Jeda Pertama

1155 Words
Suara gesekan p****t mangkuk yang beradu dengan meja membuat suasana hening kami sedikit ternoda. Ia memotong bagian putih telur dan memindahkan ke dalam mangkuk milikku. Mencungkil kuning telur dari mangkukku untuk dirinya. "Ayo makan." Katanya, pelan. Hampir tak terdengar. Kemudian, ia makan dalam damai. Tanpa obrolan basa - basi, apalagi sayang - sayangan. Namanya Ahmad Takeda Senkei. Anak semata wayang. Ibu asli Lombok, dan Ayah kandungnya orang Jepang. Aku memanggilnya Bang Eda, karena ia memang kakak kelasku saat SMA. Memiliki tubuh tinggi seratus tujuh puluh delapan senti, wajah perpaduan Indonesia - Jepang, mata sipit yang tertarik dengan sempurna. Rambutnya pendek, agak messy, karena tidak pernah bersentuhan dengan pomade dan akibat sisiran jari - jemarinya kala ia gugup, lelah atau iseng saja. Tubuhnya tidak gemuk, tidak kurus, tidak macho atau kotak - kotak. Standar saja. Tapi memegang gaya hidup sehat dengan rajin berolahraga, lari atau gowes bahasa gaulnya orang yang hobi bersepeda. Ia adalah seorang Dosen fakultas kedokteran, yang mengajar di beberapa Universitas swasta. Seharusnya dia juga menjadi dokter, tapi entah karena alasan apa, Eda memilih menjadi seorang tenaga pendidik. Tak jarang, dia juga kerap mengisi seminar - seminar kesehatan. Kadang aku berpikir, seperti apa rasanya mengikuti seminar yang diisi Eda. Manusia kaku dan pendiam. Super pendiam. Efek perceraian kedua orangtua dan kesibukan tante Mayang, ibunya yang sibuk bekerja sebagai konsultan keuangan, membuat Eda menjadi pribadi tertutup dan tidak banyak bicara. Tidak pernah ada kata cinta di antara kami, tapi tiba - tiba seperti ada rasa ketergantungan, kami merasa saling membutuhkan satu sama lain. Sepuluh tahun, kami menjalani hubungan tanpa nama yang kuanggap pacaran dan sukses membuat Eda tak bergerak sedikitpun untuk menjauh atau berpaling dariku. Aku mengenalnya saat SMA. Cowok pendiam, yang lebih suka duduk dan belajar di perpustakaan. Ia tidak pernah terlihat bersama teman - temannya untuk sekedar nongkrong. Hanya menyapa dan berlalu, kemudian asyik dengan buku - buku. Pertama kali mengenal dia, karena aku harus bimbingan dengannya. Saat nilai mata pelajaran eksak-ku anjlok, Pak Burhan, Kepala Sekolahku yang notabene teman Ayah, menyuruhku belajar pada Eda. Beliau banyak memuji, bahwa Eda murid cerdas dan tidak neko - neko. Dari sana lah kami mulai bersama, meski akhirnya dia lulus lebih dulu. Tidak kusangka, ia tetap rajin mengunjungi rumahku. Hingga Ayah dan Bunda beranggapan, bahwa kami sedang dalam hubungan pacaran ala remaja. Padahal, enggak ada tuh ungkapan tembak - tembakkan seperti remaja lainnya. Eda yang menemaniku mencari Universitas, meski dia juga sibuk dengan jadwal kuliah ilmu kedokteran yang kemudian dilanjutkan dengan pendidikan S2-nya yang super padat. Saat kuliah, kami tidak satu kampus. Tapi Eda tidak pernah putus mengantar jemputku, sebisanya. Kadang, ia meminta mamanya yang menggantikan ketika dia sedang sangat sibuk. Tidak pernah ada kata cinta. Tapi aku merasakan perasaannya, hingga rasa itu juga hadir di hatiku. Eda menjadi sahabat, kakak sekaligus kekasihku. "Kamu sudah, Ra?" Eda menyeruput minumannya dan menatapku penuh tanya. Aku mengangguk. Eda berdiri, menuju kasir untuk membayar makanan kami. Aku membawakan jaketnya dan menunggu di depan kedai makanan yang menjadi langganan kami. Eda menyentuh punggungku, kami pun beranjak menuju parkiran. Eda memberikan helm untukku dan mengenakan helm-nya sendiri. Aku mengulurkan jaketnya, yang langsung ia pakai.  Dia tidak membeli mobil, lebih mengutamakan mengambil KPR. Eda adalah pria dengan rencana yang matang. Dan alasan lain, praktis. Karena tidak perlu ditanya macetnya Jakarta. Kami berdua tinggal di kost yang berada di wilayah yang sama. Eda tinggal di kost pria, sementara aku tinggal berdua dengan temanku Resita yang asli Palembang. Karena orangtua kami sama - sama tinggal di Tangerang, dan melelahkan pulang pergi dari Jakarta ke Tangerang mengingat jadwal kerja kami yang padat. Lagipula, Bunda dan Ayah sangat mempercayai Eda untuk menjagaku. Bunda tahu, Eda bukan pria m***m yang akan menjerumuskanku. Selama sepuluh tahun bersama, hanya merangkul bahu lah gerakan paling intim yang terjadi di antara kami berdua. Eda menurunkanku di depan pagar kost, kulihat Resita sedang menelpon di teras depan. Eda mengangguk sopan padanya. "Langsung pulang?" Tanyaku. "Iya. Kamu langsung istirahat ya." Aku mengangguk, "oke." Tidak ada elusan kepala, cubit pipi atau sekedar mengucapkan selamat malam. Eda pamit pulang dan melajukan motornya ke dua gang setelah indekost yang kutempati. Aku mengucapkan salam yang dijawab Resita, dan berlalu masuk ke dalam kamar, Resita mengekoriku. "Abang ojeknya ganteng ya, Ra?" Goda Sita, aku mencubit lengannya pelan. Dia kerap memanggil Eda dengan julukan tukang ojek atau apalah karena tidak ada perlakuan manis layaknya orang pacaran yang kami lakukan saat ia mengantarku. Pertama kali Resita melihat Eda mengantarku pulang, dia mengira aku menggunakan jasa ojek. Menurutnya, sikap kaku Eda tidak membuat kami terlihat seperti sepasang kekasih. Aku sudah terbiasa dengannya seperti itu, jadi aku tidak mempermasalahkan. Resita duduk di atas kasurku, matanya mengikutiku yang bergerak ke sana kemari merapikan kamar. Eda tidak tahu saja isi kamar kostku, kalau tahu--kalau tahu? Uhm, aku enggak yakin dia akan mengomeliku. Impian terbesarku saat ini hanya ingin melihatnya bicara penuh emosi paling tidak tiga puluh detik. Itu akan menjadi moment langka selama aku mengenalnya. "Eh Ra, radio lo ngadain event ya?" Aku melepas vest dan merebahkan tubuh di samping Resita. "Dua hari lagi. Mau ikutan?" "Iya, ada apa aja? Temanya apa?" "Kembali ke Millenium, ya semacam hal - hal yang populer di tahun 2000 sampai 2010 gitu." Aku lupa mengisi daya ponsel. Kukeluarkan benda persegi itu dari tas dan menyolokkan kabelnya. "Itu sih masih baru. Kenapa enggak back to 90's sekalian?" Kusandarkan jari telunjuk di dahi Resita dan memberikannya dorongan pelan, hingga kepalanya terhuyung ke belakang. "Pendengar gue kan remaja semua. Tahun 90-an mereka belum direncanakan sama orangtuanya, Sist." Resita nyengir polos. "Udah sana, gue mau tidur. Balik ke kandang lo, hush hush!" Aku mengusirnya, Resita bangkit berdisi sambil menggerutu tapi keluar juga akhirnya. Jarang - jarang aku dapat jam kerja normal. Biasanya jam segini masih siaran sampai tengah malam dan membuat Eda bangun tengah malam untuk menjemputku. Aku sudah pernah memintanya untuk tidak repot - repot jemput, taksi banyak dua puluh empat jam. Tapi layaknya gentleman, dia tidak pernah mendengarkanku dan tahu - tahu, kulihat dirinya duduk di kursi resepsionis sambil membaca tabletnya kadang - kadang. Atau membawa pekerjaannya dan bekerja seperti di kantor sendiri. Oh iya Eda punya dua adik. Satu perempuan, namanya Aiko dan satunya laki - laki, namanya Takeshi. Saudara satu ayah sih, beda ibu. Tapi Eda sayang dengan kedua adiknya. Tak jarang kami mengunjungi adik - adiknya hanya sekedar makan bersama. Kadang aku jengkel, Eda terlalu memanjakan mereka. Terleboh Aiko, dia nempel banget ketemu Eda. Sampai - sampai aku terlupakan. Kayaknya Aiko punya misi ingin memisahkan abangnya dengan aku. Dan sekarang Aiko sudah kuliah, tentu saja semakin menyebalkan. Sering Eda mendapat telepon dari Aiko saat sedang bersamaku hanya untuk ditanyai hal remeh, seperti ; Kapan terjadinya perang Dunia pertama dan pengaruh Hitler pada Eropa. Padahal dia kan bisa googling. Kadang, aku iri dengan Resita yang selalu dapat telepon sebelum tidur dari pacarnya. Setiap kutanya Eda, kenapa dia tidak menelponku, dia akan menjawab singkat. 'Tadi kan sudah ketemu.' Well, sepertinya aku harus punya banyak stok kesabaran dan pengertian.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD