Bab 1, Mayat di Tepi Danau

1003 Words
“Sudah lama, ya. Aku tidak ke tempat terakhir kau ditemukan,” gumam seseorang sambil mengedarkan pandangan sekelilingnya. Suara kicauan burung terdengar, jalanan setapak telah pudar, kini telah di tumbuhi oleh rerumputan liar, tidak pernah ada lagi yang datang ke tempat itu. Sebuah danau kecil di tengah hutan itu, tidak ada anak sungai, ataupun aliran sungai, hanya danau dengan bentuk lingkaran. Airnya terlihat begitu menenangkan. Seorang pria tengah memandang danau kecil itu, tatapannya penuh dengan kenangan. Benua Cakrawala, tengah mengunakan celana Jeans biru pudar, serta kaos tshirt berwarna hitam, kemeja kotak-kotak yang tengah di ikatkan di pinggangnya. Pria dengan tinggi sekitar 180cm itu, tubuh elastis, wajah keturunan Arab-Jawa, berpadu di wajahnya. Hidungnya panjang, rambutnya agak acak-acakkan, mengikuti tren masa kini. Bibrnya tipis, berwarna pink pudar. Manik matanya berwarna abu-abu, dengan irisan mata yang begitu indah. Dia berstatus sebagai seorang Detektif di Kantor Kepolisian Metro Jaya. Menjadi idola para gadis-gadis yang melihatnya, karena wajahnya yang tampan. Huh! Suara helaan nafas terdengar, sesaat sebelum pria itu memutar tubuhnya, menatap pepohonan yang berada di belakangnya saat itu. Bunga-bunga liar terlihat, masyarakat menyebutnya sebagai bunga sintrong. Bunga yang begitu mirip dengan dandelion, namun bunga ini memiliki kelopak berwarna merah muda. Benua berjongkok sambil melihat ke arah bunga itu. Meraba tanah, pria itu memejamkan matanya. Angin berhempus perlahan. Ingatannya kembali melayang pada sebuah cerita tentang tempat itu. Tahun 2005 Siang hari, terlihat polisi begitu sibuk memasang polisi line di garis mengelilingi sebuah danau kecil. Beberapa orang berpakaian serba putih berada di sana. Terdengar suara kamera yang tengah digunakan mengambil gambar. Cekrek! Cekrek! Suara kamera canon, powershot S90 tahun 2010 tengah digunakan untuk mengambil gambar di TKP. Beberapa dokter forensik datang memeriksa TKP, ditambah dengan beberapa polisi yang tengah berjaga. Begitu banyak masyarakat yang ikut melihat apa yang tengah terjadi. Beberapa ibu-ibu tengah celingak-celinguk ingin melihat apa yang ada di depan mereka, dan tengah di periksa oleh polisi. “Kata mereka ada mayat anak SMA mereka temukan tadi pagi,” seorang ibu bertubuh gemuk, memulai acara gossip di dekat garis polisi. “Benarkah?” sebuah pertanyaan terlontar. “Benar, aku mendengar langsung dari polisi yang bertugas. Dia mengatakan jika mereka menemukan mayat seorang gadis SMA,” “Tempat ini, adalah tempat anak-anak datang bersama teman-temannya. Ada yang bersama pacarnya,” Kini terjadi cerita dari mulut ke mulut oleh ibu-ibu itu, tentang danau tempat di temukannya mayat. Begitu beragam cerita yang mereka keluarkan, sambil memperhatikan polisi yang tengah mengevakuasi. Beberapa polisi telah tiba di tempat kejadian, terdapat pula beberapa reporter yang akan meliput berita tersebut. “Kasihan sekali, mungkin dia di perkosa,” gumam salah seorang. “Tidak… tidak. Polisi itu mengatakan jika ini bukan pemerkosaan. Tapi pembunuhan,” “Ihh… Jangan menakutiku dong,” “Mungkin arwahnya tengah bergentayangan di sini,” “Tidak ada yang akan datang ke tempat ini lagi. Aku yakin itu,” “Tapi, kenapa dia bisa di bunuh?” “Mungkin…” “Mungkin apa?” salah satu dari mereka penasaran. “Aku juga tidak tahu,” “Menurutku dia di bunuh karena pelaku tidak memberinya uang? Atau dia berbicara kasar pada pembunuhnya,” “Ihhh…” salah seorang dari mereka begidik. “Mungkin juga seperti itu,” Dari arah kejauhan, seorang anak remaja laki-laki berlari ke arah TKP, pakaiannya tampak tidak karuan lagi, dengan kancing kemeja yang telah lepas. Matanya terpaku, ketika melihat dengan dekat seorang gadis yang telah kaku, kaki dan tangan terikat, begitu pula dengan lehernya, terlilit seutas tali berukuran 10mm berwarna krem. Malam begitu gelap, cahaya bulan, remang-remang memasuki cela-cela pohon. Cangkul yang tengah di gunakan menggali tanah, oleh seorang pria berpakaian hitam, di sampingnya seorang gadis remaja yang tengah terbaring, berseragam SMA, sudut bibirnya terdapat bercak darah, karena luka, wajahnya terlihat memar-memar, lehernya terlihat sebuah bekas dari tali yang di pakai untuk mencekiknya. Di sudut matanya terlihat air mata yang tengah menetes, sambil berpasrah diri tentang hidupnya. Alunan instrument terdengar, seiring dengan ayunan demi ayunan cangkul yang mengali tanah membentuk ukuran tubuh gadis itu, namun lebih dalam lagi. “To—tolong,” suara kecil, parau terdengar dari bibir gadis itu. Ikatan kaki, dan tangan menyatu. Pria itu melepaskan maskernya, memperlihatkan hidung dan mengambil nafas. Sreett… Suara seretan terdengar, tubuh gadis SMA kini tengah di tarik masuk ke dalam lubang yang telah di galinya itu. Bukh… Tubuh gadis itu kini terjatuh ke dalam tanah, matanya menatap cahaya bulan, sayup-sayup, sampai tanah demi tanah menimbun keseluruhan tubuhnya. Setelah lubang yang tadinya di gali, telah rata dengan tanah pria itu meninggalkan pekerjaannya. “Maaf, selain petugas di larang untuk masuk masuk ke dalam TKP,” “Ta—“ “Nak, ini bukan tempat yang patut di datangi oleh anak remaja,” Rasa putus asa terlihat dari raut wajahnya, wajah yang dilihatnya saat ini telah berwarna biru lebam, tubuh yang kaku untuk di luruskan karena tangan dan kaki yang tengah di tekuk ke belakang. “Sepuluh tahun, mungkin mereka telah melupakanmu,” ucap Benua sambil menghela nafasnya dengan pelan. “Tempat kenangan, kini berubah menjadi tempat paling menyesakkan di dalam hatiku. Sampai saat ini, aku belum menemukan pelakunya. Maaf, bisakah kau menunggu sebentar lagi? Aku akan menemukannya, dan membuatmu tenang,” Beberapa jam sebelumnya. “Ini berkas kasusnya,” ucap seorang pria paruh baya, dengan beberapa bintang tersemat di dadanya itu. Buk! Berkas kasus diletakkan di atas meja. Sekitar 7cm tinggi berkas itu, sudah terlalu lama. Bahkan telah berdebu. Sepasang mata menatap penuh harap berkas kasus tersebut. “Kasusnya sudah terlalu lama. Aku tidak yakin pelakunya masih hidup,” kata pria itu lagi. Hanya ada sebuah senyuman terukir di wajah pria yang sedang di ajak berbicara itu. “Terima kasih sudah menyimpannya. Pak,” “Sudah tugasku,” ucap pria paruh baya sambil tersenyum. Benua keluar dari ruangan itu, membawa tumpukan berkas yang telah lama, dan juga berdebu itu itu pergi. Dia memacu mobilnya memasuki sebuah jalan setapak, kemudian melambat. Langkah kaki seseorang terdengar, berjalan sambil mengamati sekeliling tempat itu. “Sudah lama ya,” ucap Benua. Untuk pertama kali, setelah 10 tahun dia kembali menginjakkan kakinya di tempat itu lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD