Part 2

1859 Words
“Kalau dari saya sendiri sih” Farez menimbang-nimbang apa yang baru saja dia ucapkan. “Kesannya kok kayak rapat ya, kalau dari aku sendiri sebagai yang diamanahkan jadi ketua sih, maunya ya… Kita ngumpul sekali seminggu, rutin, bahas program baik program kelompok atau individu, nyusun timeline dan agenda lain yang berkaitan kayak jalan-jalan” Semua orang yang tadinya hanya mengambil diam heboh dengan penuturan Farez. Disbanding memanggil Fahreza, Sabrina lebih suka memanggil pemuda itu Farez, sapaan akrab pemuda itu. Sabrina tertawa kecil, memang selalu, ketika orang-orang melihat Fahreza pertama kali, semua akan menyangka bahwa pemuda itu adalah pemuda yang sangat serius dan otoriter, perfeksionis dan mau menang sendiri. Sama seperti dulu Sabrina pertama kali bertemu dengan Farez. Namun itu hanya sementara karena Farez memiliki sikap hangat untuk menutupi kesan pertamanya itu itu. Menurut Sabrina, Farez memang layak untuk dijadikan sebagai pemimpin, terbukti dengan dia menjadi salah satu menteri di BEM Universitas tahun lalu. “Gimana? Mau jalan-jalan kan?” Farez terkekeh sendiri karena ucapannya. Kemudian mulai ditimpali Khalid, anak kedokteran. “Boleh tuh, lagian Jambongsari nggak jauh-jauh banget lah dari Prau!” Tasya langsung bersemangat mendengar hal tersebut. “Setuju banget, kalau perlu dalam empat puluh hari, sekali seminggu, kita jalan-jalan” Sabrina tertawa kecil mendengar ucapan Tasya. Dibandingkan dengan gadis itu, Sabrina masih cukup pendiam untuk pertemuan pertama, sedangkan Tasya sudah nyablak seperti biasa. Kadang, Sabrina kagum dengan sikapnya yang mudah bergaul itu. Farez tiba-tiba berdehem karena suasana rapat yang tadi mulai mencekam mulai menghangat dan disaat inilah dia akan kembali mengambil alih percakapan untuk menuntaskan output yang bisa keluar pada rapat kali ini. Sabrina tau sekali dengan sikap Farez. “Yaa karena agenda kita terlalu banyak, kita perlu nyusun timeline juga mungkin struktur kelompok kayak bendahara dan korlap. Nggak gimana-gimana sih, supaya lebih terstruktur aja dan jelas penanggung jawabnya” Jujur saja, Sabrina selalu suka pembawaan pemuda itu dari dulu, dia bukan hanya seorang ketua tetapi pemimpin, dia mampu membawa dan mengarahkan seseorang yang ada di dalam tanggungjawabnya. Saat mereka satu orgaNisasi dulu, sebelum Farez menjabat jadi menteri, Fahreza yang dikenal kaku buktinya sangat hangat dipertemuan pertama mereka. Meskipun dulu Sabrina takut-takut untuk berbicara pada pemuda itu. Dan Sabrina merasa beruntung pernah mengenal dan dikenal baik oleh seseorang seperti Farez. “Rez, yang struktur dibahas sekarang aja” ujar Sabrina memberi masukan. Bukan apa-apa, dia ingin segera rapat ini berakhir meskipun orang-orang di dalamnya sudah cukup hangat untuk pertemuan pertama. Dia tak ingin berhadapan dengan pemuda itu. “Boleh Sab, kamu mau jadi apa?” Tanya Farez asal Sabrina meringis, “Tim hore” jawabnya singkat yang spontan ditertawakan oleh teman-temannya. “Yasudah buat kali ini, jadi kita bahas struktur dulu habis itu penentuan kumpul rutin kita kapan ya” suara Farez mulai mendominasi dan mengendalikan suasana, Sabrina melirik Tasya sebentar dan Tasya juga tengah meliriknya dengan jenaka. Eh? Apa maksudnya? * “Gimana lid, kamu mau jadi wakil?” Farez menanyakan kepada teman-teman satu kelompoknya satu persatu. Mereka sudah menghabiskan waktu hampir satu jam dari pertemuan awal tadi. Sabrina menoleh ke arah langit yang mulai meredup, menandakan siang akan segera berlalu. “Jangan aku, rez” tolak Khalid langsung, “Aku udah jadi ketua kelompok koas. Bukan gimana gimana tapi takut terbagi aja perhatiannya” “Kalau begitu udah fix, juanda ya… setuju nggak?” Juanda yang ada di sudut lain berseberangan dengan Sabrina hanya mengangguk saja, tak menolak apapun yang diucapakan Farez. Sabrina kembali mengalihkan perhatiannya pada Farez yang mulai memplot-plotkan anggota sesuai dengan keinginannya. “Sabrina atau munira, salah satu aja, siapa yang mau jadi sekretaris?” “Sabrina” “Munira!” Mereka berdua langsung terkekeh ringan. “Kamu aja mun, aku nggak berpengalaman” “Aku korlap cewek deh bantuin Tatiana, mau kok asal jangan disuruh nyatet aja” Farez tersenyum miring ke arah Sabrina. “Oke fix Sabrina sama Lilian yang jadi sekretaris, bendahara ada Sherril dan Nisa….” Farez mulai membacakan satupersatu nama sesuai tugasnya masing-masing. “Sab, ntar kalau aku nggak datang, kamu bisa koordinasi langsung sama Juanda ya” Ia menaikkan jempolnya tanda persetujuan. “Sip bos” Mereka mulai membahas beberapa pembahasan seputar rencana program dan survey pertama yang akan dilakukan mengingat KKN akan dilaksanakan dua minggu setelah ujian, tepat 2 bulan lagi. Sejenak. Sabrina bisa melupakan perasaan asing yang menyergapnya dari beberapa hari yang lalu * “Fanyaaa!” Sabrina seperti biasa mulai berisik di lorong kos-kosan mereka. Fanya harus tau berita terbaru ini, dengan cepat dia mengetuk-ngetuk pintu kamar Fanya yang tepat berada di sebelahnya. “Fay Fay Fanyaa” Sabrina ingin membuka pintu, namun sayangnya pintu itu terkunci dan membuatnya mendengus kecewa. Padahal hari ini dia mau bergosip dengan Fanya. Dia juga belum tau dimana Fanya KKN dan siapa teman sekelompok gadis itu. Tak lama menunggu, terdengar suara seseorang yang berjalan dari dalam kamar. Sabrina yakin sekali kalau memang Fanya ada di dalam kamarnya, Fanya jarang sekali keluyuran keluar kecuali kalau ingin makan. “Apa sih lu berisik!” teriak Fanya dari dalam kamarnya, yang kemudian diiringi dengan suara decitan pintu terbuka. Sabrina tersenyum lebar. “Gue abis beli kue bandung loh. Kesukaan lo banget nih manis-manis” Sabrina mengangkat-angkat sembari memamerkan kantong plastik yang daritadi bertengger di tangan kirinya dengan riang. Mata Fanya menelisik ke arah Sabrina, seolah ingin mencari tau maksud sahabatnya itu. Sabrina tak menunggu untuk disuruh masuk oleh Fanya, gadis itu dengan cepat duduk di tempat tidur Fanya dan mulai membuka kantong plastiknya. Dia sudah menahan laparnya karena tadi saat rapat besar pertama kknnya Sabrina hanya memesan minum. Fanya mendekati meja belajar dan menyalakan TV, dia mengambil remote dan duduk di samping Sabrina, turut memakan kue bandung yang dibeli oleh gadis itu. Fanya dan Sabrina memang sudah dekat dari awal mereka kos disini, saat menjadi mahasiswa baru, sampai sekarang sudah menjadi mahasiswa tingkat akhir jurusan masing-masing. “Lo kkn dimana Fay?” tanya Sabrina ditengah makannya, mereka menonton salah satu sinetron yang sedang booming akhir-akhir ini. “Hem. Lupa gue namanya, tapi gue satu KKN noh sama temen lo yang sering kesini… siapa namanya?” Sabrina mengangkat alisnya. “Dista?” Fanya menganggukkan kepalanya cepat, “Iya Dista!” “Deketan dong sama gue?” “Lo Jambongsari?” Sabrina mengangguk pelan, yang membuat Fanya langsung terdiam beberapa saat. Wajah gadis itu berubah seketika. Melihat perubahan wajah dari Fanya Sabrina terkekeh ringan. “Kenapa wajah lo gitu?” setelah itu gadis itu tersenyum dan melanjutkan mencomot kue bandung tersebut. “Ng.. Nggak apa-apa” Sabrina tersenyum saja, masih menikmati acara makannya dengan santai, seolah tak terusik dengan ekspresi Fanya yang sudah berubah menjadi lebih buruk dari sebelumnya. mendapati gadis itu menatapnya dengan perasaan bersalah. Ingin sekali Sabrina membuktikan dia tidak apa-apa, tidak apa-apa setidaknya di depan Fanya. “Udah nggak apa-apa Fay, kalau lo mau tau” tegas Sabrina pada akhirnya, entah itu menegaskan pada Fanya atau dirinya sendiri. “By the way, gue satu kelompok sama Fahreza” I terkekeh sendiri, memecah keheningan antara dia dan Fanya. Ini memang akan menjadi topik paling sensitif antara dia dan Fanya dan setelah itu suasana menjadi dingin. Untuk kali ini, dia hanya ingin membuat suasana menjadi lebih hangat. “Lo tau kan gue ngefans sama dia, tahun ini dia mau ngajuin diri jadi mawapres lagi dong!” Sabrina mulai menceritakan pertemuannya dengan teman-teman kknnya dimulai dari Fahreza, mengingatkan Fanya dari beberapa waktu yang lalu, saat Sabrina baru pertama masuk orgaNisasi dan dari mulut temannya itu hanya terdengar nama Fahreza. Sampai suatu saat, nama itu pelan-pelan menjadi asing baginya. Fanya menjadi resah sendiri mendengarnya. * Selesai membayar uang untuk kegiatan KKL, Sabrina sengaja berlama-lama di kos Dista untuk mempercepat waktu. Tumben-tumbennya hari ini mereka tidak ada jadwal kumpul kelompok, rapat ataupun kuliah pengganti, oleh karena itu Sabrina sengaja mengunjungi Dista untuk menggosipkan beberapa hal. Sabrina bukan tipe pendiam, dia cukup periang meskipun sebenarnya dia adalah orang yang tertutup. Ia tak pernah menceritakan hal-hal terlalu krusial di dalam dirinya pada orang lain. Namun wajah Sabrina lain pada hari ini. “Dis! Dis! Kamu harus tau aku ketemu siapa hari ini” ceritanya riang pada Dista, mereka menonton serial drama korea yang disukai Dista. Dista menoleh sesaat dan menghentikan drama yang diputar itu dan kemudian menatap Sabrina. “Maksudnya?” “Tadi kan aku ke atm, yang aku chat kamu banyak banyak itu trus ketemu dong sama cowok, kayak.. Kita cek cok gitu masa ala ala ftv. ‘Duluan aja mas’ ‘nggak mbak saya udah liat mbak ngantri dari tadi’. But that’s not the point, kamu tau nggak sih senyumnyaa….” Sabrina mulai gila sendiri menceritakan pertemuannya dengan pemuda asing yang tiba-tiba menarik perhatiannya kepada Dista. Membuat temannya itu mengerinyitkan dahi bingung dengan sikap Sabrina yang tiba-tiba seperti ini. “Aku bakalan ketemu lagi nggak ya sama dia? Hihi” Ia terkekeh menertawakan dirinya sendiri. Sabrina memang sudah lama sendiri, di urusan cinta-cinta pun Sabrina kalah jauh dengan teman-temannya. Dari sma Sabrina hanya menyukai satu cowok yang sayangnya tak pernah terbalas dengan seharusnya. Saat kuliah, Sabrina tak pernah dekat dengan siapapun. Antara mengenaskan dan menutup diri. Dista mencibir.. “Jadi nggak ada lagi Fahreza nih?” Sabrina terkekeh saja. “Yah Farez kalah jauh sih, tapi ya kalau dia itu selalu memenuhi husband material aku!” akunya pelan sebab ia tak perlu munafik, di usia mereka yang lagi capek-capeknya dengan kegiatan perkuliahan, obrolan husband material sudah tak asing lagi. “Kamu itu suka banget sama Fahreza ya?” Gadis itu menggeleng dengan polos. “Suka aja sih. Soalnya dia pinter, friendly dan kalau serius cool banget” Sabrina menyipitkan matanya, “Bukan cuma aku doang kali yang suka sama dia” jelasnya dengan sejelas-jelasnya. Sabrina kembali terbayang wajah cowok yang ditemuinya di atm tadi. Dibanding Fahreza, mungkin dia masih kalah tampan, tapi menurut Sabrina senyum cowok itu mengalahkan ketampanan Fahreza. Bukan apa-apa Ia juga tau diri, kalau ingin suka dengan Fahreza dia harus bersaing dengan banyak cewek yang sayangnya juga diperlakukan ramah oleh Fahreza. Fahreza itu seperti standar maksimum tipe cowok Sabrina, tapi sayangnya kalau disuruh memilih, Sabrina juga tidak mau bersama Fahreza. Karena itu, Sabrina tak pernah caper-caper (cari perhatian) banget saat bertemu Fahreza. Selain itu menjaga hubungan baik mereka, juga karena Ia ingin mempertahankan teman seperti Fahreza. Teman yang disukainya. * Obrolan ringan dan kering kemarin itu kemudian menjadi sesuatu yang mengusik hati dan pikirannya  berhari-hari. Bahkan, Sabrina sampai memimpikan cowok yang ditemuinya sekali itu. Dia sendiri bertanya-tanya pada dirinya sendiri, kenapa bisa? Jarang sekali dia terusik dengan sesuatu, bahkan Ia tak pernah memimpikan pemuda asing yang tak dikenalnya. Kalau sudah seperti ini, Sabrina yakin sekali kalau dia sudah mulai menjadi gila. Tidak akan ada pertemuan kedua dan ketiga dengan pemuda itu. Kalau benar itu terjadi, ia yakin sekali bahwa mereka memang jodoh. Baiklah, ini hanya keinginan sesaat Sabrina. Satu minggu setelahnya, Ia sudah kembali normal, tidak memikirkan pertemuan itu lagi karena tugasnya sudah semakin menumpuk. Dia harus kembali bergadang demi menyelesaikan tugas besarnya yang sudah menuntut ada progress. Sabrina mulai mengeluarkan motornya di garasi, sampai dia mengingat bahwa ada charger hpnya yang ketinggalan. Sabrina menimbang-nimbang, dan memarkir motornya di halaman. Kemudian berjalan menuju pintu utama kos-kosannya. “Mbak” Sabrina menoleh karena sapaan itu, matanya melebar ketika melihat siapa yang ada di depannya. Dia tidak mimpikan? Astaga. “Mbak?” “Fh. Eh. Ya?” Kenapa lo jadi gugup Sab! “Mbak tau kamar Fanya nggak, anak Bisnis?” tanyanya sambil tersenyum. Sabrina menahan nafasnya. Tuhan ganteng banget! Jeritnya di dalam hati. “Tau. Kenapa ya?” Sabrina pura-pura cool untuk menutupi perasaannya saat ini. Ini pertemuan kedua, astaga, astaga. Jangan-jangan dia memang jodoh Sabrina. Sepertinya Sabrina memang harus bangun dari tidurnya sekarang. “Bisa tolong panggilin nggak? Kayaknya dia ketiduran deh, padahal ini ada acara penting” Oh. Dia nggak ingat gue. Sabrina menganggukkan kepalanya saja dan masuk ke dalam kamar kosnya. Dia mengetuk kamar Fanya beberapa kali dengan pikiran berat yang sejadi-jadinya karena pertemuannya keduanya dengan cowok manis itu. “Kenapa Sab?” “Ada temen lo yang nyari” jawab Sabrina, Fanya mengerinyitkan dahi sebelum menangguk. Kemudian Sabrina mulai melangkah ke kamarnya, mencari charger ponselnya. Eh? Teman Fanya? Pikir gadis itu tiba-tiba. Astaga! Kenapa dunia sempit sekali. Mungkin jika Sabrina memilih berjalan ke dalam garasi, dia tidak akan bertemu cowok manis itu dan juga tidak tau bahwa cowok itu teman Fanya. Ih.. Fanya! rasanya, Sabrina ingin berganti tempat sekarang dengan temannya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD