Takdir Yang Begitu Kejam

1841 Words
Kadangkala kita merasa bahwa sesuatu yang menimpa kita, dan sangat menyakitkan itu bentuk takdir yang terlalu kejam. Tuhan yang tidak adil atas semuanya. Padahal, tidak seperti itu. Semuanya sudah diatur sesuai kehendak-Nya. Tuhan selalu tahu mana yang terbaik dan tidak pernah memberikan ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya. Ujian kita teramat berat, Tuhan yakin kita bisa melewatinya. Dengan sabar, perlahan, dan hati yang ikhlas. Meskipun kenyataannya, hati tidak menerima semudah itu. Duduk memeluk lutut sendiri, menenggelamkan kepalanya di sana. Air mata yang tidak berhenti terurai, padahal yang menangis sudah sesenggukan sedari tadi. Kehilangan memang menyakitkan, apalagi kedua orang tua kita sendiri. Yang sangat tiba-tiba. Yang tadinya biasa saja. Sekarang sudah tiada, berpisah untuk selamanya. Mendapat kabar bahwa kedua orang tuanya mengalami kecelakaan hebat yang mengakibatkan keduanya tewas di tempat, membuat seorang Ghea Nafatia tercengang. Jantung yang bekerja lain dari biasanya, tubuh yang ikut bergetar, juga gelengan kecil di kepala, memikirkan berita konyol apa ini? Ini tidak mungkin terjadi. Tidak, tidak akan. Seolah tidak percaya, gadis itu sempat meletakan ponselnya dan terkekeh pelan. Ia gadis yang tidak mudah ditipu juga tidak selalu mudah percaya. Apalagi dengan penelpon yang entah siapa orangnya. Merenung cukup lama, Ghea kembali menerima telpon dari nomor yang sama. Berita yang sama kembali ia dengar, membuat tubuhnya seketika bergetar hebat. Menelan ludah tak percaya, dan menggelengkan kepalanya kuat tanda bahwa ia tak terima. Detik berikutnya Ghea berlari keluar kamar, dan segera pergi menuju tempat yang dikatakan oleh si penelpon tadi. Pernah merasakan tubuh yang lemas akibat perasaan yang benar-benar tidak percaya? Ghea mematung seakan enggan untuk mendekat. Menutup kedua mulutnya, dengan air mata yang mulai berjatuhan. Apalagi ini? Masih kurang kah cobaan hidupnya yang kemarin? Kurang kasih sayang orang tua, dijauhi keluarga, juga hidup yang terasa sendirian. Ghea tidak kuat menahannya. Ia menangis dengan kaki yang perlahan mulai berjalan mendekat. Mendekati dua orang manusia yang tengah terbaring di brankar rumah sakit, dengan luka di sekujur tubuhnya. Wajah-wajah yang selalu menatapnya dengan sayang, meski tidak terlalu sering. Ekspresi-ekspresi yang selalu tersenyum menyikapi semua kesalahannya, sudah tiada. Tergantikan dengan mata yang tertutup rapat, juga warna kulit yang memucat. Secepat ini? Secepat ini mereka pergi? Padahal, Ghea sendiri tidak pernah tahu hal baik apa yang telah ia lakukan untuk kedua orang tuanya. Tidak adakah kesempatan? "M-m-ma ... P-p-pa ...." Ghea mendekat dengan air mata yang terus berurai. "K-kenapa bisa gini? Kenapa secepat ini? Kalian marah sama semua kelakuan Ghea? Ghea minta maaf ...." Sudah tidak bisa tertahan, Ghea menangis keras. Memeluk tubuh mama papanya bergantian. "Tolong ... jangan hukum Ghea dengan cara meninggalkan seperti ini." Ghea sesenggukan. "Kalian boleh urus bisnis kalian kapan pun, Ghea nggak akan marah. Gak akan bertindak seenaknya. Ghea gak akan mikir kalau kalian gak sayang Ghea. Tapi jangan kayak gini, Ma ... Pa ...." "Ghea mohon ... udah cukup kemarin-kemarin Ghea hidup sendirian." Benar-benar menyakitkan. Ghea tidak pernah merasakan kesedihan sehebat ini. Pernah sedih, namun tak sedalam ini. Sering menangis, tetapi tidak selama ini. Persetan dengan kata 'setiap pertemuan pasti ada perpisahan', Ghea tidak mau itu menimpa kehidupannya. Tidak. Meskipun kedua orang tuanya selalu sibuk dengan pekerjaan, ia juga tidak mau jika harus ditinggal selamanya seperti ini. Kenapa takdir begitu kejam? Rasanya ... Ghea menginginkan dirinya lenyap sekarang juga dan ... ikut menyusul kedua orang tuanya. Seharian menangis di makam kedua orang tuanya, Ghea tidak sedikitpun merasa lelah. Ingin rasanya ia diam di tempat itu semalaman, seminggu, bahkan selamanya. Namun, panggilan telpon dari seseorang membuatnya mau tidak mau harus segera pulang ke rumah. Cobaan datang tanpa jeda, Ghea benar-benar merasa tidak percaya ketika mendengar ucapan dua orang laki-laki yang mendatangi rumahnya. "Mohon maaf, apakah Anda anak dari bapak Aryo?" Dengan segala keheranan juga wajah yang kemerahan Ghea menganggukkan kepalanya. "Baiklah, biarkan saya jelaskan terlebih dahulu. Pak Aryo, memiliki hutang sebesar sepuluh miliar rupiah yang belum sempat terbayar. Beliau juga sudah menjadikan rumah ini beserta isinya, berikut dengan aset-aset lain sebagai jaminan." Lelucon apalagi ini? Ghea menggeleng hebat, ia menolak keras dengan ucapan itu. Tidak mungkin, tidak mungkin kedua orang tuanya memiliki hutang sebesar itu. Bukannya mereka selalu bekerja? Sampai lupa waktu, bahkan lupa keluarga. Lalu, apa ini? "N-nggak! Gue nggak percaya." Satu orang laki-laki bergerak membuka tas yang ditentengnya. Ia mengeluarkan sebuah berkas di sana. "Jika Anda tidak percaya, mohon untuk baca surat ini terlebih dahulu. Jelas, di sana ada tanda tangan pak Aryo." Bagi Ghea, harta dan kekayaan tidak begitu penting. Ia tidak masalah kehilangan semuanya, namun, kenapa lewat hal tak terduga seperti ini? "Sudah jelas? Kami harap, Anda segera meninggalkan rumah ini." Setelahnya Ghea melempar surat itu asal kemudian memasuki rumah begitu saja. Berlari menuju kamar, mengunci diri di dalam sana. Ujian yang begitu tiada henti. Kehilangan orang tuanya masih belum bisa ia terima. Sekarang, ia kehilangan penunjang hidupnya dan harus meninggalkan rumah ini dengan segera. Apakah ia akan bisa? Rasanya sangat sulit. Harus pergi kemana dirinya? Sedangkan seluruh keluarga dari kedua orang tuanya seakan tidak menganggap kehadirannya. Dunia terlalu keras dengan takdir yang begitu kejam. "Sayang, Mama sama Papa pergi dulu, ya. Kamu hati-hati di rumah. Selagi kami nggak ada, kamu jangan berlebihan, ya. Secepatnya kami akan kembali." Ucapan terakhir yang masih terngiang sampai sekarang. Ini maksud dari 'selagi kami nggak ada'? Ini yang dimaksud 'hati-hati di rumah'? Ghea kembali menangis, mencoba berpikir keras kesalahan apa yang ia lakukan sehingga harus menerima hukuman seberat ini. Mengacak rambutnya frustrasi, berteriak sekencang mungkin, berharap semua beban bisa lenyap beriringan dengan suaranya yang keluar. "KENAPA?!!!" "KENAPA DUNIA TERLALU KEJAM!" "KENAPA HIDUP GUE KAYAK GINI!" "KENAPA!!!!" Ghea memejamkan matanya sesaat. Tawa pecah begitu saja bersamaan dengan matanya yang kembali terbuka. Menertawakan diri sendiri yang gilanya, bisa semenyedihkan ini. Bukannya Ghea itu kuat? Ia yang selalu menutup semuanya, kesedihannya, dirinya yang penuh luka ini kepada orang lain. Sekarang kuat itu tidak ada lagi. Ghea lemah, benar-benar lemah. Dengan gontai gadis dengan pakaian yang sudah acak-acakan itu beranjak, berjalan menuju meja belajarnya. Bola matanya bergerak menelusuri setiap titik di meja belajarnya. Setelah menemukan objek yang ia cari, seulas senyum terbit di bibirnya. Ghea mengambil cutter yang berada di tumpukan spidol warnanya. Perlahan, ibu jarinya bergerak mengatur kenop cutter, mengatur jangka benda tipis nan tajam itu. "Lebih baik gue mati!" Dengan penuh penekanan. Setelah mengucapkan itu, Ghea menempelkan cutter itu di tangannya, tepat di area urat nadinya. Daripada hidup seperti ini, tanpa orang tua juga bingung harus bagaimana, lebih baik Ghea menyusul kedua orang tuanya. Kenapa harus hidup kalau dengan mati bisa membuat semuanya usai? Kenapa harus bertahan? Sedangkan semua kondisi dan situasi semakin membuatnya tertekan. Tidak, semuanya sudah benar-benar mendesak, menyakitkan, sampai ia memilih kalau jalan terakhir adalah ikut menyusul kedua orang tuanya. Belum sempat menggeser cutter itu, Ghea beralih menatap pintu ketika terdengar suara ketukan di sana. Siapa lagi? Ada apa lagi? Suara ketukan semakin keras, membuat Ghea menggelengkan kepalanya. "Pergi!" Dalam keadaan seperti ini, lebih baik sendiri. Mengakhiri semuanya sendirian. Lagipula, siapa yang datang? Risa dan Irene? Ia tidak pernah mengabari kedua sahabatnya itu. Takut jikalau berita konyol ini malah mengganggu nice time mereka. "Buka!" Ghea sadar sekarang. Ia terkekeh sinis, beranjak kemudian berjalan gontai menuju pintu. Mari kita lihat, nenek gila itu akan menenangkannya atau bahkan menertawakannya. Atau mungkin, akan ikut mati bersama dirinya. Tidak ada raut kesedihan, yang terpampang di wajah wanita itu hanya tatapan sinis nan tidak suka seperti biasa. "Ngapain kamu?" tanya Mariska ketika baru saja pintu terbuka dengan Ghea yang berdiri di depannya. Selain wajah yang sembab, tampilan gadis itu juga sangat memprihatinkan. Sayangnya, ia tidak pernah merasa tersentuh sedikitpun. Ghea tidak menjawab, membuat Mariska berjalan memasuki kamar Ghea tanpa permisi. Ghea yang malas beradu mulut hanya menatap heran wanita itu. Apa yang tengah direncanakan oleh wanita itu? "Dari dulu, kehadiran kamu itu memang sudah merusak!" Ghea mendelik tajam, menatap Mariska yang baru saja berujar dengan posisi menghadap ke jendela. Apa katanya? Merusak? "Merusak semuanya!" lanjut Mariska. Ghea berjalan mendekat. Penasaran dengan semuanya. "Apa maksudnya?" Mariska bersidekap, menatap Ghea sinis. Sudah tidak ada penghalang, ia akan membeberkan semuanya kepada Ghea. "Dari awal saya tidak setuju dengan hubungan Alma dan papa kamu. Selain saya yang sudah memiliki calon lain, keadaan Aryo yang tidak memiliki pekerjaan juga menjadi pertimbangannya." Ghea diam, ia masih berdiri memperhatikan Mariska. "Mereka tidak bisa dipisahkan, dan malah memilih jalan lain untuk menikah. Semenjak kehadiran kamu, Alma harus rela tidak melanjutkan kuliahnya. Merelakan mimpinya, dan memilih hidup bersama Aryo yang pekerjaannya tidak jelas." Mariska kembali mengalihkan pandangannya dari Ghea. "Kalau kamu tidak hadir, mungkin sekarang Alma sudah meraih mimpinya, menjadi dokter seperti yang diidam-idamkannya dulu." Terkekeh sinis. Mariska berjalan mendekati Ghea. "Saya sudah tahu, orang tua kamu berseliweran ke sana-kemari bukan karena mengurus bisnis, tetapi bersusah payah mencari pekerjaan! Untuk menyambung hidup, menghidupi kamu yang tidak tahu diri meminta ini itu, bahkan, sudah dikasih kebebasan malah berkelakuan tidak jelas. Tidak menemukan pekerjaan yang pas, berhutang menjadi solusi mereka. Sekarang kamu lihat? Semua aset palsunya kembali ke tempatnya, sampai rumah ini, rumah saya, harus disita. Dan semua ini gara-gara kamu!" "Kalau saja kamu tidak terlanjur hadir-" "Jelasin semuanya!" teriak Ghea memotong ucapan Mariska. Ia ingin tahu semuanya, ingin tahu kenapa seluruh keluarga orang tuanya seakan tidak pernah menginginkan kehadirannya. "Kamu anak haram! Kamu hadir sebelum waktunya. Alma dan Aryo nekat melakukan semuanya demi kebersamaan, mereka gak pernah sadar banyak orang yang kecewa. Dari dulu saya tidak menginginkan kehadiran kamu, kenapa? Karena setelah kamu ada, semuanya hancur." Mengingat pertengkaran hebat kala itu, Mariska menitikkan air mata. Pertengkaran hebat dalam keluarga besarnya yang menyebabkan suaminya harus pergi secepat itu. "Gara-gara kabar buruk itu, suami saya harus meninggalkan kami semua karena serangan jantung. Sebenarnya saya sudah tidak mau menganggap Alma dan Aryo lagi, namun ucapan terakhir Rudy membuat saya tidak ada pilihan lain." Mariska menahan isakan. Akhirnya, semua yang ia pendam sedari dulu, sekarang bisa terluapkan. "Kamu tau Ghea? Banyak yang hilang gara-gara kamu. Sekarang kedua orang tuamu sudah tidak ada, mau bagaimana kehidupan kamu ke depannya? Jadi gelandangan? Saya sudah menjelaskan semuanya, kan? Pasti kamu juga sudah tahu kalau saya tidak akan pernah mau mengurus, apalagi menampung." Setelah mengatakan itu, Mariska berjalan keluar, meninggalkan Ghea yang masih mematung di tempatnya. Detik berikutnya, Ghea ambruk dengan suara tangisan yang pecah begitu saja. Meringkuk memeluk dirinya sendiri, tubuh Ghea bergetar hebat. Kenapa? Apa salahnya? Belum cukup, kah? Tadi pagi ia mengantar kedua orang tuanya ke tempat peristirahatan terakhir. Siangnya ia harus menerima kenyataan kalau rumah dan aset yang ada harus disita. Dan sekarang? Kabar gila apa ini? Sekarang ia tahu penyebabnya, tahu semuanya. Mereka yang memang tidak menginginkan kehadirannya, ternyata sudah membencinya dari awal. Mereka yang tidak pernah mau menganggapnya, selalu ingin memusuhinya, ternyata karena ia yang memang tidak diinginkan. Adakah gelar anak haram di dunia ini? Ghea tidak mengerti kenapa semuanya bisa seperti ini. Menyakitkan. Membuat semuanya hancur. Semakin terisak, Ghea sesenggukan pelan dengan sisa tenaganya. "M-ma ... P-pa ... kenapa? Apa salah Ghea? Ghea nggak pernah tahu akan dilahirkan di rahim siapa, Ghea nggak pernah tahu bakal tumbuh dalam lingkup keluarga siapa. Ghea nggak bisa milih Pa, Ma, tapi kenapa semuanya seakan nyalahin Ghea? Kenapa semuanya nggak nerima kehadiran Ghea? Padahal Ghea sendiri nggak pernah minta untuk hidup. T-t-tapi, kenapa ...?" To be continue....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD