5. Cinta Datang

2083 Words
“Kenapa? Suka dengan dadaku?” goda Adam. Malu, Elsa menarik tangannya. “B-Bukan seperti itu.” “Oh? Jelaskan padaku,” tantang Adam. Kali ini bersedekap memandang Elsa. Senyum jail menghiasi wajah tampannya. Elsa tahu, senior di depannya hanya berniat menggoda. Meski begitu, Elsa tetap serius mencari jawaban. ‘Ding dong.. Ding dong.. Ding dong.. Jam istirahat telah selesai.’ Suara itu terus berbunyi berulang kali. Elsa ingin pergi memberesi barang-barangnya. Tapi pemuda di depannya tak kunjung pergi juga. Pemuda itu merenggangkan tubuh. Tampak lelah entah habis melakukan apa di jam istirahat. “Kak, sudah bel..” kata Elsa takut-takut. “Jadi fiks nih aku gak dikasih nomor kamu? Padahal sepertinya aku suka sama kamu.” Mendengar kata ‘suka’ yang dikatakan dengan jelas sambil menatap matanya lurus-lurus, Elsa mau tak mau ikut tersentuh juga. Bagaimanapun, dia hanya remaja biasa. Adam si kakak kelas itu tersenyum. “Maaf jika aku menakutimu. Aku hanya tiba-tiba merasa tertarik denganmu.” Rona merah kembali menyembul di pipi Elsa. Dia memang sering mendapat pengakuan cinta, tapi ini pertama kalinya jantungnya terasa berdebar gugup di depan pemuda selain Liam. Adam lagi, “Saat aku lihat kamu dari bawah tadi, dalam hati aku bertanya, kamu siapa? Kenapa aku tidak bisa berhenti melihatimu? Hm.. Mungkin kamu yang dinamakan tipe ideal, hehehe.” “T-Terima kasih,” jawab Elsa malu. “Ya sudahlah kalau gak mau ngasih nomor telfon.” Pemuda itu menunduk, mengambilkan buku dan kotak makan siang Elsa. Ia meraih tangan Elsa yang masih membeku kaget, meletakkan barang-barang itu di tangan Elsa. “Terima kasih,” kata Elsa lagi. “It’s okay,” kata Adam sambil berjalan. Elsa masih membeku melihati senior tersebut membuka pintu. “Selamat tinggal-” kata Adam bebarengan dengan “Kak,” dari Elsa. Adam tersenyum, berbalik melihat Elsa. Untuk pertama kali, senyum relaks menghiasi wajah cantik Elsa. “Kakak duluan,” katanya. Adam menggeleng. “Kamu duluan,” katanya. Elsa tersenyum manis. “Baiklah kalau begitu.” Elsa, “Um.. Jadi, sebenarnya aku gak ada handphone.” Adam masih berdiri memandang Elsa. Terlihat bodoh. “Ya?” tanyanya tak mengerti. “Aku gak punya smartphone,” kata Elsa lagi. “Aku tidak mengerti,” kata Adam. Elsa sabar mengulangi, “Aku tidak punya smartphone, Kak.” Adam masih bengong sampai kemudian ia berhasil memahami maksud kata-kata Elsa. Pemuda itu tertawa pelan. Kembali menutup pintu di belakangnya. Elsa yang ingat kalau bel sudah bunyi mengingatkan, “Sudah bel masuk, Kak,” katanya. “Tenang saja. Hari pertama hanya masuk setengah. Tunggu saja lima belas menit lagi, pasti ada pengunguman boleh pulang,” balas Adam dengan senyum kecil. Elsa yang seumur-umur tak pernah bolos entah mengapa hari ini ingin mencoba rasanya bolos. “Baiklah kalau begitu,” jawabnyak polos. Adam tertawa melihat Elsa. “Aku tanya, seriusan kamu gak ada ponsel?” Sedikit malu, Elsa mengakui, “Iya, Kak. Aku gak ada ponsel.” Berpikir sebentar, Adam merogoh saku, mengeluarkan ponselnya. “Nih, untukmu,” katanya sambil menyodorkan ponsel miliknya. “Maksudnya, Kak? Nggak usah, beneran gak usah. Aku gak papa.” Adam meraih tangan Elsa, meletakkan ponselnya. “Sudah, ambil saja. Aku ada dua lagi di rumah.” Mendengar Adam bilang punya dua lagi di rumah, mata Elsa yang semula gugup ketakutan melebar penuh terima kasih. “Sungguh, Kak? Ini untukku?” “Tentu saja.” “Terima kasih..” balas Elsa dengan mata berkaca-kaca. “Sama-sama. Berapa nomor lokermu? Besok aku bawain charger.” Elsa merogok saku rok seragam, mengeluarkan buku note kecil dari sana. “Nomor 7865,” katanya sambil membaca buku note. “Oke. Besok aku bawain.” “Terima kasih.” Dengan perasaan bahagia yang meluap-luap, Elsa mengantongi ponsel pertamanya di rok sekolah. Ponsel tersebut sangat besar, jika bukan karena saku roknya yang dalam, benda itu pasti tidak akan muat. Elsa yang biasanya tidak pernah berani berjalan berjajar dengan seseorang, kali ini riang berjalan di samping Adam. “Benar kata Kakak, semua kelas masih ramai, hehe,” kata Elsa riang. Adam melihat ke Elsa, tak peduli dengan siswa-siswi yang riuh bersiul. Elsa pun sama, seperti tak bisa mendengar sekeliling dan hanya tersenyum melihat Adam. “Anak baru?” tanya Adam yang baru menyadari kejanggalan. “Hehehe, iya, Kak. Hari ini hari pertama.” Mata Elsa yang seolah mengeluarkan binar cahaya membuat Adam bersyukur tadi sudah memberikan ponsel miliknya. Meskipun sangat aneh sih, anak zaman sekarang gak punya ponsel, anak Leuven lagi. Hm? Tunggu, gadis di sampingnya juga bawa bekal dari rumah. Mungkin gadis itu berasal dari keluarga pas-pasan, pikirnya. Muda-mudi itu saling berbalas senyum. Siswa-siswi kepo mengintip dari jendela kelas. “Nanti kalau ada pesan atau telfon masuk abaikan saja. Biar nanti aku buat pengunguman di sosmed kalau aku ganti nomer,” jelas Adam. “Hehehe, siap. Makasih, Kak.” Adam mengangguk. Ia berbelok, masuk ke dalam kelas. Ia tidak tahu kenapa teman-teman sekelasnya bersorak keras, saat ia berbalik, ... Elsa masih mengikutinya. Elsa yang tersadar, tersipu malu melihat dirinya menjadi pusat perhatian. Gadis itu menunduk malu, membenarkan helaian rambut. Para siswa semakin ramai menyoraki. “Elsa,” panggil Adam. “Iya, Kak.” Elsa memberanikan diri mengangkat wajah. “Kamu gak ke kelas?” tanya Adam. “Tentu saja aku ke kelas,” balas Elsa. Terlihat menggemaskan dengan pipinya yang menggembung. Adam menahan diri untuk tidak mencubit pipi gadis di depannya. “Kamu bilang kamu kelas sebelas?” “Memang,” balas Elsa polos. “... Ini kelas dua belas.” “Ya?” “Ini kelas dua belas,” ulang Adam. Dunia nyata menyadarkan Elsa. Pandangan siswa satu kelas, kelas yang hening melihat ke arahnya .... “Ah..” jerit Elsa pelan. Gadis itu membungkuk dalam-dalam. “Maaf, maaf,” katanya. “Maaf, aku tak sengaja masuk. Maaf,” katanya lagi. Adam yang paham situasi Elsa nyengir lebar. Pemuda itu merangkul bahu Elsa, mengajak gadis itu keluar. Anak-anak di kelasnya kembali riuh menyorak. Malu sekali Elsa, wajahnya sudah semerah tomat! “Sorry guys. Dia anak baru. Baru pindah hari ini, hehehe,” kata Adam pada teman-temannya. “Anak baru datang langsung saja diembat woyy..” teriak salah seorang siswa. Elsa benar-benar mati kutu. Tidak berani mengangkat wajah saking malunya. “Gue balikin dia pulang dulu guys, hahaha,” pamit Adam. Teman-teamnnya berdecak, mengatai Adam modus. Sebelum digiring Adam keluar, Elsa sekali lagi membungkuk dalam-dalam, mengucap kata maaf. Masih dengan tangannya yang melingkar di bahu Elsa, Adam mengajak Elsa pergi. Mengantarkannya kembali ke tempat asal. Kali ini bukan lewat tangga darurat, langsung saja lewat lift. Ia melepas rangkulannya di pundak Elsa, memencet nomor lift untuk satu tangga di atas. “Maaf, Kak. Aku bener-bener minta maaf.” “Gak papa kok. Gak masalah,” kata Adam menenangkan. “Terima kasih.” “Kenapa suka sekali mengucap kata maaf dan terima kasih? Sama aku santai saja, hehehe.” “Terima kasih,” ucap Elsa tulus. Adam mengacak rambut Elsa gemas. “Sama-sama.” ‘Ding!’ bunyi lift. Mereka sudah sampai. Elsa keluar lift. Sekali lagi membungkuk untuk senior baik yang ditemuinya hari ini. “Terima kasih, Kak,” kata Elsa dengan senyum manis. Adam tersenyum, mengangguk untuk Elsa. Ia menahan pintu. Dengan tangannya menyuruh Elsa untuk pergi. Gadis itu berbalik senang. Senyum manis merekah di wajah cantiknya. Adam masih sama. Tersenyum samar melihati punggung Elsa menjauh. Entah ada apa dengannya hari ini. Sampai di kelas, Adam baru sadar. Betapa bodohnya dia. Memberikan ponselnya pada Elsa?? Mobile banking? Akun sosmed? Email-nya? Nomor-nomor penting di kontaknya?? Ugh.. Adam menarik rambutnya frustrasi. Baru tahu dia bisa sebodoh ini hanya karena melihat gadis cantik. Hahaha. *** Malu-malu, Elsa masuk ke ruang kelasnya. Beberapa siswa hanya melirik, kemudian berbalik mengurusi urusan masing-masing. Mungkin mereka terlalu bosan dengan karakter Elsa yang pemalu, jadinya enggan untuk menyapa. Elsa yang masih berbunga-bunga luput akan pandangan penuh tanda tanya dari Liam. Ia fokus saja berjalan menuju mejanya dengan wajah penuh senyum. “Dari mana saja?” tanya Irra, teman sebangku Elsa. “Hehehe, ada urusan tadi.” Gadis itu meletakkan barang-barangnya di atas meja, duduk dengan hati-hati merasakan gundukan segi empat di rok seragam. Irra mengangguk. Mengetuk-ngetuk meja dengan jari. “Bawa bekal?” tanya Irra begitu melihat Elsa memasukkan kotak makannya ke dalam ransel. Dua anak perempuan di depan bangku Elsa berbalik. Melihati Elsa. “Bawa bekal?” tanya mereka bersamaan. Elsa tersenyum, mengangguk. “Iya, aku bawa bekal,” katanya. Siswi di depan Elsa memasang wajah maklum. “Iya sih, sekolah di sini mahal,” komentarnya. “Ngomong-ngomong, namaku Arum,” kata siswi yang duduk di depan Elsa. “Aku Tina,” sambung teman sebangku Arum. “Elsa,” balas Elsa ramah. “Boleh minta nomor WA-mu? Biar aku add ke grup kelas,” Arum berkata. Tangan Elsa ragu menyentuh ponsel di saku roknya. Meski dia belum pernah memiliki handphone, dia juga tidak bodoh-bodoh amat sampai tidak tahu sistem kerja smartphone. Dia sudah lama berencana membeli ponsel saat tabungannya sudah cukup. Tak ingin menggunakan nomor Adam, Elsa pun memutuskan. “Aku baru mau beli nomor baru. Kalau boleh, biar aku saja yang minta nomor kalian, nanti aku hubungi,” kata Elsa sopan. “Boleh, boleh.” Arum menuliskan nomornya di buku Elsa. ‘Ding dong. Ding dong. Pengumuman, sekali lagi pengumuman. Diberitahukan kepala seluruh civitas akademika Leuven Senior High School, untuk hari ini diperbolehkan pulang. Sekali lagi saya ulangi....’ Suara pengumuman itu teredam oleh kelas-kelas yang riuh, teriakan senang dari seluruh penjuru sekolah tergaung dari sana sini. “Jalan yuk,” ajak Irra. Matanya berbinar tak sabar, melihat pada ketiga siswi di depannya. “Aku ikut,” Tina nimbrung dengan senyum lebar. “Main ke mana dulu? Kalau ke mal aku mau,” sahut Arum. “Iya, Neng, iya.... Ke mal....” balas Irra meledek. “Kamu nggak ikut?” tanya Arum pada Elsa. Elsa serba salah. “Maaf. Mungkin lain kali saja,” jawabnya. Ditatap tiga pasang mata sekaligus, tentu saja Elsa merasa gugup. “Aku ... aku ada kerja.” Ekspresi ketiga wanita di depannya berubah aneh. “Kerja? Anak seusia kita kerja? Itu salah satu pelanggaran hak anak lho,” ucap Arum marah. “Masa bentar doang gak boleh sih? Toh ini juga harusnya masih jam sekolah,” Irra ikutan menyahut. “Maaf, tapi mungkin lain kali. Aku akan minta izin dulu,” ujar Elsa serba salah. Arum dan Irra masih melihati Elsa tak terima. Tina pun turun tangan. “Mungkin keluarganya Elsa memang gitu, Guys. Sabar saja. Kapan-kapan kita jemput Elsa langsung di rumahnya.” Ucapan Tina memang menenangkan untuk Arum dan Irra, tapi tidak untuk Elsa. Gadis itu meneguk ludah gugup. Tersenyum, ia meyakinkan diri, bahwa tidak apa-apa kalau suatu saat nanti teman-temannya tahu kalau dia hanyalah seorang pelayan tanpa rumah. Tidak papa, semua akan baik-baik saja. “Terima kasih,” balas Elsa. *** Pulang sekolah, Elsa mampir beli kartu perdana di konter pinggir jalan. Ia bertanya-tanya lama, memilih kartu provider yang paling murah untuknya. Sepanjang perjalanan, gadis itu terus saja memegangi ponsel di sakunya, takut tiba-tiba benda itu menghilang dari sana. Meski ponsel itu terus bergetar, Elsa menahan diri untuk tidak membuka ponsel barunya di pinggir jalan, ia takut kena jambret dan lain sebagainya. Lagipula, Adam juga sudah memberitahunya untuk mengabaikan jika ada pesan atau telepon masuk. *** Sampai di rumah, Elsa bergegas ganti baju pelayan. Jam segini memang tidak terlalu banyak pekerjaan. Paling hanya bersih-bersih biasa. Karena sekarang dia punya ponsel, kamarnya pun ia kunci. Gadis itu tak sabar menunggu malam tiba. Sore itu, Liam pulang dengan beberapa orang temannya. Mereka masih berseragam, ketawa-tiwi entah membicarkan apa. Elsa yang tengah mengelap guci di koridor lantai dua menghentikan aktivitas, membungkuk menyapa tuan muda dan teman-temannya. Elsa yang membungkuk bisa melihat beberapa pasang kaki berseragam celana merah bata Leuven. Semuanya laki-laki. Seperti biasa saat ada tamu, Elsa yang masih muda nan cantik menjadi kandidat utama pelayan yang menemani. Tak perlu dipanggil, Elsa datang langsung ke dapur. Kepala pelayan tersenyum senang padanya. “Tunggu sebentar. Biar cookies-nya matang dulu,” kata wanita tersebut. Meski beberapa pelayan kadang suka iri pada Elsa, tapi para pelayan itu tetap profesional. Mereka juga tahu betapa melelahkannya menunggu para tamu, berdiri berjam-jam dengan high heels, memasang senyum robot, harus stand by setiap saat. Mereka merasa beruntung ada Elsa. Sambil menunggu kudapan disiapkan, Elsa pergi ke toilet sebentar, karena jika sudah menemani tamu, tidak ada alasan untuknya pergi dari ruangan. Selesai menyelesaikan urusannya, ia berkaca sebentar, merapikan penampilan. “Jika ada yang teman-teman Tuan Muda inginkan, kamu segera balik ke sini,” kepala pelayan mengingatkan. Selalu saja kalimat itu, sampai Elsa hafal. “Baik, Bu,” jawab Elsa sopan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD