Perjodohan

1121 Words
Hari telah berganti minggu. Waktu yang ditunggu telah tiba. Sekarang Minggu, Annora libur dan tak berangkat mengajar. Ayahnya menyuruh Annora menyiapkan segalanya untuk menyambut kedatangan keluarga calon menantunya. Annora hanya menurut saja apa yang diminta sang ayah. Wanita itu menyiapkan semuanya sendiri dengan ikhlas. Walaupun Annora setengah hati menerima perjodohan ini. Setelah semua beres, Annora bergegas mandi. Kemudian bersiap-siap. Wanita itu memakai celana kain polos dan atasan tunik serta jilbab warna senada. Sudah cukup, tak perlu dandan macam-macam. Memang begitulah dia, tak suka memakai make up yang aneh-aneh. Senantiasa berpenampilan sederhana. Selain itu memang dia tak suka terlalu ribet. Tak lama kemudian terdengar deru mobil. Keluarga Elang sudah datang. Mobil terus masuk ke halaman rumah Annora. Lalu, sepasang suami istri dan seorang pria muda turun dari mobil. Pria muda itu tampak sangat angkuh. Pak Hardi menyambut kedatangan mereka dengan tersenyum ramah. Pak Handoko dan Pak Hardi pun berpelukan, lalu Pak Hardi mengulurkan tangan pada Bu Nani. Bu Nani menyenggol lengan Elang untuk bersikap ramah pada calon mertuanya. Dengan Terpaksa Elang pun mencium tangan Pak Hardi. “Mari, silakan duduk dulu. Sebentar saya panggilkan putri saya dulu.” Pak Hardi kemudian melangkah menuju ruang tengah untuk memanggil Annora. Annora pun menuruti sang ayah. Dia segera keluar menuju ruang tamu. Annora tersenyum kikuk, lalu menyalami mereka. Mata Annora langsung terbelalak ketika melihat pada seorang pemuda yang berusia kira-kira 30 tahun. Pemuda ini yang akan dijodohkan dengan Annora. “Nora, buatkan tamu kita minum.” Suara Pak Hardi mengagetkan Annora. Annora gelagapan, kemudian segera menuju dapur. Membuatkan minum untuk mereka. Setelah itu dia kembali ke ruang tamu sambil membawa minuman dalam nampan. “Silakan diminum, hanya air the saja.” Annora menawarkan pada mereka. “Ini Nora, ‘kan? Cantik, ya, Pa?” Bu Nani berucap sambil tersenyum menatap Annora. “Iya, Ma. Cantik sekali, cocok sama Elang.” Pak Handoko menanggapi. Pria yang duduk di samping mereka tampak tersenyum sinis. Wajahnya tampak tak bersahabat. Dia hanya sesekali melirik ke arah Annora. Pemuda itu sombong sekali. Sudah seperti om-om. Ganteng, tubuhnya gagah, hidungnya mancung, dan ada kumis tipis juga. Sayang, sombong dan tidak ada ramahnya sama sekali. “Pa, Ma. Elang keluar dulu, ya, panas di sini.” Pemuda itu bangkit dan melangkah keluar. “Nduk, temani Nak Elang sana,” ucap Pak Hardi pada Annora. Mata Annora membulat sempurna. Dia seperti tak suka disuruh menemani manusia aneh itu. Annora pun menggeleng. “Jangan malu-malu. Ayo, Nduk, biar kalian saling kenal. Supaya tahu calon suamimu seperti apa,” ucap papanya Elang sambil terkekeh. Annora mendengkus kesal. Dia seolah tak suka disuruh menemani Elang. Lalu, Annora melirik Elang dan tersenyum sinis. “Nggak mau nemenin pun nggak masalah.” Elang pun berkata dengan sinis. “Elang, jangan gitu, Nora ini calon istrimu,” ucap Bu Nani, mamanya Elang. Karena semua menyuruh Annora menemani Elang, akhirnya dengan terpaksa menurut apa kata mereka. Mereka pun menuju halaman belakang. “Lo, kenapa menerima perjodohan ini?” tanya Elang dengan nada judes. Annora hanya terdiam dan menatap Elang tak suka. Sombong sekali pria ini! Pikir Annora. “Hei! Ditanya itu jawab, bukan malah bengong! Cewek, kok, aneh!” “Siapa yang bengong, sih, Om?” “Apa? Om? Siapa yang lo panggil om?” tanya Elang dengan mata melotot tajam. Matanya merah menyala membuat Annora bergidik ngeri. “Ka-kamu,” jawab Annora dengan suara bergetar. “Gue bukan om-om! Sembarangan aja, masih single, belum jadi om!” “Ta-tapi wajahnya udah om-om,” ucap Annora sambil melirik Elang. “Dasar cewek aneh!” sungutnya. Annora mengulum senyum. Sambil sesekali melirik Elang. Dia memang menyebalkan, tapi entah kenapa ada desiran aneh saat dia menatap Annora. Wanita itu belum pernah merasakan seperti ini sebelumnya. “Hei, malah bengong! Jangan-jangan lo emang udah suka sama gue, ya?” tanya dia sambil menatap Annora. Annora langsung menunduk. Dia tak sanggup membalas tatapannya. Memang Elang kelihatan seperti om-om. Namun, sepertinya hanya karena pakaiannya yang membuat terlihat lebih dewasa. “Pokoknya lo harus nolak perjodohan ini! Gue nggak mau tahu!” “Kalau aku menerimanya kenapa?” Mata Elang melotot tajam. “Memang lo mau nikah sama gue? Kenal aja juga nggak.” “Eemm, aku nggak bisa menolak apa yang Ayah minta ….” Terdengar suara Elang mendesah. “Terserah, lo. Jangan nyesel kalau lo nggak bisa hidup bahagia!” Elang berkata sambil lalu. Ya Allah, apa mungkin ayah memang hendak menjodohkanku dengan lelaki seperti itu? Bagaimana mungkin, aku harus hidup bersama lelaki yang bicaranya saja kasar seperti itu. Annora mendengkus kesal. Annora benar-benar galau. Antara menerima atau menolaknya. Di sisi lain dia tak mau menjadi anak durhaka pada orang tua satu-satunya yang masih ada. Setidaknya, bisa membahagiakan ayahnya. Oh Allah … berikanlah petunjuk-Mu pada hamba yang lemah ini. Ucap Annora. *** Hari-hari terus dilalui Annora seperti biasa. Akhirnya, setelah berpikir dengan matang, Annora pun menerima tawaran perjodohan dari sang ayah. Walaupun sempat takut dengan ancaman Elang, bahwa dia tidak akan segan-segan membuat hidupnya menderita. Namun, Annora tidak peduli dengan ancaman Elang. Annora tetap menerima tawaran ayahnya. Annora berpikir bahwa tidak mungkin sang ayah membuatnya menderita. Saat Annora sedang mengerjakan beberapa kerjaan rumahnya, ponselnya berdering. Tertera nama Elang. Dahi Annora mengernyit sebab tak biasanya Elang menghubunginya. Annora mengabaikannya. Dia berpendapat kalau memang penting pasti Elang akan menghubunginya kembali. Tepat seperti dugaan Annora, ponselnya pun berdering kembali. Dengan terpaksa Annora menggeser tombol warna hijau di layar ponselnya. “Hei, lama amat ngangkatnya?!” sentak Elang. Annora memutar bola mata dengan malas. “Ada apa? Tumben telepon?” tanya Annora. “Gue jemput lo sekarang! Ada yang mau gue omongin ke lo!” Annora pun menautkan kedua alisnya. Kenapa tiba-tiba Elang mau menjemputnya? “Mau ke mana emang? Aku lagi sibuk,” jawab Annora. “Gue nggak mau tahu, bisa nggak bisa, mau nggak mau gue bakal jemput lo!” “Eh, kok, kamu maksa, sih, Om?” tanya Annora lagi. “Apa lo bilang? Om? Udah gue bilang berkali-kali jangan panggil Om!” sentak Elang. Annora menutup mulutnya dengan tangan kanannya. “Maaf, Lang. Emang mau ke mana? Ada apa? Tumben banget.” Annora memberondong dengan berbagai pertanyaan. “Nggak usah banyak tanya. Lo siap-siap aja! Ada hal penting, ini demi masa depan kita nantinya.” Lalu Elang menutup teleponnya tanpa menunggu jawaban Annora. Annora merasa heran dengan Elang. Dia tak suka dengan sikap Elang yang arogan dan suka memerintah, apa pun yang dia bilang harus dituruti. “Memangnya dia bos? Seenaknya saja kalau memerintah!” Annora bersungut-sungut. “Annora, kamu kenapa?” Tiba-tiba sang ayah ada di samping Annora, membuat Annora pun berjingkat. “Ayah ngagetin aja.” Annora tersipu malu. “Kamu kenapa marah-marah sendiri nggak jelas?” tanya Pak Hardi pada putrinya. “Tadi Elang nelepon, ngajak keluar seenaknya sendiri. Padahal Nora lagi sibuk, Yah.” Annora menekuk wajahnya. “Ya udah, jangan marah gitu. Elang itu calon suamimu, jadi ya turuti saja. Kan, niat dia baik supaya kalian saling kenal.” Pak Hardi tersenyum pada Annora. Annora pun mendengkus kesal. Pak Hardi memang tidak tahu apa yang terjadi di antara Elang dan Annora. Namun, Annora pun hanya diam saja. *** bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD