TERPENDAM

3080 Words
"Re... gue boleh masuk?" ujar Friska setelah mengetuk pintu kamarku beberapa kali dan membuka daunnya seraya menyelipkan kepalanya di sana. "Masuk aja Ka." "Ada apa?" tanyaku. Aku mematikan speaker bluetooth-ku lalu duduk bersila di atas ranjang. Sementara Friska memilih duduk di kursi belajarku yang posisinya bersebelahan dengan ranjang. "Re... gue mau nanya..." "Ya nanya aja." "Sebenernya, perasaan lo sama Ezza gimana?" "Perasaan gue sama Ezza?" "Iya." "Kenapa emangnya?" "Jadi, sebenernya dari awal ospek, Ezza itu udah suka banget sama lo Re..." Aku mendelik tak percaya. "Masa?" "Iya." "Terus?" "Tapi kata Ezza lo cuek banget. Mungkin karena lo masih pacaran sama Deon ya?" Aku mendengus. Rasanya setiap kali mengingat nama Deon, luka hatiku kembali menganga. "Terus kenapa, Ka?" "Gue tadi jadian sama Ezza, Re..." lirihnya. Aku terdiam. Sesaat kurasakan panas di dalam dadaku. Kecewa, pada diriku sendiri. Sebenarnya aku tau Ezza mendekatiku sejak awal kami berkenalan di masa orientasi mahasiswa baru. Hanya saja, karena saat itu aku masih sangat mencintai Deon, aku tak pernah menanggapi usaha Ezza. Bahkan saat aku berpisah dengan Deon tiga bulan yang lalu pun aku tak mengatakan pada siapapun, termasuk pada Friska, teman yang cukup dekat denganku di kost-an ini. Dan lucunya, kupikir selama ini Ezza mendekatiku karena menyukaiku. Tadinya aku berencana ingin mengatakan padanya bahwa aku tak lagi bersama Deon, yang kini pasti niat itu kuurungkan karena tak akan ada lagi gunanya. "Re?" tegur Friska, membuyarkan lamunanku. "Oh. Selamat ya Ka... Mudah-mudahan adem ayem. Awet-awet." Friska terkekeh seraya menganggukkan kepalanya. "Lo ga suka sama Ezza kan ya Re?" Aku tersenyum. "Harus gue jawab?" Friska mengangguk lagi. "Kenapa? Lo ga percaya kalau Ezza suka sama lo?" Senyum di wajah Friska seketika menghilang. Aku kembali mendengus. Tak bisa mengerti jalan pikiran temanku ini. Jika ia tak yakin Ezza menyukainya, kenapa ia menerima Ezza sebagai kekasihnya? "Gue yang suka sama Ezza, Re..." lirihnya. "Maksud lo?" "Gue yang mancing dia biar kami jadian." Aku terdiam. Tetapi sama sekali tak terkejut dengan fakta yang baru saja dituturkan Friska. Ya, karena sikap Friska memang seterbuka itu. Ia tak pernah ragu mengatakan apa yang ada di dalam hatinya, walaupun dia selalu menyuarakannya dengan cara yang lembut, bukan dengan cara yang frontal. Setidaknya sejauh ini begitulah penilaianku tentang Friska. "Ya udah, kalau gitu gue cuma bisa nyemangatin lo untuk bikin Ezza benar-benar jatuh cinta sama lo! Semangat Friska!" Friska kembali mengangkat wajahnya yang tadi ia tundukkan, menantang kedua netraku yang menatapnya. Friska tersenyum, walaupun aku tak tau apakah senyum itu tulus atau senyum yang terpaksa karena aku memberinya dukungan. "Makasih, Edrea." --- "Re!" "Hey, Za!" "Liat laporan praktikum kemarin dong." "Oh. Bentar." Aku membuka tasku, menyerahkan buku laporan praktikumku pada Ezza. Ezza membukanya, mencocokkan pekerjaannya terlebih dahulu dengan milikku. "Re, ini dapet dari mana?" "Yang mana?" "Ini, hasil akhirnya, kenapa dibagi empat?" Aku mengikuti arah pandang Ezza, lalu memberinya penjelasan tentang perhitungan yang kugunakan dalam laporan itu. Begitu Ezza paham, ia pun sibuk menghitung hasil dari datanya sendiri sementara aku tetap duduk di sampingnya seraya asik bersenandung pelan mendengarkan playlist dari ponselku. "I stay up all night Tell myself I'm alright Baby, you're just harder to see than most I put the record on Wait 'til I hear our song Every night I'm dancing with your ghost Every night I'm dancing with your ghost" Setelah selesai dengan laporan miliknya, Ezza mengulurkan tangannya mengambil salah satu earphone dari telingaku dan memasangnya di telinganya. "Kenapa dengerin lagu sedih gini sih? Ga ada yang nge-hype gitu, Re?" "Ah, protes aja lo! Siniin kalau ga suka!" ketusku. Ezza terkekeh, lalu satu tangannya terulur lagi, mengacak-acak puncak kepalaku. "Lo ga lagi putus cinta kan dengerin lagu begini?" tanyanya lagi. Aku masih terdiam. Terdiam karena tak pernah terbiasa dengan perlakuan manis Ezza padaku. Terdiam karena jujur saja, beberapa waktu belakangan ini, Ezza-lah yang membuatku tak larut dalam kesedihanku karena dikhianati oleh Deon. "Re?" tegur Ezza lagi. "Apa?" "Lo ga lagi putus cinta kan?" lagi-lagi Ezza bertanya. Dia memang selalu seperti itu padaku, tak akan berhenti bertanya sebelum aku menjawabnya. "MORNING CLASS!" sapa Prof. Morgan yang baru saja masuk ke ruang kuliah kami. Aku benar-benar berhutang budi padanya. Berkat kehadirannya, aku tak perlu menjawab pertanyaan Ezza. Setidaknya sampai kuliah ini berakhir 90 menit ke depan. "MORNING PROF!" jawab kami semua. "Re?" Ezza masih saja mendesakku. Aku memalingkan wajahku, menantang kedua netranya yang lekat menatapku. "Belajar!" ketusku dengan sikap seolah tak perduli dengan pertanyaannya. "You owe me your answer!" bisiknya di telingaku, membuat bulu kudukku tiba-tiba meremang begitu saja. Dan benar saja, begitu Prof. Morgan mengakhiri kuliah paginya, Ezza langsung menyerongkan kembali posisi duduknya, menatapku lekat. "Re..." Aku masih diam saja. "Edrea..." panggilnya lagi. Kali ini aku mendengus. "Edrea Denta!" Dan mau tak mau aku terpaksa membalas tatapannya. "Iya, Altezza Agam!" "Jadi?" "Kenapa sih lo kepo banget?" omelku. "Re!" kali ini Ezza benar-benar memberiku nada kesal. "Iya. Gue udah putus sama Deon. Tiga bulan lalu." ucapku cuek seraya mencengir. Ezza terdiam. Bahkan ia seperti membeku. Aku memasukkan laptop dan peralatan tulisku ke dalam tas, membiarkan Ezza dengan pikirannya sendiri. Begitu aku menyapukan pandanganku ke seantero kelas, aku mendapati Friska yang melambaikan tangannya dengan ceria padaku dari pintu utama ruangan ini. "Za, pacar lo udah nunggu tuh. Gue duluan ya?" Tak kusangka, Ezza justru mencengkram satu pergelangan tanganku. Membuatku urung beranjak dari tempatku duduk. "Kenapa lo ga bilang gue, Re?" lirihnya. Wajah Ezza terlihat begitu sendu, bahkan lirihannya tadi terasa memilukan di hatiku. "Za?" "Kenapa lo ga bilang kalau lo udah putus?" tanyanya lagi. "Za, lepas. Gue ga mau Friska salah paham!" tegasku seraya melepaskan tanganku yang dicengkramnya. Ezza tak melawan. Terdiam kembali. "Gue duluan, Za." ujarku datar. Berdiri lalu melangkah meninggalkannya yang masih terdiam. *** "Ezza!" panggil Friska dari pintu utama kelas kuliah gue pagi ini. Jam di dinding masih nunjukin pukul 8:30 pagi, yang artinya gue masih punya waktu setengah jam sebelum masuk ke kelas berikutnya. Gue melangkah malas, mendekati Friska yang terus saja tersenyum seolah gue ini balon warna warni dan dia anak kecilnya. "Mukanya jutek banget sih, Za..." keluhnya begitu gue berdiri tepat di hadapannya. Ia mengaitkan satu tangannya di siku gue, bergelayut manja. "Aku lapar. Kamu udah sarapan?" tanya gue, enggan menjawab pertanyaannya tadi. "Udah. Yuk aku temenin. Kamu mau makan apa?" "Bubur ayam aja." "Ok." Gue terdiam lagi. Pikiran gue kacau saat mengetahui Rea ternyata udah putus sama cowoknya. Ya Tuhan, selama ini gue deketin dia nungguin moment ini. Dan bodohnya kemarin gue justru iyain ajakan pacaran Friska karena gue pikir Rea ga goyah sama sekali dengan usaha gue deketin dia. 'Lo b**o banget, Za!' "Za?" "Hmm?" "Kamu kenapa? Ada masalah? Dari tadi kamu mendengus mulu lho." ujar Friska khawatir. Gue cuma tersenyum, hambar. Begitu kami sampai di kantin fakultas, gue langsung melangkah ke gerai yang menjual bubur ayam. Memesan satu porsi lalu menunggu sarapan gue itu siap. "Kamu ga ada kuliah, Ka?" tanya gue pada Friska. "Ada, jam sembilan." "Ya udah gih, nanti terlambat." ujar gue lagi. "Ezza ngusir?" 'Yaelah, drama banget sih!' "Dua puluh menit cukup dari sini ke fakultas kamu?" Friska mencebik, lalu memajukan birbirnya. Kesal. Kalau mood gue lagi bagus, gue pasti udah ngekek liat muka dia yang kayak begitu. "Ezza ga apa-apa makan sendiri?" "Ga apa-apa, Ka. Lagian ga sendiri kok, banyak orang di sini." "Ezza..." ambeknya. "Ya udah, sana gih. Biar ga terburu-buru nanti." "Ok. Nanti kita makan siang bareng ya?" "Iya." Di saat yang sama bubur ayam pesanan gue selesai. Gue dan Friska sama-sama melangkah tetapi berbeda arah. Gue beranjak menuju salah satu meja yang diduduki Rea dan beberapa teman kami lainnya, sementara Friska meninggalkan kantin fakultas gue. "Cieee yang baru jadian..." goda Helen, salah satu teman sejurusan gue yang juga duduk di meja yang sama. "Traktir dong, Za!" goda Lingga, masih teman sejurusan gue. Bastian, sahabat gue yang juga duduk di meja yang sama hanya mendelik tak perduli. Sementara Rea hanya diam saja. "Za!" omel Helen. "Ah norak lo, urusan jadian aja pake traktiran!" ketus gue. "Lah dia ngegas!" ujar Bastian. "Tau ih Ezza. Harusnya kan lo lagi bahagia-bahagianya, Za!" sambung Helen lagi. "Lagian siapa yang nyebarin sih?" lagi-lagi gue bertanya dengan nada ketus. "Ya cewek lo lah. Seantero fakultas Hukum juga udah pasti tau. Nyebarlah ke seantero kampus." jawab Lingga. Gue mendengus. Kesal. Kesal dengan fakta kenapa gue begitu gegabah mengiyakan ajakan pacaran Friska kemarin. "Anj*rlah, dapet dewinya anak Hukum apa rasanya, Za?" "Lo pikir Friska gue cicipin?" omel gue lagi. Asli frustasi banget gue! Cewe yang gue suka ga bilang kalau dia udah putus. Dan gue justru jadian sama teman satu kost-annya karena gue pikir gue ga bakalan bisa dapetin Rea. Anj*ng banget emang! Go*lok bangetlah gue! Gue baru aja ngaduk-ngaduk bubur ayam di hadapan gue saat Rea memindahkan suwiran ayam dan kacang dari mangkuknya ke mangkuk gue. Gue otomatis natap dia. Dan seperti biasa dia mencengir. 'Ya Allah, Re... Tega banget kamu sama aku!' Gue lagi-lagi mendengus. "Ih Ezza! Kan Rea ga suka ayam suwir sama kacangnya." keluh Rea. "Hmm." "Ezza marah?" tanyanya lagi. "Iya!" ketus gue. "Gara-gara ayam sama kacang?" "Iya!" "Iiih Ezza!" "Apa lo?" sulut gue. 'Pengen banget gue cipok ini cewek!' "Lagian lo aneh banget sih Re, bubur ayam kok ga pake ayam!" ujar Bastian. Rea tak menjawabnya, justru mengulurkan tangannya mengangkat gelas berisi teh manis hangat milik gue. Meneguknya santai. Hal yang biasa terjadi setiap kami kuliah pagi, sarapan bersama, sekaligus membagi jatah menu kami pada satu sama lain. *** Hari ini tepat tiga bulan hubungan yang gue jalanin sama Friska. Terus gimana perkembangannya? Ya gitulah, kacau! Tiap hari hati gue terus aja berperang antara bilang ke Friska tentang perasaan gue yang sebenarnya, atau diam saja dan tetap menjalani hubungan kami seperti sekarang. Dan yang lebih nyesak adalah, sejak libur semester kemarin, Rea sama sekali ga respon kontak dari gue. Gue telpon dia ga pernah ngangkat. Gue WA, DM, email juga ga dibalas. Asli rasanya tuh jantung gue kaya diremas, ngilu terus ngebayangin Rea akhirnya menjauhi gue tanpa gue tau alasannya apa. Dan sekarang, ga jauh beda. Kalau bukan karena gue yang terus aja ngotot dekatin dia, gue yakin Rea bakalan bersikap seolah-olah dia ga kenal gue. "Ezza!" Tuh kan, Friska udah nongol lagi di depan kelas gue. Heran banget gue, senang banget sih kaya hantu gitu. Gentayangin gue mulu! "Hai..." ujar gue malas. "Makan yuk?" "Kamu ga ada kuliah, Ka?" "Ada. Jam 10. Kan sekarang baru jam 9." "Oh." "Re!" tegur gue saat Rea berdiri hendak meninggalkan kursinya yang berada tepat di bawah kursi Bastian yang duduk di samping gue. "Ya?" "Bubur?" "Gue udah nyarap." jawab Rea datar. Gue diam. Lagi-lagi dia ngejauhin gue. "Lo mau kemana? Balik ke kosan?" tanya gue lagi mengingat kami baru akan ada jadwal praktikum selepas istirahat siang nanti. "Ngga. Mau ngejarin laporan. Gue mau balik ke Jakarta weekend ini." "Kenapa?" "Ga apa-apa." "Lo sering banget balik sekarang Re?" "Hmm..." Dan Rea tersenyum sesaat sebelum melangkah seraya menepuk lengan Friska yang berdiri tepat di samping gue. Gue lagi-lagi terdiam melihat sosok Rea yang rasanya semakin ga tergapai sama gue. "Yuk, Za..." ajak Friska lagi. Gue menoleh, menatap kedua netra cewe gue. Gue ga bisa begini terus. Sumpah gue b******n banget! "Ka... Kamu makan sama anak-anak ya. Sama Tian juga ga apa-apa. Aku mau ngerjain laporan dulu sekalian bareng Rea. Ada yang aku ga ngerti soalnya." ujar gue sedatar mungkin, berusaha tak terusik dengan tatapan sendu yang Friska tujukan pada gue. "Sorry, Ka..." lirih gue lagi. Baru aja dua anak tangga gue jejak, suara Friska menyapa gue lagi. "Kamu lebih mentingin Rea daripada aku?" Langkah gue otomatis terhenti. Gue menoleh lagi, menengok ke belakang, dan ternyata ga cuma gue yang shock dengar omongan Friska. Bastian dan beberapa teman-teman gue yang mendengar pun ikut ternganga. Gue menarik nafas dalam, berusaha meredakan perasaan ga nyaman yang tiba-tiba menyerang gitu aja. "Nanti aku ke kosan ya, Ka. Sorry." ujar gue masih dengan nada datar. Gue lantas berbalik lagi, meneruskan langkah gue, mengejar Rea yang sudah menjauh terlebih dahulu. --- Di sinilah gue sekarang. Di gazebo kost-an Friska dan Rea. Bukan, gue bukan ngejar Rea ke sini, melainkan menepati janji gue untuk menemui Friska. Tadi, selepas ninggalin Friska, gue nemuin Rea, ikut-ikutan ngerjain laporan bareng dia di perpustakaan fakultas. Rea berkali-kali nulis omelannya ke gue. Ngapain gue ngikutin dia? Kenapa gue malah ninggalin Friska? Sampai akhirnya dia nulis 'GUE GA SUKA LO NGIKUTIN GUE!' yang sontak ngebuat gue natap dia lekat sangkin kagetnya nerima sobekan kertas bertuliskan tangan dia itu - yang rasanya kaya dia lagi teriak tepat di depan muka gue. "Minum Za..." pinta Friska lembut. Gue ngangguk, lantas menyesap teh hangat yang dia sajikan. "Ka..." "Ya?" Gue meremas kedua tangan gue sendiri. Berusaha mengendalikan emosi di d**a gue. "Kita putus ya, Ka..." ucap gue seraya menatap kedua netra Friska lekat. Nyerah! Gue ga sanggup terus-terusan ngebohongin dia. Ga tahan menepis perasaan gue sendiri. Bahkan setiap kali gue ke kost-an ini, yang gue harapin adalah Rea, bukan Friska. "Maaf, Ka." ucap gue lagi. 'Tes!' Friska mulai terisak di depan gue. Gue ga sanggup ngomong apapun. Memilih diam, menunggu dia yang nanti akan meluapkan amarahnya ke gue. "Karena Rea?" tuduh Friska. "Maaf, Ka..." ujar gue lagi. "Karena Rea?" desaknya lagi. Gue mengangguk. "Karena aku ga bisa ngelupain dia, Ka!" "Lo b******k, Za!" sinisnya seraya menahan isakan. Gue lagi-lagi memilih diam. Ya, gue memang sebrengsek itu. "Lo b******n!" makinya lagi. Gue ga membalas satu katapun. Karena memang gue sebajingan itu. "Aku balik ya, Ka. Sekali lagi, maaf. Maaf karena lo udah ngabisin waktu dan perasaan lo sama si b******n ini. Take care, Ka." Gue beranjak dari gazebo itu, melangkah menjauh meninggalkan tempat bernaung Friska dan Rea. *** 'dordordor!' 'dordordor!' "REA! BUKA!" Aku tergesa keluar dari kamar mandi saat mendengar gedoran pintu dan teriakan Friska di depan pintu kamarku. Jantungku berdetak kencang, perasaanku benar-benar tidak enak. 'PLAK!' Tamparan keras dan panas mendarat di pipi kiriku tepat begitu aku membuka pintu. Aku membeku, menatap lekat kedua netra Friska yang mengobarkan amarah dan tangis. "LO b******k!" maki Friska. Penghuni kost-an yang lain sampai berkumpul di depan kamarku, menyaksikan Friska yang menangis histeris di depanku. Entah karena semua turut terkesiap atau karena tak berani mengiterupsi, tak ada satupun yang berusaha menenangkan Friska. "Ka..." lirihku. "LO JAHAT! LO SENGAJA BIKIN EZZA MUTUSIN GUE!" pekiknya lagi. Aku menganga. 'Putus?' "ELO SENGAJA KAN BILANG KE EZZA KALAU LO UDAH PUTUS SAMA DEAN BEGITU GUE JADIAN? LO MUNAFIK! PANTES AJA DEAN MUAK SAMA LO! PANTES AJA DEAN NYELINGKUHIN LO!" 'PLAK!' Kali ini aku yang menampar Friska. Friska membeku. Bahkan tangis histerisnya terhenti seketika. "Jaga mulut lo, Ka!" tegasku. "Lo yang nyuruh gue jauhin Ezza. Dan lo lihat sendiri gue jauhin Ezza. Lo ngintilin Ezza tiap hari, jadi lo pasti tau ga pernah sekalipun gue dekatin Ezza sejak lo minta gue jaga jarak sama dia. Jadi kalau hubungan lo berakhir, ga ada sangkut pautnya sama sekali dengan gue! Dan ga ada satu perempuan pun di dunia ini yang pantas untuk diselingkuhi! PAHAM LO?" Aku berbalik, meraih cardigan yang aku sangkutkan di balik pintu kamarku. Hanya menenteng dompet dan ponselku, aku melangkah melewati pintu kamar, menguncinya sebelum melangkah pergi tanpa memperdulikah Friska dan penghuni lainnya yang masih terdiam di depan kamarku. --- "Za..." Gue bangkit dari ranjang begitu mendengar suara Rea di depan kamar gue. "Za..." lirihnya lagi begitu pintu gue buka. "Rea?" Wajah Rea langsung berubah sendu. Dan di saat yang sama gue ngelihat pipi kiri dia merah seperti habis terbentur. "Siapa yang bikin kamu begini?" tanya gue, panik. 'Tes!' "Re..." Gue ngerangkul Rea, membawa Rea masuk ke kamar gue. Mendudukkan dia di tepi ranjang. "Tunggu ya? Gue ambil es batu dulu." Rea masih netesin air matanya, tapi dia juga ngangguk ngejawab permintaan gue. Gue buru-buru ke dapur, ngambil es batu sekaligus bikin segelas teh hangat buat Rea. Tebakan gue, Friska yang bikin Rea begitu. "Sorry ya Re..." ujar gue lembut seraya nempelin kompres es di pipi dia yang terlihat membengkak. 'Gila banget si Friska, sampe bengkak begini pipi anak orang.' 'ssshhh!' ringis Rea. "Sorry. Sakit banget ya Re?" "Ga apa-apa, Za... Sini, Rea aja. Rea bisa kok." "Ngga. Ezza aja." Rea ga melawan. Dia menatap gue lekat. "Ezza..." "Maafin Ezza ya, Re... Ini salah Ezza..." Rea lagi-lagi netesin air matanya. "Harusnya Ezza ga iyain ajakan pacaran Friska." Rea masih diam sambil menangis. "Ezza sukanya sama Rea. Ezza udah berusaha sayang sama Friska. Tapi ga bisa, Re... Tiap liat Rea, Ezza rasanya marah sama diri Ezza sendiri. Kenapa Ezza segampang itu nyerah. Akhirnya Ezza cuma nyakitin Friska dan diri Ezza sendiri." lirih gue lagi. "Ezza juga nyakitin Rea..." isak Rea. "Maaf, Re... Maaf akhirnya Ezza bikin hubungan Rea dan Friska berantakan." Rea menghapus air matanya. Lalu berujar kalimat yang sama. "Ezza juga nyakitin Rea..." Gue diam. Bingung kenapa dia ngulangin kalimat yang sama. "Ezza juga nyakitin Rea..." Tuh kan, dia ngulang lagi. "Re, kamu ga gegar otak karena digampar Friska kan?" tanya gue juga tanpa tedeng aling-aling. Rea terkekeh. Geli. "Re... Beneran gue nanya. Kamu ngulang-ulang omongan lho Re. Kita ke Rumah Sakit ya? Mual ga? Pusing ga Re?" asli lho gue panik banget. Rea tuh ga pernah ngomong diulang-ulang gitu. "Rea!" omel gue. "Ezza..." "Re... Jangan nakutin gue, Re. Tunggu ya, gue ganti celana panjang sebentar sekalian pinjem motornya Kang Rahmat." ujar gue seraya berdiri dari tepi ranjang. Dan yang terjadi selanjutnya justru Rea yang menyisipkan tangannya di telapak tangan gue. Dan dia genggam. Gue cengo, pandangan gue langsung beralih ke kedua tangan kami yang saling bergenggaman. Gue perlahan merendahkan diri lagi, duduk di samping dia tanpa melepaskan genggaman tangan kami. "Re..." "Rea ga apa-apa, Za..." Gue cuma sanggup natap kedua netra Rea yang masih sembab. Kelu. "Ezza... Ezza jangan jadian sama cewe lain lagi... Rea sedih... Rea sedih Ezza..." Dan Rea kembali terisak. Satu tangannya yang bebas dia angkat, nutup mulutnya yang mengeluarkan suara sesenggukan seraya menunduk dalam. Gue ngelepas genggaman kami, mengangkat kedua tangan gue menangkup wajah dia yang masih aja menangis pilu. Gue ga perduli. Persetan dengan anggapan orang kalau gue cuma manfaatin Friska untuk dapetin Rea! Saat ini yang penting buat gue cuma Rea. Gue cinta Rea! Gue mau Rea! Dan gue juga Rea tau, kalau kami ga pernah berniat menjadikan orang lain korban di tengah-tengah cerita kasih kami. Gue nyium dia. Dimulai dari kening, turun ke kedua mata, turun lagi ke puncak hidung, bergeser ke kedua pipi, lalu akhirnya berlabuh di bibirnya yang terasa begitu manis. Gue terus mengecup dia lembut, pelan, tak menuntut apapun. Hingga akhirnya kedua tangan Rea terangkat, melingkari leher gue, membalas kecupan yang gue berikan dengan sama lembutnya. "I love you, Rea..." "I love you, Ezza..." Malam itu kami sama-sama tau, jika ternyata, kami menyimpan cinta yang sama. ----------------- Jakarta, 28-Januari-2022
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD