2. Gadis Pelayan

2033 Words
Elsa bergantian melihat pada kedua lelaki di depannya. “Iya?” Kata Liam, “Semester depan kamu pindah ke SMA-ku. Aku ingin lihat, berapa rangkingmu jika bersaing dengan anak-anak di sana.” SMA Leuven, tempat Liam bersekolah adalah sekolah privat mahal yang penuh dengan tuan dan nona-nona muda. Sama seperti Liam. Jujur Elsa takut, dia tak berani jika harus satu sekolah dengan anak-anak orang kaya itu. Bibir Elsa bergetar takut saat menjawab, “Baik, Tuan.” Tuan Zackary menatap Elsa lekat-lekat. “Jika kamu berhasil rangking satu di Leuven, Paman janji bakalan kuliahin kamu. Selesai lulus langsung kerja jadi asisten pribadi Liam.” “Jika perlu, kita kuliah di tempat yang sama nanti,” imbuh Liam dengan cengiran. Elsa tersenyum lemah. Dia sadar, dia bukan siapa-siapa. Rumah, orang tua, saudara, Elsa tak punya, Elsa hanya anak panti yang dibawa pulang oleh Keluarga Zachary. Semua tentang masa depannya, adalah terserah pada kemurahan hati Keluarga Zachary. “Terima kasih,” jawab Elsa. “Sama-Sama,” jawab Tuan Zachary ramah. Nyonya Zachary melirik bosan pada Elsa. “Jika sudah lulus nanti jangan lupa balas budi.” “B-Baik, Nyonya.” Selesai sarapan- “Wah! Keren. Elsa mau dikuliahin lho.” Pelayan dengan name tag Bella memulai percakapan. Selesai majikan mereka sarapan, para pelayan di keluarga Zachary itu berkumpul di meja dapur, sarapan bersama. “Enak sekali Elsa. Sudah disekolahin dari SD sampai SMA, mau dikuliahin lagi.” Pelayan ber-name tag Nancy menyahut. Elsa menunduk. Senyum sopan menghiasi wajah cantiknya. “Sudah, sudah. Hari ini mumpung hari Minggu. Biar Elsa yang tugas semuanya.” Kepala Pelayan menengahi. “Baik, Bu,” jawab Elsa pelan. Para pelayan mendengus. Setiap hari, Elsa pergi sekolah mulai dari jam tujuh pagi sampai jam empat sore. Ditambah perjalanan pulang dan pergi, bisa dikatakan, Elsa tidak bekerja sekeras pelayan lainnya. Sangat membuat kesal. Yang mereka lupakan, sekolah pun sebenarnya sudah cukup menguras tenaga. *** Hingga pukul sepuluh malam, Elsa baru selesai dengan tugas-tugas harian. Beruntungnya, Elsa diberi kamar sendiri. Tidak sekamar berdua seperti pelayan-pelayan yang lain. Perlakuan khusus dari Tuan Zachary. Selesai mandi, Elsa mengunci pintu. Langsung rebah di atas kasur lantainya. Tubuh Elsa terasa remuk redam. Lelah sekali. Elsa mengeluarkan kalung dari sakunya. Bandul perak bertuliskan huruf E ia genggam erat. Elsa tidur miring, melihati kalung dalam genggaman. “Mama? Mama bilang mau jemput Elsa? Kapan, Ma? Elsa kangen sama Mama.” Ia dekap kalungnya erat-erat. Saat itu, Elsa masih sangat kecil saat mamanya meninggalkannya di panti asuhan, tapi Elsa masih ingat, Elsa punya mama. *** Pagi-pagi sekali. Elsa sudah bangun. Ia memang biasa bangun pukul tiga pagi. Gadis itu mengucek mata, mulai menyiapkan buku pelajaran untuk hari ini. Di tengah kesunyian pagi, Elsa mulai membaca. Dengan tekun mengulas materi-materi sekolahnya. Rutinitas Elsa yang monoton dimulai. Pas pukul lima. Elsa keluar kamar. Mandi pagi lanjut berkutat dengan alat pel. Sementara pembantu bagian dapur mulai beraktivitas, begitupun dengan Elsa dan pembantu lainnya di bagian kebersihan. Pukul enam. Elsa pergi ke kamar Liam. Membangunkan tuan mudanya. Sambil menunggu Liam mandi, Elsa menyiapkan tas sekolah dan baju seragam untuk Liam. Pintu kamar mandi dibuka. Liam seperti biasa, muncul dengan pakaian handuknya. “Pagi,” sapa Liam malas-malasan. “Selamat pagi,” balas Elsa. Dari meja belajar, Elsa beralih ke meja rias. Di sana, Liam sudah menunggu. “Nih, sudah kubawain,” kata Liam sembari menyerahkan handuk kepala. “Terima kasih.” Elsa mulai mengeringkan rambut Liam, menyentuh lembut. Saking lembutnya, Liam sampai menutup mata. Setelah agak kering, Elsa mengambil hair dryer, mengeringkan rambut tuan mudanya. Liam membuka sebelah matanya. “Kamu sangat pendiam.” Elsa balas melihat Liam di kaca rias. Tersenyum sopan. “Maaf,” katanya. “Sudah kubilang, tidak perlu minta maaf. Lagipula, rambutmu juga, jangan selalu diikat, coba sekali-kali kamu biarkan tergerai. Pasti sangat cantik,” balas Liam. Pipi Elsa lumayan bersemu merah dipuji Liam cantik. “Terima kasih,” balasnya malu-malu. Baru deh Liam puas setelah melihat senyum malu-malu Elsa. Selesai menata rambut Liam, Elsa pergi ke toilet. Mencuci tangan bekas gel. Menunggu Liam berpakaian sampai Liam memanggilnya lagi. Elsa datang lagi. Memakaian lotion di wajah Liam. “Sebenarnya aku bisa saja memakai lotion sendiri. Aku hanya suka jika kamu yang melakukannya,” jujur Liam. Elsa tersenyum. Senang juga Liam senang dia layani. Elsa telaten meratakan lotion dan sunscreen di wajah tuannya. Berhati-hati agar tak memakaikan terlalu banyak dan membuat wajah tuan mudanya seperti pakai bedak. Jarak mereka sangat dekat. Elsa memang seharusnya memakai kacamata minus. Hanya saja dia enggan. Jadinya dia biarkan saja mata minusnya. Liam lihat terus wajah Elsa. Tubuh mereka yang sesekali berentuhan menggoda iman. Ingin hati Liam untuk menyentuh pelayannya, namun apa daya. Perbedaan di antara mereka terlalu mencolok. Liam tak berani mengambil risiko. *** Setelah semuanya siap, mereka berdua pun keluar kamar. “Dulu pas pertama kali ketemu, aku pikir kamu tuh cowok. Makanya aku minta kamu ke Mama biar bisa jadi temen di rumah. Gak tahunya kamu ternyata cewek.” Liam membuka obrolan. Elsa tersenyum, mengingat memori dulu pertama kali mereka bertemu di panti asuhan. Muda-mudi itu lanjut berjalan, melewati koridor panjang menuju ruang makan. Liam tiba-tiba berhenti. Elsa yang membuntut di belakang pun ikut berhenti. “Maaf? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Elsa. Liam membungkuk, menatap iris hitam Elsa lurus-lurus. “Serius kamu nggak ada pacar?” Bibir Elsa bergetar, malu bercampur gugup. Dia takut, takut sekali jika Liam sampai tahu kalau dia menyukainya. “M-Maaf,” jawab Elsa tak sinkron. Mendekatkan wajanya, Liam kembali bertanya. “Aku tanya, kamu ada pacar nggak?” Pipi Elsa sangat merah saat ia menggeleng. “T-Tidak, Tuan. S-Saya tidak punya pacar,” jawab Elsa gugup. Liam menegakkan kembali tubuhnya. “Aneh. Padahal kamu sangat cantik.” Pemuda itu berdecak sebelum kembali berbalik. Melanjutkan langkahnya. Elsa mengembuskan napas perlahan. ‘Tidak boleh. Tidak boleh. Tuan Liam tidak boleh tahu kalau aku menyukainya!’ jerit batin Elsa. *** Selesai menemani Liam sarapan, Elsa lanjut menemani pemuda itu balik ke kamar. Selesai pemuda itu sikat gigi, Elsa masih harus menemani Liam sampai pemuda itu berangkat sekolah. Pas setelah motor Liam keluar gerbang, Elsa berbalik, berjalan cepat menuju kamarnya. Secepat kilat, ia berganti baju seragam dan mengambil ransel. “Elsa, jangan lupa kotak bekalmu,” panggil pelayan juru masak. “Oh iya, lupa.” Elsa berbalik. Di meja dapur, sekotak makan siang dan sebotol air minum sudah disiapkan untuknya. Gadis itu mencomot sandwich sarapannya yang lembek, tidak sempat sarapan sebelum Liam berangkat sekolah tadi. Meski buru-buru, Elsa tetap harus tenang. Sesuai dengan peraturan etika di rumah ini; tidak boleh berlarian, tidak boleh berbicara terlalu keras, tidak boleh makan dengan berdiri, dan masih banyak lagi. Setelah berhasil menelan roti isinya, Elsa segera saja meraih ransel. “Terima kasih sarapannya, saya berangkat dulu.” Setengah berlari, Elsa menuju pintu belakang, pintu untuk para pelayan. Dengan sepeda ontelnya, gadis itu memacu waktu. Meski sudah pasti dia akan terlambat. Setidaknya tidak terlalu terlambat. *** “Selalu saja terlambat setiap hari,” gerutu guru kedisiplinan. “Maaf.” Elsa berdiri gugup. Di sampingnya, sepeda bututnya ia pegang erat-erat. “Kamu kan yang kemarin juara umum kelas sepuluh?” “Iya, Pak. Saya minta maaf.” “Perbaiki attitude-mu. Bapak lelah menghukummu. Selalu saja terlambat!” “Baik, Pak. Saya minta maaf.” “Sudah. Sana parkir sepedamu. Setelah itu lari muterin lapangan satu kali.” “Baik, Pak.” Yang terlambat hari itu tentu saja bukan hanya Elsa. Ada beberapa siswa yang kebanyakan laki-laki tengah mengitari lapangan. Elsa sebenarnya lelah dan tak ingin berlari di bawah terik matahari. Tapi, mau bagaimana lagi. “Terlambat lagi?” tanya seseorang dari samping. Elsa menoleh. Arnold rupanya. Dia adalah teman seangkatan Elsa. “Kamu juga terlambat,” balas Elsa. Arnold tertawa keras. Beriringan, mereka mempercepat langkah kaki. Sudah mulai jenuh dengan panas mentari. Arnold dengan terengah bertanya pada Elsa, “Di mana rumahmu? Sudah kubilang berkali-kali biar kujemput.” Elsa melirik sekilas. “Untuk apa menjemputku? Toh kamu juga terlambat.” “Hahaha. Beda lah. Kalau berangkat sama kamu kan aku bisa semangat berangkat lebih pagi.” “Hm,” jawab Elsa pendek. Arnold memang pernah mengatakan kalau dia menyukainya. Tapi Elsa tentu saja tidak percaya. “Pulang sekolah nanti ayo jalan,” ajak Arnold. Berlari mengurangi kecepatan agar bisa beriringan dengan Elsa. “Tidak bisa. Aku ada kerjaan selesai sekolah,” balas Elsa. “Kerja terus alasannya. Aku sampai bosen.” “Ya sudah kalau tidak percaya. “Kerja terus tapi handphone pun gak punya,” balas Arnold lagi. “Memang aku gak punya,” balas Elsa. “Seluruh dunia juga tidak akan percaya kalau anak seusia kita nggak punya ponsel.” “Sudah kubilang aku nggak punya!” balas Elsa kesal. “Ha. Bohong banget. Aku dengar dari anak kelas sebelah mereka punya nomormu.” Mengerti yang dimaksud Arnold, Elsa menjelaskan, “Itu bukan nomorku. Itu nomor ibu-ibu yang kerja di-” “Ngobrol terus! Sudah terlambat tapi tidak ada penyesalan sama sekali!” teriak guru pengawas. Elsa langsung tutup mulut. Arnold mengedikkan bahu. Bodo amat dengan guru piket. Dia terus berusaha mengajak Elsa ngobrol, sayang sekali Elsa sudah tak mau bicara. Takut kena tegur lagi. *** Kehidupan monoton Elsa terus berlanjut. Meski lelah, ia juga terus berusaha menaikkan performa kerjanya. Ia tak ingin makan gaji buta seperti yang digosipkan oleh pelayan-pelayan yang lain. PR-nya, PR Liam, tugas rumah tangga, Elsa dengan tekun mengerjakan semuanya. Dan ya, di akhir semester berikutnya, Elsa rangking satu lagi. “Elsa, kamu dicari Tuan Desta,” panggil Bella. Elsa yang tengah mengelap piring menoleh. “Sekarang, Kak?” “Iya. Ditunggu di ruang tamu.” Elsa tersenyum sopan. “Terima kasih,” ucapnya. Gadis itu mengelap tangan di serbet sebelum pergi menuju ruang tamu. Tuan Desta adalah salah satu asisten Tuan Zachary. Entah untuk apa beliau mencarinya. “Paman mencari saya?” tanya Elsa begitu ia sampai di ruang tamu. Lelaki super sibuk itu mengangkat wajahnya dari ponsel. “Oh, Elsa. Boleh minta tolong ambilkan rapormu? Paman akan mengurus kepindahanmu.” Alis Elsa bertaut bingung. “Pindah? Saya mau dipindah ke mana, Paman?” Tuan Desta terdiam sebentar. “Apa tidak ada yang memberitahumu?” “Tentang apa, Paman?” “Tuan Zachary bilang kamu akan dipindah ke Leuven.” “Leuven? Saya jadi pindah ke sana?” “Iya, jadi. Boleh minta tolong rapormu? Paman sudah menghubungi pihak Leuven dan sekolah lamamu. Tinggal mengurus berkas.” Elsa lupa. Benar-Benar lupa. Dia belum sempat memberitahu Arnold, teman satu-satunya di SMA lama. “Baik. Akan saya ambilkan sebentar,” kata Elsa. “Iya, cepat ya?” “Baik.” Setengah berlari, Elsa tergesa kembali ke kamar. Tak lama kemudian, gadis itu sudah kembali di ruang tamu. Tuan Desta dengan saksama memindai rapor Elsa. “Nilaimu bagus-bagus. Hanya saja, nilai olahraga dan seni yang sedikit mepet ke rata-rata. Paman harap, nanti di Leuven tolong diperbaiki lagi.” “Baik, Paman.” “Dan oh,” Tuan Desta membenarkan kacamatanya, “Kalau bisa, tolong nanti sering-sering ikut olimpiade atau kejuaraan apa terserah. Tuan Zachary berencana menguliahkanmu. Jika kamu punya track record yang bagus, sekalian saja Paman ambilkan beasiswa dari CSR perusahaan.” “Terima kasih.” “Kamu boleh kembali.” “Baik.” Andai boleh jujur, Elsa tidak ingin hidup seperti ini. Jika selamanya dia berhutang budi pada Keluarga Zachary, bukankah hutangnya itu harus ia balas dengan ‘pengabdian’? Berapa lama semua hutangnya akan tertuntaskan? Elsa ingin memulai semuanya dari awal. Tapi sayang, rumah tempat kembali pun dia tak punya. *** “Elsa, seragammu sudah sampai kan?” tanya Nyonya Zachary. “Sudah, Nyonya.” Gadis itu hati-hati menata tatakan cangkir di depan sang majikan. “Baguslah. Besok sekolah hari pertama minta diantar sama Pak Beni. Besoknya lagi berangkat sendiri,” sambung Nyonya Zachary. “Terima kasih.” “Paman tidak sabar. Kemarin kamu rangking satu lagi kan ya? Kalau sampai kamu bisa rangking satu di Leuven, tidak perlu interview, kamu akan Paman angkat langsung jadi asistennya Liam,” kata Tuan Zachary, melihat Elsa bangga sebelum membalik lembar koran yang ia baca. “Terima kasih,” balas Elsa sopan. Tak lagi dibutuhkan, Elsa berjalan mundur, berdiri dekat tembok sebelah kanan. Lama gadis itu berdiri, mendengarkan namun tak benar-benar mendengarkan obrolan antar suami istri di depannya. Tungkainya lelah. Kenapa juga pelayan harus memakai high heels? Tidak bisakah wedges saja? Sudah dua jam Elsa menemani Nyonya dan Tuan Zachary di ruang baca. “Elsa, tolong kamu lihat Liam di atas. Anak itu. Masa setiap ayahnya pulang dia selalu saja tidur.” Elsa tersadar dari alam lamun, bergegas merespon. “Baik, Nyonya.” Elsa membungkuk sebelum berjalan keluar. Nyonya bilang di lantai atas. Hm.. Rumah ini terlalu luas! Melewati tangga yang mengular, naik lagi dua lantai, napas Elsa pendek-pendek ketika sampai di lantai empat, tempat favorit Liam. Elsa mengetuk pintu. Tak ada jawaban. “Tuan,” panggil Elsa. Ia melihat jam tangannya. Pukul dua siang. Semalam Liam tidak pulang. Jam sepuluh pagi baru pulang. Sementara Nyonya dan Tuan Zachary pulang jam sebelas. Elsa mengetuk pintu lagi. “Masuk,” panggil Liam dari dalam. Elsa membuka pintu, melihat tuan mudanya di atas kasur dengan seluruh tubuhnya yang tertutup selimut tebal. “Tuan Muda ditunggu Nyonya dan Tuan Zachary di lantai bawah.” “Katakan pada mereka, aku masih mengantuk,” balas Liam dari dalam selimut. Elsa tak putus asa, masih tetap berdiri menunggu Liam. Dulu, saat kecil, mereka sangat dekat. Mereka juga dulu sering mandi bersama dan tidur seranjang. Tapi itu dulu. Saat Elsa dan Liam belum tahu bahwa kasta sosial itu ada. “Duduklah,” kata Liam dari dalam selimut. Terdengar kesal. Elsa menurut, menududukkan diri di sisi ranjang. “Beri aku lima belas menit,” kata Liam. “Baik,” balas Elsa. Elsa melihat jam di tangannya, patuh menunggu. Akhir-akhir ini, tuan mudanya semakin sering pulang pagi, entah melakukan apa di luar. Elsa sendiri tidak pernah keluar rumah selain pergi sekolah atau diajak Nyonya Zachary belanja. Liam menyibak selimut. “Kenapa diam saja?” tanyanya. Elsa yang awalnya meluruskan kaki, menekuk kembali kakinya. “Maaf, saya pikir Tuan masih ingin tidur.” “Hm.. Kau sangat membosankan.” “Maaf.” “Baiklah. Aku bangun, aku bangun. Puas?” “Terima kasih,” kata Elsa sembari berdiri. “Tidak usah berdiri. Kamu duduk saja. Aku mau ke kamar mandi.” “Baik.” Begitu Liam menutup kamar mandi, Elsa kembali berdiri. Tanpa kata ia merapikan kasur Liam yang berantakan. ‘Drrt..’ Elsa menoleh. Melihat ponsel tuan mudanya yang menyala. Di layar monitor, tampak foto Liam dengan seorang gadis cantik. Keduanya tampak dekat dengan senyum lebar. Ada sesuatu yang meremas hati Elsa. Terasa sakit. Ia pun berusaha untuk mengatur ekspresinya. “Harus tahu diri, Elsa. Harus tahu diri,” rapal Elsa pelan. Melihat baterai handphone Liam yang sudah mau habis, Elsa pun mencharger ponsel tersebut. Foto couple di layar kembali terlihat, tampak bahagia tersenyum melihat kamera. Dari layar ponsel Liam, Elsa sering melihat foto Liam dengan wanita yang berganti-ganti. Namun kali ini, foto gadis di layar itu sudah cukup lama. Hampir satu semester sejak pertama Elsa melihatnya. Benar-Benar, hati Elsa selalu sakit. Cemburu karena menyukai tuan mudanya pun dia tak berhak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD