[7] Perhatiannya

1978 Words
Cowok berkaus putih itu keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju kamar paling pojok. Pengalaman pertama baginya, harus mengantre dulu sebelum mandi. Redo belum sempat kenalan dengan teman kosannya. Namun, yang dia tahu, teman sekosannya satu sekolah dengan Ayesha. Brak! Redo menutup pintu dengan kaki, seperti kebiasaannya di rumah. Dia lalu berbaring di ranjang, mengistirahatkan tubuhnya yang mulai lelah. Tiba-tiba seulas senyum terbit di bibirnya. Dia ingat saat berlari bersama Ayesha. Gadis itu ternyata cukup kuat dan bisa mengimbangi larinya. Auryn saja belum tentu sekuat itu. “Kok gue jadi bandingin mereka?” Redo baru menyadari apa yang barusan dia pikirkan. Puk. Puk. Redo menepuk kening. Sepertinya dia mulai tertarik dengan Ayesha. Gadis itu unik dan tentu saja cukup kuat. Redo menggapai ponsel di bantal sampingnya dan mengirimkan pesan untuk Ayesha. Redo: Jangan lupa kakinya direndam sama air hangat. Ayesha: Oke. Ternyata Ayesha tidak lama membalas pesannya, tapi hanya singkat. Redo memutar-mutar ponselnya, bingung harus memulai percakapan apa. Belum sempat terpikirkan pesan balasannya, ponselnya lebih dulu bergetar. Papa calling. Redo seketika terduduk, tumben papa meneleponnya. Dia mengangkat panggilan itu sama sekali tidak menutupi kebahagiaannya. “Halo, Pa.” “Kamu nggak pulang? Suka bikin orang khawatir?” Sebenarnya Redo tidak ingin mendapat pertanyaan itu. Namun, mamanya pasti sudah bercerita semuanya ke sang papa. “Redo nggak bikin khawatir. Redo bakal pulang kalau papa pulang.” “Do. Papa kan kerja. Buat kamu.” “Tapi papa selalu kerja, kerja dan kerja. Nggak pernah ingat Redo.” Tubuh Redo mulai menegang. Dia sebenarnya bosan terus berdebat dengan papa dan mamanya. Namun, keinginan untuk dimengerti dan didampingi orangtuanya jauh lebih besar. “Redo bakal pulang kalau papa pulang!” Tut. Tut. Tut. Redo mematikan sambungan secara sepihak. Dia mematikan ponsel kemudian kembali berbaring. Dia berjanji akan pulang jika orangtuanya lebih dulu pulang. Di rumah dia sangat kesepian dan lama-lama kesepian itu menyiksanya. “Ada yang mau nitip nasi goreng nggak!!!” teriakan itu tiba-tiba terdengar. Seketika Redo bangkit dan membuka pintu kamarnya. Dia melihat cowok berambut cepak berdiri di depan kamarnya. “Lo baru tinggal di sini?” tanyanya. “Nama gue Redo,” jawab Redo sambil mengulurkan tangan. “Kalau nggak salah denger lo mau beli nasi goreng?” “Iya. Lo mau nitip?” Redo tampak menimbang-nimbang. Biasanya dia tinggal meminta pembantu di rumahnya maka semuanya akan beres. Dia kemudian menggeleng, tidak ingin menjadi Redo yang dulu. “Tapi gue ikut!” “Ya udah, yuk!” Keduanya menuruni tangga dan langsung ke luar dari kosan. Bangunan kosannya cukup unik, yakni dengan tangga di luar. Model seperti itu membuat para anak kos tidak perlu masuk ke area rumah ibu kos. “Gue belum tahu nama lo. Siapa nama lo?” tanya Redo setelah berjalan di trotoar. “Nama gue Aidan. Anak SMA Pancasila. Lo sekolah di mana?” Aidan berjalan sambil memperhatikan Redo. Seingatnya anak sekolahnya tidak ada yang berwajah seperti Redo. “Graha Buana.” “Gilee!! Sekolah orang-orang tajir, tuh!” Aidan geleng-geleng. “Tapi kok lo ngekos, sih?” Redo melirik sekilas, tidak mungkin dia menjawab kalau kabur dari rumah. “Gue anak rantau. Kebetulan dapet beasiswa.” “Mantep!! Otak lo encer berarti.” “Nggak juga. Anak SMA Pancasila juga pinter-pinter, kan?” “Jelas dong.” Aidan menepuk pundak Redo. Sepertinya Redo memiliki teman yang cukup asyik. Baru pertama kenal Aidan tidak menjaga image atau sok. Bahkan Aidan tidak membangga-banggakan diri seperti teman nongkrong Redo sebelumnya. “Kapan-kapan kenalin gue sama anak Graha Buana,” kata Aidan dengan senyum jahil. “Oke. Mau yang kelas berapa, sih?” “Kelas dualah. Sama kayak gue.” “Lo masih kelas dua?” tanya Redo tidak percaya. Tinggi Aidan sama seperti tingginya dan wajah cowok itu terlihat lebih dewasa. “Emang lo kelas berapa?” “Tiga.” “Wah, gue harus manggil Kak Redo, dong,” ucap Aidan malu sendiri. Redo menepuk pundak Aidan dan mengajak cowok itu berjalan lebih cepat. “Panggil Redo aja. Biar akrab.” “Sip!! Beneran, ya, kenalin gue sama anak Graha. Nanti lo gue kenalin sama anak sekolah gue.” Senyum Redo mengembang, entah kenapa pikirannya langsung tertuju ke Ayesha.   ***   Gadis dengan piyama polkadot biru dongker itu menggeram. Kakinya terasa pegal, tidak biasanya dia bangun dengan kondisi seperti ini. Ayesha perlahan berbaring terlentang dan merasakan kakinya terasa kaku. Ingatannya seketika berkelana ke kejadian semalam, saat dia berlari bersama Redo. “Aduh!! Pasti gara-gara kemarin,” keluhnya. Ayesha lupa belum merendam kakinya dengan air hangat. Semalam setelah membaca buku dia langsung tidur dan sekarang kakinya menjadi pegal seperti ini. Terimalah lagu ini dari orang biasa. Dering ponsel itu mulai terdengar, Ayesha mengedarkan pandang hingga melihat ponselnya berada di meja belajar. Di saat seperti ini dia sangat mager, tapi dia penasaran siapa yang menghubunginya. Terpaksa, dia bangkit dari ranjang dan mengambil ponselnya. Aidan calling. Ayesha mengembuskan napas kemudian mengangkat panggilan itu. “Ada apa, Dan?” “Akhirnya lo angkat panggilan gue!” “Emang kenapa?” “Lo semalem ke mana? Tiba-tiba ngilang.” Puk! Ayesha menepuk keningnya. Dia lupa sebelum berlari dengan Redo, dia nongkrong dengan Aidan dan Nala. “Sorry. Gue harus cepet-cepet pulang.” “Kata Nala lo lari sama cowok?” Tanpa sadar Ayesha menggigit bibirnya. Apakah kejadian kemarin dilihat banyak orang? “Emm. Sepupu gue kok itu. Biasalah dia suka lari.” “Oh gitu,” jawab Aidan. “Lo sekarang sibuk nggak? Mau lihat pameran sama gue?” Ayesha menggerakkan kakinya yang terasa kaku itu. Berjalan sedikit saja dia seperti robot, apalagi melihat pameran. “Kayaknya enggak, deh. Gue ada urusan.” “Yah, sayang banget. Padahal pengen ngajak lo jalan.” “Sorry, ya. Kapan-kapan dilanjutin, Dan. Bye.” “Bye, Sha.” Ayesha berjalan menuju ranjang dan kembali berbaring. Jika, diladeni sampai malampun Aidan akan terus mengajaknya mengobrol. Ayesha kemudian mengecek chat masuk yang didominasi oleh Nala dan Aidan. Isinya hampir sama, menanyakan keberadaannya. Perhatiannya lalu tertuju ke chat dari nomor yang belum dia simpan. Dia membuka chat room itu dan melihat kapan terakhir Redo online. Last seen 20.34. “Kok gue jadi nyariin dia, sih!!” Ayesha menekan tombol home dan meletakkan ponselnya begitu saja. Ini pertanda buruk bagi Ayesha. Tidak seharusnya dia menunggu chat dari Redo. Malah harusnya dia senang, cowok itu tidak mengganggunya. Tapi rasanya, Ayesha penasaran dengan cowok itu. “Ya ampun, Ayesha!! Tenangin diri lo!!” gumam Ayesha sambil menepuk sisi kepalanya berkali-kali.   ***   Setiap hari Sabtu sore, Ayesha selalu menyempatkan diri untuk melukis. Karena di waktu itulah dia dibebaskan untuk melakukan hal apapun, asal positif. Bagi Ayesha, ini adalah momen untuk mengembangkan bakat terpendamnya. Entahlah, dia terlahir sedikit berbeda. Papa dan mamanya seorang dokter dan lebih suka hal-hal yang berbau sains. Afisha juga seperti itu, hanya Ayesha saja yang suka dengan seni. Sekarang, Ayesha telah siap dengan alat lukisnya. Dia menata kursi menghadap balkon kemudian mulai menggambar di kanvas di depannya. Gerakan tangan Ayesha terlihat lues. Goresan demi goresan tinta membuat sebuah siluet bulan purnama. Ayesha kemudian terdiam, sedikit bingung mengisi bagian bawah kanvasnya dengan gambar apa. “Ayesha!!” Tiba-tiba ada yang memanggilnya. Ayesha menoleh ke belakang dan melihat pintu kamarnya masih tertutup. Dia lalu melongok ke bawah dan melihat cowok bertopi merah berdiri di depan gerbang. Ayesha seketika bangkit dan berdiri di ujung pembatas. “Ngapain?!” teriaknya. “Ketemu lo.” Tubuh Ayesha tiba-tiba panas dingin. Mendadak dia kembali ketakutan. Inilah salah satu alasan mengapa semalam dia tak mau diantar Redo pulang, cowok itu jadi tahu rumahnya. Meski Redo pernah bersembunyi di halaman tapi Ayesha yakin cowok itu sedikit lupa dengan jalan ke rumahnya. “Gue boleh masuk?” “Tunggu saja!!” jawab Ayesha sambil menggerakkan tangan ke depan, meminta Redo agar tidak beranjak sedikitpun. Ayesha berbalik dan bergegas keluar. Setelah sampai halaman, dia menarik tangan Redo sedikit menjauh dari rumahnya. “Lo ngapain di sini?” Redo memperhatikan Ayesha yang terlihat baik-baik saja itu. Gadis itu tidak kelihatan lelah atau parahnya sakit. “Gue cuma pengen tahu keadaan lo. Secara semalem habis marathon.” “Gue bukan cewek lemah, ya.” “Yah, gue akuin itu.” Berkali-kali Ayesha menoleh ke arah rumahnya. Takut pembantunya ada yang mengintip dan parahnya langsung mengadu ke papa dan mama Ayesha. “Mending lo pulang, deh.” “Loh, gue nggak diajak masuk?” tanya Redo. “Gue jauh-jauh ke sini, loh.” “Gue nggak minta lo ke sini. Jadi, lo pergi.” Bukan Redo namanya kalau nurut begitu saja. Dia memperhatikan rumah Ayesha yang terlihat sepi, kemudian mendongak menatap balkon kamar gadis itu. “Lo anak rumahan yang nggak boleh nerima tamu cowok, ya?” Ayesha mengerjab, Redo menjawab tepat sasaran. “Sok tahu! Udah, deh, mending lo pulang!” usir Ayesha sambil mendorong cowok itu. Redo mengeluarkan sesuatu dari saku celananya lalu mengulurkan kresek berwarna putih. Ayesha hanya memandang sekilas kemudian mengambil benda itu. “Biar capek lo ilang.” “Makasih!” jawab Ayesha jutek. “Kapan pulangnya?” “Iya-iya gue pulang. Gue cuma mastiin lo aja kok. Takutnya lo sakit.” “Udah sana pulang!!” Redo mengangkat tangan ke Ayesha kemudian berbalik. Dia berjalan santai keluar dari kompleks perumahan Ayesha. Berbeda dengan waktu itu, di mana dia harus waspada karena dikejar anak buahnya. Saat melewati tikungan Redo menoleh ke belakang, Ayesha masih berdiri di sana dan menatapnya. “Bye!!” teriak Redo kemudian berlari menjauh. Setelah Redo menjauh, barulah Ayesha masuk. Sambil berjalan dia mengeluarkan salep dan minyak aroma terapi. Dia bagian salep itu tertempel sebuah kertas berwarna pink. Kalau lo nggak capek, besok jogging gimana? Gue pengen tahu lo sekuat apa. “Bener-bener ngeremehin gue!” Ayesha menaiki tangga dengan senyum segaris. Baru pertama kali ini ada cowok yang perhatian sampai membawakan salep seperti ini.   ***   Last seen yesterday. Malam hari, Ayesha membuka chat room-nya dengan Redo. Sejak tadi cowok itu tidak mengonfirmasi lagi ajakan tadi. Ayesha bingung sendiri apa ajakan itu serius atau tidak. Ingin menghubungi Redo, tapi sepertinya cowok itu tidak membuka ponsel. Drtt!! Tiba-tiba ponselnya bergetar, Ayesha langsung mengangkat benda itu dan melihat chat masuk dari nomor tidak dikenal. 0812341452xx: Hai, Ayesha Salsa Parulina. Ayesha duduk tegak sambil membaca pesan itu. Dia bingung siapa pemilik nomor itu, display picture-nya juga tidak jelas hanya sebuah foto sepasang sepatu. Ayesha memilih mengabaikan pesan itu. Namun, hatinya terusik, selama ini hanya Redo yang memanggilnya dengan nama lengkap. Drtt!! Ponsel Ayesha kembali bergetar. Dia melihat chat masuk dari nomor sebelumnya. 0812341452xx: Salepnya tadi berguna, nggak? Sekarang, tidak salah lagi jika pemilik nomor itu adalah Redo. Ayesha: Berguna. Ayesha terdiam, sebenarnya nomor Redo yang mana? Cowok itu menghubunginya dengan nomor yang berbeda. Drtt!! 0812341452xx: Besok kuat dong jogging? Ayesha: Maleslah. 0812341452xx: Berarti lo nggak kuat. Ayesha: Bodo! Sekitar lima menit Redo belum juga membalas pesannya. Ayesha mulai berbaring dan bersiap tidur. Namun, baru saja memejamkan mata, ponselnya kembali bergetar. Drtt!! 0812341452xx: Takut? Ayesha mendengus, lama-lama cowok itu terkesan meremehkannya. Dengan cepat Ayesha membalas pesan itu, bahkan mengetik dengan penuh tenaga. Ayesha: SIAPA YANG TAKUT? 0812341452xx: Lo. 0812341452xx: Baru ketemu gue aja ketakutan. “Nih cowok bener-bener, ya!!” Ayesha seketika bangkit dan meladeni chat dari Redo. Ayesha: Gue takut karena tatapan sama aura lo serem. Selebihnya nggak ada!! 0812341452xx: Apa gue senyeremin itu? Ayesha: YA!! Lima menit. Sepuluh menit. Redo belum juga membalas pesan itu. Ayesha membaca chat terakhirnya untuk Redo. Apa dia tersinggung? pikirnya. Drtt!! Jantung Ayesha berdegup kencang. Dia membuka chat dari Redo dengan harap-harap cemas. 0812341452xx: Sorry. Kalau besok lo baik-baik aja langsung aja ke jogging track deket Graha Buana. Ayesha mengembuskan napas, meski Redo tidak menunjukkan kemarahannya tetap saja gadis itu bingung. Ayesha: Nggak janji, ya. 0812341452xx: Oke. Save nomor gue yang ini, ya. Ayesha: Nggak janji. 0812341452xx: Sombong amat! Ayesha tersenyum membaca chat balasan Redo. Berbeda dengan isi chat-nya, dia justru langsung menyimpan nomor Redo. Tidak ada salahnya, kan menyimpan nomor seseorang? Ayesha tersenyum lagi melihat nama kontak Redo. Bunglon Serem!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD