Saling Menjauh?

1154 Words
Masih di tempat yang sama, Cleo dan Raihan berhadapan. Ada perbedaan air muka yang kentara di antara keduanya. Raihan masih bertahan dengan raut amarah, sedangkan Cleo menampilkan ekspresi pasrah. “Kalau sampai lo masih berani nyakitin Anya. Walaupun cuma seujung kuku pun, gue enggak akan maafin lo.” Air mata Cleo semakin luruh. Ia tidak menyangka ancaman Raihan akan membuat hatinya sakit tak terhingga. Cleo kira foto kemarin hanyalah gosip belaka, tapi ternyata dugaannya salah. Setelah mendengar Raihan mengatakan bahwa ia tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti Anya, saat itulah Cleo tahu bahwa Raihan memiliki rasa lebih dari seorang kakak kelas kepada adik kelasnya. “Lo suka sama Anya?” tanya Cleo. “Cle, jangan mengalihkan topik.” “Kalau lo enggak menganggap Anya penting, lo enggak mungkin ngebela dia sampai segitunya. Sampai marah-marah sama gue. Ini bukan lo, Rai. Lo bukan orang yang gampang kehilangan kendali.” Raihan otomatis berbalik badan, enggan menanggapi ucapan Cleo yang sudah berada di luar topik mereka. Dan sialnya, Raihan juga ikut membenarkan hal itu. Namun satu masalahnya, hingga saat ini, ia masih bingung bagaimana perasaannya pada Anya. Rasanya tidak mungkin jika orang yang dulunya sempat menjadi salah satu gadis yang tidak ingin ia temui, sekarang menempati ruang tertentu di hati Raihan. Cleo tertawa miris. Tak ada harapan lagi untuknya memperjuangkan Raihan. Kata mereka, seseorang akan mencintai kita ketika didekati terus-menerus. Namun, hal itu tidak berlaku untuk Raihan. Justru semakin Cleo mendekati pemuda itu, ia semakin sulit digapai. Raihan berlalu dari gudang dengan perasaan campur aduk. Ia sempat tertohok karena perkataan Cleo tadi. Raihan masuk ke dalam ruangan OSIS tanpa mengucapkan apa pun. Raut wajahnya masih sama seperti sebelum masuk ke kelas Cleo. “Kenapa lo?” Galang baru saja mengambil berkas dari etalase penasaran. “Gara-gara gosip yang beredar itu?” Cia mendekat, ia juga tertarik dengan apa yang terjadi pada Raihan. Selama bekerja sama di OSIS, ada dua kemungkinan Raihan menunjukkan wajah tegas. Pertama, karena orang lain tidak disiplin dan kedua karena ia membenci sesuatu. Dari dua kemungkinan tersebut, Cia lebih yakin jika Raihan tengah membenci sesuatu. Mungkin masih berhubungan dengan pemberitaan kemarin. “Daripada ngurus hidup orang lain, mending kalian selesaikan LPJ nya. Ingat sampai besok Jumat. Jangan sampai kalian ribet sendiri nanti.” Cia mengeluh. “Lo mah enggak bisa diajak kompromi, Rai.” *** Anya membolak-balikkan buku dengan jengah. Sejak pagi ia tidak bisa melakukan apa pun kecuali menonton televisi, bermain ponsel atau membaca buku. Tidak ada sesuatu yang seru. Jika biasanya novel menjadi proses refreshing yang baik untuk otaknya, tapi untuk sekarang tidak. Anya hanya merasa harinya sepi tanpa teman-temannya. Apalagi Mama dan Papa harus pulang karena suatu urusan, sedangkan abangnya, Kevin, Nara, dan Agatha juga masuk sekolah setelah dari rumah sakit. Sehingga Anya harus bosan sendirian di dalam ruangan. Ia melirik jam kecil yang berada di atas nakas. “Harusnya sekolah udah bubar sekarang. Bang Arga perjalanan ke sini,,” gumamnya. Tapi, Anya masih berpikir bagaimana menghilangkan suntuk yang tak berujung ini. Sampai akhirnya ia tidak menemukan cara apa pun selain menunggu balasan pesan dari Nara. Sejujurnya ia ingin melakukan video call, tapi itu tidak mungkin. Mereka pasti masih di perjalanan. Anya kembali melihat-lihat aplikasi, siapa tahu salah satunya ada yang bisa menghentikan rasa sepi dan kebosanan Anya. Tatapannya berhenti tepat di aplikasi **. Sejak Sabtu kemarin, Anya sengaja log out dari sana untuk menghindari sakit hati. Namun, sekarang Anya penasaran, kira-kira berapa notif yang akan memenuhi pemberitahuannya? Gadis itu akhirnya membuka ** dan masuk ke akunnya. Ponsel yang semula senyap kini berubah ramai karena notifikasi DM dan pemberitahuan berbondong-bondong masuk. Anya melihat sekilas, lalu menghela napas berat. Komen mereka masih sama seperti terakhir kali ia membuka **. “Karena berurusan sama Kak Raihan gue sampai kayak gini. Harusnya dari awal gue emang jauh-jauh dari dia,” gumam Anya. Tak lama setelah gumaman tersebut keluar dari bibir Anya, orangnya datang. Anya terkejut dan refleks membanting ponselnya ke brankar. “Kak Raihan. Ngapain ke sini?” Raihan meletakkan sebungkus kado di atas nakas, lalu menarik kursi agar ia duduk di samping Anya. “Gue cuma mau mastiin kalau lo baik-baik aja,” jawab Raihan santai, “gue juga ada kabar baik buat lo. Lo lolos seleksi olimpiade astronomi tingkat sekolah.” Anya bahagia bukan main. Jika biasanya ia akan celebration dengan lompat-lompat, sayang sekali sekarang tidak bisa, mengingat kakinya masih sakit. Tak disangka, Raihan juga ikut tersenyum. Tipis sekali hingga tidak terjangkau oleh mata Anya. “Lo enggak sendirian. Gita juga lolos.” Senyum yang semula merekah itu seketika pudar. Lagi dan lagi ia harus berhubungan dengan Gita. “Dan gue ingin minta maaf sama lo. Karena secara enggak langsung gue terlibat dalam kecelakaan yang terjadi sama lo.” Anya mengerjap berulang kali, rasanya tidak percaya kalimat demikian lolos dari bibir Raihan. Tak lama setelah itu, Anya menepuk pipinya keras dan sakit. Artinya Raihan memang tengah minta maaf padanya. Menakjubkan. “Anya baru tahu Kakak bisa minta maaf.” Ekspresi Raihan otomatis berubah menjadi datar. Sejujurnya ia juga terkejut setelah mengatakannya. Mungkin benar, ada sesuatu yang tidak beres dari diri Raihan akhir-akhir ini. “Lo enggak bosen ada di ruangan ini terus? Mau gue antar jalan-jalan?” tanya Raihan. Kali ini ia memang sengaja menawarkan sesuatu untuk setidaknya menebus rasa bersalah kepada Anya. Anya menimang, satu sisi ia ingin keluar dari ruangan. Tapi di sisi lain, ia malas berdekatan dengan Raihan. Bisa saja salah satu fans garis besar Raihan berada di sini. Bukannya sembuh, Anya yakin mentalnya akan semakin rawan. “Gue enggak menawarkan waktu dua kali. Time is very important for me.” Anya mendengus. Jika tidak menunjukkan sisi kedisiplinan tersebut, bukan Raihan namanya. “Oke, Anya mau jalan-jalan.” Raihan kontan berdiri, lalu menarik kursi roda yang berada di pojok ruangan. Tanpa Anya duga sebelumnya, mendadak Raihan membopongnya sampai duduk di kursi roda. Jantung gue, kenapa detaknya enggak normal, sih,, batinnya. Anya masih belum sepenuhnya kembali pada realitas ketika kursi rodanya didorong. Perasaan aneh dan sesuatu yang familier menyerangnya begitu saja, tanpa pernah Anya duga sebelumnya. “Kenapa lo beneran berpikir kalau Nara ada dalam hutan itu?” “Yang gue tahu saat itu cuma Nara dalam bahaya. Dan satu-satunya akses yang ada di sana cuma hutan itu.” “Terus kenapa lo enggak mikir kalau masuk ke dalam itu bahaya?” “Gue udah mikir, Kak. Ribuan kali malah. Tapi, gue tetep enggak bisa membiarkan Nara dalam bahaya. Akhirnya masuk dan tanpa sadar gue juga dalam bahaya,” ucapnya, “gue juga enggak tahu kalau fans lo bakal melakukan hal sampai segila itu buat jebak gue. Jadi, kita bisa enggak sih Kak untuk saling menjauh?” Anya mendongak, hingga kedua tatapan itu saling beradu. Untuk kesekian kalinya, kesan familier itu hadir satu sama lain. Lalu Raihan buru-buru mengganti arah pandangan dan mengatakan, “Untuk beberapa minggu ke depan, itu enggak mungkin. Gue masih ada tanggung jawab buat mengawal lo dan Gita sampai perlombaan OSK astronomi.” Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD