Pernikahan Terpaksa
Pernikahan sebuah impian bagi sebagian besar orang. Namun, ada kalanya malah menyiksa bagi beberapa orang. Seperti halnya bagi seorang wanita bernama Annora Aurelia. Pernikahan yang dijalaninya tak seperti yang ada dalam bayangannya selama ini. Apalagi dia menikah dengan pria yang sama sekali tidak mencintainya.
Semenjak menikah dengan pria bernama Elang Pramudya Patti, hidupnya selalu tersiksa. Mungkin ini yang dinamakan luka yang tak berdarah.
Mengapa dulu aku menerima tawaran pernikahan ini? Kalau saja mengerti semua akan menyakitkan seperti ini, mungkin tak akan pernah menerimanya. Annora hanya mampu meratap dalam hati. Setiap hari air mata terus mengalir membasahi pipinya. Hari-harinya senantiasa diliputi kesedihan.
Seperti malam ini, netra wanita itu masih juga belum bisa terpejam. Bagaimana bisa tidur, jika suaminya belum pulang? Padahal ini sudah larut malam. Wanita itu hanya bisa berguling-guling di atas kasur. Sepertinya dia benar-benar merasa resah. Padahal wanita itu tahu, kalau Elang tak pernah menganggapnya sebagai istri. Namun, wanita yang selalu berpenampilan tertutup itu tetap harus hormat dan patuh pada Elang.
Annora sesekali melongok jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Jarum sudah menunjukkan angka 11. Namun, Elang tak kunjung pulang. Wanita itu bangkit dari tidurnya, lalu melongok ke jendela kamar.
Tak lama kemudian terdengar pintu kamar berderit. Wanita itu segera menoleh. Annora langsung mengembuskan napas lega, karena Elang sudah pulang. Wanita itu langsung menyalakan lampu. Tampak dia menoleh ke arah Annora sepertinya kaget.
“Emm, ke-kenapa sampai selarut ini, Lang?” tanya Annora dengan takut.
“Bukan urusan, lo!” Tanpa basa-basi Elang pun menuju toilet. Lalu, menutup pintu dengan keras, membuat Annora berjingkat kaget.
Tak lama kemudian, terdengar gemericik air di dalam toilet. Annora mendesah pelan.
Kenapa harus hidup bersama manusia es itu sih? Wanita itu kemudian membuang tubuh ke atas ranjang secara kasar. Lalu, menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Setidaknya, meskipun tak ada tanggapan dari Elang, wanita itu merasa lega karena suaminya sudah pulang. Akhirnya, Annora pun mengistirahatkan otot dengan tenang.
“Hei! Hei! Bangun!” Pria itu menepuk pundak Annora secara kasar.
Apa aku sedang bermimpi? Dia menepuk pundakku pelan. Oh Tuhan, manusia es itu menyapaku? Batin Annora.
“Hoi! Denger nggak sih! Dasar cewek aneh, tidur apa ngebo?”
Annora langsung gelagapan membuka selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Kedua alisnya bertaut, seolah-olah menatap Elang dengan meminta penjelasan.
“Jangan GR. Gue Cuma mau ambil selimut yang lo pakek!” sentaknya.
Annora melihat selimut yang sudah ada di atas tubuhnya. Wanita itu menepuk jidatnya, lalu nyengir kuda. Dia merasa bodoh karena salah memakai selimut. Pipi Annora pun memerah seperti tomat.
“Ups! Maaf, nggak sengaja pakai punyamu,” ucap Annora sambil menyerahkan selimut pada Elang.
“Dasar cewek ceroboh!” ketusnya.
Kemudian, Elang berbaring di sofa dekat jendela kamar. Annora masih menatap Elang dengan kasihan. Elang harus tidur di sofa selama dua bulan terakhir ini. Annora sudah menawari tidur di kasur, tetapi pria angkuh itu menolak.
“Ngapain masih lihatin gue? Naksir sama gue?” tanyanya.
Annora pun bergidik. Amit-amit suka sama cowok playboy yang kasar kayak gitu. Annora hanya mampu berkata dalam hati.
“Udah tidur sana! Sudah larut malam!” Elang mematikan lampu.
Suasana malam ini begitu sunyi. Annora masih belum bisa terpejam. Dia terus menatap Elang.
Andai saja pernikahan ini diharapkan oleh Elang. Mungkin saja sekarang kami bisa memadu kasih. Ah, sudahlah. Jangan pernah bermimpi seorang Elang Pramudya Patty bakal tertarik sama aku. Seorang gadis biasa yang penampilannya sama sekali tidak modis. Bukan selera seorang Elang. Batin Annora.
Kenangan beberapa bulan silam langsung berkelebat di pelupuk matanya. Mata Annora menerawang jauh.
***
Annora Aurelia, seorang guru honorer di salah satu SD. Terpaksa menikah dengan seorang pria kaya raya, anak salah satu pebisnis terkenal di ibu kota. Bukan karena hartanya yang berlimpah yang membuat wanita itu menikah dengannya. Namun, karena permintaan orang tua pria itu pada ayah sang wanita.
Aneh memang, zaman sekarang masih saja ada perjodohan. Pak Hardi, ayah Annora, dan Pak Handoko, papanya Elang, bersahabat sejak SMP. Mereka memang bersepakat sejak dulu, jika masing-masing memiliki anak akan menjodohkannya. Memang pemikirannya masih kolot.
“Nduk, tolong penuhi permintaan Ayah, ya? Ayah tahu kamu gadis penurut,” ucap Pak Hardi waktu itu pada Annora.
“Emm, ta-tapi, Yah. Nora, belum siap menikah. Apalagi sama cowok yang nggak dikenal,” sahut Annora.
Sebenarnya Annora ingin sekali menolaknya, tapi dia tak kuasa. Wanita itu tak sanggup melihat wajah sang ayah bersedih. Orang tua satu-satunya yang masih hidup. Ibunya meninggal ketika melahirkan wanita itu. Pengorbanan seorang ibu memang sangat luar biasa.
“Minggu depan mereka akan ke sini. Kalian bisa saling mengenalnya, Nduk. Percayalah, Ayah nggak mungkin menjerumuskanmu.” Pak Hardi tersenyum pada Annora.
Annora mendesah pelan. Ayah Annora memang tak pernah meminta pendapatnya dalam segala hal. Namun, ini pernikahan, peristiwa yang sakral. Terjadi sekali dalam hidup. Harusnya sang ayah tetap meminta pendapat Annora. Karena ini semua menyangkut hidup dan masa depan Annora.
“Eemm, ta-tapi, Yah. Nora masih belum mau menikah.” Annora menunduk sambil memegang ujung tuniknya.
“Apalagi yang ditunggu, Nduk? Umurmu sudah cukup matang. Seorang gadis nggak pantas membujang terlalu lama, apalagi jika sudah ada yang serius ingin menikahimu.” Lagi, Pak Hardi tersenyum penuh arti pada Annora.
“Ayah, usia Nora baru 23.” Bibir wanita itu mengerucut.
Mungkin bagi Pak Hardi umur Annora sudah cukup untuk menikah. Namun, tidak menurut sang anak, karena dia masih merasa gadis kecil ayahnya yang manja. Wanita itu bertanya-tanya dalam hati, bagaimana bisa hidup bersama orang-orang yang kaya raya? Membayangkan menikah dengan orang yang bergelimang harta, membuatnya bergidik. Bagaimana kalau nanti hidup Annora tersiksa? Biasanya, kan seperti itu. Apalagi keluarga Annora dari kalangan biasa saja.
Annora menarik napas panjang. Tak tahu lagi harus berkata apa pada ayahnya.
“Pokoknya minggu depan bertemu dulu sama mereka. Pasti kamu bakal setuju.” Pak Hardi mengusap rambut Annora secara pelan, lalu beranjak pergi.
Bagaimana mungkin aku menikah tanpa cinta? Iya, kalau pria itu baik. Kalau tidak, bisa-bisa setiap hari kena hajar. Membayangkannya saja takut. Belum lagi orang tuanya, bagaimana kalau mamanya seperti nenek sihir? Duh ayah kenapa harus ada perjodohan? Annora terus bertanya-tanya dalam hati. Kemudian, dia mengembuskan napas kasar.
Annora hanya mampu berkeluh kesah dalam hati. Dia selalu berandai-andai kalau saja ibunya masih ada, mungkin Annora bisa menolak. Namun, untuk saat ini, Annora hanya bisa menangis, tak ada tempat untuk mengadu. Annora mendesah pelan.
***
bersambung