Pelaku

1080 Words
“Apa Anya udah di surga sekarang?” Pertanyaan pertama Anya setelah bangun membuat Arga yang semula sibuk menata baju langsung menegakkan tubuh. Pemuda itu menatap Anya dengan raut tak terdefinisi. Antara senang karena Anya sudah bangun, dan sedih karena kalimat itu yang dipilih adiknya sebagai pertanyaan. “Kok ada Abang? Apa Anya lagi mimpi?” tanya Anya. “Apa, sih! Ngaco mulu pertanyaannya,” jawab Arga, sebisa mungkin tampil tenang di depan Anya. “Apa tadi pas digigit ular Anya yang mimpi?” Anya kontan mengedarkan pandangan ke sekitar, lalu melihat tangan diinfus. Ia juga menggerakkan kakinya yang tadi dipatuk ular. Sakit. Kaki Anya sakit setelah digerakkan. Ia menyikap selimut yang menutup kakinya, lalu melihat jelas ada perban di sana. Artinya Anya masih hidup, ia selamat, dan sekarang mendapat perawatan di rumah sakit. Anya berusaha duduk, dibantu oleh Arga. “Kenapa bisa nyasar sampai sana? Come on lah, Nya, lo itu pinter. Tapi kenapa penipuan kayak gitu lo masih percaya?” Seperti tidak punya dosa, Anya bertanya, “Memangnya itu penipuan, Bang? Nara sekarang di mana?” “Nara enggak kenapa-napa, Nya. Lo yang justru perlu perawatan medis.” “Berarti gue ditipu. Fans Kak Raihan ngeri juga. Bukan artis aja yang ngefans banyak banget,” ucap Anya seakan-akan memang sesuatu yang buruk telah berlalu begitu saja. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, Anya yakin bahwa ini hanya permulaan. Entah apa yang akan dilakukan fans Raihan selanjutnya. Mungkin saja bisa lebih parah daripada ini. Anya tahu semua itu, hanya saja ia pura-pura untuk mengerti bahwa kekejaman yang dilakukan untuknya cukup sampai di sini. Sedangkan Arga kontan mengembuskan napas kasar. Arga cukup tahu bahwa Anya berpura-pura untuk mengakhiri kegelisahannya. Arga sempat ingin mengomeli Anya lebih jauh, tapi urung karena kedatangan Mama, Papa, Kevin, dan Nara. Mereka tampak buru-buru masuk ke dalam untuk melihat kondisi Anya. Anya terenyuh ketika Mama datang-datang langsung memeluknya, mengisyaratkan bahwa wanita itu sangat mengkhawatirkannya. Anya berusaha menenangkan mamanya yang kini sudah menangis, meyakinkan bahwa ia sudah baik-baik saja. Usai Mama, giliran Papa yang memeluk Anya cukup erat. “Gue berasa trofi bergilir yang dipeluk bergantian.” Kevin dan Nara selangkah lebih dekat lalu menoyor kepala Anya. “Kita khawatir sama lo. Ngapain sih nekat banget masuk ke hutan sendirian,” omel Nara sambil menghapus air matanya. Sejujurnya hanya air mata kebahagiaan karena melihat Anya sudah sadar dan senyum seperti biasanya. “Denger lo sampai digigit ular, jantung gue kayak mau copot tahu enggak.” Anya terkekeh. Bukan Kevin namanya jika tidak mengatakan kalimat lebay, alay, dan absurd. “Thanks. Kalian udah khawatir sama gue.” Kemudian Papa duduk di samping Anya, menjadikan lengan kekarnya sebagai bantal Anya. Ia ingin Anya menceritakan semua insiden sebelum dan saat masuk hutan. Papa tentu saja tidak akan tinggal diam melihat perlakuan keterlaluan orang lain kepada putri satu-satunya. Cukup mudah untuk dirinya menemukan siapa pelaku tersebut. *** Napas Raihan memburu. Ia berlari dari kelas atas sampai bawah hanya untuk menemui seseorang, bertanya atau bahkan memberikan pelajaran kepada orang tersebut. Ia memasuki salah satu kelas, rahangnya yang mengeras sempat menjadikan seisi kelas merinding. Seumur-umur, ini pertama kali mereka melihat wajah garang seorang Raihan. “Ikut gue.” Tubuh seorang gadis yang tingginya hanya sebahu Raihan kontan terhuyung ke belakang, untungnya tidak sampai jatuh karena Raihan mencengkeram tangannya. Raihan menarik tangannya dengan kuat dan menyeretnya secara paksa. Membuat teman-teman yang lain sontak berbisik, menerka-nerka apa yang akan Raihan lakukan pada Cleo dalam keadaan marah seperti itu. “Kenapa, Rai?” “Ikut gue!” “Lo nyakitin gue, Rai!” teriak Cleo. Mereka akhirnya berhenti, Raihan melepaskan cengkeraman tangannya dari lengan Cleo. Lalu menyuruh gadis itu mengikutinya. Wajah sangar Raihan membuat Cleo kesusahan menelan ludah. Karena tidak ingin pemuda itu semakin marah, Cleo akhirnya mengekori Raihan. Cleo was-was. Tatapan Raihan tadi sangat menusuk, seakan-akan jika tatapan seseorang bisa membunuh, Raihan berhasil melakukannya. Raihan masuk ke gudang, sehingga Cleo ragu masuk ke dalam. Raihan tidak akan berbuat macam-macam padanya, 'kan? Namun, suara Raihan yang menyuruhnya masuk membuat pikiran tersebut buyar. Ia melangkah ke dalam, sadar bahwa mereka berada di sekolah dam Raihan tidak mungkin berbuat yang aneh-aneh padanya. “Lo tahu kenapa gue ngajak lo ke sini?” Cleo menggeleng. Ia menunduk karena tidak kuat menatap mata tajam Raihan. “Oke, lupakan basa-basi. Gue langsung ke intinya aja, maksud lo apa mau menyelakai Anya? Lo pinter, Cle. Harusnya lo tahu kalau tindakan kayak gitu masuk tindakan kriminal.” Dahi Cleo berkerut, tidak paham dengan apa yang Raihan katakan padanya. Sadar dengan ekspresi Cleo yang demikian, Raihan menunjukkan ponselnya. Di sana terlihat screenshot percakapan nomornya dengan seseorang yang disebut Anya dalam teksnya. “Siapa yang ngirim itu?” tanya Cleo. Usai melihat ponsel Raihan, Cleo bukan semakin paham justru semakin bingung. “Kok bisa itu nomor gue ngirim pesan ke siapa? Anya?” “Gue yang harus nanya itu, Cle. Kenapa lo berbuat kayak gitu ke Anya?” “Gue enggak tahu, Rai. Bukan gue yang ngirim pesan itu. Gue aja enggak tahu nomornya Anya. Apalagi gue juga enggak nemu chat itu di riwayat chat gue. Serius. Ngapain gue mengirim pesan kayak gitu, gue punya banyak pekerjaan kali, Rai. Gue enggak ada waktu buat main begituan,” bantah Cleo. “Bukannya lo yang ngaku fans gue selama ini? Terus emang bisa HP lo ngirim pesan sendiri ke orang lain? Enggak logis, Cle! Udah jelas-jelas itu lo. Masih berani nyangkal ternyata.” Raihan berucap sinis. Dada Cleo sesak. Raihan berani menuduh hal sebesar itu padanya. Padahal Raihan juga tahu bahwa Cleo tidak akan berani untuk melukai orang lain. “Gue enggak punya alasan buat jahatin Anya, Rai. Lo juga tahu kalau gue enggak punya keberanian buat melukai orang lain.” Raihan membalikkan tubuh, memunggungi Cleo. “Seiring berjalannya waktu, semua orang bisa berubah, Cle. Gue sempat enggak percaya sama ini, tapi ada bukti-bukti mengarah ke lo. Karena pemberitaan kemarin yang bilang gue sama Anya ada hubungan, lo pasti sakit hati banget lalu mencoba melakukan hal buruk ke Anya.” Luruh sudah air mata Cleo. Ia sudah berusaha untuk menahan sejak Raihan menuduhnya, tapi sepertinya tidak bisa. Raihan terlalu kejam menuduhnya seperti itu. “Demi Tuhan, Rai, bukan gue yang ngjrim pesan itu ke Anya.” “Jangan bawa-bawa Tuhan buat menutupi kesalahan lo, Cle.” Raihan berbalik lagi, menatap Cleo tajam. “Terserah, Rai. Terserah kalau lo enggak percaya. Gue muak.” Raihan tertawa sumbang. “Harusnya gue yang bilang kayak gitu. Terserah lo mau ngeles kayak apapun. Gue tetep percaya kalau itu lo.” Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD