Part 4

1448 Words
“Jadi.. Bisa ngejelasin ngapain kamu sama Fahreza berdua aja di penyetan kemarin?” Dista, Shelly dan Raisa langsung menyidangnya ketika kuliah mereka selesai. Mereka duduk di kantin kampus dengan beberapa piring yang sudah tak ada lagi isinya. Sabrina sengaja menutup rapat mulutnya dari tadi pagi hingga akhirnya Raisalah yang membuka pertanyaan itu. “Bikin peta elah. Beneran” jawab Sabrina santai tapi senyum diwajahnya masih tampak malu-malu. Tentu saja malu, Sabrina sendiri sudah jarang sekali makan berdua dengan cowok baik ada keperluan maupun tidak ada keperluan. Sialnya Shelly kemarin juga makan di Penyet Bu Min, tanpa menyapanya sama sekali. Wajar saja teman-temannya menyidangnya. “Hah? Peta buat apaan?” Raisa mengerutkan keningnya, seolah jawabannya tadi ada sesuatu yang mengganjal. “Buat pra-survey” “Bukannya diurus sama dino?” tanggap Dista cepat, membuat Sabrina tidak bisa berkata-kata lagi. “Aku nggak tau, kemarin dino cuma ngasih shp lewat flashdisk ke Farez. Trus yaudah dia minta tolong” jelas Sabrina sejujur-jujurnya. “Dino yang ngurus semuanya, Sab” “Dino anak geografi itu?” Tanya Raisa. Dista mengangguk dengan cepat. Dino itu adalah penanggung jawab desa di kelompoknya. Hingga kemarin dino sempat-sempat bertanya beberapa hal pada Dista dan perihal peta tersebut. Sabrina yang tidak mengerti apa-apa hanya menggidikkan bahu. Dia tidak ingin berpikiran macam-macam dulu tentang Fahreza. Siapa tau Fahreza memang benar-benar butuh peta tersebut tanpa maksud lain. Dia sendiri sudah trauma kepedean, yang jelas hanya rasa sakit yang bisa dia rasakan sampai saat ini meskipun dia sudah memaafkan segalanya. “Modus tuh modus” Sabrina mencibir saja, dibandingkan teman-temannya dia sudah mengenal lama Farez dari tahun-tahun yang lalu. Mereka pernah menjadi staff bersama-sama hingga Sabrina begitu tahu tipikal yang disukai Farez. Yang jelas bukan dirinya. Itulah salah satu alasan kenapa Sabrina tidak mau mendekati atau memaksa diri lebih dekat dengan Fahreza dulu. Dia masih punya kaca di kamarnya untuk menilai dirinya sendiri. “Nggak lah. Tipe Farez bukan aku. Dia suka yang cantik-cantik gemesin gitu” terang Sabrina pada teman-temannya yang sudah mengan?ggap Fahreza modal dusta mengajaknya makan kemarin. Sabrina masih bisa menilai dirinya bahwa dirinya bukan gadis yang seperti itu. “Tipe orang bisa berubah kali” Kali ini Sabrina hanya mengangkat bahunya tidak tau, dia tak ingin menenggelamkan dirinya pada masalah hati. Ataupun kecurigaannya pada siapapun. Sudah cukup baginya masalah dihidupnya. Sabrina sudah tidak mau menambah lagi. Lagipula akan sulit baginya untuk terlalu dekat dengan orang lain karena orang itu masih berada disekitarnya. “Masih belum ya Sab?” Dista tiba-tiba bertanya akan hal itu. Jantung Sabrina mencelos. Dia langsung merasa mendapat vonis mati. Sabrina tidak marah, hanya saja dia malu pada dirinya sendiri karena masih belum memaafkan semua itu dengan ikhlas dan melupakannya. “Belum lupa atau belum maafin diri sendiri?” tanya Sabrina mencoba bercanda, tapi teman-temannya hanya melempar senyum canggung. “Udah lewat udah lama juga” Sabrina berusaha lari lagi, dari pembicaraan ini. Dia memang ingin menghindari topik ini sampai dirinya biasa-biasa saja. Tapi teman-temannya terus menguak, memborbardir dirinya dengan pertanyaan-pertanyaan menohok yang tak bisa dihindari. Seperti hujan lebat disaat kemarau panjang. “Apa yang kamu lakukan ketika kamu dihadapkan disituasi yang harus bertemu dia lagi” Sabrina tiba-tiba berbicara akan hal itu. “Kamu ingat pertanyaanmu itu nggak, ca?” tanyanya pada Raisa. Raisa yang kaget hanya diam. “Dulu aku jawab aku akan lari, kali ini aku akan ralat jawaban itu, aku udah nggak berusaha untuk lari lagi” ujarnya jujur. Sabrina janji tidak akan melarikan diri lagi, meskipun itu adalah pilihan tersulit di dalam hidupnya. Ada raut kesedihan yang mendalam di wajah gadis itu saat mengatakan hal tersebut. Karena memang, semua hal yang berhubungan dengan cinta begitu menyakitkan, sampai sampai dia ingin tak merasakan lagi hal tersebut. * Bicara soal cinta, Sabrina memang terbilang miris. Bukan karena dia tak bisa mencintai siapa-siapa. Tapi karena memang, dari dulu perasaannya tak pernah terbalaskan. Sabrina pernah menyukai kakak kelasnya dari kelas satu hingga lulus, meskipun akhirnya mereka sempat dekat di awal-awal kuliah, Sabrina akhirnya mengerti bagian kata cinta tak harus memiliki. Mungkin dia adalah orang yang Sabrina suka, tapi bukan orang yang dibutuhkannya. Ada beberapa hal yang bisa dia simpulkan antara suka dan butuh. Saat itu, Sabrina memang mencari orang yang dibutuhkannya, bukan orang yang disukainya. Disukai kembali memang menyenangkan tapi bukan itu yang mampu menjawab segala pertanyaan Sabrina. Ia sendiri terus mencari jawaban sampai bertemu dengan orang itu. Orang yang pernah membuat Sabrina merasa bangga dengan dirinya sendiri karena memilih pilihan yang tepat dan juga orang yang berhasil menghempaskannya ke dasar jurang yang paling dalam. Dia berusaha menepis pikiran itu lagi, membuat dirinya termenung lagi dikamarnya, seolah beban berat baru saja menghampirinya dan dia tak mempunyai cukup tenaga untuk memikul. Seberat itulah yang Sabrina pikirkan saat ini. Sampai dering telepon itu berbunyi. Sabrina mengerinyitkan dahi, alisnya yang tebal hampir bertaut saking herannya dengan nama yang sekarang ditampilkan dilayar ponselnya. Fahreza’s calling Dengan bimbang, Sabrina mengangkat sambungan tersebut tanpa berusaha mencari tau lebih dalam maksud dari si penelepon. “Sab?” “Ya rez?” Terdengar helaan nafas dari seberang sana. “Lagi ngapain?” “Lagi.. Nggak ngapa-ngapain? Kenapa?” jawab Sabrina, dia pindah dari tempat duduk meja belajarnya ke tempat tidurnya. “Nggak ngapa-ngapain juga” “Trus ngapain nelepon?” “Fmang nggak boleh ya Sab, telepon kamu?” Sabrina merasa hatinya tergerak sedikit, begitu sedikit hingga dia bisa meredamnya dengan baik. “Ya boleh rez” tiba-tiba saja Sabrina kehilangan bahan obrolan.  Gadis itu sampai berpikir beberapa saat. “Kapan survey?” “Lusa nih. Mau ikut?” “Fmang boleh?” “Ya boleh boleh aja sih, tapi nggak apa-apa gabung sama cowok semua?” Sabrina tertawa pelan. “Nggak mau lah! Ntar aku disuruh jadi sekretaris dadakan” “Lah itu emang fungsinya cewek” Sabrina menggerutu, suasana yang sempat canggung tadi semakin mencair. “Sialan. Emang nggak ada ya rez pj desa cewek?” “Kebetulan di kabupaten kita nggak ada” jeda beberapa saat. “Aku beneran nggak ganggu kan Sab?” “Nggak kok, lagi nggak ngapa-ngapain juga” “Skripsi?” Sabrina mencibir, “Yah.. Malah dibahas” Fahreza terkekeh diseberang. “Oke. Cari topik lain” “Nggak ada yang marah gitu Sab, telepon kamu malam-malam?” Wah.. Bisa-bisanya nih. “Siapa juga yang bakal marah” “Jomblo sih” Sabrina tertawa. “Dih. Nggak ngaca!” Obrolan itu terus berlanjut tanpa mereka sadari, Sabrina menatap ponselnya yang masih digenggamannya ketika Fahreza pamit untuk bertemu temannya yang datang, sisa-sia pembicaraannya dengan Fahreza yang nggak mutu-mutu banget masih ternGiang ditelinganya. Apa maksudnya ini? Sabrina memang tidak mau kepedean, namun pertanyaan itu terus bermunculan dikepalanya. Pertanyaan yang sama pernah dia tanyakan, pertanyaan yang begitu membuat hari-harinya menjadi berbeda beberapa saat. * Sab, boleh nelepon lo? Sabrina tak bisa menghentikan degupan jantungnya begitu cepat saat membaca pesan singkat dari pemuda itu. Pemuda yang akhir-akhir ini bisa membuat Sabrina senyum-senyum sendiri membaca chat di ponselnya. Boleh lah. Hanya dua kata itu yang mengiring ponselnya untuk berdering beberapa detik kemudian. Membuat degupan jantungnya semakin terdengar. “Kirain ada yang marah” Sabrina yang tersenyum dari tadi langsung menanggapi. “Nggak jelas lo” “Kata Fanya lo jomblo akut ya Sab, nugas mulu sih” Sabrina hanya tertawa mendengar hal tersebut. Dia sudah tak pernah lagi tersinggung karena statusnya yang memang begitulah adanya. “Pengen tahu banget lo tentang gue sampai nanya-nanya ke Fanya segala” Pemuda itu tertawa manis di seberang sana. Aduh! Membayangkan saja Sabrina semakin memerah, dia tidak bisa membayangkan bagaimana jika mereka bertemu langsung saat ini. “Fmang nggak boleh?” tanyanya. Sabrina berdehem ringan. Kalau dia jawab, takutnya lawan bicaranya saat ini langsung menyimpulkan bahwa Sabrina benar-benar tertarik padanya. Itu adalah hal yang memalukan. “Lo juga jomblo ya? Nggak ada yang bisa ditelepon malam minggu?” Sabrina berusaha mengalihkan pembicaraan. “Yee jawab dulu dong, nggak apa-apa kan kalau gue pengin tau tentang lo?” “Apaan sih kayak mau pedekate aja lo” Sabrina masih membawanya bercanda, kalau serius Sabrina bisa serius sekali saat ini. Tapi dia tak mau pemuda itu membaca perasaannya dengan cepat. Tidak secepat ini. “Ada yang marah gitu, kalau mau pedekate sama lo?” Sabrina gemetar mendengarnya dan senyum itu terus mengembang di pipinya. “Adalah! Menurut lo aja” tanggapnya kembali bercanda. “Hm… besok malam ada acara nggak Sab?” “Jadwal rutin nugas gue, kenapa?” “Nggak apa-apa. Ada tempat makan yang udah lama gue pengen kesana, siapa tau lo mau” Mau. Mau banget. Girang Sabrina di dalam hatinya. “Kemana emang?” “Soto betawi sih yang diperempatan. Mau?” Sabrina menelan ludahnya dengan susah payah. Diajak makan berdua! Astaga astaga astaga, mimpi apa Sabrina semalam? Tapi dia harus jual mahal sedikit, walaupun udah lama jomblo boleh lah Sabrina harus jual mahal dulu, tidak mau banting harga. “Yah.. Gue nugas dari abis magrib till drop” “Sebelum nugas?” Sabrina tersenyum saja. “Sore ya?” “Iya” “Oke” Oke untuk makan dan oke untuk pergi berdua. “Sab biasanya lo kalau pulang nugas jam berapa? Dimana?” Bukan hal umum lagi Sabrina lebih memprioritaskan tugasnya yang banyak, kesibukan Sabrina akan tugas-tugas kuliahnya melebihi apapun. Kadang dia bingung dengan sinetron-sinetron yang menjelaskan kehidupan kuliah itu menyenangkan, padahal? “Di basecamp sih biasanya kalau nggak di kampus. Till drop gitu, subuh paling baru balik. Kalau lagi deadline bisa pagi” “Yaampun anak teknik” Sabrina terkekeh ringan. “Nggak capek Sab” “Capek sih. Mau gimana lagi” “Kalau lo takut motoran sendiri gitu subuh-subuh gitu lo bisa kok minta tolong gue jemput. Gue gampang banget kebangun kalau di misscall” Hah? Apa ini? Sabrina menelan rasa bahagianya bulat-bulat sendirian. Ingin sekali dia berteriak sekarang namun Sabrina menahannya, hasilnya pipinya bersemu sangat kemerahan. “Gue udah strong kali, nggak perlu dijemput-jemput” elaknya, menyembunyikan rasa bahagianya. Sudah lama sekali Sabrina tidak diperhatikan orang lain, baru kali ini dia menemukan orang yang benar-benar langsung care kepadanya meskipun mereka baru saling mengenal. Dan Sabrina sangat suka, jika orang itu adalah dia. Sabrina lagi-lagi bertanya, apa dia sudah benar-benar jatuh cinta?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD