"Setelah selesai SMA, rencananya mau kemana, Nad? "
Tampak lapangan yang berisi beberapa siswa yang penuh akan keramaian, kedua gadis yang menjauh dari kerumunan itu dan memilih untuk duduk.
Nadya Mikasha Oktavia, gadis berumur 19 tahun itu tengah duduk bersama temannya, mereka sama sama menghela nafas karena merasa lelah berkumpul di lapangan dengan murid-murid lainnya.
"Baru aja ngerayain kelulusan, Mir, udah ditanya soal lanjut kemana. " jawab Nadya sambil tertawa.
"Ishh, ini serius tau, kamu tau kan kalau kita tuh harus udah sibuk ngurusin dunia perkuliahan setelah lulus. Kamu nggak musingin itu? " tanya Mirda.
Nadya meminum minuman botol yang ia miliki, kemudian menutupnya dan menaruhnya di sebelahnya, dan tersenyum ke arah temannya.
"Ada deh. " jawab Nadya.
Raut wajah Mirda tampak terkejut, jawaban dari Nadya membuatnya menjadi menduga ke hal yang lainnya, ia menunjuk ke arah Nadya dengan tatapan tidak percaya.
"Kalau nggak kuliah, berarti mau langsung nikah?! Siapa calonnya?! " tanya Mirda heboh.
Nadya terkejut dengan tebakan temannya, walaupun begitu, ia masih tetap membuat temannya penasaran dan sesekali akan menjahili temannya itu untuk terakhir kalinya hari kelulusan itu tiba.
"Ayo dong, jawab, siapa calonnya? Sama siapa ayo? " tanya Mirda penasaran.
Nadya tidak bisa menahannya, Mirda terus terusan memintanya untuk memberitahu siapa, padahal Nadya hanya asal ucap saja.
"Sama om om, kenapa? " jawab Nadya dengan judes.
Tentu saja jawaban tersebut membuat Mirda tidak percaya dan mengambil serius jawaban tersebut, ia memegang kedua bahu Nadya dan menatap Nadya dengan tidak percaya.
"Seriusan?! Kamu masih muda, Nad! " tegas Mirda.
"Ya nggaklah, bodoh banget mau sama om om, kayak nggak ada cowok yang masih muda aja. " jawab Nadya.
"Kirain, soalnya kan selama ini kamu tuh aneh, sudah beberapa cowok kamu tolak karena rata rata adek kelas semua, kamu suka yang tua ya? " tanya Mirda.
"Ah banyak nanya, enakan kita balik lagi ke lapangan, kalau udah banyak ngoceh berarti tenaga nya udah balik lagi. " ucap Nadya.
Mirda berdecak, kemudian ia ikut dengan Nadya, keduanya berjalan menuju ke lapangan. "
Nad, ini serius ya, setelah lulus kamu mau kemana? " tanya Mirda.
Nadya menghela nafasnya, kemudian ia menatap ke arah Mirda.
"Aku bakalan kerja buat ngumpulin biaya kuliah, paling liburnya setahunan. " jawab Nadya.
"Loh, berarti kamu nggak kuliah tahun ini? Padahal kamu udah susah payah bisa lulus dari tes masuk kuliah, kok nggak mau kamu ambil? " tanya Mirda.
"Masalahnya tuh kan kamu tau sendiri, kalau universitas tempat aku nantinya kuliah tuh biayanya mahal. Untuk pendaftaran ulangnya saja bisa lebih, aku juga nggak mau repotin bapak sama emak, makanya mutusin buat kerja dulu baru kuliah. " jelas Nadya.
Penjelasan Nadya akhirnya membuat Mirda mengerti, ia menganggukkan kepalanya dan merangkul bahu Nadya.
"Apapun tujuan kamu nanti sebelum kuliah, selama masih dalam ranah positif, aku bakalan dukung kamu sepenuhnya, Nad. Tapi ingat ya, jangan nikah sebelum kuliah. " ucap Mirda.
Nadya tertawa. "Kamu kayaknya takut kalau aku nikah sebelum kuliah ya? "
"Mestilah, kamu kan tau kalau jaman sekarang kita sebagai wanita harus dituntut untuk bisa mengemban pendidikan tinggi, biar kita nggak dipandang sepele sama calon suami kita di masa depan. Ngerti? " jelas Mirda dan bertanya.
Nadya menganggukan kepalanya, kemudian ia mengajak Mirda kembali ke kerumunan para siswa-siswi yang tengah merayakan kelulusan tersebut.
Seluruh doa dan ucapan selamat disampaikan oleh guru, terutama kepala sekolah, Nadya bersama temannya menghayati ucapan dari kepala sekolah yang mendoakan angkatannya bisa sukses mengemban pendidikan maupun pekerjaan nantinya.
Mirda memeluk Nadya dengan air matanya yang menetes, sedangkan Nadya menenangkan temannya dengan mengelus punggung temannya tanpa menatap ke arahnya.
"Semoga sukses, anak anakku, semoga nanti bisa dipertemukan dalam keadaan sehat walafiat dan sudah menjadi orang semuanya. "
"Aminn. " ucap seluruh murid-murid yang ada.
____
Selesainya acara, Nadya dan Mirda beserta beberapa anggota OSIS mulai membereskan kekacauan yang ada di lapangan, sekaligus mereka akan melepas kerinduan dengan berfoto bersama di akhir masa masa sekolah mereka sebelum menentukan pilihan masing-masing.
"Susun dulu bangkunya, cewek cewek ditengah, cowoknya sebagian berdiri di belakang sama disamping cewek ceweknya. " atur fotografer.
Semua anggota OSIS tersebut saling bertukar senyum dan gaya yang berbeda beda, dan berlanjut dengan video perpisahan.
"See you next time, guys. "
"Duh, jadi sedih gini, nggak nyangka udah 3 tahun belajar terus tamat begini. " ucap Mirda.
Nadya tersenyum, ia mengerti bahwa temannya itu merasa sedih saat perpisahan, lain dengannya yang merasa biasa saja.
"Udah, nanti kan bisa ketemu sama teman teman lainnya, entah itu di kampus, atau di tempat kerja gitu kan? " bujuk Nadya.
"Bukan itu, aku jadi kangen sama crush aku, kan kamu tau sendiri diakhir akhir belajar kemarin sempat ada yang nge confess aku gitu. " ucap Mirda.
Nadya memutar mata malasnya, siapa lagi kalau bukan soal laki laki, temannya itu akan menangis hanya karena laki-laki saja.
"Udah Mir, banyak cowok pas kamu kuliah nanti yang lebih beda dari yang kamu sukain, yakin aja, malah bisa dapat yang lebih. " ucap Nadya meyakinkan.
"Iya deh, kalau kamu udah ngomong kayak gitu, aku nurut aja. "
"Nah gitu dong, kalau gitu, gimana kalau kita cari tempat makan? Anggap aja buat kenang kenangan sebelum kamu dan aku pisah nanti? " tawar Nadya.
"Ide bagus, kita makan di gerai makan baru itu aja ya, kan lumayan sambil nyari spot tempat makan baru. " ucap Mirda.
"Oke, ayo kita meluncur. "
Nadya menaiki motornya bersama dengan Mirda yang boncengan di belakangnya, kemudian keduanya segera bergegas untuk pergi ke tempat makan baru.
Petang hari akhirnya menunjukkan sinarnya, waktu senja sudah tiba, Nadya pulang karena mengejar waktunya untuk segera pulang, ditambah lagi waktu maghrib yang akan tiba, jika saja ia pulang lebih dari jam 6 sore, bisa bisa ia akan dimarahi oleh kedua orangtuanya.
"Assalamualaikum. " salam Nadya.
Nadya masuk ke rumahnya, kemudian ia melepas sepatunya dan menenteng tasnya sampai ke dalam.
Rumah terasa sepi, karena tidak ada satupun yang menjawab salamnya, tetapi Nadya berpikir, mungkin saja kedua orangtuanya belum pulang dari toko, sehingga tidak ada orang di rumah.
"Udah pulang kamu, Nad? " tanya seseorang dari dalam.
Nadya terkejut, kemudian ia melihat ibunya yang sedang duduk di dapur sedang membersihkan sayur-sayuran.
"Emak, Nadya kirain nggak ada orang di rumah, soalnya nggak ada yang nyaut juga. "
Nadya mendekat ke arah ibunya, kemudian ia bersalaman dengan ibunya dan duduk, tak lupa sebelumnya ia menguncir rambutnya untuk membantu ibunya yang sedang memasak.
"Ganti baju sana, mandi dulu. " perintah Ratna.
Nadya meletakkan sayur yang baru saja ia pegang, Nadya langsung bergegas, ia berdiri dan berjalan ke arah kamar mandi untuk mandi terlebih dahulu.
"Nadya sudah pulang, dek? " tanya Ikhsan.
Ratna kemudian bersalaman dengan Ikhsan, kedua orang tersebut adalah orangtua angkat Nadya.
Kedua pasangan itu tidak memiliki anak kandung, karena Ratna yang memilih tidak ingin melahirkan seorang anak, maka dari itu keduanya mengadopsi Nadya bayi yang lahir dari seorang gadis yang ditinggal oleh suaminya.
"Sudah, dia sekarang sedang mandi. " jawab Ratna.
Ikhsan menganggukkan kepalanya, kemudian ia duduk dan mengeluarkan sebuah buku catatan, dan berdecak keluh di depan Ratna.
"Ada apa, bang? " tanya Ratna.
"Gimana bisa bayar sepenuhnya hutang kita sama Candra, dek? Sementara barang saja kita terus terusan sering ambil di tokonya, dan juga hutang almarhum bapaknya abang yang belum terbayar sama Candra, jadinya abang pusing sekarang. " keluh Ikhsan.
"Loh, memangnya sudah jatuh tempo? Bukannya setahun lagi hutang kita jatuh tempo? " tanya Ratna.
"Bukan begitu, kan perlu hitung hitungannya juga dek, ini nominalnya nggak sedikit loh, apalagi anak kita si Nadya tuh mau kuliah di universitas yang bayaran per semesternya mahal. " jawab Ikhsan.
Ratna mendengus nafasnya dengan kasar. "Iya juga ya, nggak bisa kalau asal lepas, sementara hutang numpuk banyak. "
Tak lama setelahnya, Nadya keluar dari kamar mandi, dengan baju tidur berwarna kuning yang dikenakannya, ia kemudian berjalan mendekat ke arah ayahnya dan bersalaman.
"Bapak, sudah pulang dari toko? " tanya Nadya.
"Iya, baru saja pulang. " jawab Ikhsan.
Nadya kembali membantu ibunya untuk membersihkan sayuran, kemudian suasana hening kembali, hingga Ratna berdeham.
"Nadya, boleh emak nanya sama kamu? " tanya Ratna.
"Iya, emak mau nanya apa sama Nadya? " tanya Nadya balik.
"Bagaimana dengan rencana kuliah kamu? Kamu beneran mau kuliah di universitas yang kamu pilih? " tanya Ratna.
Nadya menganggukan kepalanya, tetapi ia teringat dengan sesuatu.
"Mau langsung saja kuliahnya? " tanya Ikhsan.
"Aku mau libur dulu, kan lumayan bisa kerja selama setahun libur buat ngumpulin uang untuk biaya kuliah. Kalau disuruh pilih, baik kerja sampingan daripada nganggur di rumah. " jawab Nadya kepada ibu dan ayahnya.
"Gimana, apa bapak sama emak kasih izin buat Nadya? " tanya Nadya.
"Malah bagus, lagipula bapak sama emak belum ada uang pendaftaran untuk sekarang, dengan kamu yang mau kerja dulu baru kuliah, itu membantu kami juga. " jawab Ratna dengan santai.
Nadya menganggukan kepalanya, walaupun di dalam hatinya terasa bimbang, antara ia ingin sedih atau senang ketika kedua orang tuanya menyuruhnya dan mengizinkannya untuk kerja terlebih dahulu karena terkendala biaya, tidak ada perjuangan sama sekali dari kedua orangtuanya untuk bisa membuatnya berkuliah.
___
Nadya berencana untuk bekerja di pabrik teh, dengan surat kelulusannya dan beberapa surat lainnya, ia akhirnya diterima untuk bekerja di pabrik tersebut.
Bisa dibilang, Nadya terbilang masih sangat muda untuk bekerja di pabrik tersebut, karena dominan dari pekerja pabrik tersebut merupakan orang yang sudah berkepala tiga.
Memang, ada saja orang orang yang menganggap Nadya terlalu muda untuk bekerja di sana, tetapi Nadya akan menjawab alasannya bekerja di sana, alhasil jawabannya dapat diterima oleh beberapa karyawan pabrik teh tersebut.
Layaknya sebuah pekerjaan yang tidak bisa untuk seorang ekstrovert, Nadya sering merasa bosan, karena pekerjaan tersebut tidak sering berada di luar, Nadya ingin bekerja di luar dan dapat melihat keadaan diluar sambil bekerja, sudah hampir setahun ia mengemban pekerjaan tersebut.
Pembagian gaji akhirnya telah tiba, Nadya seperti karyawan lainnya, ia bersama yang lainnya akan mendapatkan gaji, dan itu dapat Nadya jadikan tabungannya selama hampir setahun ia bekerja untuk ia berkuliah nantinya.
"Bosan juga ya libur setahun buat kerja, tau begitu, coba aja dulu kejar tes ujian masuk perkuliahan daripada libur kayak gini. " gumam Nadya.
Nadya melamun, kemudian ia melihat ke arah mesin teh yang sedang berputar.
"Apa aku harus ngambil modal nekat aja ya? Kuliah secara diam diam saja? " tanya Nadya pada dirinya sendiri.
Di tempat lainnya, terlihat sebuah ruangan dengan salah satu penghuni yang berada di ruangan tersebut tengah menghitung sesuatu di bukunya, tak lama setelahnya, datang kedua orang yang secara langsung menjumpai seseorang yang tengah duduk menghitung sesuatu.
"Selamat siang, mas Candra. " ucap Ikhsan.
Laki laki yang bernama Candra itu menatap ke arah Ikhsan dan Ratna, kemudian Candra mempersilahkan keduanya untuk duduk.
"Silahkan duduk. " ucap Candra.
Ikhsan dan Ratna duduk bersama di kursi yang telah disediakan, kemudian Candra menutup buku yang ia lihat.
"Ada apa ke sini? Apa kalian ingin membayar hutang, atau ingin kembali mengambil barang terus berhutang lagi? " tanya Candra.
Dari suara Candra, Ikhsan dan Ratna merasa bahwa laki laki itu tampaknya menunggu bayaran hutang, mereka saling bertatapan dan meminta siapa yang akan mewakilkan.
"Kalau sekiranya mau habisin waktu saya, baiknya—"
"Tidak mas, kami mau kasih tau sesuatu sebelumnya sama mas Candra. " ucap Ratna.
"Kalau begitu, jelaskan. "
"Sebelumnya maaf nih, mas Candra, bukannya kami tidak mau bayar hutangnya, tapi untuk bulan ini bisa kami minta untuk diundur bayarnya bulan depan? Soalnya kan mas Candra tahu sendiri, bahwa sebelumnya kami ada sangkutan lain dengan orang-orang disini. "
Air muka Candra berubah, ia tampaknya kesal dengan alasan Ratra dan Ikhsan, mungkin sudah hampir beberapa kali kedua pasangan parubaya itu meminta untuk diundur terus pembayarannya, padahal kalau bisa dibilang Ratna selalu terlihat modis, dan Ikhsan terlihat selalu berjalan santai dengan motor kreditnya.
"Lalu, kenapa datang ke sini kalau tidak bisa bayar? " tanya Candra.
"Kami cuma ingin memberitahu kan pada mas Candra, kalau kami belum bisa bayar. " jawab Ikhsan dengan gugup.
Tampaknya jawaban tersebut tidak membantu, Ratna menepuk bahu suaminya dan menegurnya lewat tatapan, tak lama setelahnya, Candra menggebrak mejanya, sehingga kedua pasangan parubaya itu terkejut.
"Kalian mau mempermainkan saya?! " tegas Candra.
"Tidak, mas, kami benar-benar tidak bisa bayar untuk tahun ini, makanya kami ingin menyampaikannya secara langsung sama masnya. " jawab Ratna.
"Kalian tidak bisa bayar, bagaimana dengan janji janji sebelumnya?! Gaya saja yang elit, bayar hutang saja kalian sangat sulit! " bentak Candra.
Ikhsan dan Ratna terdiam, sementara Candra mengambil sesuatu di dalam lacinya.
"Ingat, sudah ada surat sertifikat tanah milik kalian yang saya pegang sebagai jaminannya. Setelah surat ini, apalagi yang ingin kalian jamin pada saya? Sudah jatuh tempo, masih juga banyak alasan. " tanya Candra.
Ikhsan dan Ratna diam, sementara Ikhsan teringat sesuatu, dan juga ia melihat ke arah Candra.
Ikhsan ingat, bahwa Candra masih sendirian, ia memiliki ide yang bagus baginya.
"Begini saja mas Candra, kan mas Candra masih sendirian diumur, maaf, sudah hampir 30 tahun ini, jadi—"
"Umur saya sudah 32 tahun, kenapa memangnya? " potong Candra.
Tak butuh waktu yang lama, Ratna cepat menanggapinya, ia baru teringat sesuatu yang sama sama dipikirkan oleh suaminya.
"Nah, kebetulan kami punya anak perempuan, jadi, bagaimana jika kami kasih saja anak kami dengan mas Candra? Kebetulan juga anak kami lebih memilih untuk tidak berkuliah, bukankah itu ide yang bagus untuk mas Candra? " tanya Ikhsan.
Candra tampak kaget dengan tawaran Ikhsan, pria parubaya itu dengan mudahnya ingin memberikan anaknya sendiri, padahal siapa yang berhutang, siapa juga yang menjadi jaminan untuknya.
"Kalian ingin jual anak kalian dengan saya? Maaf, saya distributor daerah ini, bukan agen perdagangan manusia! " tolak Candra.
"Bukan mas, mas Candra salah kaprah, maksud suami saya, kami ingin menikahkan anak kami dengan mas Candra. Bagaimana mas? Lagipula kami yakin, mas Candra pastinya sekarang sendiri, jadi, kami ingin mas Candra dan anak kami bisa bersatu. " jelas Ratna.
"Apa umur anak kalian sudah legal? Saya tidak ingin disebut p*****l karena ulah kalian. " tanya Candra.
"2 bulan lagi umurnya sudah masuk 20 tahun, mas, jadi tidak masalah jika mas Candra akan menikahi anak kami. " jawab Ratna dengan semangat.
Candra memegang dagunya dan berpikir sejenak, ia juga sadar, bahwa umurnya sudah masuk kepala tiga, sementara ia saja belum menemukan pendamping hidup, ia juga berpikir, mungkin dengan menerima anak gadis orang lain untuk ia nikahi, itu adalah ide yang bagus untuk menjadikannya sebagai istri dan pendamping hidupnya.
"Ini untuk saya nikahi atau sebagai pelunas hutang kalian? " tanya Candra.
"Terserah mas Candra saja, ingin memilihnya yang mana. " jawab Ikhsan.
Meskipun terlihat logat sikap dan ekspresi wajah yang kurang meyakinkan, Candra akhirnya mengambil keputusan yang menurutnya tepat, ia akan menerima tawaran dari kedua pasangan parubaya itu, dan juga Candra sudah punya pemikirannya sendiri mengenai tawaran tersebut.
"Kalau begitu, malam besok saya ingin bertemu dengan anak kalian untuk pertama kali, sekaligus saya akan langsung lamar anak kalian, saya akan datang bersama keluarga saya. " ucap Candra.
Tak lama setelahnya, Candra menggebrak mejanya, dan menunjuk ke arah Ratna dan Ikhsan.
"Tapi ingat, jika sampai kalian menipu saya lagi, maka kalian akan dapat konsekuensi nya, mengerti? " tanya Candra dengan penuh ancaman.
___
Malam hari akhirnya telah tiba, Nadya dengan wajah sumringah kemudian memasuki rumahnya.
Jarang sekali ia akan tersenyum, tetapi sekarang ia tersenyum, karena ia berhasil mencoba untuk mendaftarkan diri untuk mengikuti bidikmisi, itu untuk persiapannya masuk ke dunia perkuliahan dan sebagian biaya kuliahnya akan di tanggung oleh pemerintah.
"Assalamu'alaikum, Nadya pulang. "
Seperti biasa, tidak ada jawaban sama sekali, lagi lagi ia harus mencari kedua orangtuanya, karena kalau tidak ada suara, berarti kedua orangtuanya masih di toko atau sengaja tidak menjawab salamnya.
"Sudah pulang? "
Nadya dihampiri oleh Ikhsan, kemudian ia bersalaman dengan Ikhsan dan melepas jaket yang ia kenakan, bersamaan dengan ia melepas kuncir rambutnya.
"Bapak sama emak cobalah, kalau Nadya ngucapin salam itu dijawab. " protes Nadya.
"Suara kamu nggak kedengaran sampai disini, lainkali ngucapinnya pas udah masuk aja. " ucap Ratna.
Nadya duduk bersama kedua orangtuanya, ia melepas rasa penatnya, kemudian Ikhsan berdeham, sehingga membuat Nadya menatap ke arah ayahnya.
"Ada apa, pak? " tanya Nadya.
"Nadya, kamu umurnya sudah berapa sekarang? " tanya Ikhsan.
Nadya menatap ke arah ayahnya dengan tatapan bingung, bagaimana mungkin ayahnya melupakan umurnya, Ratna merasa bahwa pertanyaan dari suaminya tidak relevan, sehingga ia mencegah Ikhsan untuk kembali bertanya dengan Nadya.
"Nadya, setelah hampir setahun kamu libur untuk persiapan kuliah, kamu benar-benar mau kuliah selepas ini? " tanya Ratna.
Nadya merasa waktu yang tepat untuk mendiskusikan hal yang ia temui hari ini, dan sekarang waktunya.
"Iya, Nadya mau kuliah selepas ini, lagipula Nadya bakal daftar ikut bidikmisi, biar biaya kuliah nggak memberatkan emak sama bapak. " jawab Nadya.
Ratna dan Ikhsan menatap bersamaan, mereka sepakat untuk menyampaikan sesuatu kepada anak mereka.
"Nadya, kamu kami akan nikahkan dengan juragan di daerah ini, kamu mau ya? "