Ni

1683 Words
Langkahnya terasa berat ketika Emma berjalan dari gerbang sekolah menuju kelasnya. Ia masih enggan bertemu dengan orang yang pernah ia kagumi itu. Alhasil, ia bertukar dengan salah seorang teman sekelasnya yang duduk sendirian di deretan belakang. Ketika bel tanda masuk sekolah berbunyi, para murid segera menempati kursi masing-masing. Beberapa waktu kemudian, wali kelas mereka muncul dan memanggil Emma. "Dipanggil gara-gara ketahuan cuman anak adopsi kali," sindir salah seorang murid dengan suara rendah agar tidak didengar oleh wali kelas mereka. Semenjak ledekan mengenai statusnya itu diucapkan oleh Gilbert, teman sebangkunya yang bernama Vian tidak berhenti mempermainkannya. Namun, Emma tidak ingin merasa semakin putus asa sehingga ia memutuskan untuk menutup telinga atas ucapan-ucapan tak bermoral itu. Lagipula, masih ada teman-temannya yang membela. "Tolong kamu ke ruang wakasek* ya sekarang," Bu Yuli, wali kelasnya memberitahu begitu Emma sampai di dekatnya. (*Wakil kepala sekolah) "Ada apa ya, Bu?" tanya Emma. Bu Yuli menggeleng. "Sepertinya Pak Wahyu mau minta tolong kamu sesuatu," jawabnya. "Lebih baik kamu kesana segera." Emma pun mengangguk dan menuruti ucapan Bu Yuli. Ia berjalan menuju ruang wakil kepala sekolah dengan langkah cepat. Ia berpikir bahwa mungkin ada informasi mengenai keikutsertaannya dalam olimpiade Matematika beberapa bulan mendatang. "Permisi, Pak Wahyu. Manggil saya ya?" Emma menampakkan dirinya setelah mengetuk pintu. Pak Wahyu pun melambaikan tangan, mengisyaratkan untuk masuk. "Sini, Emma. Ada siswa pindahan nih. Ternyata sahabat kamu ya?" ucapannya membuat Emma kebingungan. Emma menoleh ke arah kursi tamu di belakangnya, dimana Timothy dan seorang wanita duduk. Ia membelalak terheran-heran karena pemuda itu rupanya tidak asal bicara semalam. "Oh, jadi kamu Emma? Sahabatnya Timothy? Tante namanya Karen, Maminya Timothy," wanita berambut hitam dan ikal itu bangkit dari sofa dan menjabat tangan Emma. Tak tahu harus menjawab apa, Emma hanya tersenyum. Pak Wahyu mengajak Emma untuk duduk di sofa, di hadapan Timothy dan Karen. "Jadi karena Timothy sahabat kamu dan kalian sama-sama kelas sebelas, Bapak jadiin kalian satu kelas ya. Biar nanti kamu bisa bantu Timothy kenal sekolah ini lebih baik dan cepat. Mungkin bisa bantu juga dalam mengikuti pelajaran sesuai kurikulum kita karena dia masuk di semester dua," jelasnya. "Uh, iya Pak," tidak ada pilihan lain, Emma pun menyetujui. "Kalau gitu kamu dan Timothy segera ke kelas ya. Karena pelajaran udah dimulai. Terima kasih ya, Emma," Pak Wahyu mengarahkan. Setelah berpamitan dengan Pak Wahyu dan juga Karen, Emma berjalan lebih dulu keluar dari ruangan Wakil Kepala Sekolah. Ia tidak menunggu Timothy dan membiarkan pemuda menyamai kecepatannya berjalan. "Hei, sahabat gue," Timothy menyebelahi Emma. "’Paan?" "Woah. Jutek amat sih?" "Lagian lo sih. Gue nggak pernah bilang setuju jadi sahabat lo, kan? Dan kenapa juga lo beneran sekolah disini?" Emma melirik pada Timothy. Timothy pun berhenti berjalan. "Jadi kehadiran gue nggak diinginkan nih? Ditolak mentah-mentah nih?" nada suaranya terdengar kecewa. Emma menghela nafas lalu berpaling pada pemuda yang kini resmi jadi teman sekelasnya itu. "Sorry, sorry. Nggak maksud gitu. Udah yuk. Jam pertama Fisika nih. Ada PR jadi harus dikumpulin," ajaknya. "Oke, kalo gitu kita tetep sahabatan," Timothy merangkul Emma tapi tangannya segera disingkirkan. Sesampainya di depan pintu kelas, Emma mengetuk pintu. Pak Indra yang sedang berbicara pun segera menoleh. Ia dan Timothy berjalan mendekati guru yang dikenal tidak ramah itu. "Pak, ini murid pindahan. Pak Wahyu tadi minta saya jemput dan bawa dia ke kelas ini," Emma menjelaskan demi tidak mendapatkan hukuman. Pak Indra mengangguk lalu bertanya, "Kursi mana yang masih kosong?" Ia mengamati seluruh bagian kelas dan menjawab pertanyaannya sendiri, "Oh itu di belakang sebelah kanan. Kamu duduk disana ya." Serasa petir menyambar, Emma dikejutkan kembali oleh keputusan sepihak yang Pak Indra ambil. Seperti belum cukup dengan Timothy mengaku sebagai sahabatnya dan berada dalam satu kelas dengannya, kini mereka berdua harus duduk bersebelahan. Dengan enggan, Emma pun berjalan mendahului menuju bangkunya dan Timothy mengekor di belakang. "Tidak boleh ada yang bicara selama saya menjelaskan. Jadi kalau kalian mau berkenalan dengan murid baru, lakukan saat jam istirahat saja," Pak Indra menginstruksi dengan penuh ketegasan sehingga kelas tetap sunyi. Setelah dua jam pertama pelajaran Fisika selesai, bel istirahat berbunyi. Tepat pada saat itu juga kelas berubah menjadi ramai karena para siswi mulai berdatangan ke belakang kelas. Sedari awal mereka tampak seperti singa buas yang siap menerkam mangsanya -- Timothy. Tidak peduli dengan situasi seperti itu, Emma berdiri hendak membeli minuman di kantin. Tetapi tangannya ditahan sehingga ia terduduk kembali. "Lo nggak bisa tinggalin gue diterkam singa ya," kata Timothy setengah memohon. "Katanya lo ganteng dan keren. Ya ini resiko lo sih," sahut Emma cuek. "Lagian gue mau beli minum. Seret gue kalo makan bekal terus nggak ada minumannya." Timothy bangkit dari kursinya sebelum satu pun dari para siswi itu membuka mulutnya. "Sesi perkenalan nanti dulu ya. Gue mau ke kantin sama sahabat gue," katanya lalu menggandeng tangan Emma melewati para siswi yang kecewa itu. Di luar kelas, Emma menarik Timothy karena ia berjalan ke arah yang salah. "Woi. Sok tahu jalan aja lo," katanya. "Sini lo kalo mau ke kantin." Dengan seringai tak berdosa, Timothy pun mengekor dan menyejajari Emma. "Itu sebenernya alasan kenapa gue langsung minta lo jadi sahabat gue. Karena dimanapun gue sekolah, gue jadi pusat perhatian. Terutama cewek-cewek. Dan itu mengganggu banget," ia membuka mulut. "Kalo gue punya sahabat cewek, at least mereka bisa lah kasih gue jarak." (*setidaknya) "Terkesan kaya bemper aja sih gue buat lo?" Emma melirik sekilas pada Timothy. Kemudian ia berbelok dan menuruni tangga, diikuti oleh teman barunya itu. "Gue janji, lo nggak akan pernah jadi bemper buat gue," sahut Timothy yakin. "Whatever." (*Terserah) Kantin tampak ramai dengan banyak sekali siswa. Emma mempersilakan Timothy untuk mencari apa yang ia ingin beli. Sementara dirinya memiliki tujuan jelas sehingga tidak berpaling ke kanan atau kiri. Ia berjalan lurus menuju mesin minuman dingin dan mengambil sebotol air mineral dingin lalu membayarnya. "Eh, ada anak adopsi," ledekan yang sama terdengar lagi. Emma mengepalkan tangannya dan berusaha untuk tetap tenang mendengarnya. Ia kemudian tersenyum lalu menatap pemuda bergaya rambut undercut itu. "Lo dapat hadiah apa sampai ngeledekin gue tiga hari ini, Vian? Gigih amat," ia mengucapkannya dengan nada santai. "Atau karena lo suka sama gue sampai cari-cari perhatian sama gue?" Pemuda yang dipanggil Vian itu mendengus. "Buat apa suka sama anak adopsi? Kaya nggak ada cewek lain aja," celetuknya. "Gue pernah bikin salah apa sih sama lo sampai lo nggak berenti ledekin gue? Gilbert aja yang pertama sebut gue anak adopsi juga udah kelar ledekin gue hari itu juga. Kenapa jadi lo yang lanjutin?" Emma bersidekap. Ia membuka botol minumannya yang dingin itu dan meneguknya sedikit sebagai usaha untuk menjaga emosinya tetap stabil. Vian tidak dapat membalas ucapan Emma. Ia hanya memalingkan wajahnya dan sembari memakan bakso yang masih panas di mangkuknya. Emma mengangguk-angguk, menatap Vian, Gilbert dan beberapa temannya yang lain bergantian. "Gue anggap masalah ini kelar, karena lo nggak punya alasan untuk main-mainin gue terus. Dan gue maafin lo," katanya dengan santai lalu melangkah pergi. "Semua anak adopsi itu nggak berharga. Tukang bawa sial doang, sampai-sampai dibuang sama orang tuanya sendiri," Vian beranjak dari bangku dan menatap Emma nanar. Perkataan itu menghantam Emma dengan keras, seperti vas keramik yang dilempari batu besar sampai pecah. Ia berbalik pada Vian dengan air mata yang sudah jatuh membasahi pipinya. Teman-teman Vian yang duduk di sebelahnya berusaha untuk membujuknya agar berhenti. Namun pemuda itu tidak mempedulikan mereka. "Whoa. Kenapa nih?" Timothy muncul menengahi kedua belah pihak yang berseteru. "Minggir lo anak baru," Vian mendorong Timothy dengan cukup kasar. Matanya hanya tertuju pada Emma seolah-olah ia adalah musuh bebuyutannya. Tetapi Timothy tidak tinggal diam. Ia berdiri membatasi Vian yang hendak mendekati Emma. "You've crossed the line, bro," ucapnya. (*Lo kelewat batas, bro.) "Nggak usah sok bijak lo," ucap Vian kasar. Matanya melotot tajam seperti akan melompat keluar dari tempatnya. "Jadi lo pikir gua bijak nih?" "Eh! Apa sih masalah lo sama gue?" Vian menaikkan suaranya. "Lah, lo apa masalahnya sama Emma?" Timothy ganti bertanya hingga membuat Vian kian kesal. "Anak adopsi kaya dia itu nggak layak ada disini," Vian melemparkan perkataan kasarnya lagi dengan sinis. Timothy pun melipat kedua tangannya di d**a. "Asal lo tahu ya, setiap anak itu anugerah dari Tuhan. Sederhananya, kita itu titipan untuk orang tua kita. Mau anak kandung atau adopsi, kita itu setara. Yang bedain satu sama lain itu cuman sikapnya," kali ini ia berkata lebih tegas namun tetap tenang. "Suatu kali lo bakalan nyesel sama perbuatan lo ke Emma saat ini. She's worth more than gold." Ia berbalik lalu menggandeng Emma pergi melewati kerumunan yang sudah terbentuk itu. (*Dia lebih berharga daripada emas.) Beberapa guru berdatangan untuk melihat apa yang terjadi, tetapi Emma dan Timothy lebih dulu berbelok ke lorong lain agar tidak didapati terlibat dalam kericuhan di kantin. Tak ada kata terucap sepanjang berjalan kembali ke kelas. Emma sibuk menghapus air matanya yang masih mengalir. "Gue nggak peduli kalo lo anak adopsi," Timothy memecah keheningan. "Sejak awal lo sahabat gue, dan akan terus gitu selamanya." Meski masih menangis, Emma sempat terkekeh mendengar ucapannya. "Kekeh banget ya sama keputusan lo," komentarnya. "Oke, oke. Emang ini aneh, karena kita baru banget ketemunya. Tapi kalo gue udah putusin sesuatu, gue akan lanjutin itu sampai akhir," Timothy menahan bahu Emma dari samping hingga ia berhenti berjalan. "Lo nggak sendirian lagi. Kalo lo mau nangis, gue bakalan jadi bahu lo. Kalo lo mau tonjok orang, gue bakalan bantu." "Eh, sahabat apaan lo? Malah ngedukung orang berantem sih?" celetuk Emma sambil terkikik. Kali ini air matanya sukses berhenti. Timothy berdecak. "Maksudnya gue lerai. Kaya tadi. Lo kan mau timpuk dia sama botol, makanya gue hadir untuk kasih alternatif lain. Ketimbang tonjok dia secara fisik, mendingan tonjok di hatinya. Efeknya lebih dalem," ia menjelaskan. "Keren nggak?" Emma menepuk keras lengan Timothy hingga ia sedikit mengerang. "Ampun dah. Ada orang sok bijak dan sok keren gini," ia tertawa. "Mana jadi sahabat gue lagi." "Oh? Jadi lo udah terima gue jadi sahabat? Nggak bertepuk sebelah tangan nih?" kedua manik mata Timothy pun berbinar. "Iya lah. Udah ganteng, keren, bijaksana gini, nggak boleh disia-siain dong. Pasti nanti bermanfaat untuk gue." Timothy tertawa dibuatnya. Dalam hati ia mengerti bahwa pertemuannya dengan Emma bukanlah sebuah kebetulan. "Makasih ya, Tim," Emma tersenyum padanya. "Anytime," Timothy merangkul sahabatnya tapi lagi-lagi tangannya disingkirkan dengan cepat. (*kapanpun/sama-sama)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD