TAKDIR

1995 Words
Sudah sekitar satu jam Luna menyisir garis pantai pagi itu, sejak matahari masih malu-malu menunjukkan sinarnya hingga percikan-percikan cahayanya sesekali membuat punggung Luna menghangat. Pantai, tempat terbaik bagi Luna untuk melepaskan kepenatannya. Biasanya, perempuan berumur 27 tahun itu hanya menggunakan pantai sebagai sarananya mengistirahatkan diri dari kesibukannya mengelola clothing line di bawah brand-nya sendiri. Tetapi kali ini berbeda, Luna menyendiri di pantai karena d**a dan pikirannya bergemuruh kesal dan kecewa. Luna bermain laksana bocah kecil. Mengejar ombak yang menarik diri ke laut lepas, lalu melarikan diri kala sang ombak berbalik mengerjarnya. Berkali-kali, hingga bagian bawah white dress yang digunakannya tak lagi kering seperti sedia kala. Ketika lelah sudah mulai menyapa, Luna melangkah menjauhi garis pantai, duduk di bukit pasir yang ternaungi rimbunnya Waru Laut. Luna menenggelamkan kedua kakinya ke dalam pasir, lalu mengambil sebuah ranting, menuliskan namanya sendiri di atas butiran halus itu. "Hai Luna..." Suara bariton menyapa pendengarannya. Luna memutar kepalanya, menatap seorang pria yang tersenyum padanya. Pria itu duduk di undakan pasir di belakang Luna. Luna mengernyit, lalu kembali memalingkan wajahnya, menatap lurus ke arah laut lepas. 'Sejak kapan dia di situ? Kayanya tadi ga ada orang.' "Ga sopan lho, ditegor malah buang muka." ujar pria itu lagi. Kali ini, ia telah beringsut, duduk begitu saja di samping Luna. "Lo siapa? Sok kenal banget." ketus Luna. Pria itu terkekeh. "Jutek juga." "Ya juteklah. Kenal juga ngga. Ga usah sok dekat deh." Kali ini pria itu mendengus. "Lo sendiri?" tanya pria itu. "Apa urusannya sama lo?" "Ga ada sih. Kalau lo sendiri, ga ada salahnya kan kita liburan bareng?" "Jadi lo sendiri?" Pria itu mengangguk. "Gimana dengan lo?" tanyanya lagi. "Sendiri juga sih." "Tapi?" "Tapi gue males main sama lo." Pria itu tertawa geli. "Dih, malah ketawa!" "Lucu aja sih." "Apanya yang lucu?" "Elo lah. Lo lucu." "Absurd lo." "Nama gue Dariel." "Ga nanya." "Sekedar informasi. Udahan ngapa Lun juteknya." "Lo ngapain nyamperin gue?" "Karena lo aneh." "Kok aneh?" "Ini tuh hari Senin. Bukan musim liburan juga. Semalam kita check in barengan, mungkin lo ga sadar sih. Dan pagi ini, lo breakfast jam enam lewat sepuluh menit, yang dengan analisa gue sepertinya lo semalam skip your dinner. Dan melihat after breakfast lo malah kaya setrikaan mundar-mandir di sini, gue rasa lo ke sini bukan untuk urusan bisnis." "Gila! Lo ngintilin gue?" Dariel tertawa geli. "Mungkin bisa gue bilang takdir." "Ih, ngaco!" "Kita udah dua kali ketemu lho Lun. Tanpa disengaja." "Masa?" Dariel mengangguk. "Kita ketemu di Soeta, satu penerbangan, lo sempat minta tolong gue naikin koper lo ke bagasi kabin." Luna menatap Dariel lekat. Ya, ia ingat ia meminta bantuan seorang pria mengangkat kopernya ke bagasi kabin sebelum penerbangannya. Lalu pria itu juga yang membantunya menurunkan kopernya saat pesawat mendarat, tanpa diminta. "Itu, elo?" Dariel mengangguk lagi. "Makasih." Lalu, Dariel tertawa lagi. 'Cakep! Ya ampun, Lun. Eling!' "Sama-sama, Lun." "Terus ketemu ga sengaja lagi dimana?" "Lobby. Semalam. Kan tadi gue bilang, kita check in bareng." "Ya mana gue tau itu elo. Kan di pesawat lo pakai masker." "Artinya udah dua kali kan kita ga sengaja ketemu." "Terus kenapa?" "Kalau nanti, setelah kita check out dari hotel ini, dan ga sengaja ketemu lagi. Lo harus jadi pacar gue. Oke?" "Lo gila?" Dariel mengangguk. Luna menatap lurus ke depan lagi. Menatap hamparan laut lepas yang semakin menyilaukan dipadangan kedua netra. "Kalau lo? Ngapain di sini?" kali ini Luna yang mulai bertanya. "Kabur." "Hah?" Dariel lagi-lagi tertawa. "Lo ketawa mulu sih!" omel Luna. "Abis lo lucu. Ekspresi lo tuh lucu banget tau, Lun." Luna mendengus. Lelah. "Hal apa yang bisa menjelaskan, cowo dewasa kaya lo kabur? Lo nyelingkuhin bini lo?" "Ya ampun, Lun. Masa gue ngajak lo pacaran sementara gue punya isteri?" "Ya kan banyak yang model kaya gitu sekarang. Apa deh namanya, sugar daddy." "Sugar daddy tuh nyarinya sugar baby, Lun. Bocah-bocah abg labil yang kurang uang jajan. Bukan cewe yang cukup umur untuk menikah kaya lo." "Sial lo!" Dariel terus saja tertawa. "Jadi kenapa lo kabur?" "Cape aja dijodohin mulu sama nyokap. Anaknya tante inilah, tante itulah. Lama-lama gue dikenalin sama tante girang." Kali ini Luna yang tertawa geli. "Emang lo ga bisa nyari pacar sendiri?" "Belum tau. Tadi kan gue nyoba. Belum lo jawab." "Gila!" "Ga apa-apa gila asal lo mau sama gue." "Otak lo gesrek ya?" "Ga apa-apa gesrek asal mmmppphhh..." Luna menutup mulut Dariel begitu saja dengan tangan kirinya. "Belepotan pasir Lun." "Sukurin!" Dariel malah tertawa lagi. "Lo kenapa di sini sendirian Lun?" "Riel... Menurut lo, kalau ada orang yang putus sama kita, lalu tiga bulan kemudian dia tunangan, dan sebulan kemudian dia nikah. Dan malam sebelum nikah dia nelpon kita, cerita alasan dia menikah, dan juga bilang kekecewaannya sama kita karena kita ga mau balikan sama dia. Menurut lo yang salah siapa?" "Yang dipenjara, Lun." "k*****t lo!" "Lagian lo nanya apaan sih? Gue ga ngerti." ujar Dariel seraya terkekeh geli. "Udahlah lupain aja." "Dih ngambek!" "Bodo!" Dariel menahan kekehannya. "Lo yang salah. Ngapain lo terima telpon mantan lo. Apalagi mantan lo besoknya mau nikah. Otak lo yang gesrek gue rasa." Kali ini Luna terkekeh kembali. "Iya sih." "Emang apa yang ganggu pikiran lo?" tanya Dariel lagi. "Apa dia selingkuh sejak masih sama gue?" "Emang lo pacaran sama dia berapa lama?" "Lima tahun." "Buset! Itu pacaran apa pemilu?" 'PLAK!' Luna menampar lengan Dariel seraya terkekeh geli. "Sakit, Lun." "Sorry." "Traktir gue es kelapa." "Iya." "Asiiik." "Jawab dong. Menurut lo dia selingkuh atau ngga?" "Gue ga punya akses ke illahi robbi, Lun. Kagak tau!" "Iiih, Dariel!" "Udahlah Lun. Mau dia selingkuh kek, one night stand kek, lupain aja. Dia udah jadi laki orang. Ngapain sih lo mikirin dia, mending lo mikirin gue." tandas Dariel. "Iya sih." "Iya dong." Luna diam. Ia menutup kedua netranya. Menikmati semilir angin yang menyapa wajahnya dengan lembut. 'Cantik!' batin Dariel. "Lun..." "Hmmm..." "Kalau nanti kita ketemu lagi, lo jadi pacar gue ya?" "Bisa aja lo ngatur biar kita ketemu lagi. Itu namanya bukan takdir, Dariel." "Gue bukan stalker, Lun." Luna memalingkan wajahnya, tersenyum menatap Dariel. "Lo cantik." lirih Dariel. Kedua pipi Luna memerah, tersipu malu, yang malah membuat Dariel semakin lekat menatap Luna. "Mau kan, Lun?" Luna menarik nafasnya panjang, mengembuskan udara dari paru-parunya perlahan. "Kenapa?" "Karena gue ngerasa lo takdir gue." Luna terdiam lagi. "Tapi lo baru ketemu gue, Riel." "Terus kenapa? Apa gue harus kenal sama lo sampai pemilu lima tahun yang akan datang baru lo bisa mutusin lo mau jadi pacar gue atau ngga?" "Ya ngga gitu." "Berarti kita deal?" Luna mencari keraguan di kedua netra Dariel yang masih memandangnya. Yang justru membuatnya tenggelam di tatapan lembut pria itu. "Deal." lirih Luna. "Sampai nanti Luna. Sampai nanti di saat kamu menjadi milikku." *** Satu tahun kemudian. "Mau kemana, Lun?" "Mau tanda tangan MOU, Bunda..." "MOU?" "Itu lho Bund, yang waktu itu Luna cerita, ada perusahaan perfilman yang mau pakai baju-baju Luna untuk pembuatan film terbaru mereka." "Oh, jadi?" "Iya. Makanya ini mau ketemu sama CEO-nya. Rencananya sih sekalian tanda tangan kerja sama." "Dimana?" "Senopati, Bund." "Ya sudah, hati-hati ya nak." "Iya, Bunda. Doain ya Bund." "Pasti. Semoga Allah memudahkan urusanmu." "Aamiin." ujar Luna seraya memeluk hangat Ibunya sebelum melangkah pergi meninggalkan rumah sederhana tempatnya tinggal. "Eh, Lun..." "Kenapa Bunda?" "Jangan lupa, siang ini." "Bunda, Luna bisa kok nyari calon suami sendiri." "Yang ini high quality, nak." "Tapi Bunda..." "Janji, habis ini, Bunda ga akan memaksamu lagi." "Janji?" "Janji, nak." "Ok." Dua jam kemudian, setelah menerobos kemacetan yang sudah seperti budaya di kota Jakarta, Luna akhirnya berhasil menjejakkan kakinya di lobby sebuah gedung perkantoran di wilayah Senopati, Jakarta Selatan - yang menjadi tempat temu janjinya di pagi menjelang siang itu. "Pagi, Mba. Saya ada janji dengan Bapak... Sebentar Mba, saya lihat emailnya dulu." ujar Luna. Karena terburu-buru pagi tadi, ia sampai lupa mencatat nama pimpinan perusahaan yang akan ditemuinya. "Nama Ibu?" "Oh, saya Aluna Dyah dari Blush." "Ibu sudah ditunggu Pak Dariel. Mari, Bu..." Receptionist itu meminta security membantu Luna melewati entrance gate otomatis. Lalu mengantarnya ke lantai tempat kantor pimpinan perusahaan yang menunggu Luna berada. Sepanjang perjalanan menuju ruangan CEO itu kepala Luna terus dipenuhi pertanyaan. Ia memperhatikan lagi nama CEO yang tertera di email yang diterimanya pekan lalu, D. Ferdinand. Entah kenapa, rasanya ia tak asing dengan nama yang didengarnya tadi. 'D-nya itu Dariel? Apa Dariel yang sama? Dariel dari setahun yang lalu?' "Ibu Luna?" "Ah, iya." "Silahkan masuk, Bu." Sepertinya Luna terlalu larut pada lamunannya, hingga ia bahkan tak menyadari receptionist yang menemaninya tadi sudah melangkah pergi. Digantikan seorang perempuan cantik yang bisa dipastikan sekretaris CEO perusahaan itu. Ia, membukakan pintu ruang CEO untuk Luna. Luna melangkah perlahan. Jantungnya berdetak bertalu-talu. "Saya tinggal, Bu." "Oh iya, terima kasih." ucap Luna sopan seiring suara pintu yang ditutup dari luar ruangan. Pria di hadapannya memunggunginya, bercakap melalui ponsel yang melekat di telinga kanannya. Luna menunduk. Memastikan pakaian yang dikenakannya masih terlihat rapih. "Hai, Lun." Luna membeku. Ia mengenal suara itu. Luna mengangkat wajahnya, menatap lekat pemuda di hadapannya yang tersenyum begitu tulus. "Dariel?" "Hai pacar aku!" Luna masih diam. "Mau sampai kapan kamu di situ? Sini, Lun. Duduk." Dariel sudah terlebih dahulu mendaratkan dirinya di atas sofa mewah berwarna hitam di ruangannya. Menepuk-nepuk dudukan sofa di sampingnya, meminta Luna agar mendekatinya. Luna berjalan pelan, dengan ragu mendudukkan dirinya tepat di samping Dariel. "Ternyata kamu." Luna masih saja tak bersuara. "Kita tunggu creative team-ku dulu ya." pinta Dariel lagi. Luna mengangguk, mengiyakan. "Aku ga nyangka lho Lun, ternyata kamu owner Blush?" "Kamu ga tau aku owner Blush?" "Seingat aku, waktu di Bali kamu ga ada bilang kamu owner Blush. Lebih tepatnya, ga ada di antara kita yang menyinggung pekerjaan masing-masing." "Iya sih." Dariel mengangguk-anggukkan kepalanya. Bersamaan dengan seorang office girl yang masuk ke ruangannya membawa dua cangkir teh. "Berarti, ini pertemuan ketiga kita yang ga disengaja?" tanya Luna lagi. Ia masih bingung dengan skenario pertemuan mereka kali ini. "Iya, sayang." "Kok manggil sayang?" "Kan kamu pacar aku." "Tapi..." "Kita sudah deal, Luna. Begitu kita ketemu lagi setelah pertemuan kita di Bali, kita official! Jadian! Resmi! Kamu pacar aku dan aku pacar kamu." "Tapi..." "Ga ada tapi! Kalau kamu punya cowo sekarang. Putusin! Sebelum aku yang datangin dia dan bilang kalau kamu pacar aku." Luna membeku. Otaknya sepertinya belum sanggup mencerna keadaan absurd-nya pagi itu. Hingga hari beranjak siang, Luna pamit undur diri. "Lun..." "Ya?" "Kita makan siang bareng?" "Maaf Riel, aku ga bisa." "Kenapa?" "Ada janji." "Aku juga ada janji. Ini mau aku batalin." "Ya jangan Riel. Tepati dulu." "Lun..." "Kamu kan udah ada nomor ponsel aku. Kita bisa janjian makan siang bareng lain waktu kan?" "Tapi kita baru jadian, Lun... Masa ga kita rayain." Luna terkekeh geli. "Gini aja. Ada tukang nasi goreng yang enak banget dekat rumahku. Abang-abang gerobakan. Nanti aku shareloc, kita dinner bareng aja. Gimana?" "Pinggir jalan?" "Kenapa? Kamu alergi makanan pinggir jalan?" "Ngga sama sekali. Tapi kan kita baru jadian. Kamu pacar aku. Masa aku bawa kamu ke pinggir jalan?" "Ga apa-apa, Dariel. Makanannya enak kok. Ok?" "Ok." "Ya udah, aku pamit ya." "Lun..." "Apa lagi?" Dariel mengikis jarak keduanya, mencengkram lembut kedua lengan Luna, melabuhkan kecupan hangatnya di puncak kepala Luna. "Hati-hati." ucap Dariel lembut. "Iya." *** Luna memasuki sebuah restoran yang tak jauh dari kantor Dariel berada. Restoran yang menu utamanya adalah western food dan steak. Sebenarnya Luna tak begitu menyukai makanan western, tapi apa mau dikata, pria yang akan ditemuinya siang itu sudah memesan tempat untuk mereka berdua. "Selamat siang. Sudah reservasi, Kak?" sapa hangat receptionist di hadapannya. "Iya, Kak. Atas nama Aluna Dyah." "Oh iya, mari saya antar." Luna mengisi waktunya dengan mencorat-coret graphic tablet-nya, mencoba men-design beberapa model baju untuk katalog musim berikutnya. Tangannya seketika berhenti bergerak, begitu menatap sepasang Monk-Strap shoes berwarna coklat tua yang sepertinya belum lama ia kenali. Luna mengangkat wajahnya, menatap seorang pria yang tersenyum manis padanya. "Dariel?" "Ternyata aku salah." "Apa?" "Kamu bukan pacarku." "Maksud kamu?" "Kamu jodohku. Kamu isteri masa depanku, Luna." ---------------------------------------------- Ryan, 15-Des-2021
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD