Jeda Kedua

1378 Words
Aku bangun tepat saat alarm berbunyi, jam empat pagi. Pagi ini aku harus siaran jam setengah enam, menggantikan temanku yang sedang liburan dan meliput konser James Bay di Denver. Salah satu hal yang paling menyenangkan bagiku menjadi penyiar adalah sering dapat tiket konser gratis. Kadang sambil bekerja, kadang hadiah. Konser yang paling berkesan buatku selama bekerja sebagai penyiar saat menonton Coldplay di Singapore. Tata panggungnya awesome. Yang paling kapok saat nonton konser artis Korea. Memang manajemen waktu mereka keren banget, enggak ada istilah ngaret, yang menyebalkan itu berada di tengah - tengah kpopers yang lagi kegirangan nonton konser. Aku sampai tidak bisa merasakan kaki sendiri karena terdorong kesana kemari. Belum lagi antrian masuk gate. Ada aja orang yang masih norak nyerobot sana sini. Pengecualian saat nonton Cnblue kali ya, karena rata - rata penontonnya berusia dewasa, jadi mereka lebih santai dan sabar. Dan kalau konser Korea, enggak ada keistimewaan buat jurnalis. Kita dianggap seperti penonton yang lain. Adil sih. Ups, sudah hampir jam lima. Segera kuraih tas dan mematut diri sekali lagi di cermin, setelah memastikan semua oke aku pun pergi. Perjalanan menggunakan ojek tidak akan memakan waktu lama. Hanya lima belas menit ke kantor radio tempat aku bekerja. Jadi, kuputuskan mampir membeli sarapan terlebih dahulu. Satu untuk diriku, satu untuk Eda. Dia pasti sedang olahraga di depan kost jam segini. Benar saja, kulihat Eda sedang meregangkan otot - ototnya. Mengenakan kaus oblong hitam, kontras dengan kulitnya yang putih, celana pendek dan handuk good morning di lehernya. Titik - titik keringat sudah membasahi wajahnya yang--tampan. Dia memang tampan. "Abang olahraga dari jam berapa, jam segini udah basah keringet gitu?" Eda menghentikan gerakan pendinginannya dan mengelap wajah dengan handuk. "Sudah dua puluh menit." Jawabnya. "Aku ganti baju dulu." Aku segera menarik tangannya agar dia berhenti masuk ke dalam kost. "Enggak usah antar. Aku naik ojek aja. Ini aku belikan sarapan." Aku mengacungkan nasi uduk yang kubeli sebelum kesini. Eda meraihnya. "Terima kasih. Sebentar ya, lima menit." Aku  hanya bisaa mendesah pasrah saat Eda melesat ke dalam dan secepat kilat keluar lagi dengan baju dan celana yang sudah diganti. "Aku bilang enggak usah." Sungutku. Eda tidak mendengarkan dan malah memanaskan motor. Aku sengaja memeluknya saat motor Eda sudah pergi meninggalkan rumah kost di belakang sana. "Abang belum mandi." Eda bersuara. Aku tersenyum dan sengaja menciumi jaket yang dia kenakan. "Masih wangi kok." Memang benar, wangi parfumnya masih menempel di jaket itu. "Kamu pulang jam berapa nanti?" Tanya Eda saat menurunkanku di depan lobbi kantor. "Uhm, tiga kayaknya. Kalau enggak ada iklan yaa." "Tunggu Abang ya. Abang mau antar Ai cari laptop." "Aku pulang sendiri aja. Ada transportasi umum, ada tebengan. Aku bisa ikut Iqbal nanti." "Tunggu Abang saja. Abang pulang ya." Aku menatapnya beberapa saat, aku tahu Eda tidak mau dibantah. Tapi kadang dia suka memaksakan hal yang tidak perlu. "Aku bisa pulang sendiri. Habis antar Ai, Abang ke kost aku aja. Aku akan ada di sana." Aku tersenyum setulus hati padanya. "Yaudah, kita pergi sama - sama cari laptop buat Ai." Putusnya final. Eda menyalakan mesin motor dan klakson sekali lalu pergi meninggalkanku yang masih berdiri di posisi yang sama. Entah kapan Eda mengerti bahwa tawaranku untuk pulang sendiri adalah yang terbaik daripada mempertemukanku dengan Aiko. Adiknya yang penuh drama itu. Aku tidak kesal. Begitulah Eda. Cara berpikirnya agar berbeda dengan kebanyakan orang,  terutama aku. Tapi enggak tahu mengapa aku masih bersamanya. Karena terlanjur nyaman. Atau terlalu malas mencari yang lain. Aku juga enggak tahu. Kalau bunda tanya, kapan target aku menikah dengan Eda, aku sendiri tidak tahu harus jawab apa. Aku ingin nabung dan beli mobil sendiri, biar kita enggak kehujanan lagi kalau pulang pergi kerja dan jalan kemana saja. Sementara Eda sedang menyicil rumah. Dia enggak akan mau diintervensi tentang pernikahan. Katanya, dia akan selesaikan satu - satu. Artinya, tunggu rumah lunas baru dia akan meminangku. Kalau dia ambil cicilan yang sepuluh tahun dan ini sudah berjalan tiga tahun. Berarti aku harus sabar menunggu tujuh tahun lagi? "Masih pagi kali Ra, udah kusut aja." Iqbal menepuk bahuku. Aku tersenyum kecut dan membuka sarapanku. "Empat menit lagi, Ra. Makan ekspress ya." "Empat menit belum termasuk lagu Indonesia Raya kan? Masih ada waktu sembilan menit." Iqbal geleng - geleng kepala dan stand by di posisinya. Di suapan terakhir, lagu Indonesia Raya akan segera berakhir. Iqbal mengangkat papan penghitung waktu. Aku segera meneguk minum dan membersihkan mulut. Mengacungkan jempol pada Iqbal dan siap menyapa semua pendengar di jangkauan wilayah radio kami. "Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh. Selamat paaaaaagiiiiii teman - teman Milenials dan Kolonials di manapun kalian berada. Masih ditemani Haura Nadzifa nih, semoga enggak mual yaa pagi - pagi denger suara gue. Hihihi. Yang kangen kakak Irza mana suaranyaaaa. Kita tag rame - rame yuk IG-nya, bilangin jangan lupa pulang dan bawain oleh - oleh pick gitar mamas James Bay buat Haura. Eiiy hari Rabu pagi nih, Guys, masih tiga hari menuju weekend. Tetap semangat yang sedang o te we menuju ke kantor. Tetap hati - hati di jalan, meskipun hatinya si dia sudah berjalan ke yang lain. Eeaa. Dan yang baru bangun, wake up! Hari ini akan cerah menurut kakak admin BMKG, secerah hati Haura pastinya. Jangan lupa sarapan, manteman, percayalah bahagia aja enggak cukup untuk menghadapi hari. Buat penyemangat, Haura akan putarkan lagu yang akan membuat hari kalian lebih berwarna. Colour dari Hailee Steinfield. Stay tune!" Lagu berputar, aku melepaskan headset. "Nasi uduk gue masih nyangkut di tenggorokan." Teriakku pada Iqbal, dia tertawa dan mengangkat kedua jempolnya ke arahku. *** Pesan dari Eda belum kubalas. Dia memintaku menunggu di kantor agar kami bisa bersama - sama membantu Aiko mencari laptop. Ini sudah jam tiga lewat lima belas menit dan aku tahu dia pasti sudah jalan menuju ke sini. "Belum dijemput Ra?" Kenny berdiri di depanku, di belakangnya ada Romi, bosku, ngobrol serius dengan seorang pria yang baru kulihat di sini. "Belum, Ken. Itu mas Romi sama siapa?" Tanyaku pada Kenny yang sekarang ikut duduk di sofa tunggu sambil membuka bungkusan yang dibawanya. "Oh. Kelvin, Sist. Yang dari Hear It Radio, mau pindah ke Stay Tune. Gila ya mas Romi, semua aja penyiar senior diangkut kesini. Yang ada kita terus terinjak - injak." Bisiknya. "Lha, dia udah enak kali di Hear It. Ngapain kesini?" Aku ikut berbisik. "Ada gosipnya. Yang lengkap tanya Bianca. Dia pasti up to date. Sstt ssstt pacar lo tuh." Kenny menunjuk ke pintu masuk, Eda sudah berdiri di sana sambil memperhatikan ponselnya. "Eh gue duluan. Bye. Bagi - bagi gosipnya besok yes." Aku mengedipkan sebelah mata pada Kenny, dia mengacungkan jempol. "Abang telepon kamu enggak bisa." Eda menatap datar padaku. "Lowbat." Jawabku bohong. "Ai mana? Aku kira mau tumpuk tiga di motor." Tanyaku dengan ekspresi biasa. "Udah di sana. Yuk." Kami sampai di tempat tujuan dan langsung menghampiri Aiko yang sedang asyik selfie di Starbucks. "Hai Mbak Aura." Aiko memelukku dengan berlebihan. "Abang mau kopi?" Eda menggeleng dan mengajak kami beranjak dari sana. "Aku mau kopi." Jawabku dan berlalu dari hadapan Eda juga adiknya. Eda mengikuti dan ikut memesan untuk dirinya sendiri. Tidak berlama - lama, kami pun mengitari outlet gadget yang dituju Aiko. Membiarkannya memilih - milih sambil meminta saran dari Eda. Dan sepanjang jalan itu juga, Aiko tidak lepas memeluk tangan kiri Eda. Menunjuk - nunjuk dan menarik abangnya untuk melihat yang dia maksud. Sementara aku mengekori di belakang mereka berdua, persis obat nyamuk. Hingga akhirnya Aiko menghentikan pencariannya dan mengatakan itulah yang dia cari. "Perasaan spec-nya sama aja semua." Cicitku sambil melongokan kepala di antara mereka berdua. Aiko kaget dan melepaskan kaitan tangannya pada Eda, yang kugantikan dengan senang hati. "Uangnya kurang, Bang. Papa kasihnya nanggung banget ini." Keluh Aiko saat akan membayar. Aku menghembuskan napas dengan kasar. Itu trik. Memang dia saja yang pernah tricky - tricky kayak gitu? Aku sudah hapal dengan tingkahnya. "Kurang berapa?" Tanya Eda. "Uhm, tujuh ratus." "Memang gak bisa kurang?" Aku tanya pada spg yang berdiri di depan kami. "Mohon maaf Kakak, belum bisa." Jawabnya. "Yasudah cari yang lain." Aku menarik tangan Eda untuk keluar. "Eh tapi aku ada uang tiga ratus. Abang bisa nambahin sisanya gak?" Aiko menahan langkah kami. Aku tertawa dan meliriknya jengkel. Kalau bukan adik Eda, sudah kujadikan perkedel dia. "Ada. Yaudah ambil aja. Haura mau makan." Aku melirik Eda, siapa yang minta makan? Adik dan kakak, sama - sama enggak jelasnya.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD