Part 1

1747 Words
  To : Munira Octasya Mumun rapat besok bareng yaa- Sabrina   From: Munira Octasya Sabsab gw telat datangnya ada rapat MUN:(   To: Munira Octasya Yahh eloo:( yaudah deh, semangat.   To : Fahreza Rahmad Besok rapatnya 15.00 banget?   From : Fahreza Rahmad Iyaa jangan telat.   To : Fahreza Rahmad Bawel. :p   * Sabrina menilik lagi satu persatu nama-nama kelompok Kuliah Kerja Nyatanya di layar ponsel. Surat edaran berbentuk pdf. Itu sudah di downloadnya dari kemarin. Namun, iya tak berani membukanya. lagi. Ada badai yang menerjangnya ketika harus membaca nama-nama tersebut. Sudah sejauh ini, apa harus dia berada dalam situasi yang tak menguntungkannya sama sekali? Gadis itu menghela nafas panjang, seolah sesak yang dulu terasa samar-samar mulai merenggut pikirannya lagi. Mungkin selama ini benar dia sudah mampu menyibukkan diri. Namun toh pada akhirnya, dia selalu tau, bayangan itu belum juga benar-benar pergi. Dia. Lagi. Entah satu kebetulan atau memang takdir ingin mengujinya kali ini. Sabrina memang pernah membayangkan hal ini terjadi, apabila mereka kembali dihadapkan pada situasi yang harus bekerjasama. Namun logikanya menolak, seolah hal itu adalah hal yang tak mungkin karena kemungkinan itu hanya satu persen dari sembilan puluh sembilan persen kemungkinan lain. Ternyata, kekhawatirannya terjadi. Mimpi buruknya akan dimulai pada hari ini. Semestakah yang berpihak padanya atau mulai mengkhianati pilihan-pilihannya? Sabrina tidak tau, dan dia tidak ingin menuduh takdir. Satu hal yang dia tau, nama-nama itu justru membuat dirinya tak nyaman, gelombang dari dalam hati yang sudah lama ia redam kuat-kuat dengan seluruh tenaganya. Kini mencuat keluar, bak petasan di tahun baru, meledak tanpa ampun di gelapnya malam. Memekakkan telinga, mendebarkan jantungnya lagi. Ia lagi-lagi menghela nafas berat, seolah nama-nama tim KKN ini lebih berat dari judul skripsi yang harus sudah di inputnya pada website jurusan mulai minggu depan. Apakah semuanya akan baik-baik saja? Jujur saja, Sabrina lagi-lagi tidak tau. Hanya saja, hatinya kembali berdoa. Semoga akan baik-baik saja. Semoga. Semoga. Dan kali ini ia benar-benar berharap, Tuhan mau mendengarkan doanya. * Ia meletakkan pelan-pelan dua buku berbahasa asing yang untungnya bisa dia temukan di perpustakaan kecil jurusannya ini. Meskipun kecil, Sabrina harus mengakui bahwa buku-buku berada disini adalah buku-buku yang sangat dia butuhkan. Dimulai dari kumpulan jurnal hingga disertasi dari mahasiswa-mahasiswa terbaik yang pernah dimiliki kampusnya. Dia mengambil buku bersampul hijau dengan judul “Sustainable development” dan segera membukanya. Ada sekat tipis yang memisahkan mejanya dengan orang-orang di sebelahnya. Sehingga Sabrina bisa leluasa membaca bukunya. “Sab” Desisan kecil itu masih dapat di dengar Sabrina, dia segera menoleh ke belakang untuk menemukan siapa yang memanggil dirinya. Gadis itu tersenyum tipis, Kayla, teman yang sudah akrab dengannya dari awal kuliah- lebih dari tiga tahun yang lalu- itu sedang mencari-cari buku juga rupanya. “Ngapain?” Sabrina melirik dua orang disampingnya, tampaknya mereka adalah adik kelas karena wajahnya memang tak asing. “Nyari referensi buat tugas besar, kamu?” Kayla mengangkat bukunya. Beberapa berwarna putih dan kemerahan “Biasa….” Ujarnya pelan, nyaris berbisik “Nyicil judul” Ucapan kayla itu membuat Sabrina terdiam, gemuruh dingin melanda hatinya secepat kilat. Meskipun diucapkan dengan berbisik, tetap saja ia bisa mendengarnya sepekak glodok di siang bolong. Sabrina hanya tersenyum tipis membalas ucapan temannya itu.  Ia merasa tertinggal. Sabrina memang harus menyadari bahwa dibandingkan teman-temannya yang lain, dia harus merendahkan hati karena belum menemukan judul skripsi yang tepat untuk dirinya meskipun deadline dari jurusan dua minggu lagi. Masih dua minggu lagi. Tenangnya pada diri sendiri. Terkadang, ia ingin merutuki dirinya sendiri karena sibuk memikirkan hal lain padahal hal yang sangat besar sedang berada di depan matanya. Lagi-lagi Sabrina hanya bisa menabahkan dirinya sendiri. * “Sab kantin ya” Sabrina menggenggam ponselnya, mengembalikan kunci loker pada petugas perpustakaan dan mulai berjalan menuju tempat perjanjiannya dengan teman-temannya. Masih jam sebelas pagi, masih ada empat jam lagi menuju rapat ‘besar’ pertama dengan teman-teman KKNnya. Mungkin sudah saatnya dia menceritakan kegelisahan hatinya saat ini. Ia begitu gelisah dan kegelisahan ini begitu mengganggu, merenggut konsentrasinya bahkan kemarin ia sampai tak nafsu makan. Menghempaskannya kembali pada jurang yang sudah lama ia keluar. Dulu. Dia pernah hidup seperti ini dan Sabrina tak mau mengingatnya lagi. Raisa, Dista dan Shelly sudah berada di salah satu pojok kantin dan tampaknya mereka mengobrol ringan, Sabrina segera menuju ke tempat teman-temannya itu. Mereka baru saja menyelesaikan mata kuliah pilihan yang meskipun berbeda tetap memiliki jam kuliah yang sama. Hanya Sabrina yang berbeda. “Udah ketemu referensinya?” Dista menyapanya lebih dulu, Sabrina membalasnya dengan anggukan kepala saja. Lemas. Mereka mulai mengobrolkan hal-hal ringan saat pergi Sabrina memesan makanannya, saat gadis itu kembali ke tempat duduknya, Sabrina langsung dibobol pertanyaan yang paling dia hindarinya. “Kelompok KKNmu gimana, Sab?” itu pertanyaan dari Shelly. Sabrina merengut. “Di grup sih masih pada ngacangin, nggak tau ya kalau udah ketemu” “Lah sama!” timpal Dista. “Mana kalau ditanya, pasif banget” Sabrina mengangguk setuju. “Dari FT siapa aja Sab? Kamu Jambongsari kan? Asik deketan!” Raisa menatapnya antusias. “Fahreza sama Tasya. Kenal sih. Fahreza kan gara-gara dulu satu orgaNisasi, kalau Tasya mah pernah kenal karena panitia inagurasi” “Fahreza? Elektro? Fahreza yang dulu itu?” tanya Dista lagi, tak asing dengan nama itu. Sabrina mengangguk, di jurusannya Fahreza memang cukup terkenal. Dia aktivis, dia juga sering mengikuti aktivitas riset seperti PKM-PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) yang pernah dibiayai dikrektorat perguruan tinggi (Dikti). Jadilah anak itu cukup dikenal  banyak orang. selain itu, dulu, Sabrina sering sekali menceritakan pemuda itu kepada teman-temannya. “Kalian liat sendiri”  Sabrina menimbang-nimbang informasi ini. Mungkin teman-temannya tidak sadar saat membaca nama-nama yang ada di kelompok KKNnya. Ketiga temannya diam, seolah menunggu. Sabrina akhirnya mengeluarkan ponselnya dan membuka list daftar kelompok yang sangat mengganggunya itu. Menyerahkan kepada temannya. “Apa?” Shelly mengambil ponsel yang diberikannya, Sabrina menunduk dalam. “Sumpah” ujar Dista tak percaya. “Sumpah sumpah sumpah! Dari semua orang yang ada di kampus ini kenapa kamu harus sekelompok sama dia?!” Seharusnya pertanyaan itu berasal dari mulutnya. Sabrina menundukkan kepalanya dan menenggelamkan di kedua tangannya. “That lucky bastard” Sabrina mendesis dan dia melepaskan segala perasaan yang dia tahan dari tadi malam, dengan frustasi. * Dia mematung didepan Coffee Shop, motor matic Sabrina sudah terparkir di tempatnya, namun ia masih enggan meninggalkan parkiran meskipun abang-abang parkir sudah melirik aneh kearahnya. Bagaimana kalau orang itu sudah datang? Sabrina menggigit bibirnya, meskipun sudah tak ada lagi yang harus diselesaikan diantara mereka tetap saja, Sabrina merasa sangat canggung. Rasa takut itu kembali datang. Dia menghela nafas dalam. Tidak apa-apa. Tidak apa-apa yakinnya pada dirinya sendiri. Sabrina menghela lagi nafas dalam dalam dan terperangah ketika seseorang memanggil namanya. “Sab!” Panggilan itu membuat Sabrina terperanjat. Dia mengerjapkan matanya, Tasya baru saja sampai dengan motornya, membuat Sabrina mau tak mau melempar senyum ke arah temannya itu. Sepertinya dia sendirian. “Hai mun, katanya telat?” sapa Sabrina berjalan menuju Tasya, Sabrina sudah terbiasa memanggil Tasya dengan mumun, gadis itu bahkan tidak menolak sama sekali. “Panggil gue Tasya doong! Ini pertemuan pertama, gua ogah dipanggil mumun sama orang-orang!” Tasya merengut kecil dan diiringi tawa oleh Sabrina. Keduanya mulai masuk ke dalam Coffee Shop dan mulai mencari keberadaan kelompok KKN mereka. “Lantai dua kayaknya Mun” “Tasya!” “Oke Tasya” Sabrina terkekeh ringan, menyembunyikan badai yang sudah menerjangnya dari semalam rapat-rapat. Tidak ada orang yang harus tau, tidak ada orang yang harus tau. Ulangnya di dalam hati berkali-kali. Ya, semua orang tak perlu tau. “20 menit telat” Tasya melirik ponselnya dan mereka mulai mencari keberadaan gerombolan orang-orang. Namun sayangnya pada hari itu begitu banyak mahasiswa yang mengadakan rapat. Sehingga Coffee Shop terlihat begitu penuh oleh mahasiswa. “Di luar mungkin” ujar Sabrina mengarahkan, ke arah deretan kursi yang terletak di luar ruangan lantai dua tersebut. Coffee Shop memang tempatnya besar sekali, saking besarnya, banyaknya kursi-kursi dan meja itu sudah terasa sempit karena selalu ramai. Daridulu Sabrina paling menghindari masuk Coffee Shop. Tasya tiba-tiba membalikkan badan, “Lo tau wajah si Fahreza kan?” tanyanya, menyipitkan matanya pada arah keramaian yang benar-benar berisik.  Sabrina menaikkan alis. Dia dan Tasya memang berasal dari daerah yang sama dan sudah sangat terbiasa dengan panggilan lo-gue daripada aku-kamu. untuk satu ini, mereka sangat sepakat untuk tidak perlu beraku-kamu satu sama lain. “Lo nggak tau?” Gadis itu tertawa pelan, “Lupa” Sabrina mencari lagi keberadaan Fahreza dan kalau beruntung gesture orang itu. Diliriknya salah satu gerombolan orang di sudut kanan di beranda, tersusun dengan meja yang memanjang. Sudah banyak orang disana. “Itu tuh Fahreza!” Sabrina spontan menarik tangan Tasya dan membawa mereka ke meja tersebut. Sabrina sempat terpaku saat semuanya memandang kearah mereka. Mereka semua sudah lengkap. Hanya dia dan Tasya yang benar-benar telat. “Maaf ya telat, ada rapat yang nggak bisa ditinggal tadi” Tasya tersenyum ramah ke teman-teman barunya. “Aku, Tasya. Munira Oktasya, industri” ujarnya memperkenalkan diri. Sabrina mematung di belakang Tasya. Ketika Fahreza melliriknya barulah ia sadar bahwa dia harus memperkenalkan diri. “Maaf telat, tadi ada urusan mendadak. Sabrina Putri, Planologi” mereka memulai rapat pertama itu dengan perkenalan lagi masing-masing anggota kelompok. Sabrina menahan keras-keras jantungnya yang sudah berdebum tak karuan. Mereka akan kembali ke titik nol, dimana pertemuan itu kembali tentunya dengan rasa yang berbeda. Setidaknya, Sabrina mengaminkan itu sekarang. * Lima belas menit. Sabrina masih menunggu kepastian akan temannya yang satu ini. Dia sudah berdiri di dekat atm centre dari lima belas menit yang lalu. Agar tidak dikira orang mengantre, Sabrina sengaja hanya duduk di motornya yang terparkir tepat di sebelah kubikel atm banknya. Tangan gadis itu kembali menscroll layar ponselnya berharap menemukan chat yang memang sudah lama sekali, berharap menemukan deretan angka nominal yang menunjukkan nomor rekening bendahara kuliah kerja lapangannya. Field trip mungkin akan lebih enak didengar, semester depan, sebelum perkuliahan, jurusan mereka memang biasa mengadakan kuliah kerja lapangan (KKL) ke daerah-daerah yang memang dianggap sebagai sebuah percontohan kota maju. Jurusan planologi memang tak banyak di kenal orang, jurusan yang memfokuskan kepada regulasi dan penataan kota serta wilayah yang pada dasarnya masih bersaudara dengan jurusan sipil dan arsitektur. Disinilah Sabrina terdampar lebih dari dua tahun yang lalu. “Mana sih” mulut kecilnya mulai menggerutu pelan, benar-benar tidak menemukan. Akhirnya Sabrina menutup salah satu akun sosial medianya itu dengan kesal. Mungkin dia transfer besok saja. Baru saja dia akan menyerah, satu pesan masuk membuatnya teperanjat, Dista yang pertama kali membalas pertanyaannya di grup mereka berempat dan Sabrina dengan cepat berjalan menuju atm tersebut. Untungnya, mesin atm yang dia tuju berada disebelah tempat parkir motornya. Sabrina berdiri di belakang salah satu pemuda yang memang sudah mengantre daritadi, kemudian dia memainkan ponselnya lagi untuk membalas terimakasih pada Dista. Pintu atm itu terbuka dan Sabrina mulai bersiap-siap. Dia mengangkat wajahnya dan seketika pemuda itu turut menoleh kearahnya, memberi kode agar dia lebih dahulu masuk. “Duluan aja mas” Sabrina menolak dengan halus, membalas kode itu dengan kata-kata. Pemuda itu tersenyum lebar. “Nggak mbak, mbaknya aja duluan. Saya udah liat mbak daritadi disana” Sabrina memberikan senyum tipis. “Nggak apa-apa mas, duluan aja. Saya nggak buru-buru kok” “Nggak apa-apa mbak?” Pemuda itu kembali tersenyum ramah. “Nggak apa-apa mas” jawab Sabrina lagi. Tak mau berdebat lebih lama, pemuda itu masuk ke dalam ruang mesin atm dan Sabrina kembali memainkan ponselnya, membalas lagi pesan dari Dista. Perhatiannya baru teralih ketika pemuda itu sudah keluar dari pintu. “Makasih ya mbak” Sabrina mengangguk saja dan masuk ke dalam atm, tanpa menyadari bahwa pintu atm itu sudah ditahan lama oleh pemuda yang tak sengaja dikenalnya itu. Saat sudah mentransfer sejumlah uang, Sabrina baru tersadar akan satu hal. Cowok tadi… Senyumnya manis juga ya. Pikirnya secara tiba-tiba.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD