Pemuda blasteran Spanyol dengan karakter prik alias aneh dan banyak tingkah itu, sebelum masuk rumah, ia berkaca terlebih dahulu di kaca jendela rumah Candra. Bahkan ia menata beberapa helai rambut panjang di bagian depannya seperti orang kurang kerjaan dengan memilin-milin agar tidak acak-acakan.
Tiba-tiba Candra membuka jendela dan mengejutkan Rangga yang sedang narsis di depan kaca. Hal itu membuat Candra terkekeh, temannya itu memang sudah prik maksimal.
Katanya Rangga sedang mengecek penampilan, barangkali ada yang berantakan. Padahal penampilannya saja sudah berantakan, sampai Candra ragu apakah ia mandi atau tidak. Namun, Rangga tetap tampan meski tidak mandi sekalipun.
Candra menghela napas kasar, lalu masuk ke dalam rumah terlebih dahulu, sementara Rangga mengikutinya dengan santai.
Pribadinya yang aneh kadang membuat para gadis salah paham. Mungkin banyak yang berharap sosoknya seperti 'cowok ganteng nan dingin' seperti di dalam novel, tapi sebenarnya Rangga adalah laki-laki aneh.
Setelah masuk, Rangga langsung bertos dengan teman-temannya satu persatu, lalu duduk di tengah Candra dan Ares.
Seperti biasa ia tidak bisa duduk diam, ia juga tak suka bermain ponsel, apalagi ponselnya mati karena lupa dicas. Di zaman yang serba menggunakan gedget, Rangga lebih memilih menjahili temannya daripada berkutat pada ponselnya. Media sosialnya hanya terisi beberapa foto, itupun bukan foto wajah, tapi foto pemandangan atau foto barang yang ia suka.
Padahal jika ia mau mengupload satu saja foto wajahnya, ia akan menjadi selebgram dadakan dan akan mendapat banyak endors. Namun, meski ia jarang aktif media sosial, followersnya sudah mencapai 800K lebih karena teman-temannya sering menjadikan wajahnya sebagai batu loncatan mendapatkan banyak followers.
Tak segan-segan, teman-teman laknatnya itu kadang memenuhi keinginan fans Rangga untuk memotretnya diam-diam dan foto itu akhirnya dishare di grup fanpage Rangga.
Seperti saat ini Bagas memotret Rangga yang sedang menatap sekeliling mencari seseorang. Rangga sangat sering main ke rumah Candra, bahkan ketika yang lain tidak ikut.
Rumah split level itu memang nyaman untuk bersantai, benar-benar rumah idaman. Hal yang membuat Rangga menyukai tempat itu adalah fakta bahwa rumah itu tak pernah sepi, selalu ada kesan hangat yang bertolak belakang dengan rumahnya yang besar dan mewah, tetapi seperti kuburan.
Ia melihat ke sekeliling rumah, ia tak menemukan Andi yang biasanya terlihat di rumah. Tentu saja ia menanyakannya pada Candra, kata Candra adiknya sedang siap-siap berangkat les. Ia kemudian naik ke atas ketika baru ingat tadi kakaknya menyuruhnya untuk mengambilkan tas dan jaket di kamarnya.
Rangga sudah seperti di rumah sendiri, ia dengan santai masuk ke dapur mencari sesuatu yang bisa dimakan. Ketika itu pula Ares baru sadar dan menegur Rangga kalau ada kakak Candra di dapur.
"Ga, woy ada Kakaknya Candra!"
Namun sayang, Rangga sudah terlanjur masuk ke dalam dapur dan terkejut melihat ibu-ibu yang di depan rumah tadi.
"Kakaknya Candra?!" pekik Rangga kaget.
Mendengar pekikan itu, Dinda yang awalnya sedang membereskan alat masak langsung terkejut dan menoleh ke sumber suara.
Keduanya spontan bertatapan dengan pikirannya masing-masing, sama-sama terkejut dengan apa yang terjadi. Dinda yang terkejut karena ada bocah yang santai tanpa beban masuk ke dapur dan Rangga yang terkejut karena perempuan yang ia panggil 'Ibu' itu ternyata kakaknya Candra.
Setelah lima menit bertatapan, mereka akhirnya sadar ketika Candra datang membawa tas kakaknya.
Candra menyerahkan tas itu pada kakaknya yang langsung disambut oleh Dinda, lalu ia menoleh ke arah Rangga yang masih terbengong di tempat.
"Ngapa lo mangap kek orang bego gitu?" tanya Candra mendorong bahu Rangga sedikit.
Rangga langsung tersadar dan kembali menatap Dinda yang sedang memakai jaketnya, ia bingung harus berkata apa, antara malu dan tidak enak.
"Em ... Kak," gumam Rangga.
Dinda menoleh seolah siap mendengarkan apa yang akan dikatakan Rangga padanya. Ia ingat bocah tampan yang memanggilnya 'ibu' itu yang telah bertemu dengannya di depan rumah tadi.
"Maaf yah tadi saya manggilnya 'Ibu' saya kira siapanya Candra," ujarnya dengan wajah merasa bersalah.
Bukannya bersimpati, Candra malah tertawa dengan apa yang dikatakan Rangga, ia baru tau duduk perkara yang membuat Rangga dan kakaknya canggung.
"Tenang aja, Ga, Mbakku orangnya baik kok. Udah biasa juga dipanggil, 'Ibu'. Ya gak, Mbak?"
Dinda hanya tersenyum dan mengedikan bahu, "Hem, santai aja."
Setelah ia selesai memakai jaket, ia kemudian menggendong tasnya dan berkata pada Candra.
Rangga sendiri masih di sana dan melihat Dinda dengan tatapan merasa bersalah, ia sungguh tak pernah semalu ini sebelumnya. Faktanya ia memang tak tau malu, tapi ia bisa saja menyakiti hati kakak sahabatnya itu.
Dinda mengatakan bahwa ia akan pergi untuk mengurus kepindahan kuliahnya, lalu ia meninggalkan makan siang untuk Candra dan teman-temannya.
Perhatian Dinda pada adiknya yang sudah bujang itu justru membuat Rangga kagum. Ia tersentuh dan merasa hati yang awalnya dingin menghangat. Bahkan sampai Dinda keluar dapur dan mengenakan sepatu pun, Rangga masih melihatnya dengan intens.
"Udah kali liatinnya, Ga," tegur Ares lewat setelah mengambil minum.
Yah, Rangga kembali tersadar. Sialnya ia terengong-bengong sedari tadi. Tak pernah terbayang olehnya akan bertemu dengan perempuan layaknya malaikat. Biasanya perempuan dikira usianya lebih tua dari usia asli saja sudah kesal, lah ini Dinda yang dipanggil 'Ibu', tapi ia masih biasa saja dan tidak menunjukan raut kesal.
"Kok gue gak tau kalo itu Kakak lo, Can?" tanya Rangga.
Candra yang sedang menyiapkan makan siang untuknya dan teman-temannya, kemudian menoleh. Ia terkekeh melihat Rangga yang tengil tiba-tiba jadi anak baik di depan kakaknya.
"Dia memang gak keluar kamar pas tujuh harian Bokap Nyokap gue kemarin. Di antara kami bertiga, dia yang paling terpukul karena awalnya jauh dari orang tua."
Rangga kini mengerti kenapa ia baru tau seperti apa kakak dari sahabatnya yang sering disebut-sebut baik itu. Ia kira ketika Candra menceritakan tentang baiknya sang kakak, itu hanya bualan agar kakaknya terlihat baik di depan teman-temannya. Namun, sekarang ia tau bahwa Candra tak mengada-ada, Dinda memang sosok yang sangat baik dan lembut.
"Oh gitu, iya sih gue juga tau rasanya kehilangan."
"Emang siapa yang meninggal di keluarga lo?" tanya Candra.
"Maksud gue keluarga gue kan emang gitu, Bokap Nyokap sibuk sama kerjaan, jadi gue kira gak ada bedanya sama kalo mereka mati."
"Anjir, mulut lo. Lo harusnya bersyukur tuh orang tua masih ada, malah kek disumpahin mati."
"Abisnya mereka gak ada buat gue, dari kecil Can."
"Hem, gue paham sih. Tapi mungkin tiap orang punya caranya sendiri dalam mencintai. Kalo sekiranya lu ngerasa gak cocok dengan cara mereka, lu tinggal bilang kan?"
"Udah pernah tapi dicuekin."
Kalau sudah begitu, Candra juga tidak bisa berkata banyak, ia pun tak bisa benar-benar ada di posisi Rangga yang tajir melintir tapi kekurangan kasih sayang. Maka dari itu, ia sering mengajak Rangga ke rumah agar bocah prik itu tidak kesepian.
Kadang ia merasa kalau sikap prik seorang Rangga adalah bentuk pengalihannya pada kehidupannya yang hampa dan membosankan.