Bab 3, Investigasi di TKP

1091 Words
“Hhm. Kasian banget sih lo harus mati dengan tragis seperti ini.” kata Galen sambil mengusap wajah gadis itu agar membuat matanya tertutup. “Udah gue bilang, kalau datang ke TKP pakai sarung tangan buat nyentuh mayat.” Sebuah suara mengejutkannya. Benua baru masuk langsung memarahi anak remaja itu, sambil memakai kaos tangan Latex. “Tsk! Sialan lo manusia kulkas,” kata anak itu, malah mengumpat, dan mengatai Benua dengan manusia kulkas, Dareen yang mendengar itu, menahan tawanya termasuk beberapa tim forensik yang bertugas menangani kasus itu. “Mulutmu itu, lama-lama gue jahit baru tau rasa lo,” kata Benua membuat Galen hanya bisa mengenduskan nafasnya dengan kesal. “Apa yang sudah lo dapatkan?” tanya Benua. “Dia satu sekolah denganku, seorang artis yang sedang naik daun saat ini. Dia cukup terkenal,” kata Galen mengunakan bahasa formal ketika tengah menjelaskan apa yang sedang terjadi. Anak remaja itu mulai serius, termasuk dengan Benua yang mencoba untuk memerika tubuh gadis remaja yang mati itu. “Pantas saja wajahnya tidak asing,” ucap Benua sambil menganggukkan kepalanya. Di sudut ruangan, terlihat meja belajar dengan computer di atas meja tersebut, dengan beberapa buku mata pelajaran yang tersusun, serta beberapa lagi terlihat acak. “Hanya komputer itu yang tengah menyala, ketika aku sampai di sini,” kata Galen menunjuk komputer yang tengah menyala, dengan menampilkan beberapa potongan adegan mengerikan. Darah di dinding, yang telah luruh mengukir sebuah kata, “I’AM DEATH” menjadi semakin menambah kesan seram. “Tusukan berulang-ulang kali, dari tengerokan, dan juga jantung, tidak ada perlawanan, sepertinya di lakukan saat dia tidur,” kata Benua. “Binggo! Pembunuhnya berada di sini,” kata Galen sambil menirukan tempat tersangkanya. “Melihat bekas darah yang terciprat di dinding, tubuh pelaku cukup tinggi, mungkin sekitar 165-170cm, darah karena tarikan pisaunya cukup tinggi karena ayunan pisaunya,” “Daffin, gue butuh lo datang ke Tkp sekarang juga,” kata Benua menelfon temannya. “Gue malas banget keluar,” “Lo mau gue jemput dengan paksa, atau lo datang sendiri ke sini?” “Shit...” umpat Daffin. “Sialan lo, pake ngancem segala lagi. Tuhan lo pasti marah ama lo, Benua sialan,” kata Daffin kesal, di ujung kalimat perkataannya terdapat umpatan untuk pria yang di seberang sana, tidak lupa dia mengambil jaket di dalam lemari miliknya. “Bodoh amat! Mau gue jemput paksa atau lo datang ke sini,” “Iya... Iya.. gue datang ke sana, reseh benar deh lo,” umpat Daffin sambil mengambil kunci mobilnya. “Daffin... Mau pergi kemana kau?” tanya seorang pria paruh baya yang tengah membaca koran, ketika melihat anak semata wayangnya itu baru turun dari lantai atas. “Tugas negara Pi. Biasa, si reseh manggil lagi,” kata Daffin sambil memanggil pria itu dengan sebutan Papi. Pria yang di panggilnya papi itu hanya mengangkat satu alisnya. Anaknya itu tidak pernah turun dari lantai atas, bahkan ketika waktu makan, lebih banyak makanannya di antar ke kamarnya. “Benua di Indonesia?” “Tepat banget Pi, dan hari-hari tenangku hilang,” ucap Daffin sambil mengelus nafasnya dengan kasar. “Aku pergi, bye,” pamit Daffin dengan santainya. Mobil berwarna merah terparkir indah di garasi rumahnya. Pip! Suara kunci mobil terdengar. Daffin mengeluarkan mobilnya di parkiran. Mobil merk Lamborghini Veneno berwarna merah kini telah keluar dari halaman rumah besar bercat putih berlantai dua itu, beberapa meter di depan sana pintu pagar telah di buka oleh satpam rumahnya. Kulit putih milik Daffin begitu halus, putih, ketika cahaya mengenainya. Di tambah dengan tubuhnya yang begitu menunjang, rambutnya di cat berwarna merah kekuning-kuningan. Tidak butuh waktu lama untuk seorang Daffin, untuk sampai di TKP karena Apartement itu begitu dekat dengan kompleks rumahnya. Memakai masker dan jaket sambil memperlihatkan wajahnya sekilas pada petugas membuatnya bisa masuk ke dalam tanpa halangan. “Hello pak Einstein...” sapa Daffin ketika melihat Galen yang berada di sana. “Nama gue, Galen Ivander,” kata Galen menatap tajam ke arah Daffin. “Bwawawa...” Seketika Daffin tertawa terbahak-bahak. Dia begitu senang menggoda anak IQ tinggi itu, dengan sebutan Einstein. “Nggak usa ngakak gitu, buruan sini. Ada pekerjaan buat lo,” kata Benua sambil menarik lengan milik Daffin sambil memperlihatkan apa yang ingin dia tunjukan pada pria itu. “Gila...” umpat Daffin. “Serem amat, woi...” kata Daffin lagi, sambil duduk di kursi. “Hanya ini kan?” tanya Daffin sambil melihat ke arah Benua. “Iya, cepat cari sesuatu dari komputer itu, gue curiga dengan sesuatu,” “Hei… Hei… Sabar dong, manusia Es,” kata Daffin melepaskan tudung hodie yang di pakainya. Tangannya mulai di regangkan ke kiri dan ke kanan, ke atas kemudian ke depan. “Cah! Mari kita mulai,” ucap Daffin sambil mulai memainkan jari-jarinya di komputer yang telah hidup sejak tadi. Disaat yang bersamaan seorang pria paruh baya, beserta seseorang datang melihat TKP. Jarvis Mantano, bergelar AKP. Atasan Benua di kepolisian Tim Investigasi Kriminal I. “Kejutan yang menarik menyambutmu,” kata Jarvis sambil masuk ke dalam TKP, pria paruh baya itu juga ingin tahu tentang kasus yang tengah berada di bawah tim miliknya. Benua yang melihat siapa pria yang datang itu segera memberi hormat, termasuk Daffin dan juga Galen tidak luput memberikan salam hormat pada pria itu. “Eh. Ada Galen, dan Daffin juga,” kata pria itu lagi ketika melihat wajah yang di kenalnya. “Tentu, Pak. Tanpa kami berdua, si manusia es ini tidak akan menyelesaikan hal-hal rumit seperti masalah layar pipih ini,” ucap Daffin sambil menepuk kecil keyboard computer. Jarvis hanya terkekeh mendengar penuturan Daffin, sedangkan Benua menatap tajam kea rah Daffin. “Jadi, bagaimana hasilnya Benua?” tanya Jarvis. “Kami sedang melakukan penyelidikan lebih lanjut, sejauh ini sudah mendapatkan beberapa petunjuk,” jawab Benua. “Kalian bertiga, memang partner yang sempurna dalam bidang ini. Galen si Einstein, Daffin si pria robot, dan Benua si manusia Es,” kata Jarvis sambil tertawa. Daffin hanya menganggukkan kepala, membenarkan apa yang di katakan oleh Jarvis itu. “Hhhmm… Aku hampir lupa, setelah ini, kalian datanglah ke kantorku. Ada hal yang ingin ku bicarakan dengan kalian bertiga,” kata Jarvis sambil meninggalkan ruangan itu. Kepergian Jarvis, membuat tim yang ada di sana kembali bertugas. Daffin kembali duduk di kursi depan meja belajar itu, sambil mengetik beberapa huruf. “Ini... Di terdapat virus, dan di kendalikan jarak jauh,” seru Daffin, membuat Benua melihat apa yang di katakan oleh temannya itu. Dum... dum... dum... Sebuah musik yang menjadi pengantar Bwahahahha... Suara tawa terdengar mengema. Urgh… Argghhh.... “Aku minta maaf, tolong... tolong... tolong aku...” Urgh... arrgghh...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD