lagi seraya menganggukkan kepalanya. "Ka..." "Ya?" "Zane duduk di samping Kania boleh?" Kania mengangguk, sementara Zane berdiri dari tempatnya duduk dan berpindah ke samping Kania. "Ka..." Kania hanya diam, tenggelam dalam tatapan lembut Zane. "Zane boleh ga sayang sama Kania?" lirih Zane. Kedua tangan Kania terangkat, menutup mulutnya yang menganga. "Kaget ya Ka?" Kania lagi-lagi mengangguk. "Emangnya Zane udah ga sama Fay lagi?" "Iya. Udah ngga." "Dari kapan?" "Resmi atau ga resmi?" Kania mendengus. "Resmi." "Semalam." "Nanti Fay kira Zane khianatin dia lho." Zane tersenyum. "Ih malah senyum." "Zane sayang Kania." "Zane..." lirih Kania. "Makasih udah bolehin Zane sayang sama Kania." "Hah?" "Kan tadi Kania bilang... 'Nanti Fay kira Zane khianatin dia.' Berarti kita jadian kan?" "Ya ampun, Zane." kekeh Kania. Zane pun ikut terkekeh. "Tapi, Zane pengen Kania jadi yang terakhir buat Zane." Kania terdiam lagi. "Zane boleh tunggu Ayah pulang?" "Zane..." "Zane pengen nemenin Kania. Kapanpun. Biar Kania ga ngerasa sendiri lagi. Dan Zane juga pengen ada yang nemenin Zane, kapanpun." 'tes!' air mata Kania tak mampu terbendung. "Boleh kan, Ka?" "Iya, boleh." lirih Kania, parau. Zane tersenyum. Kedua tangannya terulur menggenggam kedua tangan Kania. "Tau bakalan ada acara begini, tadi Kania dandan dulu." kekeh Kania. Zane mengikuti kekehannya. Zane mengikis jarak, melabuhkan kecupan hangat di kening Kania, lalu turun mengecup puncak hidung Kania, berdiam di sana, menyatukan kedua ujung hidung mereka. Satu tangan Zane terulur, mencengkram lembut tengkuk Kania, lalu lembut menyatukan bibir mereka. Selama beberapa saat tak ada suara apapun selain kecapan keduanya. "I love you, Ka..." lirih Zane dengan bibir mereka yang masih menempel. Kania mengecupnya sekilas, "I love you too, Zane." jawabnya lirih. ------------------------ 21 Januari 2022
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD