Keluarga Asing

1382 Words
Baru saja membuka mata, Ghea mengernyit heran ketika menyadari tempat dirinya berada. Ia melirik ke sana-kemari, mencoba mengenali tempat ini. Jelas, ini bukan kamarnya. Apakah ia sudah mati? Dan sekarang tengah berada di alam lain? Terakhir kali yang Ghea ingat adalah ia yang meringkuk di lantai sembari menangisi semuanya. Bertanya kepada dirinya sendiri dan siapa saja yang bisa mendengarnya. Kenapa ia bisa dilahirkan ke dunia? Sedangkan di sini tidak ada yang menginginkannya. Kenyataan pahit itu kembali berputar sehingga membuat kepala Ghea kembali sakit. "Kamu sudah bangun?" Ghea beralih, menatap seseorang yang baru saja membuka pintu. Seorang wanita paruh baya yang umurnya mungkin setara dengan mamanya. Siapa dia? "Sudah dua jam lebih kamu tertidur," ucap wanita tadi sembari berjalan mendekati Ghea. Ghea yang bingung juga tidak kenal dengan wanita itu, menatapnya heran. "Saya di mana? Kamu siapa?" "Ghea, selamat datang di rumah baru kamu. Saya Aruna, anggap saya sebagai mama kamu sendiri. Mulai sekarang, kamu tinggal di sini dan jadi bagian dari keluarga ini." Kenapa kenyataan selalu datang tiba-tiba? Apalagi ini? Wanita paruh baya yang bernama Aruna itu tersenyum. Ia sadar kalau Ghea tengah kebingungan dengan ucapannya. "Nggak apa-apa, kamu istirahat dulu. Jangan terlalu dipikirin." "Boleh jelasin sekarang?" tanya Ghea. Ia tidak mengerti. Rumah baru, keluarga baru, mama baru, apa maksudnya? Aruna mengangguk perlahan. "Jadi ...." Ghea melihat ada yang beda dari raut wajah wanita itu. Ia masih diam, menunggu lanjutan ucapannya. "Jadi, saya adalah teman bisnis yang dimaksud mama papa kamu. Kita memang ada janji bertemu malam itu, tapi sebelum pertemuan itu berlangsung, kabar mengejutkan datang secara tiba-tiba." Aruna terlihat sedih seraya menghela napas. "Ghea, sebelum pergi, kedua orang tua kamu sudah memberi amanat kepada kami. Nggak apa-apa, ya? Anggap keluarga ini sebagai keluarga kamu sendiri." Ini benar-benar gila. ------ Mati satu tumbuh seribu. Apakah itu yang tengah Ghea rasakan sekarang? Setelah semuanya hilang, sekarang telah hadir yang baru. Tidak, bukannya ia begitu cepat melupakan. Namun, ketiba-tibaan ini benar-benar membuatnya tidak habis pikir. Setelah satu jam menenangkan diri di bawah shower, kini Ghea beranjak. Namun, masih dengan pakaian yang basah. Berdiri tepat di depan cermin, menatap pantulan setengah tubuhnya yang demi apa pun, Ghea sendiri ingin terkekeh melihatnya. Wajah yang sudah tak terurus itu terlihat bengkak dengan warna yang ke merah-merahan. Ah, Ghea yakin itu disebabkan oleh dirinya yang tidak berhenti menangis seharian. Nyatanya, cewek yang selalu ingin terlihat kuat itu tidak peduli, meskipun air mata habis yang akan menjadi resikonya. Cukup lama termenung, Ghea beranjak dari posisinya ketika suara dari luar sudah sedari tadi terdengar. Suara ... mama barunya. Lucu bukan? Ketika kita baru saja kehilangan, tetapi tiba-tiba datang seseorang dan sudah menjadi keluarga barunya. Tanpa saling mengenal. Meskipun Aruna sudah menjelaskan semuanya, namu tetap saja, Ghea masih merasa ini sangat sulit dipercaya. Setelah berganti pakaian, juga mengeringkan rambutnya, Ghea berjalan menuju pintu ketika terdengar suara ketukan di sana. "Udah beres? Sekarang makan, ya? Sekalian, ketemu papa dan kakak kamu." Dengan penuh rasa ragu, Ghea mengangguk pelan, setelahnya ia berjalan mengikuti Aruna dari belakang. Tidak apa, sekarang ikuti saja alurnya. Menyenangkan atau menyedihkannya itu urusan nanti, Ghea sudah berjanji kepada dirinya sendiri jika ia tidak nyaman, maka ia akan pergi mencari jalan keluar. Hidup sendiri, memulai semuanya dari awal lagi. Ghea sadar, kesedihan hanya akan membuatnya terpuruk tanpa tujuan. Meskipun rasa sakit itu masih ada, dan mungkin akan selalu ada, yang terpenting Ghea mau belajar. Sampai di anak tangga terakhir, jantung Ghea mulai berdetak tak karuan. Takut kalau orang yang katanya akan menjadi papa barunya itu orang yang dingin menyeramkan. Tidak menginginkan dirinya berada di sini, dan mencoba untuk berbuat hal-hal aneh kepadanya. Tidak, rasa takut macam apa itu? Ghea Nafatia adalah gadis yang berani, jika mereka mengekang atau tidak menginginkannya, ia bisa pergi sendiri. Lagipula, ia juga tidak meminta hadir di keluarga ini, bukan? Jantung yang semakin berdetak kencang, juga kerutan yang tercetak jelas di dahinya. Ghea menelan ludah, memperhatika seseorang yang tengah duduk di sana, di samping seorang laki-laki yang umurnya mungkin sudah setara dengan umur papanya. Dia ... Ghea kenal dengan orang itu. Ya, Ghea mengenalinya. Apa dia yang dimaksud akan menjadi kakaknya? "Ghea, silakan duduk," ucap Aruna. Ghea mengangguk, kemudian ikut mendudukkan tubuhnya di kursi tepat di samping Aruna. Ia sadar, pergerakkan tidak lepas dari mata mereka. "Oh, iya, Ghea, kenalkan ini Farhan, suami tante, eh maksudnya mama. Dia papa kamu. Dan itu," Aruna menunjuk anaknya yang duduk bersebrangan dengannya. "Dia Vero, kakak kamu." Ghea beralih menatap orang yang baru saja diperkenalkan oleh Aruna. Tatapannya bertemu dengan orang itu, cukup lama, sampai Ghea sendiri yang mengakhirinya. Ini tidak mungkin. Vero adalah teman dari Arka, dan Arka adalah kekasih Risa, sahabatnya. Ghea sendiri tidak ada pikiran juga rencana untuk memberitahu kedua sahabatnya mengenai meninggalnya kedua orang tua juga keadaan keluarga barunya ini. Tidak, Ghea akan merahasiakannya. Tetapi, bagaimana kalau Vero bercerita kepada Arka dan Arka akan memberitahu Risa? Itu tidak bisa dibiarkan. Semenyedihkan apa pun, Ghea tetap tidak mau ada orang lain yang mengetahuinya. Bahkan dengan kedua sahabatnya sekali pun. ----- Kesedihan yang mendalam sangat sulit untuk dilupakan. Sekuat apa pun kita berusaha, sekeras apa pun kita menahan agar tidak mengingatnya, tetap saja. Berputar di kepala, membuat pikiran berkelana, yang pasti akan berakhir dengan jatuhnya air mata. Benar-benar sulit. Satu minggu sudah Ghea kehilangan. Satu minggu juga ia tidak pernah sehari pun absen tidak menangisi semuanya. Di setiap kegelapan yang sunyi, di bawah sinar remangnya bulan dan bintang, Ghea selalu merenung bersamaan dengan air mata yang terurai. Mengingat mereka, kedua orang tuanya yang entah mengapa bisa pergi secepat itu. Sudah satu minggu juga Ghea berada di dalam lingkup keluarga asing. Keluarga yang memperlakukannya dengan baik. "Kamu ingat, kan, mama papa kamu waktu itu mau pergi ke rumah teman bisnisnya? Teman bisnis itu adalah saya dan suami saya. Kami dan kedua orang tua kamu belum sempat bertemu, tetapi sudah mendapatkan kabar mengejutkan waktu itu. Saya dan suami saya segera ke lokasi, dan ... sebelum pergi mereka sempat menitipkan kamu." Ghea kembali mengingat ucapan Aruna waktu lalu. Wanita itu yang menjelaskan semuanya, menjelaskan kenapa ia bisa berada di tempat ini. Sedikit tidak percaya, namun Ghea tidak tahu harus merespons seperti apa waktu itu. Angin malam sudah mulai terasa menusuk, membuat Ghea memutuskan untuk segera beranjak kembali ke kamar. Meninggalkan taman belakang rumah yang sudah dua jam ia singgahi. Sampai di ruang tengah, Ghea melirik sekilas ketika melihat Vero yang tengah duduk bersama kedua temannya. Ya, Dion dan Arka. Ghea tidak memikirkan apa pun lagi, meskipun ketiga cowok itu akan membeberkan urusan ini kepada Irene dan Risa. "Eh, Ghea, ya?" Belum sempat menginjak anak tangga, Ghea menoleh ketika mendengar suara Dion yang memanggil namanya. "Temennya Risa? Kok, ada di sini? Ngapain?" Itu sudah berarti kalau Vero belum menceritakan semuanya. Ghea menghela napas lega untuk itu, namun, ia harus menjawab apa kepada Dion? Terlalu bingung memilih jawaban, akhirnya Ghea memilih tidak menjawab dan kembali melangkah menuju kamarnya. "Lah, nggak jawab pertanyaan orang dosa lho!" Ghea tidak menghiraukan. "Ver, ada hubungan lo sama Ghea? Kok bisa ada di rumah lo?" Ghea mendengar itu, namun tidak peduli. Kaki jenjangnya tetap menaiki satu persatu anak tangga. "Eh, Ghea? Woy, Vero gak jawab lo juga gak jawab. Kalian ada macem-macemnya, ya?" Kali ini Ghea menoleh, menatap Dion dan Arka yang tengah menatap ke arahnya. "Kalo nggak ada jawaban, itu artinya gue nggak mau jawab. Lo harusnya sadar dan nggak nuntut. Apalagi sampai ngucapin asumsi barusan. Selain nggak sopan, gue juga sadar kalau di situ attitude lo nggak dipake." "Beda orang, lo harus bisa bedain sikap juga. Karena nggak semua orang bisa nerima hal yang menurut lo cuma candaan kayak gitu. Bagi gue, itu bisa aja hal sensitif." Setelahnya Ghea kembali berjalan, tidak menghiraukan ketiga cowok di bawah sana yang mungkin sedikit merasa aneh dengan ucapannya yang berlebihan. "Woy, Ghea? Kok, lo badas banget, sih? Gue cuman bercanda, kali. Sans ae!" Ghea tidak menghiraukannya. Tetap berjalan kemudian memasuki kamarnya. Bodoh, bukan? Ghea sama sekali tidak terpikir akan berucap seperti tadi. Apalagi di hadapan Arka dan Vero. Bukan, bukan karena Ghea merasa malu. Itu tidak benar sama sekali. Namun, gadis itu semakin merasa takut akan kecurigaan-kecurigaan temannya Vero. Masih bisa ia terima jika informasi mengenai kehadirannya di rumah Vero, hanya sampai kepada Arka dan Dion. Tetapi, bagaimana jika kedua sahabatnya juga ikut mengetahuinya? Atau mungkin yang lebih parah, satu sekolah mengetahuinya. Ghea bisa semakin gila. To be continue...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD