Rangga dan Raihan

1147 Words
“Bagus sekali. Ternyata ini yang buat lo kalah. Lo pacaran sama dia?” Anya tak perlu berbalik badan untuk tahu siapa yang menghinanya seperti itu. Ia mengembalikan helm kepada Rangga dengan senyum yang masih merekah, seakan-akan ucapan orang tadi hanya angin lalu. Sedangkan Rangga tersenyum sinis ke Raihan sebentar sebelum membalas senyum manis Anya. “Makasih, Kak.” “Jangan sedih-sedih terus.” Rangga mengusap puncak kepala Anya dengan lembut. “Hati-hati di jalan.” Ketika Anya hendak berlalu dari dirinya, Raihan melingkarkan tangan di pergelangan tangan Anya. “Mau apa sih? Mau menghina karena gue enggak bisa menang kayak Gita? Atau mau apa?” “Jangan dekat-dekat sama cowok itu. Dia enggak baik buat lo.” Anya lantas mengempaskan tangan Raihan, matanya menatap tajam iris gelap itu. “Lo bahkan enggak punya hak untuk melarang gue buat deket sama siapa pun. Jadi, plis, berhenti seolah-olah lo penting dalam hidup gue.” “Niatnya gue mau bersikap baik sama lo. Tapi, kayaknya lo emang enggak bisa dibaikin.” “Sayangnya, gue enggak butuh kebaikan dari lo, Kak.” Anya berlalu dari hadapan Raihan, membuat pemuda itu mengepalkan tangan kuat. Sepanjang selasar, seluruh pasang mata memperhatikannya, membuat Anya risih dan rasanya ingin mengganti muka. Kemudian seperti dengan sengaja, mereka mulai berbisik menyebut namanya. Topiknya hampir sama yaitu tentang kekalahannya hari ini. Mereka banyak yang membandingkan dirinya dengan Gita, tapj tak sedikit pula yang membandingkan dirinya dengan Raihan. Padahal, untuk ukuran seorang anak SMA, seharusnya mereka paham bahwa ketiga orang yang mereka bandingkan berbeda. Untungnya, tak berangsur lama, Agatha dan Arga menemaninya berjalan. Sehingga mereka tidak bisa leluasa untuk berbisik seperti tadi. Setidaknya mereka tidak berani dengan Arga, meskipun sangat kurang ajar padanya. “It’s okay. Kalah dan menang dalam perlombaan itu wajar. Yang terpenting, kamu sudah memberikan yang terbaik.” Agatha memeluk Anya dengan erat, mencoba menenangkan gadis itu semampu yang ia bisa. “Enggak apa-apa, Nya. Baru kelas 10, tahun depan lo bisa nyoba lagi.” Arga mengusap kepala Anya yang bersandar di bahu Agatha. “Udahlah. Lo itu jelek kalau sedih. Senyum dong.” Anya mendengus. Bukan Arga namanya jika tidak menyebalkan di mata Anya. Bahkan di saat dirinya sedih, kakaknya bukan menghibur, memberi nasihat yang baik, atau kebaikan lainnya justru membuat Anya kesal. *** “Gue nanti malam ke rumah lo deh, Nya. Gue mau numpang nonton drakor, mumpung enggak ada PR,” ucap Nara sambil menyejajarkan langkah dengan Anya yang semakin menit semakin kencang saja. Ia menoleh dan mendapati ekspresi random dari wajah Anya. “Nya, lo dengerin gue, ‘kan?” Anya tidak menjawab. Gadis itu justru semakin mempercepat langkahnya, membuat Nara benar-benar kewalahan. Sampai Nara berhasil menghentikan kaki Anya, saat itulah Nara melihat Raihan sudah berada di depannya. Nara mengerjap beberapa kali, baru kemudian sadar bahwa Anya berjalan untuk menghindari Raihan. “Gue perlu bicara sama lo.” Anya memutar bola matanya malas. Berbicara dengan Raihan sama artinya dengan memperburuk kondisi mental. Dalam pikiran Anya sekarang Raihan pasti ingin membicarakan mengapa ia kalah dari Gita. “Gue harus pulang, Mama dan Kak Arga pasti udah nunggu di rumah.” Sebisa mungkin Anya menghindari Raihan. Alibi tidak masuk akal pun akan Anya gunakan untuk membuat dirinya jauh dari pemuda itu. “Gue pulang duluan deh, Nya. Kayaknya kalian terlibat dalam percakapan yang serius.” Belum sempat Nara pergi, Anya sudah melingkarkan tangan di lengan gadis itu, berusaha menahan Nara untuk tetap tinggal. Namun, Nara terus mendesak hingga mendapat persetujuan dari Anya. Sekarang, hanya ada Raihan dan Anya di selasar sekolah depan perpustakaan. Mereka hanya saling berhadapan, tapi mata tidak berani saling menatap. “Kalau mau ngomong cepetan. Anya udah janji enggak akan pulang malam. Nara juga ke rumah nanti malam. Enggak lucu kalau ada temen datang, tapi gue pergi.” “Gue … gue minta maaf.” *** Anya tidak sengaja melihat Rangga di kafe yang sama dengan dirinya dan Raihan. Gadis itu sengaja meminta Rangga bergabung karena tidak ingin hanya berduaan dengan Raihan. Rangga baik, sayangnya untuk orang sebaik Rangga, selalu saja ada orang yang tidak suka, termasuk Raihan. Sejak Anya mengajak Rangga gabung di satu meja makan, rahang Raihan tampak mengeras. Tatapan pemuda itu juga memberikan isyarat tegas bahwa ia tidak suka. "Kak Rangga mau kentang goreng?" Raihan mendesah. Seharusnya ia mengajak Anya ke tempat ini untuk membicarakan tentang mereka, tentang Raihan meminta maaf, dan lainnya. Rangga menggeleng pelan. "Lo mau nyobain makanan gue?" Anya sangat antusias. Ia memang sedari tadi penasaran dengan rasa mie pesanan Rangga. Ia ingin meminta, tapi terlalu gengsi. Akhirnya Rangga sendiri yang menawarkan, jadi Anya dengan senang hati menerimanya. "Hm. Enak. Mau ah pesen satu." Anya memanggil pelayan dan memesan mie yang sama dengan Rangga. Raihan semakin merasa bahwa dirinya tidak Anya anggap. Ia berpikir bahwa Anya memang sengaja melakukan itu, untuk membuatnya kesal dan pergi dari sini. Mungkin itu sebagai cara Anya untuk menjauh dari dirinya lewat bahasa verbal. Sabar, Rai, batinnya. Raihan pun mengambil earphone dari tasnya, lalu menyumpalnya pada kedua telinga. Ia akan menunggu sampai Rangga pulang. Ia harus berbicara dengan Anya, apa pun yang terjadi. Meski tidak mendengar, Raihan tentu saja melihat bagaimana interaksi antara Rangga dan Anya. Mereka terlihat sangat akrab, seolah-olah memang pernah bertemu sebelumnya. Bahkan senyum Anya selalu merekah setiap kali mereka mengobrol, berbeda sekali dengan Anya yang ketus padanya. "Oh ya, Nya, gue lupa. Gue ada rapat kepanitiaan lagi. Enggak apa-apa kan kalau gue duluan." Anya mengeluh. "Yah, padahal baru sebentar ngobrolnya. Ya udah, Kak, semangat ya." Rangga mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban. Tak lupa pula ia berpamitan dengan Raihan, sayangnya tidak mendapat respon dari pemuda itu. Sadar jika ada sikap aneh yang Raihan tunjukkan di depan Rangga, Anya akhirnya bertanya. Ia lebih dulu melihat punggung Rangga yang sudah mengecil, baru kemudian mengalihkan atensi pada Raihan. "Kak Raihan ada masalah sama Kak Rangga?" Anya menyenggol lengan Raihan. Raihan mematikan musik dan mengeluarkan mencopot earphone dari telinganya. "Gue udah bilang dari awal, Rangga bukan orang baik buat lo. Dia pasti akan melukai lo, Nya." Anya kesal. Jawaban Raihan tidak sinkron dengan pertanyaannya, sama sekali. "Kenapa Kak Raihan ngomong gitu? Kalian udah saling kenal?" tanya Anya lagi. Kali ini gadis itu berusaha untuk tidak meledak. "Iya. Rangga rival gue sewaktu SMP. Dia ambisius. Apa pun yang pengen dia gapai, harus dia dapatkan." Raihan menatap Anya, mencoba memberikan pengertian pada gadis itu mengenai siapa Rangga. "Dengerin gue, Nya, Rangga bukan tipe cowok yang gampang deket sama cewek. Kalau lo masuk di dalam hidup dia, berarti ada yang dia incar dari lo." Anya cukup merinding mendengarnya, tapi ia tetap tidak bisa percaya begitu saja. Raihan mengenal Rangga sewaktu SMP, mungkin saja Rangga sudah berubah seiring berjalannya waktu. Awal perkenalan saja Rangga terlihat sangat ramah, bukankah cukup membuktikan bahwa Rangga sudah berubah menjadi humble sekarang? "Lo pasti tahu gue bukan orang yang mau menghabiskan waktu untuk hal enggak penting. Termasuk nunggu lo sama Rangga selesai ngobrol. Gue serius, Nya. Jauhi Rangga!" Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD