Chapter Tiga

1954 Words
        Aster melepaskan pelukannya sebelum mulai mencekik Ethan secara tidak sengaja. "Tadi kamu menjemputku ke panti?"         "Iya. Tapi mendadak harus ke sini cepat-cepat, jadi aku pergi duluan."         Aster menarik napas sembari tersenyum bahagia. "Senang sekali rasanya hari ini."         "Tentu saja kamu harus senang."         "Sampai-sampai aku tidak bisa tidur semalaman."         Ethan tertawa kecil. "Kenapa seakan kamu yang akan menikah hari ini?"         "Soalnya ini upacara pernikahan pertama yang aku hadiri. Ditambah lagi yang akan menikah adalah sahabatku."         "Aku sudah pernah menyaksikannya sekali. Kakak perempuanku. Dua tahu lalu."         "Ya. Kamu pernah menceritakannya."         Ethan tersenyum. "Ayo kita duduk! Acaranya sebentar lagi akan dimulai."         Aster dan Ethan mengambil tempat duduk di barisan kedua paling depan. Karena barisan terdepan sudah diisi oleh keluarga kedua pengantin. Alunan musik yang berasal dari piano mulai terdengar. Seorang lelaki sipit yang Aster kenal sedang memainkannya dengan penuh konsentrasi.         Aku baru tahu Jo bisa memainkan benda itu.         Orang-orang mulai masuk ke dalam gereja, bersiap di bangkunya masing-masing. Mereka sudah tidak sabar menanti kemunculan kedua pengantin yang sedang berbahagia pada hari ini.         Aster memandangi podium yang ada di depan gereja. Yang dia ketahui, nanti akan ada seseorang yang memandu jalannya acara pernikahan. Menjadi penengah serta pemersatu dari sepasang kekasih untuk membentuk sebuah keluarga baru. Setelah itu kedua mempelai akan mengucapkan sumpah-sumpah mereka, dan resmilah mereka sebagai suami isteri.         Sekelebat bayangan-bayangan yang merupakan khayalan Aster terasa tampak jelas pada matanya. Dia melihat dirinya berjalan memasuki gereja dengan gaun putih indah yang menjuntai ke lantai. Membawa seikat bunga aster pada tangannya. Tentu saja, dia akan memilih bunga itu sebagai temannya.         Dia berjalan pelan, pelan sekali menuju podium. Seorang lelaki tua yang menjadi penghulu sudah siap di sana. Berhadapan dengan seorang lelaki berjas putih bersih, serasi dengan gaun miliknya. Lelaki itu membalikkan badan, tersenyum ke arah Aster sembari mengulurkan tangannya.         'Akhirnya hari ini tiba ya. Aster...' ucap Edy lembut.         "Aster!"         Semua khayalan dalam kepalanya lenyap seketika. Bianca yang baru saja datang mengambil tempat di samping Ethan. Tentu saja dia datang bersama kekasihnya, Erik. "Hai! Kenapa kamu baru datang?"         "Tanyakan saja pada dia yang sulit sekali aku bangunkan." Bianca menunjuk Erik yang hanya mengangkat kedua alisnya.         "Apa kamu merasakan hal yang sama denganku?"         "Tentu saja! Bayangkan bagaimana aku memikirkannya semalaman."         "Ya! Aku sampai tidak bisa tidur."         Mereka berdua tertawa. Erik dan Ethan hanya terdiam agar tak perlu terlibat di tengah percakapan gadis-gadis.         "Umm, mungkin kamu mau bertukar duduk denganku?" tawarnya pada Aster. Ethan mulai merasa tidak nyaman berada di antara kedua gadis yang sedang asik bercerita.         Akan tetapi, Bianca bergegas menghentikannya sebelum berdiri. "Tidak, tidak usah. Terima kasih, Ethan."         Sesaat pembicaraan sempat terhenti. Bianca kembali berbicara saat dia mengingat sesuatu. "Ah, aku yakin kalian pasti belum berkenalan. Ethan, Erik. Erik, Ethan," ucapnya cepat kepada kedua pria di sebelah kanan-kirinya.         Ethan bersalaman dengan Erik. "Ethan ini teman sekolah Aster. Dan... sekaligus pacarnya."         "Oh! Tidak, bukan. Kita tidak...hahaha," Aster menimpali kata-kata Bianca dengan cepat.         Ethan hanya memaksakan senyuman sembari turut mengangguk-angguk. "Ya. Tidak. Kami tidak berpacaran."         "Hanya teman."         "Ya. Hanya teman." Mereka berdua bersahut-sahutan.         Bianca menangkap ekspresi aneh dari keduanya. Entah kenapa Aster harus mati-matian menyangkal hal tersebut, padahal yang dia tahu mereka berdua sudah sangat dekat sejak lama. Begitu pula dengan Ethan. Bianca tahu benar lelaki itu sangat menyukai Aster. Dalam matanya, Ethan terlihat mengiyakan dengan penuh keterpaksaan. 'Ada apa dengan mereka berdua?' tanya Bianca dalam hati.         Aster menggigit bibir bawah sebelah kirinya sambil mengarahkan pandangan ke podium. Pasti ada sesuatu yang dia pikirkan. Sementara Ethan melakukan hal yang sama, terdiam entah menatap apa.         "Kamu memilih pilihan yang tepat. Aku tidak menyarankan untuk berpacaran dengan gadis itu," ucap Erik kepada Ethan yang langsung tertawa mendengarnya. "Kau tahu, dia sangat keras kepala. Dan selalu berbuat nekat. Aku khawatir dunia ini akan kiamat karena ulahnya," bisik Erik. Ethan kembali tertawa.         "Apa yang kalian bicarakan?" Aster merasa penasaran, padahal dia bisa mendengar dengan jelas apa yang Erik katakan.         Suara hiruk-pikuk orang-orang bertambah ramai. Mata mereka semua tertuju pada mempelai pria yang baru saja keluar dari ruangan di pojok kanan depan gereja. Lelaki itu berjalan pelan hingga ke depan podium. Aster tersenyum ke arahnya sembari melambaikan tangan. "Hai, Tony!" sapanya tanpa suara. Lelaki itu membalas dengan senyuman.         Kini pandangan Aster terarah pada pintu masuk gereja. Pasti sebentar lagi si pengantin wanita akan masuk, pikirnya.         Semua orang semakin ribut ketika sesosok wanita bergaun putih mulai melangkahkan kaki ke dalam ruangan. Rambut ikalnya yang cantik tertata rapi di atas kepalanya. Sehelai kain tipis transparan menutupi wajahnya. Tapi Aster tetap bisa melihat kecantikan dari sahabatnya itu.         Sepanjang prosesi pernikahan tak kunjung membuat Aster berhenti tersenyum. Rona kebahagiaan mewarnai wajahnya. Dia mengawang sangat jauh. Melompat ke setahun ke depan, di mana seorang bayi mungil akan terlahir ke dunia. Dan dia akan segera menjadi seorang tante. Rasanya tidak sabar menanti hari-hari itu, bayangnya. Aster sangat ingin ikut serta dalam memilih nama untuk anak Tony dan Mellisa nanti.         'Sepertinya aku berpikir terlalu jauh,' ujarnya dalam hati.         Acara dilanjutkan di luar gereja. Semua orang berpindah ke sebuah tempat yang berada tepat di sampingnya. Berbagai makanan lezat terpajang di atas bangku-bangku yang tersusun rapi. Hampir semuanya merupakan buatan Miss Belly, yang sudah terkenal dengan kemampuan memasaknya. Semua tampak tidak sabar untuk segera menghabiskan makanan yang ada.         Akan tetapi, sebelum memutuskan untuk menyicipi berbagai makanan tersebut, para gadis tengah disibukkan oleh sesuatu. Sang pengantin wanita terlihat berdiri di dekat tembok gereja, sementara gadis lainnya berkumpul di hadapannya.         Mellisa membawa sebuah buket bunga. Membalikkan badan membelakangi kerumunan sebelum akhirnya melemparkan bunga tersebut ke belakang. Para gadis mulai berteriak. Tangan mereka terangkat ke udara, berusaha menggapai si ikatan bunga yang melayang di atas kepala. Aster dan Bianca turut serta meski mereka tidak benar-benar menginginkannya. Hanya sekedar ingin turut serta meramaikan acara.         Aster merasa yakin dapat menangkap buket bunga yang dilempar itu, kalau saja tidak ada sepatu berhak tinggi yang menempel pada telapak kakinya. Kakinya hampir terkilir setelah mencoba untuk melompot. Membuat badannya terhuyung, keluar dari kerumunan. Aster kesulitan menyeimbangkan badan, kakinya yang terus bergerak sepontan membuat badannya semakin mundur. Untunglah Ethan dengan sigap menangkap punggung Aster sebelum dia benar-benar terjatuh di atas permukaan besi Oakland.         "Oh, maaf Ethan."         "Kamu tidak apa-apa?"         "Ya. Aku baik-baik saja. Hanya tidak berhasil mendapatkan buket bunganya."         Aster dan Ethan memandang ke arah kerumunan gadis-gadis. Buket pemberian sang pengantin kini sudah berada di dalam genggaman Bianca. Gadis itu tertawa sembari melambaikan bunganya ke arah Aster.         Bianca berjalan cepat ke arah Aster, memberikan buket bunga tersebut ke dalam pelukannya. Hal itu membuatnya bingung. "Tidak, tidak. Ini milikmu!"         "Sekarang menjadi milikmu, karena aku sudah memberikannya. Kamu menginginkannya bukan?"         "Tidak juga..."         "Lagipula, bunga itu pasti akan langsung berakhir di tempat sampah, karena Erik tidak pernah mau membawa pulang benda seperti itu," bisiknya kepada Aster.         "Kalau begitu, terima kasih." Aster memandangi warna-warni bunga yang indah.         Pasti gadis-gadis itu sangat menginginkan benda yang belum pernah mereka lihat sebelumnya itu. Sebelum menemukan Nibbana, tentu saja tidak pernah ada yang menggunakan bunga sebagai pelengkapan dari acara pernikahan. Hal itulah yang membuat acara hari ini terasa lebih spesial.         "Kalian tahu ada sebuah kepercayaan dibalik buket bunga?"         "Apa itu?" tanya Aster yang penasaran terhadap kata-kata Ethan.         "Aku pernah membaca soal ini. Katanya, dahulu di setiap acara pernikahan memang rutin diadakan pelemparan buket bunga oleh pengantin wanita. Dan siapa saja yang menangkapnya tidak lama lagi akan segera menikah."         "Benarkah?" Bianca sedikit tertawa.         "Tergantung. Tergantung apakah kamu mempercayainya atau tidak."         "Kalau si orang yang beruntung memberikan buket bunganya, apakah hal itu juga akan berpindah kepada si pemilik yang baru?" tanya Aster.         Ethan mengangkat kedua bahunya. Sementara Bianca berusaha meminta kembali buket bunga miliknya. "Kalau begitu aku akan meminta benda itu kembali."         "Tidak bisa. Kamu sudah memberikannya kepadaku."         "Kamu bilang tidak menginginkannya."         "Aku bohong."         Aster menyembunyikan bunga tersebut di balik badannya.         "Ah, Tony!" Bianca berseru, melambaikan tangan kepada seseorang di belakang Aster. Hanya saja tidak tampak ada siapapun setelah Aster membalikkan badan. Disaat gadis itu lengah, Bianca bergegas mengambil bunganya kembali, dan segera menyembunyikannya di balik badan.         "Kamu menipuku, ya? Ayo kembalikan!" Aster berusaha merebut kembali bunganya.         Bianca tertawa-tawa sembari terus menghindar. Dia akhirnya memukulkan buket bunga itu pada kepala Aster dengan pelan. "Lebih baik pintalah pada Ethan, daripada kepada seikat bunga," ucap Bianca beberapa saat sebelum pergi.         "Apa maksudnya?" gerutu Aster sembari membereskan rambutnya. Dia sedikit tersipu setelah mencerna kata-kata yang dia dengar. Lelaki yang ada di sampingnya hanya tertawa sedari tadi melihat dua gadis yang terlalu sibuk memperebutkan bunga. Dia mengambil sehelai daun yang terjerat di antara rambut hitam Aster.         Musik mulai dinyalakan dengan keras. Semua orang berkumpul berpasangan untuk berdansa. Aster meminta izin Mellisa untuk bisa berdansa dengan suaminya. Tidak ada alasan bagi pengantin wanita itu untuk menolak.         "Bagaimana perasaanmu, Tony?"         "Luar biasa."         "Kamu harus mengunjunginya dalam waktu dekat untuk memberitahukan mengenai kabar ini!"         "Siapa?"         "Siapa lagi."         Tony terdiam, sembari melanjutkan dansanya bersama Aster. Menikmati alunan musik yang membuatnya bergelak perlahan, seirama dengan dawai angin laut.         "Dia pasti sudah tahu sejak lama."         "Hmm?"         "Beberapa hari sebelum pertempuran di Nibbana terjadi, aku sempat tenggelam dalam keputusasaan. Kamu pasti tahu bagaimana rasanya ketakutan saat berpikir sudah tidak ada lagi harapan untuk kita. Saat itulah Edy mulai menyemangatiku. Dia tidak pernah berpikir bahwa kita tidak akan memenangkan pertempuran. Hingga dengan mudahnya dia berkata, 'Dengar Tony. Aku sangat yakin kita akan menang. Saat itu terjadi, kamu harus berjanji akan segera melamar Mellisa!'." Tony tertawa mengingat-ingat kenangan masa lalunya. "Aku ingat betul wajah kesalnya saat menghadapiku waktu itu."         "Ternyata kamu bisa tertekan juga, ya? Kupikir hidupmu sudah sangat teratur hingga tak pernah merasa terpuruk."         "Kamu kira aku tidak punya perasaan?"         Aster tertawa. "Dia juga pasti sedang berbahagia menyambut hari ini." Aster menghela napas. Menempelkan kepalanya pada bahu Tony.         "Aku sangat berharap dia bisa datang dan memberikan pidato singkatnya."         Pada awalnya Tony sangat berharap Edy menjadi perwakilan dari sahabatnya untuk menyampaikan pidato di hari spesialnya. Tapi apa daya, takdir ternyata berkata lain. Akhirnya, Simon lah yang menggantikan Edy melakukan tugasnya.         "Aku tidak pernah bosan mendengar kata-kata yang diucapkannya."         "Bagaimana denganmu? Aku cukup terkejut saat tahu bahwa kamu sudah tidak bersama anak berambut pirang itu," Tony berusaha mengalihkan pembicaraan.         "Banyak sekali hal yang terjadi. Maaf aku tidak pernah menceritakan hal itu. Mungkin nanti."         "Lalu, dengan sekarang?"         "Sekarang? Bukan waktu yang tepat untuk membicarakannya, Tony."         "Bukan," sahut Tony dengan cepat. "Maksudku, kamu sudah bersama orang lain lagi?"         Aster menggeleng. "Aku tidak sedang memikirkan mengenai hal itu."         "Kupikir kamu dan teman sekolahmu itu..."         "Tidak." Aster menghentikan gerakan kakinya. Menegakkan badan sembari memegangi kedua lengan atas Tony. Dia tersenyum kecut. "Selamat ya, Tony. Semoga kamu dan Mellisa selalu hidup bahagia dan tetap menjadi sahabat baikku."         "Aku mendoakan hal yang sama untukmu." Tony mengusap-usap kepala Aster pelan.         Edy, suasana ini membuatku sedikit tidak nyaman. Rasanya menginginkan sesuatu yang sudah tak bisa dicapai itu rasanya... menyesakkan. Meski tidak seharusnya aku merasa seperti ini di saat sahabatku berbahagia, tapi, aku tetap tidak bisa membohongi perasaanku sendiri. Sejujurnya, d**a ini masih terasa hampa. Masih menyisakan sebuah lubang yang entah kapan akan segera terutup kembali. Sepertinya hari ini lubang itu sedikit terbuka. Karena, aku mulai merasakan perasaan yang tidak seharusnya kuingat lagi. Aku merindukanmu...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD