[3] Ada Cerita

1889 Words
Sejak dari toilet dan bertemu Redo, Ayesha jadi pendiam. Di pikirannya sibuk memutar percakapan dengan cowok itu. Berkali-kali Ayesha mencoba fokus, selalu saja tatapan Redo yang tajam tiba-tiba menyeruak di pikirannya. Ini pertama kalinya Ayesha seperti ini. Cowok-cowok di sekolah tidak pernah ada yang membuatnya sampai kepikiran. “Sha! Ambilin lem tembak dong.” Suara Nala mengejutkan Ayesha yang setengah melamun itu. Dia mengambil benda yang terdekat kemudian menyerahkan ke Nala. “Ini penggaris, Sha!!” Nala menyodorkan penggaris plastik ke Ayesha. “Ups. Sorry.” Ayesha mengambil lem tembak dan mengulurkan ke Nala. Sikap Ayesha yang cukup aneh itu membuat Nala kebingungan. Tidak biasanya Ayesha banyak melamun. Biasanya gadis itu paling semangat dan aktif di setiap kegiatan. Tiba-tiba pikiran negatif menghantui Nala. “Lo kesambet setan toilet?” bisiknya. “Ya ampun! Gue harus panggilin guru agama, nih, buat bantu lo!” Seketika Ayesha menoleh lalu menggeleng tegas. “Gue baik-baik aja kok.” “Baik-baik apanya? Lo lebih banyak diem,” jawab Nala. “Lo kesambet kan, pasti?” “Lo malah doain gue?” “Ya nggak gitu. Cuma lo aneh aja, Sha!” Nala menatap Ayesha saksama. “Huh...” Ayesha menarik napas panjang. Dia tidak bisa menyimpan ini sendirian. Ayesha menoleh ke kiri dan ke kanan, melihat peserta lain sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Dia lalu bergeser mendekat ke Nala. “Lo inget cowok yang nyeret gue turun dari mobil?” “Yang lo ceritain di chat?” tebak Nala. “Nah. Bener.” Nala manggut-manggut tampak penasaran dengan kelanjutan cerita Ayesha. “Dia anak sekolah sini? Ganteng? Anak Basket? Ketua OSIS?” Tentu Nala dengan mudah menebak, Ayesha tidak kaget dengan hal itu. Dia akhirnya mengangguk dan Nala tersenyum semringah. “Seriusan lo? Gue pengen tahu cowoknya yang mana. Sekarang dia di mana? Kita izin keluar dulu, yuk!” “Lo nggak bakal percaya,” ucap Ayesha lalu mengembuskan napas lelah. “Huh...” “Percaya apa?” “Dia itu cowok yang kita lihat tadi. Yang bikin kita ketakutan.” “Serius?” Nala menatap Ayesha tidak percaya. Dia merasa dunia ini begitu sempit, daun kelor saja kalau sempit. Ayesha mengangguk sambil tangannya melilitkan tali ke gelas plastik. “Gue kemarin berani maki-maki dia. Tapi tadi gue ketakutan. Auranya itu loh nyeremin. Belum lagi tatapannya. Merinding deh gue!” Kala ini Nala sependapat dengan Ayesha. Benar, sih, cowok tadi ganteng tapi kalau nyeremin juga buat apa. “Lo harus menjauh dari dia.” “Semoga gue nggak ketemu lagi sama dia. Bikin merinding.” Ayesha bergidik. Sebelumnya Ayesha tidak pernah terbayang akan bertemu dengan Redo cowok sombong dan sekarang membuatnya ketakutan itu. Untungnya mereka tidak satu sekolah. Kalau satu sekolah, Ayesha pasti tidak tenang jika bertemu dengan Redo. Bye, Ayesha Salsa Parulina. Teriakan Redo tiba-tiba terngiang di kepala Ayesha. Dia mengembuskan napas panjang kemudian menatap Nala. “La. Dia tahu nama gue.” Nala yang membuat hiasan dari gelas bekas seketika mengangkat wajah. “Kalian udah saling kenalan?” “Dia yang ngenalin diri ke gue. Duh, kok gue jadi nggak tenang, ya.” Ayesha mulai ketakutan sendiri. “Kalau sampai ketemu lagi gimana?” “Pertanda bakal jatuh cinta.” “Amit-amit!!” Ayesha mengetuk meja dan mengetuk kening. “Lo kalau doain temen yang bener dong. Masa gue didoain sama cowok nyeremin itu.” “Hahaha...” Nala terbahak, cukup terhibur dengan ketakutan Ayesha. “Udah tenang aja. Lagian sekolah kita lumayan jauh dari sini. Kecuali... .” “... kecuali apa?” potong Ayesha. “Kecuali lo samperin Redo atau Redo nyamperin lo.” “Ogah!!” Ayesha mengikat tali dengan kekuatan penuh, luapan emosinya atas ucapan Nala. Sungguh, dia tidak berharap bertemu Redo lagi. Selama ini dia jarang ketakutan dengan seorang cowok. Sampai Redo datang dan membuatnya seperti ini. Diam-diam Nala tersenyum melihat ekspresi Ayesha yang selalu ogah-ogahan setiap membicarakan masalah cowok itu. Dia tahu apa yang membuat Ayesha seperti itu, tapi tetap saja dia selalu menggoda Ayesha. “Ketemu tiga kali berarti jodoh.” “La...” Ayesha menatap Nala lelah. “Gue cuma ngomong. Bukan berarti gue doain lo,” jawab Nala. “Tapi kalau lo ngerasa gitu, ya gue amini aja.” “Nala.. Rese banget, sih!!” Ayesha mengacak rambut Nala dengan gemas, cara ampuh untuk membungkam sahabatnya yang cerewet itu. “Sha!! Rambut gue jadi berantakan, kan!” Ayesha tidak peduli dan kembali melanjutkan pekerjaannya.   ***   Ayesha kira workshop ini akan berlangsung beberapa jam saja. Namun, sampai jam dua belas siang kegiatan ini belum selesai. Setelah diawali dengan materi, membuat karya dan menghitung biaya keperluan, sebentar lagi dilanjut dengan presentasi dari masing-masing sekolah. Sebelum kegiatan itu dimulai, para siswa diberi waktu untuk beristirahat. Ayesha dan Nala memilih duduk di taman kecil dekat perpustakaan. Di pangkuan mereka terdapat nasi kotak dengan lauk ayam bakar. Sedangkan Bu Kinanti, sibuk mengobrol dengan teman seprofesinya. “Gue nggak bisa bayangin kalau sekolah di sini,” ucap Nala. “Emang kenapa?” Nala mengedarkan pandang, melihat bangunan sekolah yang luas itu. “Kalau telat capek larinya.” Ayesha menahan tawa, dia kira Nala akan menjawab karena cowok-cowoknya ganteng semua. “Capek, La. Dari gerbang aja udah lumayan jauh. Lo nggak lupa, kan, gue tadi ngos-ngosan? “Iya, dan muka lo berkeringat!” lanjut Nala. Tett!!! Percakapan mereka terhenti karena bel sekolah berbunyi. Selanjutnya terdengar suara cukup gaduh dan beberapa siswa keluar dari kelas. Dari posisinya, Ayesha bisa melihat beberapa siswa mulai membuka makanan sambil sesekali mengobrol. “Btw, Redo-Redo itu kelas berapa?” tanya Nala. Ayesha mengedikkan bahu. Dia tidak sampai bertanya lebih lanjut. “Kelas dua kayak kita mungkin.” “Tapi dari tampangnya kayak udah kelas tiga, deh.” “Tahu, deh. Lo yang lebih pinter soal urusan cowok.” Ayesha melanjutkan makan siangnya sambil mengedarkan pandang. Hingga dia mendongak dan melihat beberapa cowok menunduk ke arahnya. Diperhatikan seperti ini membuat Ayesha risih. Dia seketika berdiri dan menarik Nala ikut serta. “Pindah, yuk!!” “Ya Allah pewe banget, Sha!!” tolak Nala. “Gue beliin minum, deh!” Barulah Nala mendongak dan senyum mengembang. Dia seketika berdiri dan mengamit lengan Ayesha. “Kita cari kantinnya sekalian lihat pemandangan.” “Ya udah cepetan!” Ayesha menurut saja daripada terus diperhatikan oleh cowok-cowok di lantai dua. Sampai di kantin, keputusan Ayesha sepertinya salah. Dia melihat banyak cowok yang duduk dan menatap ke arahnya. Mungkin karena dia memakai seragam berbeda hingga terus diperhatikan seperti ini. “Lo nggak bisa mundur,” bisik Nala lalu mengajak sahabatnya itu ke stand paling pojok. Mungkin Ayesha sedang apes, karena lagi-lagi dia melihat Redo. Cowok itu duduk sendiri di bangku pojok dan menyantap gado-gado dengan nikmat. “Itu cowok yang tadi bukan?” Radar Nala langsung menyala. “Ssst. Lo diem, deh. Daripada dia denger terus bikin kita ketakutan.” Beruntung Nala mau diajak kompromi. Dia langsung diam dan memilih aneka minuman ringan. Di belakangnya Ayesha menunduk berharap Redo tidak menyadari keberadaannya. Tak lama kemudian dia mencium aroma maskulin yang menguar. Lalu ada tangan terulur di samping kepala. Ayesha seketika menoleh dan tersentak melihat Redo berada tepat di belakangnya. Belum sempat dia memaki, Redo lebih dulu bersuara. “Lo berdiri tepat di depan kulkas. Nggak ada cara lain supaya gue ambil air mineral ini,” jelas Redo sambil menggoyangkan air mineral dingin di tangannya. Ayesha refleks bergeser sambil mengatur jantungnya yang berdetak tidak keruan. Modus doang dia, batinnya. Bisa saja Redo mengucapkan permisi dulu lalu Ayesha agar menjauh dari kulkas. Bukan malah di belakangnya dan membuat Ayesha tidak nyaman seperti ini. “Belum selesai workshop-nya?” tanya Redo yang berdiri di bekalang Ayesha. “Belum.” Nala yang baru kembali seketika menjawab. “Workshop apaan lama banget. Kalau bosen kabur aja.” Saran Redo yang seperti itu membuat Ayesha geleng-geleng. Benar dugaannya cowok itu bukan cowok baik. “Ayo, La, balik!” ajak Ayesha sebelum dia ketakutan. “Yuk!” Nala kali ini sepemikiran dengan Ayesha, karena dia melihat tatapan Redo mulai menajam. “Tunggu.” Tanpa sadar Redo menyentuh pundak Ayesha. Refleks Ayesha mundur dan mengusap pundaknya. “Kalian dari sekolah mana?” tanya Redo penasaran. “Bukan urusan lo!” Setelah mengucapkan itu Ayesha menarik Nala keluar dari kantin. Redo terdiam, menatap Ayesha yang sepertinya telah mendapatkan lagi keberanian. Ini gadis kedua yang menolak kehadiran Redo. Biasanya gadis lain akan memanfaatkan kesempatan untuk berkenalan dengannya. Penasaran, Redo berlari mengejar Ayesha dan menarik pergelangan tangan gadis itu. “Lo kemarin bilang gue sombong. Sekarang lo yang sombong!” Demi Tuhan, Ayesha tidak mau lagi berurusan dengan Redo. Gadis itu menarik tangannya dan berjalan dengan cepat. Sayangnya, Redo terus mengejar bahkan berjalan di samping Ayesha. “Ngejek orang emang gampang, ngaca yang susah. Kayak lo,” bisik Redo. Ayesha seketika menghentikan langkah, begitupun Nala yang mulai risih dengan tingkah Redo. “Gue nggak ganggu lo, ya. Jadi lo jangan ganggu gue!!” Redo menggeleng pelan. “Gue nggak ganggu lo. Gue cuma tanya kalian sekolah di mana?” Nala melirik wajah Ayesha yang telah memerah itu. “SMA Pancasila,” jawabnya. “Udah tahu, kan, sekarang? Jangan ganggu gue!” Ayesha balik badan dan berlari menuju aula. Kali ini Redo tidak mengejar, hanya menatap Ayesha yang berlari dengan rambut yang bergerak ke kiri dan ke kanan itu. “Bye. Ayesha Salsa Parulinda!!” teriaknya dan Ayesha langsung menoleh. Redo melambaikan tangan sedangkan Ayesha langsung melengos. Barulah setelah Ayesha menghilang dari pandangan, Redo balik badan menuju kelasnya. Bibirnya tersenyum, lumayan menggoda Ayesha membuat pikirannya menjadi relaks. Bukan, bukannya Redo menyukai Ayesha, hanya kebetulan saja gadis itu terlibat masalah dengannya.   ***   Harusnya sekarang jam pelajaran sosiologi. Namun, Redo memilih keluar kelas dan berbaring di UKS. Andalan para siswa ketika bosan memgikuti pelajaran pasti beralasan sakit. Redo juga termasuk, bahkan sering. Di saat sendiri seperti ini, Redo selalu ingat dengan papa dan mamanya. Apa yang dilakukan mama dan papanya sekarang? Apakah memikirkan Redo seperti dia memikirkan orangtuanya? Redo tersenyum kecut, jelas itu tidak mungkin. Redo mengusap wajah dengan telapak tangan dan merasakan pipi kirinya sedikit bengkak. Tamparan itu masih meninggalkan bekas, bahkan sangat berbekas di hati Redo. “Bahkan mama nggak tanya kondisiku sekarang,” gumamnya dengan pandangan menerawang. Tidak ingin larut dalam kesedihan, dia mencoba menghilangkan pikiran tadi. Dia akan menjadi cowok sensitif jika menyangkut orangtuanya dan dia tidak ingin menunjukkan itu di depan orang-orang. Redo berniat tidur saat ingat kejadian kemarin sore. Waktu dia dikejar anak buah mamanya dan bersembunyi di halaman seorang gadis. Wajah gadis kemarin mulai terngiang hingga dia terpenjat saat wajah Ayesha muncul. Apa kemarin Ayesha? pikirnya. Cowok beralis tebal itu tidak begitu mudah mengingat wajah seseorang. Namun, samar-samar dia merasa kalau Ayeshalah gadis itu. “Tapi dia nggak ngenalin gue sama sekali,” gumamnya. Kisahnya cukup mirip dengan kisah Auryn. Ketika Auryn menolong Redo lalu esok harinya gadis itu seperti tidak mengenali. Ayesha juga seperti itu, meskipun Redo masih ragu gadis kemarin Ayesha atau bukan. Sekarang dia ada di sini! Seolah sadar Ayesha ada di sekolahnya, Redo langsung turun brankar dan berlari menuju aula. Pintu ruangan itu tertutup rapat, tapi dia tidak menyerah begitu saja. Dia membuka pintu itu dan ternyata di kunci. Setelah itu Redo mengintip dari jendela dan melihat ruangan itu sangat gelap. Sepertinya workshop hari ini sudah berakhir. Redo kembali dengan tangan hampa, padahal dia butuh penjelasan Ayesha. Setelah beberapa langkah, Redo baru menyadari, dia tahu di mana Ayesha bersekolah. Seulas senyum terbit di bibirnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD