Ceroboh Berkepanjangan

1517 Words
“Pokoknya kalau gue ketemu kakak kelas yang namanya Alvaro Raihan Pranata, gue bakal balik ke kelas.” Nara menghela napas panjang. Sudah lebih dari tiga kali, gadis di depannya mengucapkan kalimat yang sama. Namun, tak kunjung beranjak dari tempat duduk. “Iya. Ayolah, lima menit lagi dimulai. Penting kita absen, nanti terserah lo deh. Lo mau dihukum karena gak hadir dalam demo ekstra?” Nara masih menarik tangan Anya. Ia sangat berharap bahwa gadis itu mau diajak kompromi. Dengan beberapa pertimbangan, Anya akhirnya mau untuk ikut. Pertimbangan pertama, mungkin ia akan bertemu dengan Dani di acara tersebut. Pertimbangan kedua, daripada ia harus sial mendapat hukuman untuk kesekian kali, lebih baik mendengarkan penuturan kakak kelas yang tengah menyanjung masing-masing ekstrakulikuler yang mereka promosikan. Pertimbangan ketiga, ia malas duduk sendirian di dalam kelas. Sesampainya di aula, Anya dan Nara langsung mengambil tempat duduk yang berada di dekat pintu keluar. Alasannya simpel, mereka akan pergi dari tempat jika acaranya membosankan. Demo ekstra dimulai. Setiap ekstrakulikuler menampilkan suatu pertunjukan dan memberikan brosur persyaratan pendaftaran. Di antara semua pertunjukan, hanya satu yang benar-benar membuat Anya antusias. Di depan sana, Dani beserta anggota PMR lainnya menunjukkan cara untuk mengangkat korban pingsan dan tandu dengan benar. Di matanya, dalam posisi membantu orang lain, ketampanan kakak kelasnya itu bertambah berkali-kali lipat. Karena terlalu antusias, Anya sampai tidak sadar bahwa suaranya paling keras saat mengucapkan “Tutti Fratelli”. “Dih, katanya tadi males ikutan. Sekarang malah yang paling heboh,” cibir Nara. Anya terkekeh pelan ketika dirinya sudah menjadi point of view. “Ada Kak Dani sih.” Anya bertemu dengan Dani ketika insiden pingsan dirinya di lapangan pada hari pertama MOS. Dani yang saat itu memapah hingga menggendong dirinya ke UKS. Pemuda itu juga yang memberikan dirinya teh manis ketika buka mata pertama kali. Dalam memperlakukannya, pemuda itu juga sangat lembut dan sopan. Dani menggambarkan sosok pemuda yang bisa menghargai perempuan. Lalu, Anya merasa hatinya nyaman. Entah itu cinta atau tidak, yang pasti ia selalu senang saat mereka bertemu, baik sengaja dan tidak sengaja. “Iya iya yang jatuh cinta,” cibir Nara lagi. Anya tersenyum sendiri. Ia sungguh suka dengan semua hal yang Dani lakukan. Pemuda itu hanya memaparkan kelebihan dari PMR Bima saja sudah membuat Anya tak ingin waktu berputar cepat. “Kak Dani kenapa bisa seganteng itu sih, Ra? Heran gue.” “Gantengan juga Kak Raihan, Nya.” “Enggak! Kak Raihan cuma tampan wajahnya aja, tapi galak. Kalau Kak Dani tampan luar dan dalam. Kalau brownies itu, Kak Dani lumer banget.” Raihan dan Dani adalah dua manusia yang berbeda wajah, berbeda pula karakter di mata Anya. Dani memang tak lebih tampan dari Raihan yang memiliki wajah hampir sempurna. Hidung mancung, alis tebal, bulu mata lentik,, rahang tegas semua ada pada Raihan. Namun, Dani memiliki kebaikan hati yang tak Raihan punya. Contohnya saja, Dani memberi nasehat dengan bahasa yang kalem saat dirinya baru sadar dari pingsan, sedangkan Raihan justru memakinya karena ceroboh. Sebenarnya Raihan memberikan nasihat, tetapi dengan bahasa yang ketus. Jadi, terdengar di telinga Anya sebagai ajak perang bukan saran. Karena itu, Anya lebih menganggap Dani tampak daripada Raihan. Anya tentu saja tidak bisa menolak pesona Dani. “Kalau orang jatuh cinta sih apa pun yang dilakukan orang itu selalu aja tampak baik.” “Tapi, gue serius sih. Selama ini, baru pertama kali gue kenal cowok selembut itu dalam memperlakukan seseorang. Penuh kasih sayang banget kalau melakukan sesuatu.” “Untung enggak ngondek,” ucap Nara. “Ngaco!” Keduanya kontan tertawa. Hidup anak gadis jika bukan belajar, menonton film, main Hp ya berarti bergosip. Penampilan selanjutnya adalah dari Bantara Dika, Diponegoro untuk putra dan RA Kartini untuk putri. Dari empat pemuda dan empat gadis yang tampil, mata Anya justru tertuju pada sosok yang tiga kali memberikan dirinya poin pelanggaran. Tanpa ia sadari, sudut bibirnya terangkat tipis ketika pemuda itu dengan baik melakukan baris-berbaris. Tak beda jauh dengan Anya, semua gadis yang ada di aula juga tampak menahan jerit melihat empat pemuda di depan mereka menunjukkan aksi baris-berbaris yang luar biasa keren. “Kayaknya tadi ada yang bilang kalau ketemu Kak Raihan bakal balik ke kelas. Eh, sekarang malah kesemsem lihat kelihaian Kak Raihan dalam berbaris.” “Otak gue emang sering enggak sinkron kalau lihat penampilan bagus, Ra.” Nara lantas berdecak keras sambil menoyor kepala Anya. Sahabatnya yang satu itu memang terlewat aneh. Meski baru mengenal dua hari, tetapi Nara langsung bisa menebak bahwa Anya adalah sosok yang moody. Gadis itu bisa berubah pikiran dengan cepat seiring dengan mood yang berubah pula. Selesai berbaris. Raihan mengambil alih bendera smaphore. Ia memperagakan beberapa huruf yang nantinya harus ditebak oleh temannya yang lain. Mendadak, pujian demi pujian untuk Raihan terlontar dari murid baru. Mereka bangga karena memiliki kakak kelas tampan yang juga bertalenta. Meskipun hanya sebagai kakak kelas, bukan pacar. “Kak Raihan itu emang multi talent. Dia bisa dengan cepat berganti peran. Dia juga sering memenangkan olimpiade gitu. Pokoknya the best lah.” “Terus lo suka sama dia?” “Ngaco! Ya enggak lah.” *** Form pendaftaran ekstrakulikuler di depan mata, tetapi Anya dan Nara masih belum bisa menentukan pilihannya. Padahal, tinggal dua jam lagi, form tersebut harus dikumpulkan. “Gue bingung harus pilih apa,” ucap Nara frustrasi. Jujur, ia tak tertarik pada satu pun ekstrakulikuler yang ada di sekolahnya. “Gue apa lagi. Mana tadi gue nyimak pas ada Kak Dani doang lagi. Mana tahu yang menarik, mana yang enggak.” “Lo sih, ngedrakor mulu. Enggak lihat tempat banget,” cibir Nara. Anya menyengir, lalu menyandarkan tubuh pada punggung kursi. Sebenarnya, mereka berniat untuk tidak mengikuti ekskul apa pun. Namun, lagi-lagi peraturan OSIS yang menyebutkan bahwa mereka harus mengikuti minimal 1 ekskul, membuat keduanya mendesah. “Bantara aja deh,” ucap Nara. Setelah berpikir panjang, ia sedikit menyukai pramuka daripada yang lainnya. Hanya sedikit. “Gara-gara ada Kak Raihan?” tanya Anya curiga. “No. Beberapa pertimbangan, akhirnya gue milih bantara aja.” “Gue juga udah mempertimbangkan. Milih PMR sama Bima pers deh. Biar gue bisa ketemu Kak Dani tiap ekskul.” Dengan gerakan cepat, Anya mengisi biodata dan pilihan pengembangan diri. “Kak Dani nomor satu pokoknya.” Nara mencibir. “Yang penting mah milih. Udah ah, yuk kumpulin.” Nara mengikuti langkah Anya yang sudah mendahuluinya. Ia sempat menggeleng takjub melihat betapa antusias sahabatnya sekedar mengumpulkan formulir pengembangan diri. Benar-benar tipe gadis yang tengah jatuh cinta. “Kalau ke ruang OSIS, artinya gue ketemu sama Kak Raihan dong.” Langkah Anya yang terhenti mendadak, membuat Nara tertabrak punggung gadis itu. Bukan salah Anya sepenuhnya sih, Nara juga salah karena sibuk melihat permainan sepak bola tanpa memperhatikan jalan. “Anya!” teriak Nara sambil mengusap jidatnya. Seperti orang tanpa dosa, Anya berbalik badan sambil menyengir. Ia mengangkat jarinya membentuk huruf V. “Ngapain sih berhenti mendadak?” “Gue males ketemu Kak Raihan,” ucap Anya lesu. “Mood lo bisa berubah secepat itu ya, Nya? Perasaan tadi antusias, sekarang udah lembek aja.” “Lo aja deh yang masuk ke dalam. Sumpah gue udah males.” “Iya deh.” Nara mengambil kertas formulir Anya dengan senang hati. “Baik deh, jadi makin cantik.” “Kalau ada maunya aja baru muji.” “Hehe, udah ah sana.” Anya beralih berada di belakang Nara dan mendorong gadis itu hingga masuk ke dalam ruang OSIS. Namun, tanpa disangka, ketika Anya hendak mencapai bangku permanen yang ada di depan ruang OSIS, tubuhnya mendadak oleng. “Kyaaa.” Anya tak sakit setelah jatuh. Ia justru merasa tubuhnya tengah berada di pelukan seseorang. Awalnya ia ragu untuk membuka mata. Namun, bau mint yang menyengat akhirnya membuat matanya mau terbuka. Tepat saat itu juga, ia mendapati manik mata yang sangat gelap menatapnya dengan sorot tak terbaca. Raihan masih belum bisa beranjak dari tatapan mata Anya. Sejak ia mendapati gadis itu di MOS pertama, Raihan sudah merasa ada sesuatu yang aneh ketika dirinya memperhatikan Anya. Sesuatu yang sampai saat ini masih menjadi tanda tanya besar dalam otaknya. Satu hal, Raihan ingin mencari jawaban atas perasaan familiernya ini. “Anya, lo kenapa teriak?” Nara yang baru keluar dari ruang OSIS membuyarkan lamunan mereka. Raihan menegakkan tubuh Anya dengan hati-hati. “Ceroboh terus-terusan.” Anya mengerjap pelan. Ia sama sekali tidak menyangka dengan apa yang barusan terjadi. Bagaimana mungkin dirinya bisa tiba-tiba hampir jatuh, sedangkan keadaan lantai tidak licin? Bahkan saat ia mengangkat kedua kakinya, tak ada sampah atau apa pun yang bisa menyebabkan dirinya terpeleset. “Lo enggak papa?” tanya Nara kepada Anya. “Enggak papa, kok.” “Kenapa lo bisa jatuh, sih?” “Enggak tahu. Gue juga bingung.” Nara menganga lebar. Dibandingkan dengan Anya, Nara justru lebih bingung dengan pertanyaan yang sama seperti Anya. Sedangkan satu-satu pemuda di antara mereka langsung melenggang pergi. “Ah, lupain.” Anya akhirnya menyerah mencari jawaban. Mungkin hanya kebetulan dirinya kehilangan keseimbangan. Ia kan ceroboh. Ya mungkin saja. “Astaga gue lupa ngucapin terima kasih.” Anya menoleh dan kelabakan mencari kakak kelasnya. “Lah, Kak Raihan mana?” “Udah pergi dari tadi. Lo sih bengong.” Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD