Berita Mengejutkan

1584 Words
Masa remaja adalah masa-masa yang rentan. Harus didampingi orang terdekat jika tidak mau salah jalan. Kalau tidak, dunia luar mewajibkan kita untuk menjadi pribadi yang kuat. Kuat dalam segala hal. Dalam pergaulan contohnya. Kita harus kuat hati dan pikiran agar tidak terlalu terbawa arus zaman. Jika tidak, maka kemungkinan masa yang seharusnya kita isi dengan hal-hal yang menyenangkan---yang masih berada di jalan yang benar---akan rusak begitu saja. Kalau sudah seperti itu, maka akan sangat disayangkan. Jadi, mulailah dari sekarang. Tinggalkan yang tidak baik, dan pertahankan yang sebaliknya. Persepsi seorang Ghea Nafatia selalu demikian. Namun, ia sendiri bingung harus ikut yang mana. Sejak SMP, ia sudah sering ditinggal orang tuanya yang pergi keluar kota untuk mengurus bisnisnya. Entah bisnis apa yang terlalu menyibukkan mereka, yang pasti, Ghea selalu menjadi korbannya. Kedua orang tuanya selalu berpindah-pindah dari kota ke kota, yang mana hal itu membuat Ghea mau tidak mau ikut pindah juga. Meninggalkan sekolah lama dan menjadi murid baru di sekolah barunya. Selalu seperti itu. Ghea sendiri tidak bisa menghitung sudah berapa kali ia pindah sekolah. Sampai akhirnya, ia memilih menetap sendiri, dan membiarkan kedua orang tuanya pergi ke sana ke mari seperti biasa dan sesekali pulang jika ia memintanya. Itu pun harus dengan segala macam permohonan. Menghela napas. Ghea membuka pintu rumah dengan sangat pelan, tidak mau jika ada yang menyadari kepulangannya. "Anak gadis jam segini baru pulang, ngapain aja?" Baru tiga langkah menaiki anak tangga, Ghea kembali menghentikan langkahnya ketika mendengar suara yang terdengar dari arah dapur sana. Hal yang ia malaskan, akhirnya terjadi juga. Tidak mau ambil pusing, juga saat ini ia sedang malas untuk berdebat, Ghea memilih melanjutkan langkahnya. Membiarkan wanita tua yang tengah berdiri dengan ekspresi seperti biasanya. Sebelum membuka pintu, samar-samar ia mendengar wanita itu berkata yang sedikit tidak mengenakkan di hatinya. Ya, memang sudah biasa, tapi rasa sakit ketika mendengar kata-kata kotornya selalu ada. Terkadang, ia sendiri merasa heran. Kenapa wanita tua tadi yang tidak lain adalah neneknya sendiri, selalu bersikap seolah tidak senang dengan dirinya? Kalau dipikir-pikir, selama ini ia tidak pernah berbuat salah apa pun. Tapi kenapa? "Nenek gila, kalo datang ke sini cuma mau bikin dosa doang, ngapain? Lebih baik istirahat, nikmatin masa-masa terakhir sebelum malaikat datang." Ghea menjatuhkan tubuhnya di kasur, menutup wajahnya dengan kedua tangan, kemudian berdecak kesal. "Kalo bukan karena mama, dari dulu udah gue percepat kematiannya." Ghea bergumam layaknya seorang psychopat. Jarang bertemu, namun sesekali nenek tua itu mendatangi rumahnya. Ya, meskipun tidak ada kedua orang tuanya. Entah mau apa, yang pasti, jikalau sudah bertemu dengan dirinya, dia selalu mengungkit hal yang tidak-tidak. Selain soal harta, seluruh kesalahan kecil yang Ghea lakukan juga sering dibahas dengan merambat ke mana-mana. Nenek kandung, tapi perilaku seperti nenek tiri. Ghea beralih ketika mendengar ponselnya bersuara. Ternyata, ada telpon dari sang mama. "Hallo?" "Hallo, Sayang. Kamu di rumah, kan?" Ghea mendudukkan tubuhnya. "Iya. Mama jadi pulang malam ini?" "Jadi, dong. Oh ya, gimana pembagian raport tadi?" "Aman, Ma." "Syukurlah. Mama udah hampir sampai rumah, udah dulu ya, Sayang." Ghea menghela napas. "Iya, Ma." Setelahnya, gadis itu menutup sambungan telepon kemudian kembali meletakan ponselnya. Tidak bisa pulang di pagi hari, akhirnya mereka bisa pulang di malam hari. Tidak apa, masalah acara di sekolah Ghea tidak begitu mempermasalahkannya. Yang terpenting kedua orang tuanya pulang, itu sudah cukup bagi Ghea. Sebentar lagi, ia akan bertemu dengan orang tuanya. Harus apa ia? Apakah bertanya kabar, atau langsung memeluknya? Jujur saja, beberapa bulan tidak bertemu membuatnya sedikit merasa bingung. Bingung harus melakukan apa. Mungkin, itu semua diakibatkan oleh rasa rindu yang tertutup rasa kecewa. Kepulangan orang tuanya yang sekarang terasa beda, entah kenapa alasannya. Ghea tidak merasakan kesenangan yang luar biasa seperti yang sudah-sudah. Tidak mau pusing berkelanjutan karena memikirkan hal-hal yang tidak-tidak, Ghea beranjak kemudian melangkah memasuki kamar mandi. Ia percaya, salah satu cara untuk menenangkan pikiran dan hati adalah dengan cara membersihkan diri. Tidak peduli dengan apa yang ia pikirkan tadi, mungkin, itu semua hanyalah bentuk dari dirinya yang sudah terbiasa sendiri. ----- Sudah dua hari semenjak kepulangan kedua orang tuanya, Ghea masih saja belum mengerti dengan suasana. Semuanya terasa berbeda, entah ada apa dan kenapa. Meskipun di rumah, biasanya kedua orang tuanya masih selalu sibuk dengan pekerjaan, tetapi sekarang tidak. Mereka lebih ke menghabiskan waktu bersamanya. Sebenarnya tidak ada yang salah, Ghea hanya merasakan sesuatu yang aneh saja. "Bagaimana pekerjaan kalian berdua?" Itu suara Mariska---neneknya Ghea. Wanita itu yang sedari tadi mendominasi obrolan di ruang keluarga ini. Ingin rasanya Ghea pergi ke kamar, karena demi apapun, ia muak dengan wanita tua yang satu itu. Namun, kedua orang tuanya melarang dan mengharuskan dirinya tetap berada di sana. "Lancar, Bu," jawab Alma, mamanya Ghea. Aryo, seorang laki-laki paruh baya yang tidak lain adalah papa dari seorang Ghea Nafatia tersenyum seraya mengangguk, membetulkan ucapan istrinya barusan. "Iya, Bu. Besok lusa kami sudah harus kembali ke Surabaya, dan nanti malam mungkin kami akan mengunjungi salah satu teman kami di sini." "Untuk apa?" tanya Mariska. Alma tersenyum menatap ibunya. "Biasalah, Bu, teman bisnis juga." Mariska mengangguk, namun tidak mengangguk dengan sempurna. Seperti merasa tidak yakin atau mungkin meremehkan mereka. Wanita itu beralih menatap Ghea yang sedari tadi hanya terdiam. "Alma, kamu tolong kasih tahu Ghea, anak kamu. Jadi anak muda jangan kebangetan gaulnya, masa anak gadis pulang larut malam terus." Seketika Ghea menatap Mariska sinis. Sudah tua, namun kelakuan tidak ada tobat-tobatnya. Ia tidak masalah diadukan seperti itu, karena itu memang kenyataannya. Pulang larut malam memang kebiasaannya. Yang ia tidak suka adalah, Mariska yang selalu mencari sensasi dengan cara mengungkit semua kesalahannya. Memojokkannya, bahkan seakan memprovokasi mereka agar benci kepadanya. Padahal tidak seperti itu. Kedua orang tuanya tidak pernah marah. Sesekali mereka memang menegurnya. Namun, Ghea tidak pernah peduli, meskipun ia tipikal orang yang tidak peduli sekitar, tetapi yang namanya kesenangan, ia tetap membutuhkannya. Sendirian di rumah hanya akan membuatnya muak dengan kehidupan, lebih baik kumpul bersama teman-temannya dan bersenang-senang dengan mereka. "Ghea ..., Mama, kan, sudah bilang, nggak baik anak gadis terlalu sering pulang malam. Apa kata tetangga nantinya, Sayang?" Ucapan Alma kembali membuat Ghea tersenyum sinis. "Ghea nggak peduli apa kata orang, Ma. Ini hidup Ghea, Ghea juga yang jalanin. Ngapain mau ribet ngurusin komentar orang lain yang jelas-jelas tidak ada faedahnya sama sekali." Tidak hanya menekankan kata-katanya, Ghea juga melirik Mariska yang tengah menatap ke arahnya, dengan tatapan yang tak kalah sinisnya Aryo menghela napas. Perkataan Ghea memang benar, kita tidak boleh mendengarkan komentar negatif orang lain terhadap kita, karena itu hanya akan membuat kita berpikiran lebih. Namun, tetap saja, perilaku Ghea yang seperti itu tidak bisa dibenarkan. Bagaimanapun, anak gadis pulang larut itu tidak baik. Bukan hanya karena komentar manusia, keselamatan juga menjadi alasannya. "Tapi, Ghea, itu bahaya." "Bahaya kenapa, sih, Pa?" "Gimana kalau ada orang yang jahatin kamu di jalan?" Ghea mengernyit heran. "Ya, tinggal lawan, Pa. Ngapain Ghea capek-capek belajar bela diri kalau nggak digunain?" Mariska yang melihat itu dan mendengar ucapan-ucapan Ghea, semakin berpandang negatif kepada gadis itu. "Anak kalian memang sudah kelewatan, dikasih tau malah melawan. Sekolah, tapi tidak berpendidikkan." Ghea kembali menatap Mariska, senyum kecut terbit begitu saja di bibirnya. "Mohon maaf, saya tau di mana saya harus memakai attitude saya. Tergantung dengan siapa saya berhadapan." Alma menggenggam hangat lengan Ghea, mencoba menenangkan gadis itu. Ya, ia tahu, sedari dulu memang tidak pernah ada perdamaian diantara Ibu dan anaknya. Ia tahu sebabnya, namun tidak kuat jika harus memberitahu Ghea yang sebenarnya. Biarlah waktu yang menentukan. ------------- "Tolongin, dong, Yenyen kesepian di sini." Ghea menghela napas pelan ketika mendengar ucapan Irene barusan. "Aneh, di sana rame, gue tau." "Irene emang paling jago cari sensasi," ucap Risa. Sudah satu jam lebih mereka melakukan vidio call bersama. Membicarakan ini itu, menceritakan masa-masa liburannya. Namun, cerita Irene yang lebih mendominasi. Tentang gadis itu yang pergi ke New York menyusul kedua orang tuanya, dia yang katanya kesepian, juga cogan-cogan anak dari teman bisnis kedua orang tuanya. Unfaedah, tetapi jika tidak ikut facetime dengan mereka, Ghea merasa gabut juga. "Gila, sih! Cowok di sini cakep-cakep, anjir!" Risa tampa memutar bola matanya malas. "Nggak akan lebih dari Arka." "Bucin garis keras mah beda," ucap Ghea pelan. Yang mana ucapan itu membuat Risa mendengus kesal. "Orang yang nggak ada pacar mah, lebih beda!" sahut Risa tidak mau kalah. Irene tertawa di ujung sana. "Gila lo, Ris, Ghea sensitif kalo masalah ginian." Ghea menggeleng seraya mengangkat bahunya. "Biasa aja." "Eh btw udahan dulu, ya. Mami gue manggil nih." Setelahnya, Irene meninggalkan panggilan. "Lo nggak sibuk, Ris?" tanya Ghea. Risa menggeleng pelan. "Nggak, sih, tapi bentar, gue mau ke kamar mandi dulu." Risa juga meninggalkan panggilan. Ghea meletakan ponselnya asal, kemudian merebahkan tubuhnya di kasur. Sebenarnya, Ghea merasa heran sendiri dengan kehidupannya. Ia merasa kehidupannya seperti tidak ada perubahan, lurus, tanpa ada hal-hal elok di dalamnya. Selalu merasa seperti itu. Terkesan tidak bersyukur, tetapi kenyataannya memang seperti itu. Mengenai sikapnya yang terkesan dingin ini, itu sengaja ia lakukan. Kenapa? Karena berusaha menutup diri sendiri dari siapa pun. Ghea kembali mendudukkan tubuhnya ketika mendengar ponselnya bersuara. Ternyata ada panggilan di sana, dari nomor yang tidak dikenal. "Hallo?" Ghea mengernyit kala mendengar suara laki-laki di ujung sana. Tanpa membalas lagi, Ghea sudah kembali mendengar suara di sana. Selain suara laki-laki, Ghea juga dibuat heran dengan suaranya yang terdengar bising. Awalnya ia pikir itu hanyalah orang iseng yang tidak bertanggung jawab, tetapi ketika mendengar kalimat terkahir, ia benar-benar tidak berkutik di tempatnya. Menelan ludah susah payah, juga berpikir keras memikirkan apakah ini penipuan atau tidak. Ghea menggeleng pelan, bersamaan dengan ia yang menjatuhkan ponselnya begitu saja. Kenapa? Kenapa bisa? Padahal, tadi mereka baik-baik saja. To Be Continue...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD