Berurusan Lagi

1460 Words
Anya tak berhenti mengoceh sejak turunnya pembagian pembuatan rubrik majalah Bima Pers tahun ini. Ia, Nara, Kevin, dan Yesa Putri—anggota yang baru saja gabung—mendapat tugas untuk membuat headline utama, yaitu konser amal. Menurut informasi dari Yesa Putri, konser amal itu adalah proker terakhir dari OSIS periode sebelumnya dan diketuai langsung oleh Raihan. Bukankah artinya harus berurusan dengan Raihan lagi? Padahal setelah perdebatan mereka mengenai Rangga di kafe, Anya berharap tidak akan berurusan dengan pemuda itu lagi. “Sumpah ya, kenapa sih hidup gue selalu berhubungan sama Kak Raihan? kenapa di antara semua orang di sekolah ini, harus Kak Raihan yang jadi ketua panitia? Kenapa dia selalu andil dalam kegiatan-kegiatan besar kayak gitu, sih? Nyebelin banget.” Nara dan Kevin kompak memutar bola matanya. Anya sudah empat kali mengatakan kalimat dengan struktur kebahasaan yang sama. “Daripada menggerutu, bukannya mending kita buat pertanyaan? Sebagai bahan presentasi kita di depan Kak Dani nanti,” ucap Nara berusaha menghentikan ocehan Anya yang tidak penting itu. Yesa mengangguk. “Bener, Nya. Daripada kamu merutuki nasib, lebih baik kita menyusun pertanyaan saja. Kurang lima menit kita disuruh untuk mempresentasikan diskusi.”. Anya otomatis melirik arloji di tangan kanannya. “Ada yang udah kepikiran bakal tanya apa aja?” Kevin memberikan kertas yang sudah berisi daftar pertanyaan. “Gue dengerin lo ngoceh tadi, sambil nulis ini.” “Lo kalau nulis bisa enggak yang bener dikit? Kepala gue mendadak pusing lihat tulisan lo,” keluh Nara. “Kata banyak orang, mereka yang tulisannya jelek itu pinter. Dokter aja tulisannya enggak bisa dibaca, nyatanya cerdas bisa bantu orang lain. Jadi, jangan menghina tulisan jelek seseorang,” bela Kevin. Untuk masalah berkelit, Kevin memang ahlinya. “Boleh. Bagus kok pertanyaannya. Kita pakai ini aja gimana? Mungkin nanti juga dapat koreksi dari Kak Dani,” ungkap Yesa. “Oke, gue setuju.” Meski masih kesal dengan kenyataan bahwa ia harus berurusan dengan Raihan lagi, Anya tetap berusaha menerima itu. Sampai sejauh ini, Anya masih ingin mempelajari cara Menyusun pertanyaan, wawancara, dan membuat berita. Jadi, Anya tidak akan mundur meskipun akan melakukan wawancara dengan orang yang tidak ia suka. Tak lama setelahnya, presentasi hasil diskusi pun dimulai. Ada sepuluh kelompok yang akan melakukan presentasi atau pemaparan dengan job desk mereka masing-masing. Setelah kelompok pembuatan TTS, barulah kelompok Anya yang maju. Yesa yang mengambil alih presentasi sebagai moderator baru kemudian Kevin yang menjelaskan, sedangkan Anya dan Nara yang nantinya akan berbicara jika ada pertanyaan. “Jadi, dari konser amal ini kita akan menggali informasi dari sejarahnya dulu, mekanisme acara, pencetus acara, bagaimana kendala, kesan, dan pesan selama acara. Rencananya kita akan membuat dua tahap wawancara, yaitu sebelum dan sesudah kegiatan. Supaya kita bisa tahu bagaimana persiapan, progress, dan realisasinya juga,” jelas Kevin. “Kalian sudah tahu siapa ketua panitianya tahun ini?” tanya Dani setelah mencatat beberapa poin penting yang Kevin paparkan tadi. “Tahu. Ketua panitianya itu Kak Raihan,” jawab Anya. “Baiklah. Pertanyaan yang akan kalian ajukan bagus. Rencananya siapa aja narasumber yang akan pilih?” “Kami berencana mewawancarai Kak Raihan, itu sudah pasti. Kemudian mungkin dari peserta, pengisi acara sampai guru-guru.” Itu giliran Nara yang memberikan tanggapan. “Oke, gue tunggu list pertanyaan kalian hari ini. Kirim lewat email aja. Nanti nama emailnya bakal gue kirim ke Anya. Anya, punya nomor gue, 'kan?” Anya mengangguk dengan semangat. Hatinya mendadak dikerubungi oleh banyak kupu-kupu. Meski bukan pesan basa-basi seperti kebanyakan orang, tapi Anya sangat bahagia. Sedangkan di sisi lain, Nara dan Kevin saling menyenggol untuk memperhatikan bagaimana ekspresi malu-malu dari Anya keluar. *** Anya tidak tahu ia mimpi apa tadi malam sampai bisa diantar pulang oleh Dani seperti hari ini. Kata Dani, rumah mereka searah sehingga mereka bisa pulang bersama. Anya tidak perlu memesan kendaraan online atau menelepon orang rumah. Satu impian Anya untuk dibonceng oleh Dani akhirnya terwujud. Semoga impian lain seperti kelak ia bisa menjadi pasangan Dani juga akan terwujud. Anya tahu ia serakah karena selalu menginginkan sesuatu yang lebih, tapi bukankah sebagai makhluk Tuhan, Anya berhak untuk meminta apa pun? Kesenangan Anya bertambah berkali-kali lipat karena Dani menyuruhnya untuk berpegangan agar tidak jatuh, sesuatu yang kecil tapi bisa membuat ribuan kupu-kupu terbang di hati Anya. Tak sampai di sana, Anya berhasil dibuat geer karena pemuda itu berhasil mengantarnya pulang padahal Anya tidak memberikan petunjuk arah sama sekali. Ia jadi berpikir bahwa selama ini, Dani tahu beberapa hal tentang dirinya. Dani perhatian dan tahu alamat rumah Anya meski ia tidak pernah memberitahunya. Apakah itu juga berarti Dani menyukainya? Tepat pukul lima sore, mereka sampai di depan pintu gerbang rumah Anya. Gadis itu menyerahkan helm dan menawarkan Dani untuk masuk. Namun, karena Dani mengatakan sibuk, jadi Anya mengucapkan terima kasih dan hati-hati di jalan sebagai kalimat penutup pertemuan mereka. Gadis itu masuk gerbang yang baru saja dibuka satpam dengan perasaan berbunga-bunga. Hal itu akhirnya disadari Arga yang duduk di halaman rumah dengan memainkan ponsel. Melihat Anya bahagia membangkitkan dua hal dalam diri Arga, yaitu senyum merekah dan pikiran untuk berbuat julid. “Kenapa lo senyum-senyum enggak jelas kayak gitu? Habis kesambet apaan?” tanya Arga yang akhirnya merealisasikan hal kedua. “Tahu enggak sih, Bang, Anya habis diantar pulang sama Kak Dani. Ah senangnya.” Anya memutar-mutar tubuhnya dengan lincah, tersenyum merekah. seolah-olah dirinya manusia paling bahagia hari ini. “Norak. Gue kira kesambet.” “Kak Dani juga tahu rumah ini tanpa Anya kasih tahu. Apa itu tandanya Kak Dani suka sama Anya?” Arga otomatis tertawa. Membuat Anya kesal kontan memukul lengan abangnya. Sepertinya Anya sepertinya salah karena berbagi kebahagiaan dengan abangnya. “Nya, lo itu kalau polos jangan kelewatan kenapa sih. Dani jelas tahu rumah ini karena dia tahu kalau gue itu abang lo. Lo lupa gue sama dia berteman? Jelas aja dia pernah ke sini, Nya. Dan itu artinya, dia tahu rumah ini bukan karena dia suka sama lo.” Arga semakin puas tertawa sekarang. Apalagi melihat ekspresi Anya yang kontras dengan sebelumnya. Jika tadi Anya sangat bahagia, maka sekarang ia kecewa. “Makanya kalau berharap itu jangan ketinggian, kalau lo jatuh nanti nangis. Ujung-ujungnya uang saku gue yang jadi korban karena beliin lo es krim segunung. Kayaknya Dani juga enggak ada perasaan apa pun sama lo.” “Abang itu sebenarnya saudara Anya atau musuh? Lihat adiknya lagi galau bukan menenangkan eh malah semakin bikin enggak percaya diri,” ucap Anya sambil melepas sepatunya. “Lagian Kak Dani juga jomlo. Selagi belum taken, apa salahnya Anya berharap?” “Emang lo tahu Dani itu punya pacar apa enggak?” “Anya enggak pernah lihat Kak Dani sama cewek. Bukannya udah cukup jadi bukti kalau Kak Dani emang belum punya pasangan?” Anya terus membantah sebagai penenang untuk dirinya juga. “Enggak pernah deket sama cewek bukan jaminan cowok lagi enggak deket sama siapa pun.” Anya otomatis menimpuk Arga dengan buku tulisnya. “Cukup, Bang! Jangan ngasih racun buat perasaaan Anya lagi. Anya yakin Kak Dani pasti belum punya pacar.” Arga terkekeh, tapi dalam hati mendoakan agar Anya tidak sakit hati karena Dani. Ia hanya berharap apa yang adiknya percaya itu memang kenyataannya. Semoga Dani memang belum punya pacar agar Anya juga tidak perlu terluka. *** “Kak Varo, ayo sini tangkap aku!” “Dek, jangan ke jalan raya. Bahaya!” “Kak Varo payah ih enggak bisa nangkap aku.” Gadis kecil bergigi ompong itu terus berlari tanpa mendengarkan intruksi dari kakaknya. Sampai sebuah mobil datang dari arah kanan gadis itu, saat itulah ia berhenti. Seakan terpaku, ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya sama sekali. “Raina!” Raihan bangun dari tidurnya setelah berteriak memanggil Raina. Peluh keringat sebiji jagung membanjiri tubuhnya. Tubuhnya bergetar, dadanya naik turun dengan ritme napas tak beraturan. Pemuda menegakkan tubuh lalu mencoba menenangkan dirinya. Raina selalu hadir dalam mimpinya dengan waktu tak terduga. Ia melirik jam beker yang berada di atas nakas yang menunjukkan pukul setengah dua malam. Setelah memastikan napasnya sudah normal, Raihan turun dari kasur. Ia mengambil air wudu lalu melaksanakan salat tahajud. Semoga dengan dirinya bersujud, pikirannya menjadi lebih tenang. Di dalam doanya, ia memohon agar Tuhan memberinya petunjuk tentang Raina. Enam tahun berlalu dan ia masih menemukan apa pun tentang Raina. Jika pun Raina sudah meninggal, ia ingin mengetahui makam gadis itu. Namun, jika Raina masih hidup, Raihan berharap Tuhan segera mempertemukan mereka. Raihan mengusap wajahnya dengan kedua tangan sebagai penutup doa dan salatnya. Ia kembali ke atas kasur kemudian membuka laci nakas. Satu foto Raina masih ia simpan dalam kotak kecil bersama dengan jepitan rambut yang Raina pakai saat peristiwa itu. Sebuah peristiwa besar yang masih menghantui Raihan hingga saat ini, menggoreskan luka mendalam, dan menyebabkannya kehilangan sesuatu yang berharga. Raihan memeluk foto kecil tersebut dengan erat. “Di mana pun kamu berada, semoga kamu selalu bahagia. Kakak merindukanmu.” Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD