4. Adam-Elsa

1897 Words
Elsa membeku. ‘Seperti seorang pelayan..’ tapi dia memang pelayan. Elsa menelan ludah gugup. Ia baru ingat, SMA Leuven ... sarang dari para kaum menengah atas. Bu Ummi tersenyum pengertian. Berbalik ke depan. “Tidak usah takut. Jika orang tuamu sanggup membayar SPP Leuven yang dibayar per tahun di muka, sudah pasti orang tua kamu juga kaya.” Elsa masih membeku. Mendadak dia merasakan ketakutan yang amat sangat. Ia merasa bagai rusa yang tersesat di hutan penuh singa. “Elsa?” panggil Bu Ummi, berbalik lagi melihat siswi barunya. Wajah Bu Ummi tampak kesal karena harus berulang kali berhenti di tengah jalan. “M-Maaf, Bu,” jawab Elsa menunduk takut. “Ayo.” “Baik,” jawab Elsa penuh resolusi Mempercepat langkah, Elsa berjalan takut-takut di belakang Bu Ummi. *** Bu Ummi mengantar Elsa menuju ruang kelas di bagian ujung dekat tangga darurat. ‘Srek..’ Pintu digeser terbuka. Siswa-siswi yang tengah bercanda di dalam ruangan melihat ke pintu masuk. “Ayo sini masuk,” ajak Bu Ummi pada Elsa. Antara malu dan takut, Elsa masuk ke dalam kelas. Baru beberapa detik ia masuk, suara siulan anak-anak lelaki sudah ramai di dalam kelas. Sejak Liam mengatainya cantik dengan rambut panjangnya beberapa hari lalu, Elsa memutuskan untuk membiarkan rambutnya tergerai kecuali saat kerja. Dan di sinilah dia sekarang. Menunduk gugup dengan polesan make up tipis. Terlihat manis di mata kaum Adam. “Sudah punya pacar belum?” teriak salah seorang siswa. Anak-anak lain bersorak. “Sudah, sudah.” Bu Ummi mengetuk meja dengan buku absen. “Mulai hari ini kita ada murid baru. Perlakukan dengan baik. Jangan di-bully.” “Siap, Bu...” teriak anak-anak lelaki. “Elsa, perkenalkan dirimu.” Gugup, Elsa mengangkat wajah. Para siswa kian bersorak. Elsa memang cantik. Rambut dan matanya yang hitam pekat, hidungnya yang mancung lencir, kulitnya yang seputih porselen. Bibir yang merah merekah sedari tadi ia gigiti. Elsa tampak memesona. “Um.. P-Perkenalkan, n-nama saya Elsa. Elsa Evelisse.” “Suit suit..” “Uhuy.. Cantik banget.” “Sudah punya pacar??” Anak lelaki bersahut-sahutan. Elsa memberanikan diri melihat calon-calon teman sekelasnya. DEG! Di kursi nomor dua dari belakang, Liam duduk melihatnya tanpa ekspresi. Tangan Elsa berkeringat dingin. Dia ... sekelas dengan Liam?? . . . “Elsa? Kenapa melamun? Ada yang ingin kamu tambahkan untuk perkenalan?” Bu Ummi menyadarkan Elsa. Elsa buru-buru bergeleng. “T-Tidak ada, Bu. Terima kasih.” “Ya sudah. Di bagian belakang ada kursi kosong. Kamu duduk di sana ya?” “Baik, Bu.” Berjalan kaku, Elsa menuju kursi yang dimaksud Bu Ummi. Beruntung sekali ia duduk bersebarangan jauh dengan Liam. Ia tidak bisa membayangkan jika harus berdekatan dengan Liam setiap hari. Berada satu ruangan dengannya saja sudah membuatnya gugup bukan kepalang. Berbeda dengan anak lelaki yang tampak senang dengan kehadiran Elsa, anak perempuan di kelas itu tampak apatis, tak peduli. Siswi dengan kursi sebelahnya yang kosong tersenyum lebar, menepuk-nepuk kursi di sampingnya menyambut Elsa. “Terima kasih,” ucap Elsa pelan. Dari depan, Bu Ummi berkata keras, “Ya sudah. Kamu di sana ya, Elsa? Ibu tinggal dulu. Kalau ada yang mau ditanyakan bisa tanya sama ketua kelas.” Seorang anak perempuan dari meja depan berdiri. “Aku Alma, ketua kelas XI-11,” katanya. Elsa mengangguk, “Terima kasih.” Beberapa anak cowok datang mengerubung meja Elsa. “Hai,” sapa mereka. “Hai,” balas Elsa pelan. Gadis itu menunduk sangat dalam. “Hahaha, tidak usah malu begitu. Saat wajahmu merah, kamu malah makin cantik tahu,” ujar salah seorang siswa. Tak ingin dibilang cantik. Elsa memberanikan diri mengangkat wajah. Melihat pada anak-anak cowok di sekelilingnya. “Sangat cantik,” puji mereka. “Apa kamu punya darah bule?” tanya seorang siswa. “Jika tidak, mamamu pasti sangat cantik,” tambah siswa lain. Elsa tidak menjawab. Kembali menunduk melihat ke pangkuan. Elsa memang sering digodain anak cowok, tapi tidak pernah berani jika harus berkenalan lebih jauh dengan mereka. Rasa minder selalu datang menjadi penghalang. “Hei, mungkin kalian menakutinya,” kata siswi di sebelah Elsa. Elsa mengangkat wajah, melihat pada siswi di sampingnya. Tak perlu berkata-kata, semua juga bisa lihat betapa bibir Elsa melebar, membentuk senyum manis. “Wow. Cantik banget,” komen seorang siswa. Senyum di wajah Elsa membeku. “Minta nomor WA dong..” Teman sebangku Elsa yang melihat Elsa tak nyaman segera saja mengusir anak-anak cowok. “Kalian pergi sana, dianya nggak nyaman tahu.” “Hm. Yuk pergi yuk.. Anaknya sombong, gak seru,” balas siswa kesal. Meski begitu, mereka tetap pergi, meninggalkan Elsa dengan teman sebangkunya. Elsa merelaks. Ia melepas tas ransel, memasukkannya ke dalam sorogan. Teman sebangkunya masih terus melihati Elsa. “Um.. Terima kasih,” kata Elsa pada gadis di sebelah. Siswi itu tersenyum. “Terima kasih kembali,” balasnya. Ia menyodorkan tangan pada Elsa, mengajak bersalaman. Elsa tersenyum, balas mengulurkan tangan. “Irra,” kata gadis di sebelah Elsa. “Elsa.” Irra meremas pelan tangan Elsa sebelum melepaskan tangannya. “Hari ini santai saja. Hari pertama masuk sekolah Cuma masuk setengah kok,” bilang Irra ceria “Oh..” balas Elsa polos. “Sudah punya buku pelajaran?” tanya Irra lagi. Elsa menggeleng. “Tadi kata Bu Ummi bisa ambil di koperasi saat jam istirahat.” “Aku temani.” Elsa tersenyum. Berterima kasih. Ia yang dasarnya memang pendiam kehabisan kata-kata. “Maaf, aku mungkin gadis yang membosankan,” bisiknya. “Hehehe, gak masalah. Kalau kamu nyamannya diem, diem aja gak papa. Aku gak masalah, hehe.” “Terima kasih.” Merasa lebih nyaman, Elsa mengedarkan pandangan. Di seberang dekat kaca, Liam duduk bersama teman-temannya. Mereka berbicara entah apa. Tampak terpingkal-pingkal. Hanya Liam saja yang malas-malasan, teman-temannya yang lain tampak antusias tertawa-tawa. “Mereka memang kelompok anak trendi. Anak-anak populer,” kata Irra dari sebelah. Elsa menoleh. “Ya?” “Mereka memang tampan. Dari keluarga konglomerat juga,” imbuh Irra. Secercah harapan di hati Elsa muncul. “Kamu enggak?” “Enggak apa?” Irra balik tanya. “Enggak seperti mereka,” ujar Elsa dengan mata berbinar. “Seperti mereka seperti apa, El?” Irra bertanya lagi. “... Yang bukan dari keluarga konglomerat?” tanya Elsa ragu. Irra nyengir kuda. Ia memperlihatkan badge nama di kemeja seragamnya. “Irra M. Yosire,” baca Elsa pelan. “Tidak pernah dengar?” tanya Irra dengan cengiran. “Maaf.” “Hahaha. Tidak masalah. Mungkin ayahku butuh kerja lebih keras lagi.” Elsa tersenyum lemah. Seperti kata Bu Ummi tadi, siswa yang bisa sekolah di sini pasti berasal dari keluarga kaya. Keluarga dengan penghasilan biasa saja tidak akan mampu membayar biaya sekolah di sini. Elsa muncul sifat mindernya. Dua siswi yang duduk di meja depannya berbalik ke belakang, seperti akan mengajak berkenalan tapi tak jadi saat Elsa menunduk. Mereka lalu sibuk bergosip dengan Irra. *** Pada jam kedua, mereka ada kelas sebentar. Materi pengantar. Kelas pertama Elsa di Leuven sangat menyenangkan. Metode pembelajaran di sini jauh berbeda dengan sekolah lamanya. Di sini, penyampaian materi lebih pada futuristik dengan sesi diskusi aktif. Anak-anak di kelas sangat aktif, korporatif saat menjawab pertanyaan dari para guru. Sementara Elsa, si anak bawang, memperhatikan kelas dalam diam. Selesai kelas yang panjang, akhirnya bel istirahat bunyi juga. Irra sangat baik, selesai menemani Elsa mengambil buku di koperasi, ia masih menemani Elsa keliling sekolah. Begitu Irra mengajak Elsa ke kantin, saat itulah Elsa menolak. Ia berpamitan akan mengurus buku mapel katanya. *** Kata Irra tadi, biasanya hari pertama hanya masuk setengah. Habis istirahat diam dulu di kelas baru pulang. Sekalian saja Elsa mengepak beberapa buku pelajaran semuat ranselnya. Sisanya, ia tinggal di loker. Sembari membawa buku Fisika, Elsa membawa bekal makan siangnya ke tangga darurat. Tangga itu berada di belakang lift. Ia awalnya berniat untuk duduk di tangga darurat lantai tiga, lantai kelasnya, tapi memutuskan untuk turun lagi ke lantai dua, lantai anak kelas tiga. Emperan tangga di lantai dua lebih besar karena tidak ada boks listrik. Makan siang kali ini, Elsa dibawakan hotdog dengan sosis besar. Meski roti itu lembek, Elsa tidak masalah. Hari ini kepala pelayan memberinya banyak mayonais, ‘Yummi!’ Elsa suka sekali. Menghabiskan makan siangnya, Elsa meneguk air banyak-banyak, masih lapar karena porsi makan siangnya yang sedikit. Sebenarnya, Tuan Desta memberi pilihan antara kartu makan siang di Leuven atau gaji bulanan, tentu saja Elsa memilih gaji bulanan. Tuan Desta sangat menyayangkan. Padahal nilai voucher makan siang jauh lebih tinggi dibanding gaji bulananan Elsa. Setelah perutnya penuh, Elsa baru membuka buku pelajaran. Hm.. Pelajaran Fisika sangat menyenangkan. Sambil bersenandung-senandung ria, Elsa membalik buku pelajaran. Berhati-hati agar tak mengotori buku barunya. “Oh? Siapa ini memblokir jalan?” Saking asyiknya, Elsa sampai tak menyadari kedatangan rombongan siswa. Gadis itu mengangkat wajah, melihat beberapa siswa di depannya. “Boleh minggir sebentar?” tanya siswa di bagian depan. “O-Oh, tentu saja.” Elsa buru-buru berdiri. Pulpen di pangkuan gadis itu menggelinding, tapi Elsa tak sampai memperhatikan. Dia sibuk memberesi barang-barangnya di anakan tangga. “Aku tidak pernah melihatmu. Anak baru?” tanya siswa lain. Elsa malah semakin menunduk dalam. Ia seperti akan menjadikan dirinya satu dengan tembok di belakang. “Hm.. Cantik sih, tapi terlalu pemalu. Ayo pergi.” Pemuda di bagian depan itu berjalan keluar. Anak-anak di belakangnya mengekor. Hanya melirik Elsa sekilas. Elsa pikir, semuanya sudah pergi. Tapi, saat ia mengangkat wajah, masih ada satu lagi siswa berdiri di beberapa tangga di bawahnya, tersenyum manis untuknya. Elsa kembali menunduk. “Kenapa menunduk?” tanya siswa itu. Suaranya dalam dan terdengar hangat. Elsa memberanikan diri mengangkat wajah. “Maaf,” katanya. Pemuda itu tertawa pelan. Tawanya terdengar merdu di telinga Elsa. “Untuk apa minta maaf?” tanya pemuda itu ceria. “Maaf,” kata Elsa lagi. Tersenyum, siswa itu berjalan mendekat. Elsa berjalan mundur, tapi belakangnya ada tembok. Elsa tak melihat, betapa senyum samar menghiasi wajah tampan di depannya. Pemuda itu berhenti beberapa tangga di bawah Elsa, menjadikan tubuh mereka sejajar saling berhadap-hadapan. “Nih, pulpen kamu.” Pemuda itu menyodorkan pulpen milik Elsa yang tadi jatuh. “Terima kasih,” balas Elsa pelan. Ia hati-hati mengambil pulpennya kembali. Elsa pikir, pemuda itu akan segera pergi. Tapi dia masih berdiri di sana, di depannya. Dengan jarak yang super dekat. “A-Ada yang bisa saya bantu?” tanya Elsa gugup. Siswa itu terlalu intens melihatnya. “Siapa namamu?” tanya si cowok. Ia bisa saja membaca name tag Elsa. Hanya saja, dia ingin mendengar langsung dari sang empunya nama. Ditanya nama, Elsa kembali pada mode profesional. Ia tersenyum seperti saat ia menyapa tamu-tamu yang datang ke rumah Keluarga Zachary. Jiwa pelayan benar-benar telah mendarah daging. “Perkenalkan, nama saya Elsa Evelisse dari kelas XI-11.” “Adik kelas rupanya.” Pemuda itu mengulurkan tangan. Elsa yang jarang diajak berjabat tangan sedikit tersipu. Ia malu-malu mengulurkan tangan. “Adam,” kata si cowok tampan. Meremas lembut tangan Elsa. “Elsa,” balas Elsa sopan. Elsa pikir, pemuda itu akan segera pergi setelah tahu namanya, tapi rupanya tidak. “Ada yang bisa saya bantu?” tanya Elsa lagi. Kali ini lebih kalem dan tidak segugup tadi. Masih dengan menggengam tangan Elsa, Adam menatap mata Elsa lurus-lurus. “Apa aku boleh minta nomor telfonmu?” Blush.. Pipi Elsa memerah. Dari jarak yang sedekat ini. Ia bisa melihat iris hitam di depannya berbinar penuh senyum. Tak ingin melihat wajah tampan si kakak kelas, Elsa menurunkan pandangan. Malah jadinya ia melihati d**a pemuda di depannya. “Kenapa? Suka dengan dadaku?” goda Adam. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD