Part 3

1740 Words
“Gue harus gimana ini?” Sabrina membenturkan buku pada kepalanya, meskipun sudah berusaha untuk berkonsentrasi. Kepalanya tak berhenti bertanya pada dirinya sendiri. Pertanyaan yang sama. Yang pada akhirnya tidak bisa dijawab oleh dirinya sendiri. Mungkin dia bisa menyembunyikan perasaannya dari banyak orang. Tapi dia tidak bisa menyelamatkan dirinya ketika dia sedang sendiri. Sabrina merasa… Dia butuh banyak strategi untuk mengahadapi segalanya. Ya strategi jitu untuk kembali berhadapan dengan seseorang di masa lalu. Teman-temannya tidak perlu tahu, baik Dista, Shelly, Raisa maupun Fanya akan kegundahan hatinya ini. Ini sudah tiga hari berturut-turut dia memikirkan hal yang sama, padahal sekali lagi, ada hal yang lebih besar menunggunya. Judul skripsi. Kenapa Sabrina bisa-bisanya sempat memikirkan masalah hati daripada hal besar ini. Ini bentuk pertanggungjawabannya pada orang tuanya dan Sabrina tidak mengerti harus melakukan apa agar otaknya bisa fokus. Disaat itulah, satu panggilan dari Farez datang. Sabrina segera keluar dari ruang perpustakaan kampusnya dan berdiri di dekat tembok. Menghadap ke lapangan parkir yang luas karena perpustakaannya berada sangat dekat. “Kenapa Rez?” tanya Sabrina cepat, tumben-tumbennya Fahreza menelponnya seperti ini. “Sab kamu lagi dimana?” “Lagi di perpus, kenapa?” Sabrina mengerinyitkan dahinya. “Bisa bikin peta kelurahan kita nggak?” Hem? Sabrina memikirkan sebentar. “Bisa.. Pake citra?” “Iya sekalian, biar jelas gitu” Sabrina mengangguk meskipun tahu bahwa Fahreza tak akan melihatnya. “Buat kapan?” “Sore ini bisa nggak?” Sabrina mengerinyitkan dahinya, “Dadakan banget?!” balasnya mengajukan protes. Farez terkekeh diseberang sana. “Iya Sab, ini penanggung jawab desa mau survey pertama duluan buat first impression, katanya sih harus siapin peta dulu” Penjelasan Farez membuat Sabrina bingung. Bagaimana ya? Bukan apa-apa, Sabrina sudah memiliki timeline tersendiri untuk dirinya hari ini. Dia akan ngetem di perpustakaan hingga sore kalau perlu sampai dia menemukan judul skripsi yang tepat. “Malam gimana Rez? Aku kayaknya belum bisa sampai sore” Fahreza kembali menjawab. “Yaudah oke. Malam. Kamu mau bikin dimana?” “Fntarlah gampang, tapi kita butuh shapefile* dulu karena aku belum punya” “Ada nih, tadi dibagiin sama Dino. Di flashdiskku” “Waah oke. Kamu bisa anter ke kos ku nanti? Biar bisa langsung aku bikin pake Arcgis” Sabrina mulai mengatakan aplikasi untuk membuat peta yang biasa dia gunakan pada perkuliahan. “Kalau bikin bareng aja gimana?” Eh? “Sekalian makan malam. Biar kamu juga nggak merasa terbebani gitu” cetus Farez tiba-tiba “Yaampun, aku sendiri juga nggak apa-apa kok” “Yaudah. Jam 7 aku jemput kamu di kos ya, habis itu kita ke Penyet Bu Min?” Sabrina sudah tak bisa lagi mengatakan apa-apa dan hanya mengiyakan ajakan Fahreza. Kemudian mereka menutup sambungan telepon itu dan kembali menenggelamkan diri dengan buku-buku referensinya. * Tepat jam tujuh malam, Farez sudah berdiri di depan kosnya dan membuat Sabrina terheran-heran. Farez memang orangnya tepat waktu tapi dia jarang sekali datang 15 menit sebelum waktu perjanjian. Entah kenapa hal ini baru dipikirkan Sabrina. Dia. Makan bersama Fahreza?. Berdua? Wah. Ini pasti akan menjadi berita paling hangat diantara teman-temannya, padahal dia bisa saja membuat peta tersebut di kos dan hanya butuh kurang dari satu jam menbuatnya. Sabrina juga sepertinya tidak butuh seseorang untuk membantunya karena ini memang merupakan pekerjaan individual. Namun Farez memaksa, ya mau bagaimana lagi. Dia senang-senang saja ditemani. Sabrina menatap pantulan dirinya di cermin dan berpikir keras. Kenapa dia harus pergi serapi ini hanya untuk mengerjakan keperluan kkn berdua dengan Farez? Ia cewek yang kadang tak memperhatikan penampilannya. Namun hari ini, entah kenapa dia harus membuat dirinya agar lebih terlihat. Mungkin efek kelamaan jomblo. Pikirannya kembali bersuara. Sabrina tak lagi menghiraukan suara-suara dalam pikirannya dan memilih mengambil tas laptop yang sudah disiapkannya. Kamarnya sama besarnya dengan kamar Fanya, namun barang-barangnya yang cendrung banyak membuat kamarnya terkesan lebih sempit. Catnya berwarna biru muda dengan wallpaper yang sudah penuh ditempel-tempel oleh Sabrina. Ia teringat akan sesuatu, memakai parfum! Ia tidak tau apakah ini refleks karena perasaan kagumnya dulu pada Farez atau bukan, sehingga dia ingin cowok itu memperhatikan dirinya. Atau mungkin, ia sudah siap untuk membuka diri lagi pada orang lain. Baru saja Sabrina memakai sendalnya, Fanya sudah berada di depan kamarnya, tampaknya gadis itu baru pulang entah darimana. “Mau kemana lo?” Sabrina tersenyum saja. “Mau makan sama Farez” Fanya membelalakkan matanya. Raut wajahnya tak percaya. “Bohong! Bohong! Lo harus cerita” “Posesif banget lo jadi temen. Takut gue khianatin kejombloan kita ya” Fanya mendengus kearahnya. “Bodo. Beneran lo mau makan sama Fahreza? Berdua?” Sabrina mengangguk saja, membuat Fanya semakin gemas dengan jawaban gadis itu. “Tenang aja, ini urusan kkn. Jangan panik gitu dong” Fanya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nggak apa-apa kalau lo mulai jalan sama cowok. Udah lama kan?” Sabrina terdiam beberapa saat. Mata bulatnya yang indah menatap Fanya dengan sangat fokus “Is it the right time to move?” tanyanya serius. Fanya hanya diam menatap Sabrina. Tidak mau menjawab pertanyaan itu. Sabrina mampu dengan cepat menangkap keraguan Fanya itu. Dan gadis itu mengerti. Mereka kembali membicarakan topik paling sensitif diantara mereka berdua. Sabrina akhirnya melangkah, berusaha sangat santai. “Dah, Fay. Gue mau kencan dulu” candanya dan mencubit pipi Fanya dengan gemas, segera menuju kepada Fahreza yang sudah menantinya daritadi. Is it the right time to move? Jadi selama ini gue ngestuck dong? Batin Sabrina tanpa sadar. * Fahreza menatapnya yang sedang serius mendigitasi ulang batas kelurahan mereka. Ada beberapa bagian di shapefile yang diberikan Dino agak rancu sehingga tidak tepat. Penyetan Bu Min cukup ramai kali ini. Bukan hanya mahasiswa yang datang karena ingin rapat atau mengerjakan tugas saja, tetapi juga ada mahasiswa yang mengobrol santai menikmati makan malamnya. Penyetan ini sering digunakan mahasiwa untuk berkumpul, tempatnya yang luas, ada wifi gratis dan makanan yang pas kantong mahasiswa membuat tempat makan ini selalu ramai dikunjungi. Tidak seperti tempat makan penyetan biasanya yang berdiri di tenda tepi jalan, tempat makan ini bahkan didesign sangat khas jawa sekali dan nyaman. Sabrina sering datang kesini untuk mengerjakan tugas. Mereka berdua duduk di tempat lesehan yang ada di sudut kiri. Sabrina masih memainkan mouse ditangan kanannya sedangkan matanya masih saja fokus menatap layar laptop “Makan dulu Sab, makananmu mau dingin nih” ujar Fahreza mengingatkan, pemuda itu pindah duduk dari depan Sabrina ke samping Sabrina, hingga dia turut menselonjorkan kakinya di bawah meja kecil seperti Sabrina. Entah kenapa tiba-tiba Sabrina menjadi gugup. Dia merasa dia sangat dekat dengan Fahreza dan membuatnya langsung merasa tidak nyaman, akibatnya tugasnya menjadi sedikit berantakan. “Aduh salah. Bentar rez, ini dikit lagi” “Aku bakalan nemenin kok sampai tengah malam kalau perlu. Santai aja” Sabrina menoleh dan mencibir, “Fnak banget! Yang disini nih udah rindu tidur dibawah jam duabelas!” “Kamu masih begadang-begadang gitu?” tanya Farez antusias, meskipun dia juga sering begadang mengerjakan laporan yang ditulis tangan tapi Sabrina sepertinya lebih sering bergadang dibanding dirinya. “Masih. Kan ini masih ada dua mata kuliah wajib. Jadi ya masih ada tugas besar-tugas besar gitu” Fahreza mengangguk-angguk saja, makanannya sudah habis saat Sabrina mulai mengerjakan peta tersebut. Dan dia tidak tau harus berbicara apa saat Sabrina mulai fokus. Gadis itu punya fokus yang baik. “Nih udah selesai!” Sabrina berkata dengan riang dan langsung export filenya ke format gambar dan memperlihatkannya pada Fahreza. “Okee sip. Makasih ya” dengan refleks Fahreza memindahkan laptop Sabrina ke meja depannya hingga Sabrina bisa memakan makanannya. “Kamu udah entry judul skripsi?” Sabrina menghentikan makannya dan menoleh lagi pada Farez. Astaga. Kenapa Sabrina tak sadar-sadar juga saat Farez mengenakan kacamata seperti ini terlihat sangat cool. “Belum. Kamu?” “Udah sih” Farez tersenyum sopan kearahnya. “Sebenernya aku masih bingung gitu Rez judul yang tepat itu gimana” dengan mengalir sendirinya Sabrina mulai menceritakan kegundahan hatinya pada Fahreza malam itu. Menceritakan bagaimana dia mulai merasa tertinggal dan sudah berkali-kali menemukan judul tetapi masih belum merasa puas. Malam itu, Farez yang biasanya bisa mengontrol pembicaraan hanya diam mendengarkan Sabrina berbicara, memberikan masukan pada akhir-akhir kalimat yang Sabrina ucapkan. Membuat jarak mereka semakin dekat. * Sabrina masih bungkam perihal keingintahuannya dengan teman Fanya tersebut. Padahal dia sudah ingin tahu sekali nama pemuda itu. Sampai pada satu tengah malam, di basecamp angkatannya -tempat Sabrina biasa mengerjakan tugas- ia hanya mampu mengerjakan setengah jobdescnya. Bayang-bayang wajah teman Fanya itu selalu muncul dipikirannya. Sabrina sudah tidak bisa diam lagi, diraihnya ponselnya dan mulai mencari sosial media Fanya. Ada beberapa kumpulan foto Fanya yang dilihatnya dan akhirnya dia bisa menemukan cowok manis itu. Sabrina membaca namanya sekali. Sekali lagi. Ketika Sabrina ingin melihat sosial media pemuda itu, gadis itu merutuki dirinya sendiri karena semua sosial medianya di kunci. Jadilah Sabrina hanya bisa melafalkan namanya diam-diam saja, menelan rasa kecewanya karena tidak bisa stalking foto-foto pemuda itu. Apa perlu dia menanyakan pada Fanya? Tidak tidak tidak. Itu adalah hal yang memalukan karena Fanya pasti sangat sangat mengejeknya. Ditambah lagi dengan fakta bahwa Fanya sangat menyukai introgasi sampai dia tau dan mengerti. Tidak! Sabrina malu jika harus ingin tau tentang pemuda itu. Keinginannya itu terus dipendamnya sendirian sampai keesokan harinya. Sabrina sudah tidak tahan unfuk menanyakannya karena dia sangat penasaran. Namun, Meskipun sudah berusaha mencari tahu pada Fanya, Fanya menjawabnya hanya dengan jawaban pendek-pendek. “Teman lama gue” “Oh acara seminar gitu” Hanya dua itu jawaban yang diberikan Fanya dan membuatnya gemas sendiri. Sabrina ingin tau lebih banyak namun gengsinya masih mampu mengontrol dirinya. Sepertinya dia memang sudah mulai gila karena pemuda itu. Bahkan di tempat belanja seperti inipun, Sabrina masih sempat-sempatnya memikirkan pemuda itu. Dia bahkan bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apa yang membuatnya begitu penasaran? “Totalnya lima puluh dua ribu mbak” Sabrina mengeluarkan dompetnya dengan cepat dan melihat uang yang ada didalamnya. Seketika badan gadis itu menegang karena dia lupa mengambil uang di atm tadi. Astaga! Kenapa dia bisa begitu pikun seperti ini sih? “Mbak bisa pake atm nggak? Tanya Sabrina mulai panik. Dia melihat antrian dibelakangnya yang sudah cukup panjang dengan kalut Glek. Pertemuan ketiga! Sabrina menelan ludah saat melihat siapa yang ada di belakangnya. Pemuda itu disana. Apa dia memang sudah mulai gila karena terus membayangkan pemuda itu? Sabrina sepertinya sudah mulai tak masuk akal. “Loh, mbak yang di kos Fanya kemarin kan?” sapa pemuda itu terkejut saat gadis itu menoleh. Sabrina hanya tersenyum masam. “Oh.. Hai” ujarnya gugup, ia nyaris tak bisa mengatakan apa-apa. Wajahnya sudah mulai memerah karena malu. Untung untung pemuda itu tidak sadar betapa gugup dirinya saat ini.  “Maaf mbak atmnya lagi rusak” Sabrina meringis pelan. “Yaudah mbak antrian selanjutnya dulu aja” ujarnya menyesal. “Kenapa?” Sial. Dia bertanya lagi! Rutuk Sabrina di dalam hatinya. “Nggak ini atmnya rusak, lupa ambil uang tadi” ujarnya mengatakan masalahnya. Ia mulai beranjak dari antrian itu dengan rasa malunya yang sudah menggunung. “Digabung sama ini aja mbak” Langkah Sabrina berhenti, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Fh.  Nggak usah” “Nggak apa-apa. Kemarin kamu juga bantuin saya kan” Hati Sabrina tiba-tiba terasa hangat dengan apa yang baru saja dia alami. Dengan cepat dia mengatakan terimakaaih dan menyuruh pemuda itu untuk menunggu di depan retail itu sebentar. Malam harinya Sabrina memaksa Fanya untuk memberikan id social media pemuda itu, gadis itu masih terus tersenyum sampai pesan yang dikirimnya di balas.   Hai ini Sabrina teman Fanya yang kamu bantuin tadi di alfam*rt. Makasih ya bantuannya.   Send.   Santai Sab. Jangan lupa ngambil duit lagi ya.   Sabrina terdiam beberapa saat membaca pesan tersebut. Dia tidak bisa membedakan apakah ini jokes atau serius. Gadis itu terus menimbang-nimbang balasan yang tepat untuk pemusa itu. Tanpa sadar Sabrina kembali tersenyum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD