bc

Mitsukemashita [Bahasa Indonesia]

book_age16+
600
FOLLOW
2.8K
READ
family
goodgirl
sensitive
drama
twisted
sweet
bxg
like
intro-logo
Blurb

© 2020 Yohana Ekky Tan

"Orang tua kandung gue balik, Tim."

"Apa?" Timothy terperanjat mendengarnya.

"Gue ketemu sama satu wanita yang nggak gue kenal di mall sekitar sebulan lalu. Dan tiga hari lalu, wanita itu sama suaminya dan juga satu pengacara dateng ke rumah. Mereka bilang kalo gue anak mereka," Emma menghapus air matanya yang mengalir lagi.

"Jadi mobil yang parkir depan rumah lo malam itu tuh mereka?" Timothy mengingatnya saat mengantar Emma pulang beberapa hari lalu.

Emma mengangguk. "Hasil DNA juga buktiin gue anak mereka, Tim. Dan mereka tuh orang Jepang. Katanya nama asli gue Mitsu Shimada. Coba pikirin betapa anehnya itu," ia mulai frustasi. "Dimana mereka selama dua puluh empat tahun ini? Kenapa nggak cari gue lebih cepet? Apa gue lagi dijebak dalam reality show atau gimana sih? Gue nggak bisa gitu aja ninggalin Papa Mama gue yang udah puluhan tahun ngerawat gue dong."

Timothy menarik tangan Emma yang mulai mengepal begitu keras sehingga kuku panjangnya sedikit melukai telapak tangannya. "Stop, Em. Jangan coba-coba lo sakitin diri sendiri. Meskipun lo ganti keluarga dan identitas lo jadi berubah, lo tetep sahabat gue. Satu-satunya dari awal sampai selamanya. Oke?"

chap-preview
Free preview
Ichi
"Sayang, tolong dong beliin susukotak. Udah habis nih stok di kulkas," suara melengking khas milik Desy terdengar dari arah dapur sampai ke kamar Emma. Dengan earphone yang selalu hanya terpasang sebelah di telinga demi bisa mendengar Mama atau Papanya memanggil, Emma pun meninggalkan PR Fisika yang membuatnya cukup stres seharian. Permintaan Mamanya merupakan kesempatan yang baik untuk 'lari dari permasalahannya'. "Mama taruh uangnya di atas meja makan," Desy yang sedang fokus memasak makan malam menunjuk ke arah beberapa lembar uang sepuluh ribuan. Emma mengambil lembaran uang itu sambil tertawa. "Ih, Mama recehannya banyak bener?" komentarnya sambil mengucir rambutnya dengan ikat rambut Bunny favoritnya. Desy meletakkan spatula di atas sebuah piring lalu berkacak pinggang menghadap putrinya. "Yang penting masih duit. Udah sana beliin susukotaknya. Kalo nggak, besok kita nggak bisa sarapan pake itu loh," ucapnya. Emma terkekeh dengan lidah menjulur. "Oh iya. Bener juga. Kan satu juta nggak lengkap tanpa seratus rupiah ya," ia mengutip apa yang selalu diucapkan oleh Mamanya ketika berurusan dengan uang recehan. "Nah, tuh inget," ujar Desy. "Oke, oke. Aku jalan dulu, Ma," Emma meninggalkan dapur lalu keluar rumah melalui pintu samping. Suasana senja dengan sinar matahari yang mulai meredup tampak indah. Namun pada kenyataannya suasana hati Emma justru sebaliknya meskipun di rumah ia tidak menampakkannya. Ia kembali mengingat tentang ledekan salah seorang teman sekelasnya mengenai statusnya dalam keluarga dua hari lalu. Emma memang tahu sedari kecil bahwa ia adalah anak adopsi dalam keluarganya. Namun hal ini tidak pernah menjadi masalah karena ia memiliki orang tua yang begitu menyayanginya. Biasanya ia akan bersikap cuek mendengar ledekan semacam itu. Ini bukanlah yang pertama kali. Sayangnya kali ini sedikit berbeda. Yang melemparkan ledekan itu adalah seseorang yang Emma kagumi secara diam-diam. Ia merasa begitu kecewa sampai mulai mempertanyakan alasan mengapa ia tidak memiliki orang tua kandung seperti orang lain. "Neng Emma," suara familiar milik seorang wanita muda menyadarkan Emma bahwa ia hampir saja berjalan melewati minimarket. Sedikit linglung, Emma menyeringai dan menyapa kasir minimarket yang sudah mengenalinya sejak awal toko ini ada. "Kok Teh Asri ada di luar?" tanyanya. Asri menggaruk bawah kepalanya. "Bosen di dalem. Sendirian, neng. Lagi nggak ada orang beli," jawabnya. Emma menunjuk dirinya sendiri. "Nih, ada yang beli. Ayo masuk," ajaknya. Tawa meledak dari mulut Asri. "Ih, serasa rumah sendiri ya, neng?" candanya. Menyadarinya perkataannya, Emma jadi ikut tertawa. "Bentar ya, Teh. Aku mau ambil yang mau aku beli," ia mengambil keranjang belanja dan menuju ke lemari pendingin. Diambilnya tiga buah susukotak satu liter rasa coklat, vanila dan stroberi, masing-masing untuk Papanya, Mamanya dan dirinya sendiri. "Oke, ini dia." Ia meletakkan semuanya di atas meja kasir. "Kalo tiap mau beli ini, neng Emma mendingan bilang saya aja. SMS gitu. Biar nanti saya siapin, terus neng tinggal bayar dan ambil," Asri memasukkan ketiga susukotak itu ke dalam plastik setelah memindainya di mesin kasir. Emma berdecak. "Ah, nggak usah, Teh. Jarak rumah kesini juga deket banget. Lagian, kalau pas ada yang beli, terus Teh Asri tinggalin kasir kan jadi gimana gitu. Repot nanti," ia menolak halus. Kling! "Selamat datang dan selamat belanja," Asri mengucapkan salam khasnya ketika seorang pembeli lain masuk. Seorang pemuda yang tampak seumuran dengan Emma datang mendekati kasir. "Mbak, pembalut di bagian mana ya?" Pertanyaan itu membuat Emma terkikik seketika. "Ups, sorry," ia cepat-cepat meminta maaf agar tidak menyinggung. "Iya, gue tahu ini aneh. Tapi kalo lo punya Mami yang kehabisan pembalut dan nggak punya siapapun untuk disuruh lagi, mau nggak mau lo harus beliin kan?" pemuda bermata sipit dan bertubuh lebih tinggi dari Emma itu memandangnya. Emma mengangguk dengan segores senyum di wajahnya. “Di sebelah situ," Asri menunjuk pada rak yang tepat berada di samping kanan kasir. "Oh, oke. Makasih, Mbak," pemuda itu berjalan menuju ke arah yang ditunjuk. Asri kembali berfokus pada Emma dan memberikan beberapa koin ratusan sebagai kembalian. "Ini kok banyak banget sih? Biasanya pilih yang mana?" pemuda itu kembali berkomentar dari posisinya. Emma dan Asri saling berpandangan. Saat penjaga kasir itu hendak menghampiri pembeli yang baru, ia menahannya. Ia tahu betul seorang kasir tidak seharusnya meninggalkan tempatnya saat ada pembeli. "Aku aja, Teh. Titip ini ya," ucapnya sambil meletakkan kembali plastik berisi s**u kotak itu. "Warnanya orange, biru tua, pink, terus ada tulisan wings sama non-wings. Apaan sih ini?" Emma sampai di dekat pemuda itu dan ikut berjongkok di sampingnya. "Merk sih nggak masalah. Cuman kalo yang wings itu lebih banyak dipilih karena lebih kuat dan aman. Jagain biar nggak jiplak ke celana atau rok gitu," ia mencoba menjelaskan sesederhana mungkin. "Pilihin dong," pemuda itu akhirnya lebih memilih untuk menyerahkan keputusan pada Emma. Helaan nafas pun diperdengarkan Emma. "Ngapain gue susah-susah jelasin ke elo kalo akhirnya gue juga yang mutusin?" ia menggaruk-garuk kepalanya. Seolah tak berdosa, pemuda itu tersenyum sehingga matanya semakin tak terlihat. "Makasih loh," ucapnya. Emma berdecak lalu mengambil salah satu pembalut yang biasa ia beli dan memberikannya pada pemuda itu. "Sama-sama," katanya lalu berdiri dan meninggalkan pemuda yang mengekor di belakangnya. "Teh, pulang dulu ya," Emma berpamitan pada Asri. "Iya, neng. Ati-ati ya," sahut Asri yang kemudian berurusan dengan pemuda tadi. Baru berjalan beberapa langkah, Emma dihentikan kembali oleh suara yang belum lama didengarnya. "Gue Timothy!" pemuda itu berteriak memperkenalkan dirinya karena ada cukup jarak di antara mereka. Emma membalikkan badannya lalu tersenyum simpul dan menggeleng-gelengkan kepala pada saat yang sama. "Harus ya teriak?" ia memeluk plastik yang kian terasa berat itu. Timothy pun berjalan mendekati Emma. "Gue Timothy," ia mengulurkan tangan. "Baru pindah beberapa hari lalu disini." Tidak langsung menjabat tangan Timothy, Emma memicingkan matanya. "Wow. Such a friendly person you are," komentarnya dengan nada sedikit meledek. (*Ramah banget ya lo.) "Dan lo Emma kan?" seolah tidak peduli dengan ledekan yang dilemparkan padanya, Timothy justru melanjutkan sesi perkenalannya. "Gue tanya mbak kasir tadi." "Lo emang biasa ramah gini ya ke semua orang?" bukannya membalas ucapan Timothy, Emma justru bertanya balik. Timothy tersenyum. "Yah, karena gue anak pindahan. Jadi gue belum punya temen. So, gue sekarang bikin temen. Dan lo yang pertama," jawabnya santai. Akhirnya Emma pun menjabat tangan Timothy yang sekian lama terulur. "Oke. Gue Emma. Dan maaf kalo gue sedikit nyebelin. Ada dikit yang bikin stres, jadi gini deh," ia menjelaskan. Timothy mengangguk. "Rumah lo dimana?" tanyanya tanpa rasa enggan. Emma menunjuk pada sebuah rumah dicat putih tulang dengan banyak pohon di depannya. "Lo?" Ia mulai berjalan dan Timothy ikut di sebelahnya. "Gang sebelah." "Lo sekolah dimana?" "Di Menteng. SMA Kanisius. Lo?" "Sama." "Eh? Masa?" Emma mengerutkan dahinya, berusaha mengingat-ingat kejadian di sekolah hari-hari ini. "Biasanya agak heboh kalo ada murid pindahan macam lo. Tapi beberapa hari ini biasa aja tuh." "Macam gue? Maksudnya gimana nih?" giliran Timothy mengerutkan dahi. "Ganteng dan keren gitu?" Emma mendengus dalam tawa. "Pede banget sih lo jadi orang?" tanggapnya. "Tapi beneran deh. Lo sekolah juga disana?" Ia berpikir jika ada kejadian heboh yang ia lewatkan. Namun hal itu agaknya tidak mungkin karena ia memiliki seorang teman di kelasnya yang merupakan seorang ratu gosip. Timothy mengagguk. "Mulai besok tapi," katanya. "Hah? Gimana sih? Jadi bingung gue," Emma menggaruk-garuk kepalanya. Ia merasa bahwa pemuda di depannya ini sedang bermain-main dengannya. "Gue tanya sama lo dimana sekolah lo, supaya kita bisa satu sekolahan. Dan lo jadi sahabat gue. As simple as that," Timothy menyimpulkan sebuah keputusan yang aneh bagi Emma. (*Sesederhana itu.) "Omigot. Gue ketemu orang freak," Emma berkata pada dirinya sendiri. (*aneh) Timothy justru tertawa mendengarnya. "Tapi lo bakalan selamanya jadi sahabat orang freak ini," katanya lalu berhenti berjalan. "Udah sampe rumah lo. Silakan masuk. Dan sampai ketemu besok di sekolah." Emma bergidik. "Semoga lo bukan psycho ya," ujarnya berharap sungguh-sungguh meskipun menggunakan nada bercanda. "Bye." (*psikopat. Daah.) "Nope. See you," Timothy melambaikan tangan. (*Nggak. Sampai ketemu lagi.) Emma masuk melalui gerbang dan menutupnya. Cepat-cepat ia berjalan masuk ke dalam rumah karena tangannya sudah merasa keberatan menggendong tiga s**u kotak yang masih dingin itu. Ia menuju ke dapur dan meletakkan semuanya di dalam lemari es. "Lama banget sih, sayang?" Desy muncul dari arah toilet. "Sampai Mama selesai masak kamu baru dateng. Kenapa tadi?" Ia menatap putrinya dengan rasa penasaran. "Hmm, ada anak baru gitu, Ma. Pindahan. Terus dia mau satu sekolah sama aku, dan jadi sahabatku. Aneh banget sih, tapi orangnya sekilas emang keren. Pasti besok heboh deh di sekolah," Emma menceritakan kembali kejadian yang sebelumnya. Desy tertawa melihat ekspresi putrinya saat bercerita. "Ya udah, kamu cuci tangan terus panggil papa ya. Kita makan malam bareng," pintanya. "Oke, Ma," Emma pun melakukan sesuai yang diinstruksikan padanya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

PLAYDATE

read
118.8K
bc

Nur Cahaya Cinta

read
359.5K
bc

MOVE ON

read
95.2K
bc

Skylove (Indonesia)

read
109.5K
bc

Broken

read
6.4K
bc

I Love You, Sir! (Indonesia)

read
260.9K
bc

BRAVE HEART (Indonesia)

read
91.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook