EDO

3241 Words
Really appreciate your vote and comment ya guys ^_^ Yuuk ramein karya aku ^_^ Happy reading. *** Bogor, di masa lalu. Hai, gue Ferdhian Edo. Gue mahasiswa awal tingkat tiga di sebuah Universitas Negeri di Bogor. Jurusan gue? Kimia. Bukan Teknik Kimia, karena di kampus gue ga ada jurusan teknik. Terus kimia apa? Kimia murni, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Lo tau apa yang dibilang teman-teman SMA gue waktu tau gue masuk kuliah jurusan Kimia? "Anjir! Ga heran gue, anak pinter kaya lo pasti sanggup masuk jurusan horor begitu." "Bedalah anak jenius kaya lo, jurusannya ngeri!" "Kuat lo Do kuliah di jurusan begitu?" Dan setelah dua tahun gue kuliah di jurusan ini, lo tau apa yang ada di pikiran gue? Gue salah jurusan! Titik ga pake koma. Pasti ga pake tapi. Ngenes bukannya ngeles. Dan saat ini, gue lagi terduduk lesu di anak tangga halaman muka gedung fakultas gue. Menatap nanar transkip yang baru aja gue ambil - karena terlanjur berkecil hati dengan hitungan manual gue - dengan IP semester empat hanya 2.75 yang terpajang seolah sedang meledek gue. Gue pengen banget ngacak-ngacak rambut gue sambil guling-gulingan di atas lantai marmer di belakang gue, tapi yang ada, gue cuma bakalan dianggap mahasiswa ga punya rasa syukur karena masih ada mahasiswa lain yang bernasib nasakom alias nasib satu koma. "a*u!" geram gue pelan. "Yang kenceng kalo ngumpat. Ga ada yang denger!" ujar Pak Awal, salah satu dosen gokil di jurusan gue. Gokil karena menurut gue beliau layaknya senyawa campuran. Ya asik, ya caur, ya killer, ya rese di saat bersamaan. Tapi, beliau adalah salah satu dosen langka yang mau berbaur dengan mahasiswa tanpa sungkan dan peduli banget sama kita-kita ini. "Hehehehe. Maaf Pak." ujar gue seraya mencengir. "Kenapa lo?" tanyanya seraya duduk di samping gue. "Ga apa-apa, Pak." "Aman?" tanyanya lagi seraya mendelik ke kertas transkip yang sudah gue lipat tertutup. "Ancurlah Pak. Ada D-nya pulak. Dan rantai Carbon. Boron-nya cuma sebiji, Pak. A-nya mboten wonten alias ora ono!" jawab gue lesu. Dan dosen gue itu tertawa terbahak-bahak. Kurang ngenes gimana coba nasib gue. Udah IP jeblok, diketawain dosen sendiri pulak. Tinggal tunggu telpon nyokap gue aja ntar malam, abis gue diceramahin 3 SKS. "Bukan gue kan yang ngasih lo D?" "Bukan, Pak. An Or, Pak." "Anorganik?" "Ho oh. Hafalannya puyeng." "Ngaji makanya lo. Ngelayap doang sih kerjaan lo kalo malem." "Apa hubungannya sama ngaji, Pak?" "Orang yang rajin ngaji ingatannya jauh lebih baik." "Kata siapa Pak?" "Kata gue barusan! Lo budeg?" "Kagak Pak." "Gue kira lo budeg. Udah IP jeblok, jomblo, budeg pula." "Bagian jomblonya jangan di ungkit-ungkit dong Pak." "Suka-suka gue lah." "Itu name tag ga pernah lepas ya Pak?" tanya gue, mengalihkan pembahasan sebelum status jomblo gue dikupas tuntas sama beliau sampai ke inti-intinya. "Ngga. Kalau gue kenapa-kenapa di jalan orang gampang ngenalin gue." "Oh." "Udah ah, gue mau ke LT* dulu. Ga bakal berubah tuh transkip lo tangisin." (LT = Laboratorium Kimia Terpadu). "Kagak nangis saya Pak." "Assalammu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." Begitu beliau pergi, gue masukin kertas durjana itu ke backpack gue, lalu ngebenerin kunciran rambut gue yang panjangnya udah sebahu. Iya, gue gondrong. Alasannya? Males ke tukang cukur. Rambut gue lurus, hitam pekat, tapi mengingat betapa puyengnya kuliah di jurusan ini, kalau tiba-tiba muncul seutas uban di usia gue yang bahkan baru 20 tahun ini, gue rasa ga bakal aneh. Gue menyampirkan backpack gue di bahu kiri, sementara bahu kanan gue pakai buat ngegendong Cintaku - gitar akustik kesayangan gue. Dengan langkah terseok-seok gue melangkah menuju taman jurusan gue, bersosialisasi sekaligus nunggu kuliah berikutnya dimulai. "ASSALAMMU'ALAIKUM!" pekik gue dengan sengaja kala mengganggu teman-teman gue yang entah pada ngapain ngumpul kaya ikan teri di depan perpustakaan jurusan. Oke, biar ga bingung, gue jelasin dulu. Jadi, di dalam gedung jurusan gue ada taman kecil. Di tengah taman itu ada kolam dan air mancur kecil yang biasanya di jadiin tempat nyeburin mahasiswa yang baru aja lulus sidang skripsi. Taman itu sendiri dikelilingi selasar yang menjadi pemisah antara taman dan beberapa ruangan. Ada empat ruang kuliah, satu ruang penyimpanan reagen alias pelarut-pelarut kimia, dan satu ruangan dengan dinding kaca yang dijadikan perpustakaan jurusan gue. "Wa'alaikumsalam." jawab teman-teman gue serempak. "Eh, Do. Kemana aja lo baru nongol?" tanya Ardi. "Biasalah, TP*." jawab gue asal. (TP = tebar pesona). "Dapet salam lo dari Anggi. Daripada TP mulu mendingan deketin si Anggi." "Anggi Ilkom*?" (Ilkom = Ilmu Komputer). "Yoi." "Oh. Wa'alaikumsalam." "Udah gitu doang?" "Udah." "Njir, kurang cakep si Anggi?" "Dompet gue kurang cakep! Lo pikir pacaran ga pake modal?" sulut gue. "Buset! Ngegas aja lo!" "Udah ah, puyeng gue." "Sama gue aja gimana Do?" tanya Dona, teman cewe gue yang caur-nya ga pake nanggung. "Lo pepet si Rizky lah, biar bener dikit otak lo jadi bininya anak DKM." 'Jedug!' Dan tiba-tiba aja kepala gue di dorong ngejedug ke senderan kursi taman yang ga ada empuk-empuknya. Ya iyalah, dari kayu gimana bisa empuk? "Sakit Dona!" omel gue. "Sukurin!" makinya. Syukurnya, hari Rabu begini jadwal kuliah dan praktikum gue ga terlalu padat. Kuliah selesai tepat jam tiga sore. Gue langsung siap-siap ngacir begitu Bu Ana, dosen Kimia Organik gue keluar dari ruang kuliah. "Kemana lo Do?" pekik Reno salah satu teman sekelas gue. "Ngamen!" jawab gue memekik. "Futsal, Do!" balas Reno lagi. "Skip dulu gue, duit gue abis!" ujar gue seraya berjalan cepat meninggalkan ruang kuliah. Ga usah heran dengar cara gue nyari duit. Nyari duit? Iya, gue nyari duit sendiri untuk bertahan hidup di kota ini. Nyokap dan Bokap gue cuma sanggup bayar biaya semesteran kuliah gue. Bokap gue adalah seorang buruh pabrik di pinggiran kota Bandung. Sementara nyokap gue nyari-nyari tambahan dari warung makan kecil yang dibuka di halaman rumah gue. Intinya, penghasilan mereka ga cukup-cukup amat buat ngempanin empat orang anaknya yang semuanya dalam usia sekolah. Jadilah gue si sulung yang harus mengalah, nyari duit sendiri biar perut gue ga keroncongan sepanjang hari. Dan di sinilah gue, di antara barisan tempat duduk penumpang di dalam bis antar kota Bogor - Jakarta. Gue memindahkan tas ransel buluk gue ke depan d**a, lalu memposisikan Cintaku di gendongan gue agar siap dimainkan. Begitu bis mulai melaju, gue pun memulai petikan dan genjrengan gue sepanjang jalan. Berhubung gue lagi kangen banget pulang ke Bandung, kali ini lagu pertama pilihan gue adalah Yellow, by Coldplay. Lagu terakhir yang gue nyanyiin bareng sobat-sobat caur gue sebelum melangkahkan kaki ke kota hujan. "Look at the stars Look how they shine for you And everything you do Yeah, they were all yellow "I came along I wrote a song for you And all the things you do And it was called Yellow "So then I took my turn Oh, what a thing to have done And it was all yellow "your skin, oh yeah, your skin and bones (Ooh) turn into something beautiful (Aah) you know, you know I love you so You know I love you so "I swam across I jumped across for you Oh, what a thing to do 'Cause you were all yellow "I drew a line I drew a line for you Oh, what a thing to do And it was all yellow "your skin, oh yeah, your skin and bones (Ooh) turn into something beautiful (Aah) and you know For you, I'd bleed myself dry For you, I'd bleed myself dry "It's true Look how they shine for you Look how they shine for you Look how they shine for- Look how they shine for you Look how they shine for you Look how they shine "Look at the stars Look how they shine for you And all the things that you do" Usai menyanyikan beberapa lagu dan bis yang gue tumpangi ini sudah mendekati tujuannya, gue mengakhiri pertunjukan gue. Gue melepas topi yang sedari tadi gue pakai, menyodorkan ke setiap penumpang yang mengisi tempat duduk di dalam bis itu. Syukur alhamdulillah Allah ngasih gue skill bernyanyi. Setiap kali gue ngamen kaya gini, jarang banget penumpang ngasih pecahan lima ratusan atau seribuan, rata-rata beberapa ribu masuk ke topi gue. Jadi sekali ngamen begini, untuk satu rit bolak balik, gue bisa bertahan hidup tiga sampai lima hari. Cocoklah dengan kondisi kuliah, praktikum dan tugas gue yang padatnya ga pake pri kemanusiaan. Gue tiba di terminal bis Baranangsiang tepat pukul 7:45 malam. Dan pastinya, perut gue keroncongan. Tadi ada penumpang yang berbaik hati, dua orang cewe cantik yang sepertinya kakak beradik masukin uang kertas berwarna merah dengan ilustrasi dua orang proklamator ke dalam topi gue. Sumpah gue sampe cengo pas cewe yang lebih tua naruh itu duit. Sampe gue bilang supaya dia ambil kembaliannya sendiri. Ya kali aja dia salah masukin apa gimana. Dia bilang ngga, suara gue bagus katanya. Gue pastiin lagi biar dia ga nyesel begitu turun dari bis, dan dia bilang dia yakin ngasih gue seratus ribu karena udah bikin dia nyaman selama dalam perjalanan Jakarta - Bogor plus ngobatin kangennya dia ke adiknya yang katanya suaranya juga bagus kaya suara gue. Yaelah, geer amat gue. Ya udah, gue iyain aja kan, ga baik nolak rejeki. Dari terminal, gue ga langsung balik ke kosan gue yang jalannya naik turun bukit itu. Gue naik angkot ke Taman Kencana. Ke sebuah cafe yang menjual pizza yang menurut gue enak banget. Pizzanya tipis, kriuk kriuk gitu. Toppingnya cuma pepperoni dan keju. Dua minggu kemarin gue sempet gantiin gitaris band yang suka nge-gig di cafe sekitaran kota Bogor ini, dan terakhir kita nge-gig di cafe pizza ini. Kopinya juga enak banget. Berhubung gue dapet voucher diskon 50% karena gue nge-gig kemarin, ditambah rejeki nomplok seratu ribu hasil ngamen tadi, sampailah gue di cafe ini lagi. Sekali-kali makan enak ga dosa kan? Gue lagi asik moles-molesin kuas di atas sketchbook gue, mewarnai gambar-gambar abstrak yang gue bikin pas kuliah Kimia Organik tadi. Udahlah ga usah ceramah pantesan IP gue nyusruk begitu. Lo pada kan ga tau gimana puyengnya gue belajar ilmu yang gue pikir waktu SMA sangkin gampangnya dikedipin juga gue bisa. Ternyata, duh... Sudahlah! Sumpah, gue salah jurusan! "Kereeen!" 'Nah lo, suara siapa tuh. Bening bener suaranya.' Gue nengok ke sebelah kanan gue, perlahan kepala gue mendongak, menatap seorang cewe cantik yang lagi fokus tengleng kiri dan tengleng kanan merhatiin gambar gue. "Elo?" "Hai..." sapanya riang. "Elo kan?" "Ternyata gue ga salah lihat. Gue boleh duduk di sini ga? Meja yang lain penuh." "Oh boleh kok." ujar gue seraya mempersilahkan cewe itu duduk di depan gue. "Lo sendiri?" tanya gue lagi. "Iya. Kakak gue ada urusan di PMI. Jadi gue menjelajah deh. Gue denger-denger pizza di sini enak." "Oh yang tadi Kakak lo? Dan iya, pizza di sini enak." "Iya, Kakak gue. Lo udah pesan?" "Udah. Gue pesan pepperoni and cheese. Lo suka?" "Suka. Gue pesen pizza lagi atau yang lain biar kita bisa sharing?" tanyanya lagi. 'Sumpah lo sharing sama gue? Lah neng, berasa kawan lama aja.' "Terserah lo aja." "Gue pesan pasta deh ya." Gue ngangguk aja, lalu fokus kembali dengan kuas-kuas gue. "Nama lo siapa?" tanya cewe itu lagi. "Edo. Elo?" "Hannah. Biar gampang panggil Hana aja." Gue ngangguk lagi. "Lo mahasiswa?" tanyanya lagi. "Iya." "Dimana?" "IPB." "Jurusan apa?" "Kimia." "Apa?" "Kimia." "Hah?" "Kimia! Kenapa sih?" "Elo anak Kimia?" "Iya." "Ga salah?" "Sejujurnya, gue pun ngerasa salah banget sih. Salah jurusan." Dan dia tertawa geli. "Ketawa aja terus, Na." Dia masih terkekeh, tapi udah ga sengakak tadi. "Do, elo tuh artist banget tau ga. Lo jago ngegitar, suara lo juga bagus banget, gaya lo mirip anak-anak yang suka nge-gig, dan liat dong gambar lo, keren banget. Gue aja yang anak design ga bisa bikin lukisan abstrak sebagus lo begitu. Jadi wajar kan gue terpengangah waktu lo bilang lo anak Kimia." "Bahasa lo Na, terpengangah. EYD banget." ejek gue. Dia ketawa lagi. "Jadi lo anak design? DKV?" gantian gue yang nanya. "Iya." "Dimana?" "IKJ." "Wow! Keren Na." "Do, karya lo juga keren banget tau. Lo sadar ga sih?" Gue menggeleng. "Gue hobi doang Na. Ga ada yang tau gue suka painting gini. Palingan pada tau gue suka ngamen karena kalau ga ngamen ya gue ga makan. Hahahaha." "Serius?" Gue mengangguk. "Lo asli Bogor?" dia nanya lagi. "Ngga. Bandung." "Oh." Dan akhirnya makanan kami datang. Gue ngeberesin semua perintilan gue yang bikin rusuh di atas meja makan, masukin benda-benda berharga gue itu ke dalam backpack. Sambil diperhatiin lekat sama Hana. Sumpah, ini cewe cantik banget. Udahlah cantik, bening pulak. Mulus terawat dan gayanya enak banget diliat. Selama makan, gue dan Hana terus aja ngobrol. Ngobrol yang ringan-ringan, yang ga bikin puyeng. Gue udah puyeng tiap hari, ngapain juga ngomong yang berat-berat seberat hutang negara ini, ya kan? Dan dari Hana gue tau, ada web yang bisa jadi tempat para artist kaya gue ngejual karya-karyanya. Jadi, gue tinggal bikin karya yang serius. Abis itu gue jual deh. Bukan karya sekedar iseng-iseng lagi. Well, bolehlah ya dicoba, siapa tau gue bisa punya penghasilan yang bisa bikin usaha warung makan nyokap gue berkembang jadi usaha catering. Kasian nyokap gue ga kelar-kelar kerja dari matahari masih ngumpet sampe matahari bobo pulas diperaduannya. Selesai makan, gue nganter Hana ke PMI, katanya sih Hana dan kakaknya yang namanya Nisa bakalan dijemput sama tunangan kakaknya itu. "Ya udah Na, gue balik ke kosan ya." "Iya. Makasih ya Do." "Lo hati-hati ya." ujar gue sambil berjalan mundur. Sumpah, gue ga rela ini malam udah selesai buat gue. "Iya. Lo juga ya." Ga tau kan gue mau ngomong apa lagi, akhirnya gue balik badan, bersiap melangkah pergi. "Edo..." panggil Hana. Gue balik badan lagi. "Ya?" "Lo ga nanya nomer hp gue?" lirihnya. Gue bengong. Bukannya ga mau nanya, gue takut ga sopan. Gue jalan lagi deketin dia. "Boleh Na?" Dia ngangguk sambil nunduk. Imut banget. Gue ngeluarin ponsel gue dari dalam kantong celana gue. Ngebuka screenlock dan nyodorin ponsel gue ke depan dia. Dia ngambil ponsel gue, masukin nomer dia di sana. Begitu ponsel yang kurang canggih itu kembali ke tangan gue, gue dial dong nomer dia, biar dia juga nyimpen nomer gue. "Gue barusan misscall ya Na." "Iya." ucapnya sambil tersenyum. Ngeri khilaf gue. Sumpah! "Na..." "Hmm..." "Kalau nanti... Nanti Na... Kalau gue udah cukup sukses. Gue boleh minta sesuatu ga?" Hana mengerutkan keningnya. "Boleh ga?" "Emang apa?" tanyanya balik. "Gue pengen minta, lo jadi cewe gue." Hana terdiam. Kedua manik matanya yang kelam menatap gue lekat. "Nanti aja Na, dijawab kalau gue udah cukup sukses. Kalau sekarang, even lo mau jadi cewe gue, gue cuma bakal bikin lo malu. Makan aja kita patungan kaya tadi Na, padahal gue punya voucher diskon." "Edo..." "Ya udah, gue balik ya Na..." "Edo... Kalau ke Jakarta kabarin ya. Nanti gue sediain waktu nemenin lo makan enak." "Iya Na. See you. Assalammu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." jawabnya seraya tersenyum begitu manis. *** Saat ini. "Do... bangun dong!" rengek cewe yang udah nemenin gue hidup selama sepuluh tahun ke belakang. Kebiasaannya masih sama, nyiumin seluruh wajah gue saat ngebangunin gue dari tidur lelap. "Apa sayang?" "Iiih. Kamu kan janji mau ngajak anak-anak ke tempat Mama Papa. Itu Sam udah ngerengek dari tadi mau main sama Cantika, kamunya tidur aja." "Jam berapa sih?" "Udah jam dua, Edo. Belum shalat juga kan? Ayo bangun!" "Iya." Isteri gue narik tangan gue, mastiin gue ga meluk guling lagi. Sumpah gue ngantuk banget, begini nih kalau terlanjur begadang gara-gara keasikan bikin wall mural design. Yes, alhamdulillah, gue lulus sebagai Sarjana Sains alias S.Si dengan IPK tiga koma sekian. Ga malu-maluin kok, walaupun bukan cumlaude apalagi summa cumlaude. Mulai tingkat tiga kuliah, gue mulai seriusin hobi gue, hasilnya pun gue jual dan jadi salah satu keran rejeki gue. Begitu paket internet makin murah, gue mulai sering bikin tutorial ngelukis dan main gitar. Sekarang subscriber gue udah lumayan banget dan Youtube jadi salah satu sumber pundi-pundi keuangan gue. Terus ilmu kuliah gue buat apa? Alhamdulillah, dari uang yang gue dapat berkat ngejual skill gue, gue sekarang punya Event Organizer sendiri. Catering-nya pake catering nyokap gue. Dan gue punya usaha bikin souvenir pernikahan atau acara lainnya berupa sabun, shampoo, lotion, dan lain sebagainya. Ilmunya ya dari yang gue pelajarin selama kuliah, berkat semangat bertahan gue selama empat tahun kuliah di jurusan kimia! Uhuy lah! Alhamdulillah banget dikuatin sama Allah sampe lulus. Selesai mandi dan shalat dzuhur gue nyamperin ketiga anak gue dan isteri gue yang lagi main di ruang bermain. Anak bontot gue langsung lari ke arah gue begitu tampang gue keliatan sama mata dia. "Ayaaah!" "Apa Sam?" "Ayo ke rumah Oma." "Ayo." Jawab gue enteng. "Sekarang kan Ayah?" "Ayah makan dulu ya..." "Ayah sih bobo aja!" Omel anak gue. "Emang Sam mau ngapain?" "Mau pacaran sama Cantika." teriak Bumi, putera sulung gue. Bintang tertawa. Bintang itu anak kedua gue, cowo juga. "Sam ga pacaran!" omel Samudera. "Abang Bumi tau dari mana pacar-pacaran?" Tanya gue ke anak sulung gue. "Di sekolah Abang ada yang pacaran." ujarnya polos. "Di sekolah Bintang juga ada." bocah tengah gue menyahut. "Kita kan satu sekolah Bintang!" sulut Bumi. Gue ngekeh aja dengar perdebatan khas anak kecil itu. "Ga boleh pacaran kalau masih kecil. Nanti Bunda jewer!" ujar isteri gue. "Emang kenapa Bunda?" tanya Bintang. "Bunda ga suka. Bumi, Bintang dan Samudera kan kesayangan Bunda. Nanti kalian ga sayang Bunda lagi kalau masih kecil udah pacaran." "Ngga kok. Bintang ga pacaran." "Bumi juga ngga. Yang pacaran itu anak SMP Bunda. Abang suka liat tuh mereka duduknya deketan gitu." "Belum tentu pacaran Abang. Bisa aja kaya Sam dan Cantika, teman aja. Iya kan Sam?" celoteh gue pada Sam. Sam ngangguk-ngangguk. Dan akhirnya pembicaraan itu menguap begitu saja. Isteri gue mengalihkan ide tentang pacaran tadi dengan membuat ketiga jagoan gue sibuk. Sementara gue, menikmati makan siang yang kesorean itu. Gue belakangan sering mikir, hidup gue itu ga selalu mulus. Malahan banyakan halang rintangnya. Sampai di suatu hari, begitu gue ngerasa udah cukup mapan, gue nemuin seseorang untuk nagih jawaban atas permintaan gue beberapa tahun sebelumnya. Dan sekarang, cewe itu adalah perempuan yang nemenin hidup gue dan jadi Ibu dari ketiga putera gue. Hannah yang minta dipanggil Hana. Bapaknya Dokter, Ibunya mantan perawat. Abangnya dua, satu Dokter dan satu lagi Arsitek. Kakak perempuannya satu, Dokter juga. Dan isteri gue adalah seorang Graphic Designer. Dan yang paling penting adalah, dialah yang nemuin potensi gue, memperkenalkan gue dengan dunia kreasi tanpa batas yang sebelumnya gue pikir hanya sebagai hobi yang orang lain ga perlu tau. Dia yang merubah gue dari seorang Edo yang seringkali merutuki setiap kesialan hidup gue menjadi Edo yang fokus nyari solusi biar hidup gue ga stuck apalagi madesu alias masa depan suram. Dan dia, perempuan yang udah nyerahin segalanya buat gue. Cintanya, tubuhnya, bahkan duitnya saat salah satu usaha gue sempat merugi cukup besar. "Ayah!" tegur Hana. "Hah?" "Makan apa bengong sih?" "Hehehe, keingetan waktu pertama ketemu kamu." "Ya ampun... Emang masih ingat detail?" "Masihlah." "Aku cantik banget ya waktu itu?" "Sekarang juga masih cantik." ujar gue polos. "Paling cantik." "Iya." ujar gue lagi. Ga pake ongkos kan muji bini? "Traktir ya?" "Lah malah ada ongkosnya!" "Iiih Edo... Ada tas baru yang mau aku beli." "Ada syaratnya." "Apa?" "Bikin yang cewe yuk." "Iiiih Edooo! Lagi-lagi itu! Kamu aja yang bunting sana!" Dan gue pun pergi menyingkir sebelum bini gue menghabiskan jatah dua puluh ribu kata per harinya dalam satu tarikan nafas. "Saenggakhago itneun geot isangeuro saranghaeyo." pekik gue dari arah dapur. (Aku mencintaimu lebih dari yang kamu tau.) Sedetik. Dua detik. Tiga detik. "Nado saranghae." balas Hana. (Akupun mencintaimu.) -------------------------- Ryan, 24 Desember 2021
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD