Aster mengunyah daging sapi dengan susah payah. Makanannya diangkat dari pembakaran terlalu cepat, mungkin karena penduduk Oakland belum terbiasa mengolah makanan yang berasal dari daging sapi. Meski begitu, dia menikmati santapan makan siangnya itu. Daging sapi yang alot memberikannya waktu untuk mengunyah lebih lama. Hingga mulutnya tak bisa digunakan untuk berbicara.
Hari ini Ethan mengajak Aster makan siang bersama di rumahnya. Tentu saja gadis itu merasa senang karena baru pertama kali menerima undangan makan bersama keluarga temannya. Akan tetapi, hal itu pulalah yang membuatnya merasakan kecanggungan.
Ethan tinggal bersama orang tua serta dua kakak perempuan. Salah satu yang paling tua sudah menikah dan memiliki seorang bayi. Mereka semua tinggal dalam satu rumah yang sama.
Ayahnya bernama Ryan, seorang profesor yang bekerja di badan penelitian bumi dan sumber daya alam kota Oakland. Terlihat raut wajah ketegasan yang berhasil membuat Aster merasa segan terhadapnya. Sedangkan ibunya bernama Katrina, seorang ibu rumah tangga yang ramah, lemah lembut, begitu melengkapi sisi yang hilang dari suaminya itu.
Di tengah meja makan, suasana begitu terasa ramai dan hangat. Kakak perempuan Ethan senang sekali mengganggu adik lelakinya itu. Sesekali wajah Ethan dibuat tersipu oleh candaannya.
Marcel, si kakak tertua terlihat sangat dewasa. Tentu saja, karena dia sudah memiliki seorang anak perempuan di pangkuannya. Suaminya, Andre merupakan seorang nahkoda. Aster baru tahu kalau selama ini Andre selalu menjadi orang yang mengemudikan kapal barang menuju Nibbana. Bahkan dia sudah kenal dekat dengan Tony, yang merupakan kepala distribusi barang antara Oakland dan Nibbana.
Kakak Ethan satunya lagi bernama Laura. Dia berumur empat tahun lebih tua. Dari perkataan serta gerak geriknya dapat dikenali bahwa Laura merupakan perempuan yang enerjik, ceria, dan tentu saja cerdas. Tampaknya semua keluarga Ethan dianugerahi kemampuan lebih pada kepala mereka. Mungkin karena orang tua mereka pun merupakan orang-orang cerdas di kota. Meski telah menjadi ibu rumah tangga, dulunya ibu Ethan sempat bekerja pada perusahaan yang sama dengan suaminya. Di tempat itulah pertama kalinya mereka bertemu.
"Sekarang kamu tidak meneruskan sekolah?" Ryan memulai interogasi.
"I-ya." Bahkan Aster yang selalu percaya diri bisa dibuat begitu tegang saat berhadapan dengan ayah Ethan tersebut.
"Jadi, apa yang kamu lakukan di Nibbana?"
"Aku mengajar di sekolah dasar."
"Kamu menjadi guru? Hebat sekali," komentar Katrina. Aster tersenyum menimpalinya.
"Dalam bidang apa?" Ryan kembali bertanya.
"Hmm, macam-macam. Tapi, lebih sering sejarah."
"Kamu masih muda. Kenapa tidak menyelesaikan sekolahmu saja?"
"E...emm."
Kali ini Ryan telah men-skakmat-nya. Bahkan Aster tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Rasanya ada binatang buas yang siap menerkam jika jawabannya tidak sesuai dengan harapan si penanya.
"Ayah, santai sajalah. Kamu membuat Aster tegang!" kata Laura setelah melihat ekspresi penuh ketegangan dalam wajah gadis itu.
Terima kasih Laura, kamu pahlawanku!
"Ngomong-ngomong, kamu sempat satu kelas dengan Ethan kan? Bagaimana anak itu jika di sekolah?" tambahnya sembari menunjuk Ethan menggunakan garpu.
"Apa maksudmu, Laura?" protes Ethan.
"Ethan sangat pintar. Brilian! Semua orang menyukainya, terutama para gadis-gadis." Laura tertawa. "Tapi terkadang dia sangat jahil."
"Oya?" tawa Laura semakin keras.
"Laura, jaga sikapmu!" Ibunya menegur dengan halus.
"Maaf, aku hanya tidak bisa membayangkan saat kamu bilang bahwa Ethan jahil." Nada bicaranya mulai terdengar seperti berbisik. "Kamu harus tahu, Aster. Kenyataannya dia anak yang membosankan. Selalu saja membaca buku di dalam kamar. Meski sesekali dia berlatih beladiri, tapi belum pernah aku melihatnya bermain dengan teman-temannya yang lain."
"Membosankan...?" Aster melirik sebentar pada Ethan yang sedikit tertunduk malu, namun berusaha menyembunyikannya.
"Membosankan! Makanya, aku sedikit terkejut sewaktu dia bilang akan mengajak seorang teman makan siang, dan ternyata orang itu adalah kamu. Seorang perempuan! Sepertinya dia menyukaimu!" jelasnya dengan nada lucu.
"Tutup mulutmu!" Ethan melempar sehelai serbet ke arah Laura yang kembali tertawa. Aster turut tertawa pelan karena baru pertama melihat wajah tersipu Ethan.
"Ethan! Laura!" tegur Katrina lagi.
Perlahan tapi pasti. Aster bukan orang yang sulit berbaur dalam lingkungan baru. Oleh karena itu, beberapa saat kemudian dia sudah bisa bercanda lebih lepas, bahkan bersama Ryan yang sebenarnya sangat ramah. Mereka menebar tawa di tengah acara makan siangnya. Meski daging sapi yang menjadi menu utama itu terasa alot, yang terpenting pembicaraan mereka semua tidak pernah menjadi alot.
"Maaf ya. Laura memang seperti itu. Sejak kecil aku tidak pernah bisa menang melawan perkataannya, bahkan tidak jarang hingga membuatku menangis."
"Sampai sekarang?"
"Tentu saja tidak."
Aster pun tertawa. Sesaat setelahnya, dia memandangi buku-buku yang ada di sekeliling kamar Ethan. Dindingnya sengaja dibuat sebagai rak tempat jajaran buku yang berbaris rapi. Kali ini Aster tahu alasan kenapa temannya itu sangat cerdas. Sebelum bertemu dengannya, Ethan tidak pernah menghabiskan waktu dengan teman-teman sebayanya yang lain. Dia lebih senang menyendiri untuk menyantap barang bacaannya.
"Dari mana kamu dapatkan buku-buku itu?"
"Diberikan turun temurun dari ayahku, kakekku, dan orang sebelumnya."
"Apa kamar kakak-kakakmu juga seperti ini?"
"Tentu saja tidak. Marcel lebih suka memasak daripada membaca. Sementara Laura, hanya tertarik dengan hal yang berbau musik."
"Aku senang sekali kedua kakakmu itu terlihat sangat menyayangimu."
"Hmm..." Ehan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Aster bangkit dari kursi. Berjalan ke arah rak buku di dekat jendela. Dia mengambil salah satunya yang berwarna hijau. Sampulnya sudah sangat usang, bahkan banyak halaman yang robek. Sepertinya buku itu sudah terlalu sering dibaca oleh pemiliknya.
'Manusia dan Lingkungan' demikian judul yang tertera pada sampul tersebut.
Semakin sering sebuah buku dibuka, hal tersebut mendukung bahwa buku itu sangat menarik. Aster tidak pernah bisa menahan diri untuk tidak menyantapnya juga. Mungkin buku itu akan segera dipinjamnya setelah ini, pikir Aster.
"Sepertinya buku ini menarik sekali. Boleh aku pinjam?"
"Bawa saja sesukamu. Itu merupakan salah satu buku favoritku. Sebelum aku bisa membaca, kakek yang membacakannya. Ada satu kalimat yang masih kuingat hingga sekarang bahwa manusia membutuhkan lingkungan untuk hidup, begitu juga dengan lingkungan, dia membutuhkan manusia untuk tetap hidup."
"Baiklah, kamu berhasil membuatku tambah penasaran. Buku apa lagi yang bisa kamu rekomendasikan untukku?"
"Cari buku berwarna merah yang berjudul rahasia lautan!"
Aster menggunakan jari telunjuk tangan kirinya untuk menyusuri punggung buku. Membaca satu-persatu judul buku untuk menemukan yang dicarinya. Beberapa saat Ethan terdiam memandangi gadis yang sedang sibuk mencari mangsanya itu. Dia bangkit dari kasur, mulai berjalan dan berhenti di belakang punggung Aster.
Lelaki itu meraih tangan Aster yang masih bergerak mencari buku, lalu mengenggamnya. Membuat Aster harus menghentikan kegiatannya. Hal selanjutnya yang dia lakukan adalah memeluk gadis itu, tanpa mengeluarkan kata-kata sedikit pun. Ethan memejamkan mata, dagunya bersandar pada bahu gadis dalam pelukannya.
Aster terdiam seribu bahasa. Dia ingin bergegas lari dari pelukan itu, sekaligus ingin tetap diam menikmatinya. Sejak lama Aster sadar Ethan menaruh perasaan padanya. Perasaan yang tidak pernah bisa dia balas. Padahal, jika ingin jujur, dia pun sangat menyukai lelaki itu. Entah kenapa Aster memilih untuk menyimpan hal tersebut seorang diri. Ada sebuah perasaan yang seakan memaksa untuk melakukannya. Entah perasaan apa itu.
"Ethan," suara Aster terdengar sangat kecil.
Pikiran lelaki tersebut bergegas kembali ke dunia nyata. Dia segera melepaskan pelukan yang seakan dilakukan dalam keadaan setengah sadar. Lalu memundurkan langkah dan membalikkan badannya. "Maaf," ucapnya.
Aster membalikkan badan. Kini dia yang berbalik menatap punggung Ethan. "Tidak. Aku yang harus meminta maaf."
Hingga saat ini pun, Ethan merasa diabaikan oleh Aster yang sudah mengetahui dengan jelas mengenai perasaannya. Mungkin Aster masih memiliki perasaan pada Alby. Atau bahkan berniat untuk kembali kepadanya. Hal tersebut yang dirasa paling masuk akal bagi Ethan, itu kenapa hingga sekarang perasaannya tidak kunjung terbalaskan.
"Umm, aku ingin pergi ke perpustakaan sekolah. Apa kamu mau ikut?" tanya Aster setelah susah payah mencari topik pembicaraan baru. Dia mulai khawatir karena Ethan terlihat berpikir terlalu lama untuk menjawab pertanyaan sederhananya itu.
"Boleh saja. Tidak ada yang akan aku lakukan hari ini."
"Bukannya selalu tidak ada yang kamu lakukan setiap hari?"
Ethan kembali tertawa. Membuat Aster merasa lebih lega.