3. Ciuman Terlarang

2146 Words
Suara keran dimatikan. Elsa bergegas mencarikan baju ganti untuk Liam. Gadis yatim piatu miskin sepertinya, tidak seharusnya menyukai seseorang selevel Liam. Dengan sabar, Elsa berdiri di dekat pintu. Menunggu Liam selesai. Kata kepala pelayan, Elsa memang cocok untuk tugas menunggu-menunggu seperti ini. Selain wajahnya yang enak dipandang, Elsa juga masih anak sekolahan, Tuan Zachary tidak memperbolehkan Elsa kerja berat kata beliau. Pintu kamar mandi terbuka. Elsa segera saja mengatur ekspresinya. Tersenyum lebar. “Kenapa dengan wajahmu?” tanya Liam. “Ya?” “Kamu terlihat sedih.” “Hehehe, tidak kok.” Liam merenggangkan leher dan tubuhnya. Tampak lelah. “Jam berapa Papa sama Mama pulang?” “Sekitar jam sebelas, Tuan.” “Oh.” Elsa tenang merapikan posisi kerah Liam. Posisi mereka selalu saja dekat. Sayang, hanya fisik saja yang boleh dekat. Selebih itu, mereka berdua juga tahu kalau rasa apapun di antara mereka adalah tabu. “Tanganmu sangat lembut,” gumam Liam. “Ya?” Elsa mendongak. Melihat wajah tuan mudanya. “Jika nanti kamu menikah, mungkin aku akan cemburu,” kata Liam lagi. Elsa gugup, tak tahu harus menjawab bagaimana. “M-Maaf,” jawabnya. Liam mendengus. “Maaf katamu? Jika kamu punya cowok, katakan padaku. Biar aku lihat dia pantas atau tidak buat kamu.” Elsa tersenyum, mencoba menutupi sakit di hatinya. Andai Liam tahu, siapa yang saat ini pria yang dia suka. Tangan Elsa bergetar saat dia melanjutkan tugas memakaikan lotion di wajah Liam. Tidak seperti biasanya jika mereka siap-siap dengan berdiri, Liam kali ini tidak membungkukkan tubuh. Berdiri tegak sambil melihati Elsa yang kesulitan berjinjit. “Makanlah yang banyak. Itulah kenapa tubuhmu sangat kecil.” “Tubuhku tidak kecil.” Elsa keceplosan menjawab. “Maaf,” lanjutnya buru-buru. “Ck ck ck. Tidak perlu minta maaf,” kata Liam. Gemas mengacak rambut Elsa. Baru lah tubuh Elsa bisa relaks, tersenyum tulus pada Liam. Saat Elsa mengambil sisir, Liam sengaja masih berdiri. Bibirnya tersenyum jail. Elsa sebenarnya kesal. Di luar sana Tuan dan Nyonya Zackary sudah menunggu dari tadi. Tapi di sini Liam malah bermain-main. “Aku suka saat matamu berkilat kesal, hahaha.” “Tuan, tolonglah.” “Hahaha, oke oke.” Liam menundukkan kepala. Liam, “Mungkin sekarang kita sudah dewasa.” “Ya?” Liam mendongak melihat Elsa. “Maaf, tapi aku beberapa kali aku sering melihatimu sebagai seorang wanita.” Harapan Elsa melambung tinggi. “M-Maksud Tuan?” tanyanya meminta kepastian. Liam menegakkan tubuhnya. Ia mengambil sisir dari tangan Elsa, menyisir rambutnya sendiri. Pemuda itu melihati mata Elsa lurus-lurus. “Apa kamu sungguh sekalipun tidak pernah menganggapku sebagai lelaki? Kita seumuran, pasti lah ada saat kamu pengen dekat gitu sama cowok?” Pipi Elsa memerah. Tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu. “M-Maaf,” jawab Elsa tergagap. Jantungnya berdegup kencang. Mungkinkah- Liam nyengir kuda. “Aku ada banyak teman cowok. Kalau kamu mau, aku bisa ngenalin kamu ke mereka.” Senyum tersipu di wajah Elsa membeku. Ya. Dia bodoh sekali. Tidak mungkin Liam akan menyukainya. “M-Maaf, t-tapi tidak perlu,” jawab Elsa menunduk. Patah hati oleh ucapan Liam. Dia pikir- Liam masih cengengesan. “Setelah menggodamu, aku jadi merasa lebih baik, hahaha. Ayo,” katanya sambil beranjak pergi. *** “Jangan buat papamu menunggu, Liam!” tegur Nyonya Zachary. “Iya, iya. Maaf.” Malas-malasan, Liam duduk di samping papanya. Seorang pelayan yang sudah stand by di sana menuangkan teh untuknya. Sementara Elsa, dia berdiri seperti manekin di dekat tembok. “Siang hari minum teh,” gerutu Liam masam. “Teh hijau bagus untuk kesehatan,” balas Nyonya Zachary. “Bagaimana sekolahmu?” tanya Tuan Zachary. “Bagus, Pa.” “Papa lihat nilaimu banyak yang mengalami penurunan.” “Ya ampun, Pa. Aku sibuk. Gak sempet belajar,” balas Liam asal. Tuan Zachary tak melepas isu, lanjut berkata, “Coba lihat Elsa. Dia lebih sibuk darimu, tapi masih bisa rangking satu.” Nyonya Zachary dan putranya berbarengan melihat Elsa. Elsa sebisa mungkin menampilkan wajah netral. Tak tenang dilihati Liam dan mamanya begini. Liam mengedikkan bahu. Tak peduli. “Tidak masalah. Bukankah Papa sudah berjanji akan memberikan Elsa padaku? Aku hanya perlu orang-orang pintar di sekelilingku untuk bisa menjadi hebat.” Hati Elsa sudah lama mati. Ucapan-Ucapan seperti ini tak mampu lagi menyakitinya. Hanya hampa dan kosong yang tersisa di dalam sana. Tuan Zachary menatap serius pada putranya. “Untuk menjadi orang hebat, kamu perlu menjadikan orang lain ikhlas dan rela mengikutimu. Dengan begitu, orang-orang akan ikhlas menjadi bawahan yang setia. Jika tidak, maka yang ada kamu malah akan dibodohi oleh anak buahmu.” ‘Bawahan yang setia. Mungkinkah itu alasan untukku diciptakan? Terlahir untuk menjadi bawahan yang setia untuk Tuan Liam,’ lamun Elsa. Liam kesal menghabiskan teh. “Bukankah sudah cukup dengan kontrak dan bayaran per bulan? Aku harus bagaimana lagi untuk menjadi pemimpin?” “Kamu masih perlu banyak belajar, Liam. Papa menyuruhmu aktif organisasi dan belajar kepemimpinan, tapi kamu malah sibuk bermain setiap hari.” “Aku sibuk main? Memangnya Papa tahu? Papa saja setiap hari tidak pernah pulang.” Nyonya Zachary yang sedari tadi diam, turun tangan. “Sudah. Jangan bertengkar. Kita jarang-jarang kumpul sekeluarga.” Tuan Zachary beralih melihat istrinya, “Sudah Papa bilang berkali-kali. Harusnya Mama di rumah saja. Tidak usah sibuk mengurus yayasan.” Nyonya Zachary naik pitam. “Sekarang semua jadi salahku?! Apa Papa lupa perusahaan siapa yang Papa pimpin?! Milikku, Pa, milikku!!” Liam mendengus bosan. Sebagaimana Elsa yang mencoba menulikan pendengarannya, begitupun dengan Liam. Pemuda itu duduk menatap kejauhan. Tuan Zachary mengembuskan napas lelah. “Setiap kali bertengkar, selalu saja Mama mengungkit-ungkit.” Nyonya Zachary mencibir pedas, “Papa kan yang mulai? Papa saja tidak pernah di rumah. Tidak usah sok mengguru-gurui Liam.” Tuan Zachary menghela napas panjang. Menyudahi perdebatan dengan istrinya, kembali pada Liam. “Jika kamu tidak suka belajar, mulai bulan depan kamu training di perusahaan Papa saja, Papa ajari-” Belum sempat Liam menjawab. Nyonya Zachary keburu menyahut. “Perusahaan Papa?” Wanita itu mencibir menirukan suaminya. “Apa Papa masih belum sadar juga jika ZD Group adalah punyaku? Aku bisa saja menunjuk siapa pun menggantikan posisi Papa saat ini!” Tuan Zachary mengembuskan napas lelah. “Terserah, terserah. Kamu didik anakmu sesuka hatimu.” Lelaki itu berdiri, melangkah keluar. “Pergi di tengah-tengah percakapan! Selalu itu yang Papa lakukan!” Tuan Zachary berbalik. Melihat istrinya. “Dua puluh tahun menikah, apa kamu pernah menghargaiku? Kamu hanya bersikap lembut jika ada yang kamu mau. Aku memang dari keluarga miskin. Tapi harusnya kamu tetap menghargaiku sebagai seorang suami!” Nyonya Zachary murka. Berdiri membalas tatapan suaminya. Tajam menusuk. “Itulah kenapa seseorang harus menikah sesuai kastanya!” Semuanya membeku. Sedingin es. Elsa rasa-rasanya ingin menghilang. Tak ingin melihat ekspresi Tuan Zachary saat ini. Begitu dingin dan menyeramkan. Tak membalas istrinya, Tuan Zachary berbalik. Keluar dari ruangan. Nyonya Zachary berdecak kesal. Wanita itu membuntut suaminya. “Tunggu, Mas! Tunggu! Jangan berjalan terlalu cepat!” Elsa mengembuskan napas lega. Majikannya itu memang sering bertengkar karena hal yang sama. Tapi mereka akan segera baikan juga seperti sebelum-sebelumnya. “Keluarlah.” Eh? Elsa menoleh. Lupa kalau masih ada Liam di ruangan. “Keluarlah,” kata Liam lagi. “Baik, Tuan,” Wanita pelayan di sebelah Elsa duluan sadar. Elsa yang sadar dari keterpanaannya ikut membungkuk, hendak berpamitan. “Bukan kamu. Dia saja,” kata Liam malas-malasan. Pemuda itu duduk bersandar di sofa. Lengannya berat menutup mata. “Maaf?” tanya Elsa tak mengerti. Liam berdecak kesal. Membuka matanya. “Dia saja yang pergi,” kata Liam sambil menunjuk wanita pelayan yang kini sudah di depan pintu. “Baik, Tuan.” Wanita itu patuh keluar. Menutup pintu di belakangnya. ‘Blam.’ Pintu berat itu tertutup rapat. “Ada yang bisa saya bantu?” tanya Elsa sopan. “Ke sinilah,” kata Liam. Elsa datang mendekat. “Duduklah,” kata Liam lagi. Gugup, Elsa duduk di pinggiran sofa. Liam bergeser mendekat. Super super dekat. Wajah Liam kini berada tepat di depan wajah Elsa. Membuat gadis itu kesulitan bernapas. Napas mereka hangat saling bersentuhan. “Apa kamu pernah berciuman?” tanya Liam berbisik. “Ya?” tanya Elsa tak mengerti. Jantungnya sudah mau copot ini. Mata Liam dalam menelisik. “Apa kau mau aku menciummu?” “Hik.” Tangan Elsa terangkat. Menutup mulut. ‘Cegukan di saat yang tidak tepat!’ makinya dalam hati. Liam dalam melihat mata Elsa, mengulurkan tangan. Membelai lembut pipi Elsa. Cegukan Elsa kian menjadi. Gadis itu super bingung. Harus bagaimanaaa... Ia merangsek mundur. Tapi belakangnya tinggal ada lengan sofa. Liam tersenyum aneh. Pemuda itu maju. Mendesak Elsa dengan tubuhnya. “Seriusan tidak pernah ciuman?” tanya Liam pelan. Wajahnya semakin dekat. Ia memiringkan wajah, memposisikan bibirnya di depan bibir Elsa. Saking tegangnya, Elsa sampai lupa untuk cegukan. Tangan Liam bertengger lembut di leher Elsa, menyentuh sambil sesekali membelai. “Andai kamu bukan gadis pelayan,” bisiknya. Dengan mata yang melebar gugup, Elsa melihat saat mata Liam menutup separuh, bibir Liam kian mendekat. Bibir tipis itu ... bibir yang sering Elsa curi lihat diam-diam. Perlahan, mata Elsa ikut menutup. Merasakan bibir Liam menyentuh bibirnya. Melumat lembut. Elsa mengikuti insting, bibirnya balas melumat. Ciuman mereka terlalu kering. Liam mengeluarkan lidah, membasahi bibir Elsa. Perasaan geli mengulik Elsa, apalagi saat lidah Liam menerobos masuk ke dalam mulutnya. Elsa lagi-lagi mengikuti impuls, balas menyesap bibir Liam sembari ikut berperang lidah. Tangan Liam yang sedari tadi di leher Elsa turun. Pelan menyusuri leher dan d**a Elsa. Tubuh Elsa merinding oleh sentuhan Liam. Liam tak peduli pun. Pemuda itu sibuk mengisap bibir Elsa. Awalnya Elsa pikir, tangan Liam tak sengaja menyentuh dadanya. Tapi.. DEG! Jantung Elsa berhenti berdetak kala tangan Liam mulai meremasi dadanya. Bibir gadis itu berhenti merespon lumatan Liam. Matanya membulat lebar-lebar. Menyaksikan wajah di depannya yang tampak fokus dengan matanya yang menutup. Tangan Liam kian meremas lembut. Membuat punggung Elsa dingin merinding. Sekelebat memori foto Liam dengan wanitanya di layar ponsel menyadarkan Elsa. Bak disiram air dingin. Pikiran Elsa menjernih. Pelan, Elsa menangkupkan tangannya di wajah Liam. Menatap lembut. Liam membuka mata. Balas melihat iris hitam Elsa. Melihat maksud dari pandangan Elsa, Liam menyudahi ciumannya. Ia mengecup bibir Elsa sekali lagi sebelum menegakkan tubuh. “Maaf,” kata Elsa menunduk. “Tidak masalah,” balas Liam. Dengan punggung tangannya, ia mengusap bibirnya yang basah. Menghela napas panjang, Liam merebahkan tubuhnya di sofa, meletakkan kepalanya di pangkuan Elsa. “B-Bagaimana jika Nyonya melihat kita?” tanya Elsa panik. Liam menutup mata lelah. “Sekarang mereka pasti masih bertengkar. Kita juga tahu kalau Mama tidak akan menyerah sampai Papa minta maaf.” Elsa melembut. Tangannya terulur, membelai kepala pemuda di pangkuan. Liam sekali lagi membuat Elsa tersipu saat pemuda itu memiringkan tubuh. Kepalanya kini menghadap ke perut Elsa. “Bangunkan aku satu jam lagi,” katanya. “Baik,” jawab Elsa takut-takut. “Belai kepalaku seperti tadi,” kata Liam dengan mata terpejam. Elsa menurut. Terus membelai lembut. Tak butuh waktu lama, Liam pulas di pangkuan Elsa. Elsa menunggu beberapa saat. Ia berhati-hati sekali saat mengambil bantal sofa di seberang. Begitu dapat, ia perlahan menggantikan pahanya dengan bantal tersebut. Sangat hati-hati. Tak ingin membangunkan Liam. Gadis itu duduk berjongkok di samping sofa. Melihati wajah tampan Liam di depannya. Dengan senyum kecil, gadis itu mencuri cium bibir Liam. Puas melihati Liam tidur, Elsa hati-hati membereskan bekas teh dan camilan Tuan dan Nyonya Zachary. Selesai dari dapur, Elsa lanjut ke kamar Liam, mengambilkan selimut. Langkahnya riang saat kembali ke ruang teh. Saat ia hendak membuka pintu, tak tahunya pintu itu malah terbuka dari dalam. Wajah Liam yang semula kusut bangun tidur berganti menjadi kesal saat melihat Elsa. “Tuan sudah bangun? Aku baru saja mengambilkan Tuan selimut,” kata Elsa polos. “Minggir,” ujar Liam dingin. Dipandangi tajam seperti itu, tentu saja Elsa keder. Gadis itu berjalan itu mundur, ketakutan. “Maaf,” ujarnya refleks. “Aku suruh menemaniku satu jam saja tidak sanggup,” gerutu Liam. Elsa mengangkat wajah. Hanya untuk melihat Liam yang dingin melewatinya. Bahu Liam tak sengaja menyenggol selimut besar di pelukan Elsa, membuat gadis itu sedikit oleng. Tapi Liam tak peduli, ia berlalu tanpa menoleh lagi ke belakang. *** Semalam suntuk, Elsa tak bisa tidur. Pikirannya berkecamuk. Memang semua salahnya, harusnya tadi dia tak usah pergi mengambil selimut. Sekarang Liam jadi marah padanya. Berguling-guling di kasur, Elsa memutuskan untuk bangun. Ugh.. Dia baru ingat, besok pagi hari pertamanya pindah sekolah. *** Pagi itu, Liam sangat dingin. Tangan Elsa yang sedang membantu memasangkan dasi seragam sampai bergetar-getar ketakutan. Baru saja kemarin Elsa merasakan manisnya ciuman pertama, dan hari ini Elsa sudah merasakan sakitnya patah hati. Berjalan menuju ruang makan, Tuan dan Nyonya Zachary sudah ada di sana. Mereka terlihat harmonis. Tampak bersenda gurau. “Putraku, selamat pagi,” sapa Nyonya Zachary ramah. “Pagi,” balas Liam malas. Nyonya Zachary berkata ceria, “Mama sama Papa sudah setuju. Kamu SMA main-main saja dulu gak papa. Nanti kalau sudah kuliah, tiap liburan harus sudah mulai training.” “Ya,” jawab Liam pendek. Di sampingnya, Elsa menuangkan kopi untuknya. Kopi itu dingin tak tersentuh hingga sarapan selesai. Selesai susah payah menyelesaikan tugas paginya mengurus Liam, saatnya Elsa bersiap untuk sekolahnya sendiri. *** Baju seragam Elsa kali ini terlihat sangat mahal. Dari tekstur kainnya pun Elsa bisa merasakan kesultanan seragam barunya. Seperti janji Tuan Desta, pagi ini Elsa diantar sopir Tuan Zachary ke sekolah. Sekolah baru Elsa sangat berbeda dengan sekolah lamanya. Bangunan modern berdiri megah, tinggi menjulang berlantai-lantai. Keamanan di sekolah ini super ketat, Elsa harus menunjukkan surat pindahnya baru diperbolehkan masuk. Pak sopir baik hati, dia mengantarkan Elsa sampai dalam. Maklum saja, halaman sekolah ini sangat luas. Deretan mobil dan motor mewah menakuti Elsa. Butuh waktu lama untuk Elsa memantapkan diri sampai akhirnya berani menuju ruang guru. Ruangan itu terbuka, Elsa langsung masuk. “Selamat pagi,” sapanya pada seorang staf di meja terdekat. “Ada yang bisa saya bantu?” balas lelaki berkacamata di belakang meja. “Um. Saya Elsa, anak pindahan,” jawab Elsa sopan. “Oh. Anak pindahan? Mana wali kamu?” “Um.. um..” “Tidak ada wali?” “M-Maaf.” Guru lain yang tengah siap-siap menuju kelas ikut menoleh. “Anak baru?” “Oh iya, aku dengar. Katanya mau ada anak baru di kelas sebelas,” sambung guru lain. “Di mana Bu Ummi?” sahut lelaki di depan Elsa. “Sepertinya sudah masuk kelas,” jawab ibu guru di seberang. Staf lelaki di depan Elsa memberi pandangan menegur pada Elsa. “Hari pertama masuk sekolah. Harusnya jangan sampai terlambat.” “M-Maaf,” jawab Elsa gugup “Kamu tunggu sebentar. Biar Bapak panggilkan Bu Ummi.” “B-Baik, Pak. Terima kasih.” Elsa melihat jam tangan. Dia terlambat sepuluh menit. Gugup berdiri menunggu wali kelasnya datang. “Elsa ya?” Elsa menoleh. Melihat wanita muda bertubuh ramping. Tulisan Bu Ummi tersemat di d**a kiri wanita itu. “S-Selamat pagi,” sapa Elsa sopan. Bu Ummi bersedekap, berkata menegur, “Lain kali jangan sampai terlambat.” “Baik, Bu.” “Ayo, Ibu antar ke kelas kamu.” “Terima kasih.” Elsa yang tak biasa berjalan sejajar dengan orang lain itu membuntut di belakang. “Leuven tidak menggunakan sistem pembagian kelas berdasarkan rangking. Lebih pada nomor induk saat masuk, kemudian mengacaknya setiap semester baru,” cerita Bu Ummi. Elsa mengangguk. Sadar kalau Bu Ummi tidak bisa melihatnya, ia pun membalas “Iya, Bu,” dengan suara yang agak keras. Bu Ummi berhenti, menoleh ke belakang melihat ke Elsa. “Meski begitu, Leuven tetap menggunakan sistem nilai dan perankingan. Jadi, kamu jangan meremehkan pelajaran dan tetap lakukan yang terbaik.” “Baik, Bu.” “Ibu lihat nilai rapor kamu di sekolah sebelumnya sangat memuaskan. Semoga di sini masih tetap bisa mempertahankan nilai kamu.” “Baik, Bu.” Bu Ummi melihat Elsa lama. Seperti ada yang aneh dengan cara Elsa merespon setiap kalimatnya. Ibu itu mengedikkan bahu. Lanjut berjalan. Suasana Leuven saat ini lumayan berisik. Suara tawa yang teredam pintu sesekali terdengar dari banyak penjuru. “Nanti jam istirahat jangan lupa ambil buku-buku kamu di koperasi.” “Baik, Bu.” Bu Ummi berhenti lagi. Melihat ke belakang pada Elsa. “Kamu tidak usah terlalu tegang sama Ibu. Santai saja. Dan ya, satu lagi. Kamu bisa jalan di samping Ibu. Tidak perlu membuntut di belakang seperti seorang pelayan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD