Chapter Dua

1526 Words
        Hari ini cuaca cerah seperti biasanya, namun mentari tampak bersinar lebih cerah lagi. Seakan dia berseri-seri menyambut datangnya hari ini. Awan berarak seperti biasa, beberapa tetap terdiam di tempat yang sama. Gelombang air laut mengalun tenang seiring dengan alunan melodi yang bergema di langit Oakland.         Keadaan terasa tidak berbeda dari hari-hari sebelumnya. Akan tetapi, kenyataannya Aster tidak bisa tertidur pulas menanti hari ini. Pukul sepuluh tadi malam dia sudah berada di atas kasurnya, bermaksud untuk tidur lebih cepat. Bermain seharian dengan anak-anak panti ternyata membuat tenaganya terkuras. Meski begitu, matanya enggan untuk terpejam, kepala Aster tak henti-hentinya membayangkan sesuatu. Dia tersenyum-senyum seorang diri sembari menatap langit-langit kamar.         Saat matahari mulai bangkit dari balik laut, Aster bergegas mengambil gaun putihnya dari lemari. Dia mendapatkan baju tersebut dari Miss Belly, terkhusus untuk hari istimewanya. Gaun tersebut sangat indah. Kainnya terasa lembut saat menyentuh kulit. Manik-manik berkilauan seakan menjadi permata yang bertaburan di atasnya.         Pernah sekali dia melihat gaun yang hampir serupa dengan miliknya saat hendak pulang ke panti seusai sekolah. Seorang wanita mengenakannya beserta hiasan kepala yang tak kalah cantik. Orang itu menggandeng tangan seorang pria berjas putih di sampingnya. Mereka tampak bahagia dikelilingi oleh banyak orang yang memancarkan kebahagian serupa.         Lonceng pagi Oakland berdentang enam kali. Memacu detak jantungnya yang semakin berdebar kencang. Bahkan tidak hanya sebanyak enam kali, tapi kali kali berikutnya pun Aster bisa merasakannya dengan jelas. Dia bergegas berlari menuju kamar mandi, membasuh tubuhnya sebersih mungkin. Kali ini tidak ingin dia berlama-lama di dalam sana, karena ada sesuatu yang benar-benar tidak boleh dilewatkan.         Gaun putih pemberian Miss Belly dikenakannya perlahan, dengan sangat hati-hati. Aster memang sudah tidak tertarik lagi untuk menggunakan pakaian yang terlalu feminim. Tapi, kali ini keadaan yang memaksanya. "Tidak buruk," ucapnya sembari bercermin di depan kaca.         Rambut hitamnya dia sisir serapi mungkin, dan dibuat menggulung di atas kepala. Tak lupa jepit mawar pemberian Amanda dia gunakan sebagai perias rambut. Jari telunjuknya menarik beberapa helai rambut di samping poninya. Membiarkan mereka bergelantungan dengan bebas.         'Tok-tok', seseorang mengetuk pintu kamar.         "Ya. Masuk!"         Amanda mengintip dari balik pintu. "Kupikir kamu masih tidur." Gadis itu mendadak terkesima akan sesuatu. "Kamu cantik sekali, Aster!"         "Benarkah?" Aster sedikit tersipu malu.         "Kapan terakhir kali aku melihatmu mengenakan pakaian secantik ini?"         Pertanyaan Amanda sulit mendapatkan jawaban dengan cepat, karena Aster sama sekali tidak ingat. "Sepertinya tidak pernah," akhirnya dia menjawab dengan singkat. "Aku tidak ingin melewati hari spesial ini dengan riasan yang biasa saja."         "Aku setuju denganmu." Amanda duduk di atas kasur.         Aster menghela napas panjang dan menghembuskannya. "Tidak terasa ya. Waktu berlalu begitu cepat."         "Iya. Rasa-rasanya baru saja kita merayakan ulang tahunmu yang kesembilan belas kemarin."         "Aku ingat benar saat-saat itu. Kamu bilang suatu saat kita akan keluar dari panti, bekerja, menikah. Lalu... kamu memberiku ini." Aster menunjukkan jepit mawarnya.         Kilatan kebahagiaan terlihat jelas pada mata sahabat baiknya itu. "Kamu masih menyimpannya?!"         "Tentu saja. Aku tidak akan membiarkan harta karunku hilang."         "Aku juga tidak mau kehilanganmu. Karena kamu adalah salah satu harta karunku yang berharga." Amanda berdiri, memeluk Aster penuh kasih sayang. Begitu pula dengan Aster. "Ayo kita sarapan! Sebelum kamu lupa karena terlalu senang."         "Oke."         "Ah! Sebaiknya kamu pakai jaket. Jangan lupa seperti apa kelakuan Dave dan Davin di ruang makan."         "Untung kamu mengingatkanku. Kalau tidak aku akan sangat menyesal."         Aster bergegas mengenakan jaketnya lalu berjalan bersama Amanda ke ruang makan. Anak-anak lain sudah bersiap di sana. Membuat kegaduhan seperti yang selalu mereka lakukan. Belum ada tanda-tanda kehadiran Miss Belly di sana, jadi wajar saja jika keadaan gaduh tidak terkendali.         "Aster, awas!" teriak seorang anak. Baru saja dia masuk ke dalam ruang makan, sebuah botol saus melayang. Hampir mendarat tapat di wajahnya. Untung saja tangan Aster bergerak dengan sangat cepat menangkap botol tersebut. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Entah bagaimana jika Amanda tidak mengingatkan soal jaket. Dan lagi bagaimana jika tangannya tidak bekerja dengan baik.         "Dave! Davin!" Aster merasa kesal. Dia berjalan cepat untuk menangkap kedua anak itu, namun si anak kembar bergerak terlalu lincah. Ditambah lagi Aster tidak ingin sampai terjatuh karena harus menginjak bagian bawah gaunnya itu. Semua orang di ruang makan tertawa-tawa melihatnya.         "Ayo semuanya duduk!" Suara Miss Belly dengan mudahnya membuat suasana menjadi kembali normal.         Semua orang duduk pada kursi masing-masing. Begitu pula dengan Aster. Meski beberapa bulan lalu dia sudah tidak tinggal di panti lagi, tapi kursinya tidak pernah ditempati oleh siapapun. Semua orang masih berharap bahwa Aster akan kembali lagi untuk tinggal bersama mereka.         Miss Belly tampak terburu-buru menuju bangkunya. Tersenyum sebentar disaat melihat Aster mengenakan gaun pemberiannya. Beberapa hari ke belakang hingga hari ini dia sedang disibukkan oleh kue-kue untuk pelengkap pesta, yang wanginya membuat d**a Aster semakin berdebar.         Mereka semua mulai makan setelah bedoa seperti biasa. Anak-anak makan dengan lahap. Miss Belly sesekali harus bolak balik ke dapur untuk menengok kue-kuenya. Di tengah suara garpu dan sendok yang berdentang, dia berbicara. "Anak-anak, jangan lupa setelah ini kalian mandi, berpakaian yang rapi, lalu bantu aku membawakan kue ke tempat pesta!"         "Memangnya ada pesta apa?" tanya gadis berkepang.         "Kamu lupa, ya? Hari ini ada pesta pernikahan!" timpal Dave.         "Aku sampai lupa! Berarti hari ini aku harus memakai gaun merah jambuku."         "Aku juga sudah menyiapkan pakaian yang akan kupakai."         "Pakaian milikku sama seperti milik Davin, loh!"         "Bukannya kalian selalu memakai pakaian yang sama?" sahut Aster. Membuat kedua anak itu terkekeh.         Genta yang duduk di sebelah kiri tiba-tiba mengenggam tangan Aster. Anak gemuk itu tersenyum. Pipinya tampak merona karena bahagia. "Tidak terasa, ya..."         Aster menoleh dan tersenyum. "Iya."         Waktu makan pagi selesai. Aster bergegas menuju dapur untuk membantu Miss Belly dengan kue-kuenya. Jajaran kue berwarna-warni tertata rapi di dalam toples besar. Di sampingnya, agar-agar keemasan yang berkilauan tampak menggugah selera. Selain itu masih ada kue lainnya yang tak kalah cantik dan tentu saja terlihat sangat lezat. Aster menelan ludahnya.         "Lebih baik bawa yang mana dulu ya..." tanyanya kepada diri sendiri.         "Apa yang kamu lakukan?" kehadiran Miss Belly mengejutkannya.         "Aku ingin membantumu membawakan kue."         "Tidak! Mana mungkin aku mengizinkanmu membawa kue dengan pakaian seperti itu?" Aster sedikit cemberut. "Ayo cepat pergi sebelum bajumu kotor!"         Wanita gemuk itu memperhatikannya hingga Aster benar-benar keluar dari dapur. Di saat yang bersamaan, Amanda berjalan cepat menuju ke arahnya. "Aster, ayo cepat! Katanya sudah ada yang mencarimu!" Amanda berbisik.         Mereka berdua bergegas keluar panti, menuju ke tempat yang telah disiapkan. Amanda membantu Aster membenarkan riasan rambutnya yang hampir copot, sembari memegangi lengan sahabatnya itu karena tidak terbiasa menggunakan highheels. Aster meringis karena jalannya masih belum terlalu lancar. Kakinya mulai merasa pegal dan sakit karena beberapa kali harus terkilir. Untung saja hal itu tidak menyebabkan cidera yang parah.         Seiring dengan hembusan angin laut, kedua sahabat itu berlari kecil dengan sangat hati-hati. Membuat suara-suara dentangan khas Oakland oleh hak pada sepatunya. Kini Aster tidak pernah bosan untuk mendengar suara itu. Beberapa hari ke belakang justru dia sengaja berlari mengelilingi kota hanya untuk mendengarkan suara-suara yang ada. Rasanya sudah lama sekali dia tidak berada di kota besi tersebut.         Hari ini adalah hari ke lima belas Aster berada di Oakland. Setelah petualangan terakhirnya di Dione, dia memutuskan untuk beristirahat sejenak. Sebenarnya bukan keinginan dari dirinya sendiri, melainkan permintaan dari Ethan. Alhasil, hampir satu bulan lamanya Aster sama sekali tidak pernah membahas mengenai misi baru atau apapun itu yang bersangkutan dengannya.         Waktu telah menunjukkan pukul tujuh lebih tiga belas. Empat puluh lima menit lagi acara akan dimulai. Aster bernapas lega karena dia sudah berada di depan sebuah gereja yang merupakan tempat tujuannya. Gadis itu berusaha menormalkan napasnya. Berjalan cepat menggunakan hak tinggi membuatnya merasa lebih lelah dibandingkan harus berlari memutar lapangan akademi berkali-kali.         Amanda pergi ke tempat lain saat dua orang temannya memanggil. Kini Aster terdiam seorang diri di depan bangunan tinggi tersebut. Di saat yang bersamaan, lelaki berambut pirang muncul di hadapannya. Aster melontarkan senyum manis kepadanya yang dibalas dengan hal serupa. Dia mulai berjalan, meraih tangan si lelaki yang terulur kepadanya. "Kamu cantik sekali," puji Alby.         "Terima kasih. Kamu juga."         "Aku juga?" Lelaki itu tertawa.         "Semoga kita selalu mendapatkan hari cerah seperti ini." Aster memeluknya.         "Iya. Semoga harimu menyenangkan, Aster."         "Terima kasih."         Aster melanjutkan langkahnya. Dia masuk ke dalam gereja yang pintunya sudah terbuka sejak tadi. Berbagai hiasan berupa bunga-bunga cantik bertebaran di mana-mana. Membuat besi yang terlihat membosankan tampak lebih indah. Pasti bunga itu baru saja dikirim dari Nibbana, pikirnya.         Di sudut ruangan terlihat bunga berwarna ungu yang dia kenal. Aster tersenyum melihatnya. Bunga kecil itu selalu berhasil menyita perhatian, sampai-sampai Aster tidak melihat keberadaan Ethan yang sedari tadi mematung memandanginya. Gadis itu bergegas berjalan cepat setelah menyadari sepasang mata yang memperhatikannya sejak tadi. Aster memeluk Ethan erat.         "Akhirnya kamu datang juga."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD