Tawaran mucikari

1317 Words
Gedung itu mirip diskotik. Berlantai dua dengan hiasan kerlip di sekeliling pintunya. Tapi di saat yang sama, tempat itu sepertinya juga diperuntukkan sebagai salon, Terlebih ada tulisan barber di samping pintu masuk. Mungkin memang untuk usaha potong rambut saat siang hari. “Masuk, duduk di tempat yang kamu mau,” kata mami Mila membuka pintu depan agar Jane tidak terlalu lama berdiri di luar. Tidak ada orang di sana. Begitu sepi seperti gedung kosong. Padahal dalam benak Jane, ia akan melihat para wanita lain. Semacam penampungan w****************a di drama. Mereka akan dikumpulkan lalu dijajakan pada pelanggan yang datang. Tapi pikiran mengerikan itu salah besar. “Kebetulan dokter yang biasa memeriksa sedang tidak ada jadwal. Bagainana kalau sekarang? kamu sudah siap belum?” tanya mami Mila beranjak dari kursi kerjanya untuk mencari sesuatu dari dalam laci meja. Sebelum itu, tadi ia sudah menelepon lebih dulu, menanyakan apa ada waktu dan ternyata ada. Jane tertegun, belum sepenuhnya mengerti arah pembicaraan itu. “Dokter?” gumamnya bingung. “Iya. Kamu wajib mengikuti beberapa tes kesehatan. Yang terpenting adalah pemeriksaan selaput dara. Tidak masalah, kan?” Tante Mila akhirnya menemukan apa yang ia cari, sebuah pematik api. Ia butuh rokok agar lebih tenang. Jane termenung, terselip rasa takut. Wajar karena pemeriksaan itu pasti akan sangat tidak nyaman. Perlu buka baju bahkan telanjang. “Tenang saja, dokternya perempuan.” Seakan tahu kegelisahan Jane, mami Mila mendekat lalu membujuknya dengan tepukan di bahu,”hanya sebentar, tidak ada satu jam.” Jane menelan ludah dengan susah payah. Ia gugup, hingga bibirnya gemetar takut. Sejak dari dalam mobil, gadis itu sudah menampakkan keraguan besar. Dari sudut pandangnya sebagai mucikari, Mami Mila yakin, sia-sia kalau memaksa. Pekerjaan itu butuh faktor kerelaan karena berhubungan dengan tubuh juga perasaan. Kalau salah satu dari dua tidak terpenuhi, kepuasan pelanggan akan pergi. “Kalau mau, kamu bisa kembali besok atau kapanpun setelah hatimu benar-benar siap.” Mami Mila menghisap asap nikotin itu melalui mulut lalu dikeluarkan lewat hidung. Sungguh disayangkan, calon berliannya terpaksa dilepas. Tapi itu lebih bijak daripada bisnisnya terganggu hanya karena satu anak asuh. “Maaf,” ucap Jane langsung menampakkan rasa bersalah. Ia sebenarnya juga takut menyinggung dan dicelakai. Maklum, mereka belum terlalu mengenal satu sama lain. Jangankan sifat, informasi hanya didapat dari kartu identitas. Setelah berbasa-basi sebentar, Jane disuruh pergi dan dibekali uang naik taksi. Tak lupa, mami Mila menyuruh agar cepat menghubungi. Mereka bertukar nomor sebelum benar-benar berpisah di depan pintu salon. “Aku akan memberimu waktu seminggu. Lewat itu, nomormu akan aku hapus,” kata mami Mila serius. Ia sendiri juga tidak mau buang-buang waktu hanya untuk gadis plin-plan. Banyak wanita yang jauh lebih menarik di luar sana. Bisnis lendir memang begitu menggiurkan. Tidak heran kalau urat malu dikesampingkan demi kestabilan finansial. --- Dua hari berselang, Jane dengan berat hati memutuskan untuk pulang. Ia mengemasi barang juga benda lain dalam beberapa kardus besar. Tapi sebelum itu, Jane ingin bertemu ayahnya lebih dulu. Kembali ke rumah adalah perkara besar. Kepergiannya saja sudah membuat keributan, jadi perlu diskusi panjang dengan ibu tiri terkait hal itu. Sayangnya rencana Jane untuk kembali ke kehidupan normalnya menghadapi jalan buntu. Rumah ayahnya kosong dan tetangga bilang kalau semua orang sudah pindah seminggu yang lalu. Masalahnya, tidak ada yang tahu ke mana mereka pergi. Jangankan orang sekitar, sebagai anak kandungnya saja, Jane tidak dikabari. Hal itu membuktikan kalau ia sudah dibuang. Begitu dewasa dan dianggap mampu bertanggung jawab atas diri sendiri, Jane disingkirkan. Malam itu waktu berjalan begitu lambat. Saking sakitnya hati Jane, air matanya serasa mengering. Hanya ada sisa kekecewaan besar yang berwujud dendam. Sebelum pulang ke kosnya, Jane menyempatkan diri mengunjungi makam sang ibu. Tentu saja, malam membuat sekeliling makam tidak ada orang. Untungnya penjaga mengijinkannya masuk untuk menaruh sekeranjang kecil helai bunga mawar. Jane tidak terlalu lama di sana. Ia hanya mematung sebentar sembari berdoa agar sang ibu memaafkannya. “Mulai hari ini aku akan mengambil jalan yang salah,” gumam Jane getir. Keputusannya memang belum sepenuhnya bulat, tapi arahnya sudah jelas. Ia akan menghubungi mami Mila dengan niat bekerja. Tidak perlu lama. Ia akan berhenti setelah merasa cukup. Padahal tidak semudah itu berhenti dari pekerjaan haram. Sekali mencicip, banyak yang ketagihan dan tidak bisa kembali ke jalan normal. Alasannya adalah sudah terlanjur kotor. Gadis itu kemudian pergi dari sana. Tanpa menoleh atau mengucapkan selamat tinggal. Entahlah, Jane sudah terlanjur kecewa dengan semua orang. Ia cukup frustasi hingga tidak punya keinginan untuk menjaga diri. Kehidupan Jane berada dalam titik buta. Apa yang dilakukannya setara dengan bunuh diri. Ia dengan sadar melempar tubuhnya ke neraka karena menganggap kalau hidup sudah tidak lagi ada harganya. --- Beberapa jam setelah mendapat telepon dari Jane, mami Mila langsung mengabari dokter Siska agar bersiap dengan segala alat medisnya. Lelang perawan agar dilakukan dalam tiga hari ke depan. Banyak yang harus diurus selain tes kesehatan. Seperti puluhan perawatan juga treatment agar Jane bisa punya daya jual tinggi. Dokter Siska sendiri adalah mantan pekerja rumah sakit. Karirnya cukup buruk karena pernah beberapa kali terlibat jaringan aborsi. Tidak heran kalau pada akhirnya surat ijin prakteknya dicabut. Untuk sekarang, ia lebih memilih untuk bekerja di bawah mucikari. Tanpa resiko hukum karena hanya melakukan pemeriksaan standart medis. “Selaput daranya masih bagus. Tidak ada yang salah juga dengan tubuhnya,” kata dokter Siska saat ditemui di ruang kerjanya. Setengah jam lalu ia memeriksa Jane dan tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Tapi berhubung hanya tes standart, kemungkinan sakitnya hanya dinilai secara kasat mata. Sisanya menunggu uji labolatorium. Sampel darah akan diperiksa di swasta agar tidak terdeteksi dinas kesehatan. “Oke, ada lagi yang perlu aku tahu?” tanya mami Mila mengambil beberapa lembar ratusan ribu dari dalam dompetnya. Ia membayarnya secara langsung, tanpa debet. “Jane, namamu Jane kan?” dokter Siska mengalihkan pandangannya pada gadis yang sejak tadi hanya diam mematung. “I-iya,” sahut Jane gugup. Ia masih merasa canggung karena tadi adalah pertama kalinya ia merenggankan kakinya begitu lebar di depan orang asing. “Pakai pengaman saat melayani pelangganmu. Jangan anal seks atau hal berbahaya lain. Tubuh wanita akan berubah seiring waktu. Aku dulu mengaborsi banyak bayi, mereka dibuang oleh para p*****r karena kurangnya kesadaran medis. Aku harap kamu tidak kembali lagi dengan keluhan penyakit atau janin,” kata dokter Siska serius. Ia bukan hanya sedang memperingati Jane, tapi itu juga berlaku pada mami Mila. Resiko penularan seksual jauh lebih tinggi kalau pelaku prostitusi tidak paham dalam melindungi anak buahnya. Mila Karnila sudah terjun di dunia hitam itu selama hampir lima belas tahun. Ia korban pemerkosaan yang kemudian memangsakan dirinya sendiri dengan alasan terlanjur. Rahimnya rusak dan sudah diangkat. Bisnis Mila cukup rapi karena pelanggannya pejabat, aparat juga pengusaha besar. Gedung yang dikunjungi Jane kemarin hanya kamuflase. Huniannya yang asli ada di tengah kota. Begitu besar, tapi jarang ditinggali. Mila lebih suka berburu, jalan kaki untuk menemukan calon anak baru. Kadang kalau bosan, ia akan berhenti bekerja selama beberapa bulan. Kebetulan saja Jane ditemukan. Waktunya tepat dengan jadwal lelang keperawanan. Terakhir, transaksinya tidak begitu bagus karena tubuh wanitanya tidak terlalu mulus. “Tenang saja, Jane bilang akan berhenti setelah pelanggan pertama.” Mami Mila tersenyum sinis, seakan mengatakan hal konyol yang ingin ia tertawai sendiri. Dokter Siska menggelengkan kepalanya,”semoga berhasil,” ucapnya pada Jane dengan pandangan tidak yakin. Ia sudah terlalu sering mendengar hal itu dari calon kupu-kupu. Tentu saja semua hanya sebatas omong kosong untuk membuatnya tidak terlalu berdosa. Jane tidak segugup kemarin. Sekarang ia sudah cukup mengerti resiko yang telah diambil. Terlebih tidak ada jalan kembali karena surat perjanjian sudah ditandatangani. Hal terpenting adalah persiapan mental. Mami Mila bilang, jadi seorang perawan adalah anugerah. Tidak perlu belajar melayani, biarkan saja pelanggan pertama yang akan menikmati. Profesional di atas ranjang didapat dari pengalaman, bukan pembelajaran. Jadi selama dua hari terakhir, bukan hanya treatment, Jane disuguhi banyak film dewasa agar penglihatannya tidak terlalu syok nantinya. Tapi bagaimana kalau pria yang nanti membeli Jane adalah sosok kejam yang akan melukainya luar dalam?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD