Perencanaan

1078 Words
Usai tiga hari MOS dengan segala drama yang ada di dalamnya, Anya sudah dihadapkan oleh kumpulan buku LKS yang ada di depannya. Karena tahun ajaran baru, hal ini sebenarnya wajar. Membeli dan membayar LKS pada awal masuk tahun baru pelajaran memang sudah menjadi rutinitas. Namun, ia tak menyangka bahwa buku tersebut akan datang dalam sekali waktu. “Gila sih, LKS kenapa datang dalam satu hari?” Anya berdecak takjub. Ia bahkan menggeleng kepala dan menelan ludah berkali-kali. “Gue kira tiga LKS gitu dalam sehari. Eh, ini langsung enam belas. Mana tebel semua lagi,” sahur Nara tak kalah kesal. “Baik semua. Sekarang perhatikan Ibu.” Semua pasang mata saat ini menatap guru di depan. Mereka sudah siap mendengarkan. “Sekolah kita bakal mengadakan tes akselerasi. Untuk kalian yang mau berkontribusi, besok sepulang sekolah, bisa datang ke aula.” Bu guru mengambil setumpuk buku dari meja. “Untuk hari ini, kalian free dulu. Silakan manfaatkan waktu dengan kegiatan positif.” Suasana yang semula hening, langsung ramai setelah guru tersebut keluar dari kelas. “Gue mau ikut ah,” ucap Anya dengan cepat. “Serius?” “Serius lah. Gue pengen nyoba.” Nara bukan meragukan kemampuan berpikir Anya. Karena kenyataannya, ia memang belum paham bagaimana Anya saat SMP dulu. Hanya saja, melihat sikap Anya yang ceroboh, membuat Nara ragu akan kemampuan gadis itu. “Lo ikut enggak?” Anya masih meneliti lembar per lembar LKS-nya. Siapa tahu ada yang cacat, sehingga ia bisa menukarkan dengan segera. “Enggak lah. Ngapain?” “Nguji otak lo. Soal buat masuk akselerasi pasti enggak mudah. Kalau nantinya enggak masuk, ya enggak apa-apa, penting kita udah usaha.” Nara tampak berpikir, menimang perkataan Anya. Gadis itu benar, dengan mengikuti tes akselerasi, akan menguji seberapa jauh kemampuan otaknya selama ini. “Okelah. Penawaran lo menarik juga.” Anya tersenyum tanpa mengalihkan pandangannya dari LKS. “Good girl.” “Enggak. Enggak. Enggak,” gumam Anya ketika tidak menemukan cacat dari bukunya. Namun, tak lama kemudian, Anya bersorak. “Apaan sih, Nya! Lo jadi pusat perhatian sekarang tuh.” Nara mendengus kesal. Sahabatnya satunya itu memang cantik, tetapi ternyata memiliki kepribadian yang luar biasa. “Gue cuma seneng LKS gue enggak ada yang rusak.” “Astaga, Nya.” “Daripada lo nyebut gitu, mending kita nonton drakor aja. Gue baru download drakor bagus. Ya walaupun bukan baru, tapi bagus kok.” “Hmm, apa?” Nara ikut menatap ponsel yang Anya pegang. “The K2. Bagus kayaknya. Asal Oppa ganteng mah filmnya ikut bagus aja.” *** Tak peduli dengan keringat yang sudah membasahi tubuh. Kakinya sudah kebas, tetapi ia masih belum puas melampiaskan sesuatu. Dua pemuda yang turut menemaninya dalam bermain akhirnya menyerah. Keduanya menepi, untuk melihat seberapa tangguh sahabatnya mampu bertahan. “Mungkin karena mimpi itu datang lagi. Makanya dia kumat gitu.” Pemuda bernama Fero Hibiyasa mengambil air mineral dari tas untuk diminum dan dialirkan ke wajah. Pemuda bertubuh cungkring itu lantas melemparkan botol minuman kosong je tempat sampah. “Mungkin aja. Setelah sekian lama, baru kali ini gue lihat dia kayak kesetanan gitu lagi.” Sedangkan satunya bernama Verrel Permadi, pemuda yang paling tinggi di antara Raihan dan Fero. Jika dibandingkan dengan mereka, satu-satunya pemuda yang bermain di lapangan basket jauh lebih sering bergerak dan melompat. Namun, justru pemuda itu yang tak berhenti sejak tadi. Tanpa peduli dengan kakinya yang sudah terluka, ia masih berkali-kali memantulkan bola dan melemparnya ke dalam ring. Tembakan terakhir, tubuh Raihan pun terjatuh. Seakan tidak ingin bangkit, pemuda itu justru menggeletakkan diri di lapangan. Ia menatap langit lapangan indoor dengan pedih. Tadi malam, ia bermimpi tentang Raina. Seorang anak kecil yang pernah ada hidupnya, menemaninya dan membuatnya seperti superhero. Namun, karena suatu kejadian, gadis kecilnya itu meninggal. Meninggalkan dirinya untuk selamanya. Raihan mengusap wajahnya dengan kasar. Lalu, berteriak sekencang-kencangnya. Walau waktu berjalan dan kejadian tersebut sudah terjadi 6 tahun yang lalu, rasa bersalah tetap tak kunjung hilang. “Panggil? Jangan?” tanya Fero. “Biarin aja. Dia kalau marah, suka ngawur ngelampiasinnya.” “Oke.” Fero dan Verrel adalah sahabat Raihan sejak kecil. Rumah mereka dulu dekat, sampai sebuah kejadian menimpa, Raihan akhirnya pindah rumah bersama keluarga yang baru. Meski begitu, tak ada yang berubah dari persahabatan mereka. Semula, keduanya mengira bahwa Raihan akan berubah menjadi pemuda yang dingin, tak tersentuh dan tak mau diajak berteman lagi. Namun, mereka salah, Raihan tetaplah memiliki karakter yang sama. Raihan hanya bisa mengungkapkan rasa peduli lewat cara bicaranya yang ketus. Ia jarang memikirkan perasaan orang lain, itu kenyataan. Alasan Raihan tetap bersama mereka karena hanya mereka yang bisa mengertinya. Hanya mereka yang mampu membaca apa yang terjadi padanya, tanpa diberi tahu. Cuma mereka yang mengerti bagaimana hidup Raihan sekarang dan enam tahun yang lalu. Benar, hanya mereka. “Eh, bentar lagi ada jam BK,” ucap Fero setelah melihat arloji di tangan kanannya. “Rai, ayo bangun. Bakal ada jam BK.” Dengan terpaksa, Raihan bangkit dari posisi telentang dan mulai mengikuti langkah Fero dan Verrel. Kakinya sakit. Namun, ia tak peduli. *** Bu Resi memasuki ruang kelas Raihan. Wanita berhijab itu terlihat anggun dengan seragam PNS yang beliau kenakan. Sebelum memulai pembelajaran, beliau lebih dulu mempersilakan ketua kelas untuk memimpin doa. Usai berdoa, Bu Resi mulai membagikan kertas yang berisi nama-nama PTN dan PTS di Indonesia. Pada kelas 12 ini, mereka memang harus fokus dengan ujian nasional dan ujian masuk ke perguruan tinggi. Syukur-syukur jika mereka bisa masuk lewat jalur undangan. “Baik, maksud saya membagikan list nama-nama perguruan tinggi adalah agar kalian semua bisa memilih perencaan kuliah kalian ke depannya lebih matang mulai dari awal tahun pembelajaran. Saya di sini hanya bisa memberikan arahan kepada kalian, keputusan akhir tetap ada di diri kalian masing-masing. Dan hari ini saya akan memaparkan berbagai jalur yang bisa kalian ikuti.” Bu Resi mulai mencoretkan spidol ke white board. Beliau menuliskan banyak jalur masuk PTN. “Hmm, lo mau ke mana, Rai?” tanya Fero penasaran. “Kalau gue sih, cukup bidik yang mudah aja.” Fero bukanlah pemuda yang muluk-muluk dalam bermimpi. Ia cukup realistis dalam membuat sebuah harapan. Apa saja yang sulit ia gapai, tak akan pernah menjadi wishlist pemuda itu. Ia juga tahu apa yang dibutuhkan, bukan apa yang ia diinginkan. “Belum ada ancang-ancang,” jawab Raihan singkat. “You must go on, Rai. Masa lalu jangan sampai ganggu apa yang lo miliki saat ini.” Fero menepuk bahu Raihan dua kali. Ia berusaha meyakinkan sahabatnya supaya tidak terjebak pada masa lalu. Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD