Siang itu penduduk kota ramai berkegiatan ke sana ke mari. Hanya saja kondisi perpustakaan selalu saja sama, tenang, sepi, tidak ada yang mau menghabiskan waktu di dalam sana. Debu bertumpuk semakin tebal di tiap raknya. Hal tersebut semakin bertambah parah setelah Aster mulai pindah ke Nibbana dan tidak pernah mengunjunginya lagi.
“Apa yang kamu cari?” tanya Ethan.
“Kamu masih ingat hal yang pernah aku ceritakan tempo hari? Tentang kata ‘orion’.”
“Oh, ya! Biar aku bantu.”
Mereka berdua berjalan ke arah rak buku astronomi. Aster membawa beberapa di antaranya. Menumpuk di dalam pelukannya yang tidak terlalu besar. Ethan membantu untuk membawakan beberapa, karena sepertinya banyak sekali yang ingin Aster baca.
“Apa tidak sebaiknya kita mengambil beberapa dari kumpulan buku kamus?”
“Ide bagus, Ethan.”
Setelah puas berburu buku yang sekiranya dapat membantu pencarian, Aster berjalan menuju ke sebuah bangku. Tempat itu selalu dia gunakan setiap kali pergi ke sana. ‘Brug’ buku-buku itu dijatuhkan ke atas meja besi. Suaranya menandakan bahwa tumpukan tersebut sangat berat.
Debu berterbangan saat buku menimpa meja. Bahkan Aster harus sedikit membersihkan kursi agar celananya tidak perlu terkotori. Dia terbatuk-batuk saat tangannya mengusap permukaan kursi. Sebenarnya tempat duduk itu belum bersih sepenuhnya, namun Aster sudah tidak bisa menunggu untuk segera melahap satu-persatu lembaran di atas mejanya.
Buku-buku itu masih sangat bagus, hanya saja mulai usang karena tidak pernah ada yang membukanya. Aster sedikit merasa kasihan kepada mereka. Andai saja dia memiliki banyak waktu luang, ingin sekali dihabiskan hanya untuk membaca semua buku yang ada. Sayangnya masih banyak hal yang lebih penting daripada terus mendekam di dalam perpustakaan dan membuat dirinya sendiri sama-sama terlapisi debu.
Aster memulai pencarian dari sebuah buku kamus. Dia membukanya, mencari deretan kata yang dimulai dari huruf ‘O’. Sementara Ethan langsung bergabung setelah menenteng beberapa buku lain.
“Nama salah satu rasi bintang,” Aster mengeja tulisan yang dibacanya.
“Hanya itu?”
“Hanya itu saja. Sepertinya tidak ada sesuatu yang bernama orion selain rasi bintang.”
“Ya sudah, tidak ada salahnya kita membaca informasi mengenainya.”
Dibukalah buku astronomi bagi pemula. Mencari kata orion yang dapat ditemukan dengan mudah. Ethan membaca tulisannya keras-keras. “Orion adalah suatu rasi bintang yang disebut sebagai sang pemburu. Rasi tersebut menggambarkan sang pemburu yang berdiri di sebelah sungai Eridanus dengan dua anjing pemburunya, Canis Major sang anjing besar, serta Canis Minor, sang anjing kecil. Mereka melawan Taurus, sang kerbau. Buruan lainnya seperti Lepus, si kelinci juga ada di dekatnya.”
Aster terdiam, memandangi gambar rasi bintang pada buku di hadapannya, sembari mendengarkan suara Ethan.
“Ada yang kamu dapatkan?”
“Aku tidak bisa mengerti apapun dari penjelasan itu, Ethan.”
“Sepertinya kita tidak bisa hanya mengandalkan buku-buku ini.”
“Ada cara lain yang menurutmu lebih baik?”
“Ya. Tapi ini bukan ideku, melainkan hal yang ingin kamu lakukan sedari waktu itu.” Aster bertanya-tanya karena sudah melupakan hal yang dimaksud oleh Ethan. “Kamu pernah bertanya tentang tetua di kota ini bukan? Kurasa jika kita bisa menemukannya, akan sangat membantu penyelidikan ini.”
“Kamu benar Ethan! Aku hampir melupakannya!” seru Aster dengan penuh semangat. “Itu berarti kita harus mulai mencari tempat yang memiliki data seputar penduduk. Apa mungkin di kantor walikota?”
“Seharusnya benda itu ada di sana. Tapi, menurutku kita bisa menemukannya juga di sini. Ayo ikuti aku!”
Ethan berjalan ke ujung ruangan perpustakaan. Dia memandangi sebuah pintu yang memiliki tulisan ‘pusat data kota’. Aster belum pernah masuk ke ruangan tersebut. Dia tidak terlalu tertarik kepada segala hal yang berkaitan dengan administrasi kota. Ditambah lagi, dia berpikir ruangan tersebut pasti sangat gelap dan menyeramkan. Karena setiap kali datang ke perpustakaan dia selalu sendiri, jadi Aster tidak ingin mengambil resiko untuk memasukinya.
Pintu besi tersebut sudah terlalu lama tidak dibuka. Ethan kepayahan memutar kenopnya, padahal pintu sama sekali tidak dikunci. Bahkan tenaganya yang terlalu besar membuat kenop pintunya patah. Ethan dibuat kesal, dan memilih untuk membuka paksa dengan cara mendobraknya.
Pada percobaan pertama, pintu hanya bergeser beberapa mili, begitu pula dengan usaha ke dua. Akan tetapi, pada akhirnya pintu bisa terbuka saat Ethan mencoba untuk yang ketiga kalinya.
Daun pintu terdorong sangat keras. Menabrak tembok besi dan menimbulkan suara yang kurang enak didengar. Debu-debu berterbangan, membuat mereka berdua terbatuk-batuk. Aster bergegas menutup hidungnya menggunakan telapak tangan kanan.
Ruangan tersebut sangat gelap. Hanya terdapat seberkas cahaya dari sebuah jendela kecil yang menyusup ke dalam sana. Mereka harus terdiam beberapa saat untuk menyesuaikan pandangannya sebelum masuk.
Tidak banyak rak buku yang ada. Ruangannya pun jauh lebih kecil di bandingkan ruang utama perpustakaan tersebut. Tapi mereka justru bersyukur, karena tidak perlu kerepotan mencari terlalu lama.
Mereka berdua berbagi tugas. Aster menyusuri bagian di sebelah kanan, sementara Ethan di sebelah kiri. Mereka berusaha membaca satu persatu judul yang ada di punggung buku dengan penerangan seadanya.
Manajemen Perancangan Pembangunan Kota... Struktur dan Infrastruktur Kota Oakland... Rencana Struktur Pemerintahan... Apa buku yang kucari benar-benar ada?
Aster belum bisa mendapatkan apapun hingga Ethan lebih dulu memanggil namanya. Dia bergegas berjalan ke sumber suara. Melihat buku yang sedang dibaca oleh temannya itu. “Data kependudukan lima tahun pertama setelah Oakland dibangun!”
“Sepertinya kamu mendapatkan apa yang kita cari.”
“Lebih baiknya lagi kita memiliki lukisan wajah mereka di sini. Tapi, sebaiknya kita membacanya di luar. Di sini gelap sekali.”
Aster mengambil alih buku dari tangan Ethan. Membawanya ke bangku yang semula ditempatinya. Dia bergegas menyusuri halaman awal dari buku tersebut. Ada sebanyak empat buah lukisan wajah di bawah judul ‘para pendiri’. Semuanya tampak masih muda, mungkin berumur sekitar dua puluh tahun. Dua diantaranya adalah seorang wanita.
Aster memperhatikan lukisan-lukisan tersebut dengan seksama. Yang paling kiri adalah wanita bernama Anne, rambutnya pendek ikal, berkulit hitam dan berbibir tebal. Satunya lagi bernama Naomi, bermata sipit seperti Johan dan memiliki rambut lurus panjang yang diikat. Kemudian pandangannya berganti kepada lukisan lelaki bernama August. Wajahnya dipenuhi janggut dan kumis, meski begitu Aster tahu umurnya tidak melebihi Tony atau Simon. Dan yang terakhir bernama Josh. Lelaki tersebut memiliki tanda yang mencolok. Pada lehernya terdapat sebuah tato berbentuk seekor capung.
Lembaran berikutnya terdapat lebih banyak nama yang pastinya merupakan anak dari para pendiri. Aster bergegas mengambil sehelai kertas kosong serta pensil yang selalu dia bawa di dalam saku celananya. Dia menuliskan nama dari orang-orang yang ada di dalam buku.
“Sekarang kita harus pergi ke tempat lain.”
“Ke mana?”
“Mungkin ke panti jompo. Aku harap salah satu dari orang-orang ini masih ada, terutama para pendiri. Hmm, meskipun aku tidak yakin para pendiri itu masih ada. Setidaknya kita bisa mendapatkan sesuatu dari para tetua lainnya.”
Letak panti jompo tidak jauh dari gedung walikota. Aster sering melewatinya, namun belum pernah masuk ke dalamnya sama sekali. Dia tidak pernah bisa memandangi para orang tua yang bahkan untuk berjalan pun sudah kepayahan. Air matanya seakan ingin mengalir karena menyaksikan hal tersebut. Oleh karena itu, kali ini Aster langsung mencari pengurus panti sesaat setelah sampai di sana. Tanpa membiarkan matanya menangkap hal menyedihkan di sekitarnya.
“Adakah nama yang kamu kenal di antara orang-orang ini?”
Si pengurus panti jompo menggeleng setelah memperhatikan satu persatu nama yang ditulis Aster. “Aku tahu beberapa nama, tapi mereka sudah meninggal.”
“Semuanya?”
“Setahuku seperti itu.” Kertas dengan deretan nama-nama itu kembali ke tangan si penulisnya. “Maaf aku tidak bisa banyak membantu.”
“Kalau begitu, bisa aku bertemu dengan orang yang paling tua di sini?”
Si pengurus panti memandangi Aster dengan penuh tanda tanya. Seakan rasa curiga mulai menjalari perasaannya. “Kulihat tadi April sedang makan di kamarnya.”
“Bisa aku bertemu dengannya, sebentar saja?” tanya Aster penuh antusias.
Namun, si pengurus panti tampaknya tidak membuat rencananya berjalan dengan lancar. “Maaf, tapi dia sedang kurang sehat. Lagipula, aku tidak bisa memasukkan orang sembarangan.”
“Aku hanya ingin berbicara sebentar dengannya.”
“Dan aku hanya ingin menjalankan instruksi yang ada. Tidak diperkenankan seenaknya membawa masuk orang asing.”
“Orang asing?” ujar Aster yang sedikit tersinggung. “Aku penduduk di sini!”
“Maaf, tapi ini peraturan tempat ini.”
“Apa sulitnya membiarkanku untuk menanyakan satu atau dua pertanyaan saja? Setelah itu aku akan pergi dan tidak pernah kembali lagi.”
Si pengurus tampak mencari-cari sesuatu tanpa mendengarkan kata-kata Aster. Dia melambaikan tangan pada lelaki bertubuh besar yang muncul dari balik ruangan. Lelaki tersebut mengambil alih keadaan. Dia memaksa Aster dan Ethan untuk keluar dari ruang depan panti. Tentu saja gadis itu tidak bisa menurut dengan mudah. Dia tetap bersikeras untuk bisa bertemu dengan orang tertua di tempat itu, yang mungkin merupakan satu-satunya narasumber penting untuk penyelidikannya.
“Sudahlah Aster, lebih baik kita keluar.” Ethan tahu keadaan bisa menjadi lebih parah jika mereka memaksakan diri untuk tetap berada di sana.
“Aku bisa berjalan sendiri!” bentak Aster kepada lelaki bertubuh besar yang memegangi lengannya.
Ethan mengekor di belakang Aster yang berjalan cepat karena marah. Gadis itu terus berjalan entah menuju ke mana. Yang jelas Ethan tahu kaki Aster pasti bergerak karena emosi. Berusaha menjauh dari tempat yang sepertinya akan selalu dihindarinya setelah ini.
“Aster!” Ethan memanggil gadis yang berjalan di hadapannya.
Aster sama sekali tidak merespon dan terus berjalan sembari menggerutu kesal. Kepalanya sedikit tertunduk, tidak memandang ke arah jalan di hadapannya. Seseorang bertudung yang saat itu tengah melintas harus menjadi korban dari kecerobohan Aster.
“Aster!” panggil Ethan lebih keras. Tapi sayang tabrakan tersebut tidak terelakkan.
Tubuh Aster ambruk di atas lantai besi, begitu pula dengan orang yang ternyata seorang kakek-kakek. Ethan lebih dulu membantu sang pria tua berdiri, karena tampaknya dia sudah kesulitan untuk melakukannya seorang diri. Aster bergegas bangkit dan mendekat untuk meminta maaf.
Pria tua tersebut sama sekali tidak marah, dia justru terlihat panik. Akibat tabrakan tadi, tudung kepalanya terlepas. Dia bergegas memasangnya kembali sembari terlihat sedikit ketakutan entah karena apa.
Apel-apel bergelimpangan di sekitarnya. Si pria tua kembali memungutinya satu-persatu tanpa berbicara sepatah kata pun. Ethan segera membantu. Sementara Aster terus meminta maaf hingga kakek itu pergi dari hadapannya. Hanya saja ada hal yang membuatnya terdiam sejenak. Dia merasa ada hal penting yang tak lama lagi akan menjauhinya.
“Ada apa, Aster?” tanya Ethan kebingungan.
“Apa kamu juga melihat apa yang kulihat tadi?”
Kata-kata gadis itu mulai membuat Ethan kebingungan untuk mencernanya. “Um... Melihat apa?”
“Tato itu, Ethan!”
“Tato? Tato apa?” tanyanya semakin heran.
“Orang itu bertato sama seperti salah seorang dalam lukisan di buku!”
Aster dan Ethan saling berpandangan satu sama lain. Mereka terdiam, seakan tengah berbicara dalam kepala. Tampaknya mereka telah mengambil sebuah keputusan, bahwa sekarang harus bergegas mengejar si pria tua sebelum sosoknya menghilang di tengah keramaian.
Aster mengayuh kakinya secepat mungkin, begitu pula dengan Ethan. Untung lah pria tersebut kelihatannya sudah tidak bisa lagi berlari secepat saat dia masih muda dulu. Memberikan Aster dan Ethan kesempatan untuk dapat mengejar ketinggalan.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk menemukannya. Pria dengan tudung itu dengan mudah terdeteksi dari dalam keramaian. Aster berusaha untuk tidak melepaskan pandangannya dari orang tersebut. “Tunggu!” katanya dengan sedikit berteriak.
Si pria tua sesaat menolehkan wajah, pertanda bahwa dia dapat mendengar panggilan Aster. Namun dia bergegas lari setelah melihat ada orang yang sedang mengejarnya. Seakan kedua orang yang ada di belakangnya itu ingin menyakitinya. “Tolong tunggu sebentar!” ucap Aster lagi.
Entah kenapa kakek tersebut tidak kunjung menghentikan larinya, meski sebenarnya Aster bisa dengan mudah menangkapnya. Hanya saja dia tidak ingin orang-orang mengira mereka berdua sedang melakukan sesuatu terhadap orang tua itu.
Aster menunggu hingga si kakek berbelok ke sebuah jalan kecil. Saat itulah dia berlari lebih kencang untuk mencengkram lengannya. “Maaf, tunggu sebentar!”
“Jangan ikuti aku!” bentak lelaki tua itu.
“Aku tidak akan menyakitimu. Hanya ingin menanyakan beberapa hal.”
“Biarkan aku pergi!”
“Aku mohon!”
Si pria tua tetap memberontak dengan tenaganya yang sudah lemah. Bahkan cengkraman Aster sama sekali tidak tergoyahkan. “Aku mohon dengarkan aku sebentar, Josh!” paksanya.
Setelah itu barulah si pria tua berhenti bergerak. Dia sudah tidak memberontak seperti sebelumnya, lalu menoleh ke arah Aster yang perlahan melepaskan cengkramannya. “Bagaimana bisa kamu mengetahui namaku?” tanya si pria.
“Aku melihatnya dari data para pendiri kota. Aku ingin berta...”
“Sstt!” potongnya. “Aku tidak ingin berbicara di sini!” Josh mulai melangkahkan kaki menuju ke suatu tempat. Aster bergegas mengikutinya setelah melirik ke arah Ethan.
Apa kita harus mengikutinya?
Tentu saja! jawab Ethan seakan bisa mendengar perkataan Aster.